Putri Cina : sebuah lamentasi atas posisi diuntungkan masyarakat Cina
                                                                                133
Pada  awalnya,  Putri  Cina  adalah  sebuah  tulisan  pengiring  di  sebuah  pameran lukisan  Hari  Budiono  yang  hendak  bercerita  tentang  orang-orang  Cina  di  Indonesia.
Kemudian, oleh Romo Sindhu tulisan tersebut dikembangkan menjadi sebuah novel dan diberi  judul  sama  dengan  tajuk  pameran  lukisan  tadi:  Putri  Cina.  Putri  Cina  terbit
setahun  setelah  pameran  tersebut.  Novel  tersebut  terbit  ketika  tema  tentang  Cina  di Indonesia  telah  lazim  dibicarakan  dan  perayaan-perayaan  masyarakat  Cina  telah  di-
‘halal’-kan  kembali.  Dengan  kondisi  ini,  tentu  saja,  Putri  Cina  memiliki  kebebasan bertutur  yang  tidak  dimiliki  novel-novel  yang  terbit  di  masa  Orba.  Walaupun  begitu,
tetap  ia  memiliki  batasannya  seperti  yang  ditemukan  novel-novel  yang  sebelumnya telah ditelaah lebih jauh di atas.
Secara  garis  besar,  Putri  Cina  bercerita  tentang  seorang  perempuan  asal  Cina Daratan yang kemudian menjadi diperistri raja-raja di Jawa dan ikut terombang-ambing
dalam gelombang politik di tanah Jawa. Ia menjadi tokoh utama yang mampu melintasi batas ruang dan  waktu sehingga mengetahui masa lalu dan masa depan terkait dengan
kondisi  kehidupan  orang-orang  Cina  di  tanah  Jawa.  Namun,  hal  tersebut  tidak  terjadi begitu  saja.  Putri  Cina  digambarkan  seperti  orang  yang  kehilangan  ingatan  sehingga
sebelum  mengetahui  segalanya  ia  merunut  asal-muasal  dirinya  melalui  cerita-cerita gabungan antara cerita-cerita kuno Cina dan Jawa.
Putri Cina adalah anak perempuan dari keluarga miskin di sebuah desa bernama Yut-Wa-Hi. Ibunya bernama Kim Liyong. Ia sampai di tanah Jawa karena Kaisar Cina
memintanya agar mau menjadi istri kelima Prabu Brawijaya. Namun, setelah beberapa waktu saat tengah mengandung, karena kecemburuan permaisuri Prabu Brawijaya Putri
Cina  diberikan  pada  anak  Prabu  Brawijaya  yang  memerintah  di  Palembang  Arya Damar.  Di  Palembang,  Putri  Cina  melahirkan  anak  Prabu  Brawijaya  bernama  Raden
Patah. Ia juga mendapat anak dari Arya Damar bernama Raden Kusen. Raden Patah dan Raden Kusen, di kemudian hari, memeluk Islam dan mendirikan Kerajaan Demak yang
menggulingkan kekuasaan Kerajaan Majapahit. Kejadian  penggulingan  kekuasaan  Majapahit  tersebut  adalah  cerita  pertama
tentang orang Cina dalam pusaran konflik-konflik di tanah Jawa. Dengan bantuan tokoh
134
bernama Sabdopalon-Nayagenggong yang mampu memberi penglihatan ke masa depan, Putri  Cina  lantas  menyaksikan  naik  dan  runtuhnya  kerajaan-kerajaan  di  Jawa.  Cerita-
cerita  berlatar  naik  dan  runtuhnya  kerajaan-kerajaan  di  Jawa  tersebut  kemudian  terus muncul  hingga  akhir  novel.  Satu  hal  yang  selalu  disaksikan  oleh  Putri  Cina  dalam
konflik-konflik  tadi  adalah  dikorbankannya  orang-orang  Cina.  Salah  satunya  adalah kejadian  di  Pedang  Kemulan  yang  mana  kerusuhan-kerusuhan  yang  terjadi  diarahkan
kepada  orang-orang  Cina,  bahkan  yang  juga  anak  dan  istri  dari  panglima  Medang Kemulan.  Tidak  berhenti  sampai  di  situ,  dengan  lompatan  ruang-waktu  yang  cukup
jauh, bahkan Putri Cina juga dapat bercerita tentang pembantaian orang-orang Cina oleh Belanda  di  tahun  1740.  Bagi  Putri  Cina,  semua  darah  orang  Cina  yang  tertumpah  di
tanah Jawa ini aneh mengingat darah Cina yang mengalir di dalam diri di banyak raja di Jawa.  Lebih  jauh,  menurutnya  di  dalam  diri  orang-orang  Cina  tersebut  juga  mengalir
darah  biru  Jawa  karena  perkawinan  Jaka  Prabangkara,  anak  Prabu  Brawijaya,  dengan perempuan  Cina  yang  merupakan  adik  dari  si  Putri  Cina.  Karenanya,  ia  menganggap
bahwa ia bukanlah tamu melainkan juga seorang pribumi. Jadi, seperti apa sebenarnya wacana tentang Cina menurut Putri Cina? Mari kita mulai saja pembicaraan lebih dalam
tentang novel ini.
D.2. Putri Cina dan Identitas kultural Cina
D.2.a. Asal Muasal dan Kedekatan Darah
Di bagian awal novel ini, Putri Cina. yang diposisikan sebagai tokoh perwakilan orang-orang  Cina,  digambarkan  sebagai  orang  yang  hilang  identitasnya.  Ia  tidak  tahu
dari  mana  ia  berasal.  Ia  seperti  tercabut  dari  akarnya.  Meskipun  begitu,  anehnya,  ia menggambarkan  perasaan  ketercabutannya  melalui  sajak  seorang  penyair  Cina
T’ao Ch’ien yang tentu, di masa itu, sangat sedikit orang yang mengenal penyair tersebut di
luar  Cina.  Bukankah  itu  berarti  ia  sesungguhnya,  paling  tidak,  sedikit  mengetahui tentang  identitas  kebudayaannya?  Nanti  kegamangan  semacam  ini  akan  dibahas  lebih
lanjut. Yang pasti, ia “[k]atanya, ia berasal dari  Cina. Tapi ia tidak tahu sama sekali, apakah  dan  bagaimanakah  keadaan  di  tanah  leluhurnya  itu.  Dan  ke  sana,  sekalipun  ia
135
tak pernah”.
129
Dengan kata lain, kegamangan identitasnya terletak di titik bahwa ia tak tahu  kemana  harus  menyandarkan  identitasnya  karena  yang  ia  sebut  sebagai  ‘tanah
leluhur’ sudah tak dikenalnya.
Hal  pertama  yang  dipertanyakan  si  Putri  Cina  yang  hilang  ingatan  adalah identitas asalnya. Diceritakan ia memang berasal dari Cina karenanya ia disebut sebagai
Putri  Cina . Ia datang dari sebuah negeri  yang jauh yang kemudian menjadi ‘tamu’ di
tanah  orang  meskipun  sebagai  permaisuri  raja.  Ia  beranggapan  orang-orang  Cina  yang lain juga memiliki kondisi yang sama. Namun, ketika ia mendengar cerita tentang Jaka
Prabangkara yang memiliki dua istri asal Cina dan kemudian anak- anaknya ‘hijrah’ ke
Tanah Jawa, ia jadi beranggapan bahwa sesungguhnya orang-orang Cina yang datang ke Tanah Jawa adalah orang Jawa
juga. Dalam batinnya ia mengucap “[t]anah Jawa bukan hanya tempat  ia  dan kaumnya berlabuh dari pengembaraannya, tapi juga tempat  dari
mana ia berasal. ”
130
Di sini ia mulai berpikir bahwa Tanah Jawa juga dapat dikatakan sebagai kampung halamannya dan kaumnya.
Setelah  mendengar  cerita  tentang  Jaka  Prabangkara  ini  kegalauan  Putri  Cina bergeser  pada  kenyataan  bahwa  ia  menyaksikan  kaumnya  yang  selalu  dijadikan
kambing hitam atas segala kejadian buruk di Tanah Jawa dan karenanya kaumnya selalu diburu. Karenanya, wacana tentang kedekatan darah biologis ini kemudian diteruskan
ke cerita raja-raja di Jawa. Putri Cina berpikir jika kaumnya dibantai karena darah Cina- nya kenapa hal tersebut tak terjadi pada raja-raja di Jawa yang ia lahirkan dan tentunya
memiliki  darah  Cina.  Kenapa  mereka  tak  dianggap  Cina?  Melalui  wacana  kedekatan darah  ini,  Sindhunata  tampaknya  ingin  menunjukkan  betapa  absurdnya  pembantaian
berulang-ulang atas orang-orang Cina karena jika ditilik dari darah Cina yang mengalir di diri raja-raja di Jawa konsep pribumi-Cina sudah tak dapat lagi digunakan.
D.2.b. Referensi kultural
Kehidupan  Putri  Cina,  dengan  naik-turunnya,  diceritakan  dalam  sebuah  alur sejarah di Tanah Jawa dan dunia pewayangannya.  Ia diceritakan telah tinggal di tanah
129
Sindhunata, 2007, p. 9
130
Ibid., hal. 22
136
yang nantinya menjadi Indonesia sejak zaman kerajaan Hindu dan Buddha. Ia menjadi istri  ke  lima  Prabu  Brawijaya  yang  raja  Majapahit.  Ia  kemudian  melahirkan  anak
Raden  Patah  yang  di  kemudian  hari  membangun  kerajaan  Islam  di  Jawa,  Kerajaan Demak,  yang  mengikis  habis  kekuasaan  Kerajaan  Majapahit  sekaligus  menandai
dimulainya  kerajaan-kerajaan  Islam  di  Jawa.  Lantas,  dengan  bantuan  Sabdopalon- Nayagenggong,  ia  melihat  ke  belakang,  ke  dunia  yang  sekarang  disebut  dunia
pewayangan,  ke  sejarah  Perang  Kususetra.  Dengan  alur  cerita  yang  demikian, Sindhunata  ingin  mewacanakan  peran  orang-orang  Cina  di  Jawa  apalagi  ia
memposisikan Putri Cina sebagai saksi langsung. Dengan kenyataan seperti di atas, bagaimana ia menyikapi semua kejadian yang
ia saksikan dan rasakan? Seperti apa cara pandang dan referensi yang ada di kepalanya? Ternyata,  seberapapun  tercerabutnya  ia  dari  akarnya,  seperti  pengakuannya,  dan
seberapapun  dalamnya  ia  terlibat  dalam  pergolakan  di  Tanah  Jawa,  secara  kultural  ia masih seseorang yang baru saja datang dari Cina dan seperti tidak terpengaruhi dengan
segala  kejadian.  Putri  Cina  selalu  menghibur  diri  dan  melihat  hal-hal  yang  ada  di sekitarnya  dengan  referensi  kultural  yang  ia  bawa  dari  tanah  Cina.  Untuk
menggambarkan  perasaan  terdalamnya  tentang  kondisi  tercabut  dari  akarnya,  ia menggunakan  syair  dari  penyair  Cina
T’ao  Ch’ien.
131
Untuk  menggambarkan  dirinya yang  cantik  tapi  tak  berwajah  tak  beridentitas  ia  mengutip  syair  penyair  asal  Cina
lainnya,  Han  San.
132
Hal  serupa  juga  terjadi  ketika  si  Putri  Cina  mengkritik  kaumnya yang  di  Tanah  Jawa  hanya  peduli  dengn  harta  benda  semata.  Ia  mengambil  referensi
dari ajaran Tao milik Chuang Zhu.
133
Dengan  penggambaran  seperti  contoh-contoh  di  atas,  tentu  hal  tersebut merupakan  sebuah  pendekatan  yang  berbeda  ketika  si  Putri  Cina  melukiskan  betapa
dekatnya,  secara  biologis,  orang  Cina  dan  pribumi  melalui  cerita  Jaka  Prabangkara. Referensi-referensi kultural yang ada di diri Putri Cina yang keluar kala dirinya melihat
131
Ibid., hal. 9
132
Ibid., hal. 12-13
133
Ibid.,
137
banyak  hal  membuatnya  sama  sekali  bukan  ‘pribumi’.  Di  titik  tersebut  si  Putri  Cina malah  menjadi  orang  lain  di  antara  konflik
‘pribumi’.  ia  seperti  kehilangan keyakinannya  bahwa  ia  memang  pribumi  yang  tadinya  ia  miliki  saat  bercerita  tentang
Jaka  Prabangkara  dan  anak  keturunannya.  Nyatanya,  kutipan-kutipan  puisi  dari  negeri Cina di atas lantas menjadi semacam penghiburan atas kondisinya menyedihkan ketika
si  Putri  Cina  menghadapi  konflik-konflik  dimana  ia  menjadi  korbannya.  Puisi-puisi tersebut  menjadi  representasi  untuk  sebuah  tempat  dimana  ia  berasal  dan  diterima  apa
adanya.  Bagi  saya,  hal  tersebut  menunjukkan  bagaimana  sesungguhnya  ia  tetap menganggap  bahwa  Cina  lah  kampung  halamannya  dan  bukan  Jawa;  sebuah  hal  yang
berbeda  dengan  wacana  yang  dilontarkan  Putri  Cina  dengan  menggunakan  kisah  Jaka Prabangkara.
D.3. Putri Cina dan identitas sosial-ekonomi orang Cina
D.3.a. Putri Cina dan kedekatan dengan darah biru
Sebuah  hal  yang  menarik  untuk  dibahas  di  dalam  novel  ini  adalah  bagaimana sebenarnya posisi orang-orang Cina di latar novel Putri Cina sehingga membuat mereka
digambarkan sebagai korban di setiap konflik. Cerita-cerita di dalam Putri Cina adalah cerita-cerita  yang  berlatar  kerajaan-kerajaan  di  Jawa  dengan  hirarki  feodalnya.
Dimanakah  orang-orang  Cina  di  hirarki  tersebut?  Adakah  posisinya  dalam  hirarki masyarakat  feodal  tersebut  berpengaruh  terhadap  kondisi  mereka  yang  selalu  di-
kambinghitam-kan? Yang  pertama  dibahas  adalah  si  Putri  Cina  yang  istri  dari  beberapa  raja
keturunan  Majapahit.  Ia  datang  pertama  kali  ke  Tanah  Jawa,  dengan  perintah  dari Kaisar  Cina,  untuk  dijadikan  istri  ke  lima  Prabu  Brawijaya.  Kemudian,  karena
kecemburuan permaisuri Prabu Brawijaya, si Putri Cina dibuang dengan diberikan pada anak  Prabu  Brawijaya  yang  berkuasa  di  daerah  Palembang  tempat  ia  melahirkan  dua
orang anak yang nantinya meruntuhkan Majapahit. Yang kedua adalah kisah Giok Tien. Giok  Tien  adalah  istri  dari  Patih  Gurdo  Paksi  yang  merupakan  panglima  tertinggi  di
Negara  Pedang  Kemulan.  Di  dalam  Putri  Cina,  Pedang  Kemulan  diceritakan  sedang
138
mengalami  goncangan  yang  luar  biasa  karena  rakyat  menuntut  turunnya  sang  raja, Prabu  Amurco  Sabdo.  Kemarahan  rakyat  tersebut  kemudian  oleh  Tumenggung  Joyo
Sumengah  dan  Patih  Wrehonegoro  dialihkan  kepada  orang-orang  Cina  yang dianggapnya  merusak  kemakmuran  rakyat  Pedang  Kemulan.  Di  tengah-tengah
kekacauan  tersebut,  Giok  Tien  dan  kedua cici’
134
-nya,  Giok  Hwa  dan  Giok  Hong, menyaksikan bagaimana orang-orang Cina dikejar-kejar kemudian dibunuh bahkan ada
yang diperkosa terlebih dahulu. Ada  sebuah  kesamaan  yang  mencolok  pada  dua  karakter  utama  di  atas  terkat
dengan posisi di hirarki masyarakat Jawa. Keduanya, meskipun datang dari luar Tanah Jawa, memiliki posisi yang dihormati. Mereka bukanlah masyarakat biasa atau sekedar
pedagang namun merupakan bagian dari keluarga kerajaan. Mereka adalah darah biru. Si  Putri  Cina  adalah  istri  Prabu  Brawijaya,  seorang  raja  kerajaan  terbesar  di  masanya.
Walaupun  kenyataannya  ia  ‘dibuang’  namun  tetap  menjadi  bagian  dari  keluarga kerajaan  karena  tetap  jadi  istri  raja  dan  kemudian  jadi  ibu  dari  kerajaan  berikutnya
Demak. Sedangkan, di kasus Giok Tien, ia adalah istri dari seorang panglima tertinggi yang posisi memiliki daya tawar kuat di kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Kerajaan
Pedang  Kemulan.  Hal  tersebut  terlihat  ketika  terjadi  perdebatan  antara  Prabu  Amurco Sabdo  dan  penasehat-penasehatnya,  termasuk  Patih  Gurdo  Paksi,  guna  memutuskan
langkah-langkah  yang  harus  diambil  untuk  mengatasi  amarah  rakyat.  Artinya,  dengan kenyataan-kenyataan  di  atas,  orang-orang  Cina  di  Putri  Cina  datang  dan  masuk  ke
dalam lingkaran kekuasaan di Jawa. Mereka menjadi bagian dari kekuasaan tersebut.
D.3.b. Putri Cina dan pedagang-pedagang Cina
Dimanakah posisi orang-orang Cina lain selain kedua karakter utama di atas? Di dalam novel tersebut, orang-orang Cina selain keluarga kerajaan di atas tidak mendapat
penggambaran  mendalam.  Tidak  satu  pun  karakter  yang  di  dalam  secara  khusus. Tampaknya  Sindhunata  tidak  begitu  tertarik  membicarakan  masalah  ekonomi  orang-
orang  Cina  ini.  Akan  tetapi,  dari  informasi  yang  sedikit  tadi,  satu  hal  yang  dapat
134
Sebutan untuk kakak perempuan di antara orang Cina
139
dipastikan  adalah  orang-orang  Cina  yang  lain  ini  berprofesi  sebagai  pedagang  yang tersebar di wilayah-wilayah kerajaan-kerajaan di Jawa.
Lebih  jauh  mengenai  kaum  Cina  pedagang,  informasi-informasi,  dalam  bentuk narasi, yang ada disampaikan oleh si Putri Cina. Tentu saja, hal tersebut diikuti dengan
penilaian-penilaiannya  tentang  mereka  yang  pedagang  ini;  pujian  dan  cercaan  tentang mereka.  Di  satu  sisi,  sebagai  pedagang  mereka,  oleh  si  Putri  Cina,  dianggap  para
pekerja keras yang memiliki “[k]esungguhan, ketekunan, dan kerja keras, tak pantang menyerah”
135
, jadi “[t]ak mengherankan, di Tanah Jawa ini, banyaklah di antara mereka yang  menjadi  kaya  dengan  harta  berlimpah”.
136
Akan  tetapi,  si  Putri  Cina  tak sepenuhnya  bersimpati  pada  kaumnya  yang  pedagang  ini.  Baginya,  kelakuan  para
pedagang ini merupakan salah satu penyebab begitu dibencinya kaumnya secara umum di  Tanah  Jawa;  sebuah  hal  yang  tampak  dari  awal  novel.  Si  Putri  Cina  menganggap
kaumnya  “hanya  terjerumus  ke  dalam  nikmat-nikmat  benda-benda  duniawi,  tapi melupakan  yang  rohani.  Karena  itu  orang  Cina  hanya  mau  berdagang  dan  terus
berdagang…lalu  enggan  membagi  kekayaannya  terhadap  sesama”.
137
Baginya, kelakuan semacam itu dari kaumnya lah pemicu kekacauan yang ada selain politik dan
asal-usul yang selalu dipermasalahkan di Tanah Jawa. Lebih jauh, si Putri Cina berpikir bahwa kaumnya melupakan darah seni yang mengalir di darahnya yang diturunkan oleh
Jaka  Prabangkara  yang  pelukis  alam;  sebuah  hal  yang  makin  menjauhkan  dari  Tanah Jawa  yang  kampung  halamannya  juga.  Pada  kaumnya  yang  pedagang,  kesengsaraan
yang  menimpanya  ia  tautkan.  Walaupun  pada  kenyataannya,  kaumnya  yang pedaganglah  yang  menderita  lebih  banyak  dan  bukan  dirinya  yang  cenderung  aman
karena ‘darah biru’-nya. Dengan kata lain, si Putri Cina hanya menangisi kondisi yang ‘tak bersalah’-nya dan kemudian terkena imbas semuanya.
135
Ibid., hal. 75
136
Ibid.,
137
Ibid., hal. 75-76
140
D.4. Wacana masyarakat Cina sebagai korban yang mapan secara ekonomis
Hampir serupa dengan novel yang sebelumnya dibahas, wacana korban yang ada dalam  Putri  Cina  jauh  lebih  kental.  Jika  Ca  Bau  Kan  langsung  berupa  tanggapan  atas
penindasan  atas  masyarakat  Cina  yang  terjadi,  Putri  Cina  sekaligus  menggambarkan penindasan  yang  terjadi.  Selain  itu,  Putri  Cina  dikemas  melalui  nada  yang  lamentatif
dari sudut pandang tokoh-tokoh Cina-nya. Hal tersebut jelas membuat para pembacanya meletakkan masyarakat Cina sebagai korban. Lebih jauh, terdapat dua jenis penindasan
yang dimunculkan untuk memposisikan masyarakat Cina sebagai korban. Yang pertama adalah  penindasan  berupa  kekerasan  fisik:  pengejaran,  pembakaran  rumah,
pembunuhan,  pemerkosaan  dan  lain-lain.  Berikutnya  adalah  penindasan  berupa pelupaan  atas  jasa-jasa  masyarakat  cina  terhadap  pribumi  secara  kultural  khususnya.
Dua  jenis  penindasan  tersebutlah  yang  lantas  mengkonsepkan  jalan  keluar  yang didambakan oleh Sindhunata.
Jalan  keluar  yang  pertama  adalah  pengangkatan  bahwa  penindasan  atas masyarakat  Cina  nyata  adanya.
Dengan menggambarkan kengerian yang ‘sebenarnya’ Sindhunata berharap agar kejadian-kejadian tersebut tak terulang kembali. Kedua, yang
menjadi  pusat  perhatian  saya,  adalah  pengakuan  atas  kontribusi  masyarakat  Cina  di Indonesia.  Secara  politis,  Putri  Cina  menceritakan  sumbangsihnya  atas  berdirinya
kerajaan-kerajaan besar – salah satunya Demak – melalui penceritaan hidup tokoh Putri
Cina.  Secara  kultural,  Putri  Cina  memberi  ruang  pada  bentuk-bentuk  sumbangan kultural  masyarakat  Cina  pada  proses  pembentukan  kebudayaan  pribumi  seperti
makanan. Seperti halnya Ca Bau Kan, Putri Cina mengangkat hal-hal yang tadinya tak mendapat  ruang  di  masa  lalu.  Membuatnya  setara  dengan  kelompok  masyarakat  lain
adalah tujuan utamanya. Putri Cina ingin agar sumbangan kultural masyarakat Cina di Indonesia  diakui  sama  pentingnya  dengan  sumbangan  dari  kelompok-kelompok
masyarakat  lain.  Di  sini  kita  melihat  bagaimana  multikulturalisme  menjadi  pegangan lagi untuk menyelesaikan permasalahan terkait dengan masyarakat Cina di Indonesia.
Sayangnya ada sebuah hal lagi, yang mirip dengan yang muncul di Ca Bau Kan, yang luput dari perhatian Sindhunata, yaitu kenyataan bahwa tokoh-tokoh Cina yang ia
141
ajukan  sebagai  korban  tidaklah  semata-mata  korban.  Mereka  adalah  kelompok masyarakat  yang  memiliki  posisi  sosial,  politik  dan  ekonomis  yang  mapan  ketika
dibandingkan  dengan  pribumi.  Seperti  disebutkan  dalam  novel  ini,  orang-orang  Cina yang  menjadi  korban  adalah  para  pedagang  dan  keluarga  kerajaan.  Dua  golongan
tersebut jelas bukan golongan akar rumput. Kondisi yang tak setara di sisi tersebut tidak dibahas  lebih  lanjut  dan  hanya  disebutkan  dengan  lugunya.  Pertanyaan  seperti
“bagaimana  dengan  kesetaraan  ekonomis?”  tidak  muncul  di  kesadaran  naratif  novel Putri Cina.
                