Putri Cina : sebuah lamentasi atas posisi diuntungkan masyarakat Cina

133 Pada awalnya, Putri Cina adalah sebuah tulisan pengiring di sebuah pameran lukisan Hari Budiono yang hendak bercerita tentang orang-orang Cina di Indonesia. Kemudian, oleh Romo Sindhu tulisan tersebut dikembangkan menjadi sebuah novel dan diberi judul sama dengan tajuk pameran lukisan tadi: Putri Cina. Putri Cina terbit setahun setelah pameran tersebut. Novel tersebut terbit ketika tema tentang Cina di Indonesia telah lazim dibicarakan dan perayaan-perayaan masyarakat Cina telah di- ‘halal’-kan kembali. Dengan kondisi ini, tentu saja, Putri Cina memiliki kebebasan bertutur yang tidak dimiliki novel-novel yang terbit di masa Orba. Walaupun begitu, tetap ia memiliki batasannya seperti yang ditemukan novel-novel yang sebelumnya telah ditelaah lebih jauh di atas. Secara garis besar, Putri Cina bercerita tentang seorang perempuan asal Cina Daratan yang kemudian menjadi diperistri raja-raja di Jawa dan ikut terombang-ambing dalam gelombang politik di tanah Jawa. Ia menjadi tokoh utama yang mampu melintasi batas ruang dan waktu sehingga mengetahui masa lalu dan masa depan terkait dengan kondisi kehidupan orang-orang Cina di tanah Jawa. Namun, hal tersebut tidak terjadi begitu saja. Putri Cina digambarkan seperti orang yang kehilangan ingatan sehingga sebelum mengetahui segalanya ia merunut asal-muasal dirinya melalui cerita-cerita gabungan antara cerita-cerita kuno Cina dan Jawa. Putri Cina adalah anak perempuan dari keluarga miskin di sebuah desa bernama Yut-Wa-Hi. Ibunya bernama Kim Liyong. Ia sampai di tanah Jawa karena Kaisar Cina memintanya agar mau menjadi istri kelima Prabu Brawijaya. Namun, setelah beberapa waktu saat tengah mengandung, karena kecemburuan permaisuri Prabu Brawijaya Putri Cina diberikan pada anak Prabu Brawijaya yang memerintah di Palembang Arya Damar. Di Palembang, Putri Cina melahirkan anak Prabu Brawijaya bernama Raden Patah. Ia juga mendapat anak dari Arya Damar bernama Raden Kusen. Raden Patah dan Raden Kusen, di kemudian hari, memeluk Islam dan mendirikan Kerajaan Demak yang menggulingkan kekuasaan Kerajaan Majapahit. Kejadian penggulingan kekuasaan Majapahit tersebut adalah cerita pertama tentang orang Cina dalam pusaran konflik-konflik di tanah Jawa. Dengan bantuan tokoh 134 bernama Sabdopalon-Nayagenggong yang mampu memberi penglihatan ke masa depan, Putri Cina lantas menyaksikan naik dan runtuhnya kerajaan-kerajaan di Jawa. Cerita- cerita berlatar naik dan runtuhnya kerajaan-kerajaan di Jawa tersebut kemudian terus muncul hingga akhir novel. Satu hal yang selalu disaksikan oleh Putri Cina dalam konflik-konflik tadi adalah dikorbankannya orang-orang Cina. Salah satunya adalah kejadian di Pedang Kemulan yang mana kerusuhan-kerusuhan yang terjadi diarahkan kepada orang-orang Cina, bahkan yang juga anak dan istri dari panglima Medang Kemulan. Tidak berhenti sampai di situ, dengan lompatan ruang-waktu yang cukup jauh, bahkan Putri Cina juga dapat bercerita tentang pembantaian orang-orang Cina oleh Belanda di tahun 1740. Bagi Putri Cina, semua darah orang Cina yang tertumpah di tanah Jawa ini aneh mengingat darah Cina yang mengalir di dalam diri di banyak raja di Jawa. Lebih jauh, menurutnya di dalam diri orang-orang Cina tersebut juga mengalir darah biru Jawa karena perkawinan Jaka Prabangkara, anak Prabu Brawijaya, dengan perempuan Cina yang merupakan adik dari si Putri Cina. Karenanya, ia menganggap bahwa ia bukanlah tamu melainkan juga seorang pribumi. Jadi, seperti apa sebenarnya wacana tentang Cina menurut Putri Cina? Mari kita mulai saja pembicaraan lebih dalam tentang novel ini. D.2. Putri Cina dan Identitas kultural Cina D.2.a. Asal Muasal dan Kedekatan Darah Di bagian awal novel ini, Putri Cina. yang diposisikan sebagai tokoh perwakilan orang-orang Cina, digambarkan sebagai orang yang hilang identitasnya. Ia tidak tahu dari mana ia berasal. Ia seperti tercabut dari akarnya. Meskipun begitu, anehnya, ia menggambarkan perasaan ketercabutannya melalui sajak seorang penyair Cina T’ao Ch’ien yang tentu, di masa itu, sangat sedikit orang yang mengenal penyair tersebut di luar Cina. Bukankah itu berarti ia sesungguhnya, paling tidak, sedikit mengetahui tentang identitas kebudayaannya? Nanti kegamangan semacam ini akan dibahas lebih lanjut. Yang pasti, ia “[k]atanya, ia berasal dari Cina. Tapi ia tidak tahu sama sekali, apakah dan bagaimanakah keadaan di tanah leluhurnya itu. Dan ke sana, sekalipun ia 135 tak pernah”. 129 Dengan kata lain, kegamangan identitasnya terletak di titik bahwa ia tak tahu kemana harus menyandarkan identitasnya karena yang ia sebut sebagai ‘tanah leluhur’ sudah tak dikenalnya. Hal pertama yang dipertanyakan si Putri Cina yang hilang ingatan adalah identitas asalnya. Diceritakan ia memang berasal dari Cina karenanya ia disebut sebagai Putri Cina . Ia datang dari sebuah negeri yang jauh yang kemudian menjadi ‘tamu’ di tanah orang meskipun sebagai permaisuri raja. Ia beranggapan orang-orang Cina yang lain juga memiliki kondisi yang sama. Namun, ketika ia mendengar cerita tentang Jaka Prabangkara yang memiliki dua istri asal Cina dan kemudian anak- anaknya ‘hijrah’ ke Tanah Jawa, ia jadi beranggapan bahwa sesungguhnya orang-orang Cina yang datang ke Tanah Jawa adalah orang Jawa juga. Dalam batinnya ia mengucap “[t]anah Jawa bukan hanya tempat ia dan kaumnya berlabuh dari pengembaraannya, tapi juga tempat dari mana ia berasal. ” 130 Di sini ia mulai berpikir bahwa Tanah Jawa juga dapat dikatakan sebagai kampung halamannya dan kaumnya. Setelah mendengar cerita tentang Jaka Prabangkara ini kegalauan Putri Cina bergeser pada kenyataan bahwa ia menyaksikan kaumnya yang selalu dijadikan kambing hitam atas segala kejadian buruk di Tanah Jawa dan karenanya kaumnya selalu diburu. Karenanya, wacana tentang kedekatan darah biologis ini kemudian diteruskan ke cerita raja-raja di Jawa. Putri Cina berpikir jika kaumnya dibantai karena darah Cina- nya kenapa hal tersebut tak terjadi pada raja-raja di Jawa yang ia lahirkan dan tentunya memiliki darah Cina. Kenapa mereka tak dianggap Cina? Melalui wacana kedekatan darah ini, Sindhunata tampaknya ingin menunjukkan betapa absurdnya pembantaian berulang-ulang atas orang-orang Cina karena jika ditilik dari darah Cina yang mengalir di diri raja-raja di Jawa konsep pribumi-Cina sudah tak dapat lagi digunakan. D.2.b. Referensi kultural Kehidupan Putri Cina, dengan naik-turunnya, diceritakan dalam sebuah alur sejarah di Tanah Jawa dan dunia pewayangannya. Ia diceritakan telah tinggal di tanah 129 Sindhunata, 2007, p. 9 130 Ibid., hal. 22 136 yang nantinya menjadi Indonesia sejak zaman kerajaan Hindu dan Buddha. Ia menjadi istri ke lima Prabu Brawijaya yang raja Majapahit. Ia kemudian melahirkan anak Raden Patah yang di kemudian hari membangun kerajaan Islam di Jawa, Kerajaan Demak, yang mengikis habis kekuasaan Kerajaan Majapahit sekaligus menandai dimulainya kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Lantas, dengan bantuan Sabdopalon- Nayagenggong, ia melihat ke belakang, ke dunia yang sekarang disebut dunia pewayangan, ke sejarah Perang Kususetra. Dengan alur cerita yang demikian, Sindhunata ingin mewacanakan peran orang-orang Cina di Jawa apalagi ia memposisikan Putri Cina sebagai saksi langsung. Dengan kenyataan seperti di atas, bagaimana ia menyikapi semua kejadian yang ia saksikan dan rasakan? Seperti apa cara pandang dan referensi yang ada di kepalanya? Ternyata, seberapapun tercerabutnya ia dari akarnya, seperti pengakuannya, dan seberapapun dalamnya ia terlibat dalam pergolakan di Tanah Jawa, secara kultural ia masih seseorang yang baru saja datang dari Cina dan seperti tidak terpengaruhi dengan segala kejadian. Putri Cina selalu menghibur diri dan melihat hal-hal yang ada di sekitarnya dengan referensi kultural yang ia bawa dari tanah Cina. Untuk menggambarkan perasaan terdalamnya tentang kondisi tercabut dari akarnya, ia menggunakan syair dari penyair Cina T’ao Ch’ien. 131 Untuk menggambarkan dirinya yang cantik tapi tak berwajah tak beridentitas ia mengutip syair penyair asal Cina lainnya, Han San. 132 Hal serupa juga terjadi ketika si Putri Cina mengkritik kaumnya yang di Tanah Jawa hanya peduli dengn harta benda semata. Ia mengambil referensi dari ajaran Tao milik Chuang Zhu. 133 Dengan penggambaran seperti contoh-contoh di atas, tentu hal tersebut merupakan sebuah pendekatan yang berbeda ketika si Putri Cina melukiskan betapa dekatnya, secara biologis, orang Cina dan pribumi melalui cerita Jaka Prabangkara. Referensi-referensi kultural yang ada di diri Putri Cina yang keluar kala dirinya melihat 131 Ibid., hal. 9 132 Ibid., hal. 12-13 133 Ibid., 137 banyak hal membuatnya sama sekali bukan ‘pribumi’. Di titik tersebut si Putri Cina malah menjadi orang lain di antara konflik ‘pribumi’. ia seperti kehilangan keyakinannya bahwa ia memang pribumi yang tadinya ia miliki saat bercerita tentang Jaka Prabangkara dan anak keturunannya. Nyatanya, kutipan-kutipan puisi dari negeri Cina di atas lantas menjadi semacam penghiburan atas kondisinya menyedihkan ketika si Putri Cina menghadapi konflik-konflik dimana ia menjadi korbannya. Puisi-puisi tersebut menjadi representasi untuk sebuah tempat dimana ia berasal dan diterima apa adanya. Bagi saya, hal tersebut menunjukkan bagaimana sesungguhnya ia tetap menganggap bahwa Cina lah kampung halamannya dan bukan Jawa; sebuah hal yang berbeda dengan wacana yang dilontarkan Putri Cina dengan menggunakan kisah Jaka Prabangkara. D.3. Putri Cina dan identitas sosial-ekonomi orang Cina D.3.a. Putri Cina dan kedekatan dengan darah biru Sebuah hal yang menarik untuk dibahas di dalam novel ini adalah bagaimana sebenarnya posisi orang-orang Cina di latar novel Putri Cina sehingga membuat mereka digambarkan sebagai korban di setiap konflik. Cerita-cerita di dalam Putri Cina adalah cerita-cerita yang berlatar kerajaan-kerajaan di Jawa dengan hirarki feodalnya. Dimanakah orang-orang Cina di hirarki tersebut? Adakah posisinya dalam hirarki masyarakat feodal tersebut berpengaruh terhadap kondisi mereka yang selalu di- kambinghitam-kan? Yang pertama dibahas adalah si Putri Cina yang istri dari beberapa raja keturunan Majapahit. Ia datang pertama kali ke Tanah Jawa, dengan perintah dari Kaisar Cina, untuk dijadikan istri ke lima Prabu Brawijaya. Kemudian, karena kecemburuan permaisuri Prabu Brawijaya, si Putri Cina dibuang dengan diberikan pada anak Prabu Brawijaya yang berkuasa di daerah Palembang tempat ia melahirkan dua orang anak yang nantinya meruntuhkan Majapahit. Yang kedua adalah kisah Giok Tien. Giok Tien adalah istri dari Patih Gurdo Paksi yang merupakan panglima tertinggi di Negara Pedang Kemulan. Di dalam Putri Cina, Pedang Kemulan diceritakan sedang 138 mengalami goncangan yang luar biasa karena rakyat menuntut turunnya sang raja, Prabu Amurco Sabdo. Kemarahan rakyat tersebut kemudian oleh Tumenggung Joyo Sumengah dan Patih Wrehonegoro dialihkan kepada orang-orang Cina yang dianggapnya merusak kemakmuran rakyat Pedang Kemulan. Di tengah-tengah kekacauan tersebut, Giok Tien dan kedua cici’ 134 -nya, Giok Hwa dan Giok Hong, menyaksikan bagaimana orang-orang Cina dikejar-kejar kemudian dibunuh bahkan ada yang diperkosa terlebih dahulu. Ada sebuah kesamaan yang mencolok pada dua karakter utama di atas terkat dengan posisi di hirarki masyarakat Jawa. Keduanya, meskipun datang dari luar Tanah Jawa, memiliki posisi yang dihormati. Mereka bukanlah masyarakat biasa atau sekedar pedagang namun merupakan bagian dari keluarga kerajaan. Mereka adalah darah biru. Si Putri Cina adalah istri Prabu Brawijaya, seorang raja kerajaan terbesar di masanya. Walaupun kenyataannya ia ‘dibuang’ namun tetap menjadi bagian dari keluarga kerajaan karena tetap jadi istri raja dan kemudian jadi ibu dari kerajaan berikutnya Demak. Sedangkan, di kasus Giok Tien, ia adalah istri dari seorang panglima tertinggi yang posisi memiliki daya tawar kuat di kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Kerajaan Pedang Kemulan. Hal tersebut terlihat ketika terjadi perdebatan antara Prabu Amurco Sabdo dan penasehat-penasehatnya, termasuk Patih Gurdo Paksi, guna memutuskan langkah-langkah yang harus diambil untuk mengatasi amarah rakyat. Artinya, dengan kenyataan-kenyataan di atas, orang-orang Cina di Putri Cina datang dan masuk ke dalam lingkaran kekuasaan di Jawa. Mereka menjadi bagian dari kekuasaan tersebut. D.3.b. Putri Cina dan pedagang-pedagang Cina Dimanakah posisi orang-orang Cina lain selain kedua karakter utama di atas? Di dalam novel tersebut, orang-orang Cina selain keluarga kerajaan di atas tidak mendapat penggambaran mendalam. Tidak satu pun karakter yang di dalam secara khusus. Tampaknya Sindhunata tidak begitu tertarik membicarakan masalah ekonomi orang- orang Cina ini. Akan tetapi, dari informasi yang sedikit tadi, satu hal yang dapat 134 Sebutan untuk kakak perempuan di antara orang Cina 139 dipastikan adalah orang-orang Cina yang lain ini berprofesi sebagai pedagang yang tersebar di wilayah-wilayah kerajaan-kerajaan di Jawa. Lebih jauh mengenai kaum Cina pedagang, informasi-informasi, dalam bentuk narasi, yang ada disampaikan oleh si Putri Cina. Tentu saja, hal tersebut diikuti dengan penilaian-penilaiannya tentang mereka yang pedagang ini; pujian dan cercaan tentang mereka. Di satu sisi, sebagai pedagang mereka, oleh si Putri Cina, dianggap para pekerja keras yang memiliki “[k]esungguhan, ketekunan, dan kerja keras, tak pantang menyerah” 135 , jadi “[t]ak mengherankan, di Tanah Jawa ini, banyaklah di antara mereka yang menjadi kaya dengan harta berlimpah”. 136 Akan tetapi, si Putri Cina tak sepenuhnya bersimpati pada kaumnya yang pedagang ini. Baginya, kelakuan para pedagang ini merupakan salah satu penyebab begitu dibencinya kaumnya secara umum di Tanah Jawa; sebuah hal yang tampak dari awal novel. Si Putri Cina menganggap kaumnya “hanya terjerumus ke dalam nikmat-nikmat benda-benda duniawi, tapi melupakan yang rohani. Karena itu orang Cina hanya mau berdagang dan terus berdagang…lalu enggan membagi kekayaannya terhadap sesama”. 137 Baginya, kelakuan semacam itu dari kaumnya lah pemicu kekacauan yang ada selain politik dan asal-usul yang selalu dipermasalahkan di Tanah Jawa. Lebih jauh, si Putri Cina berpikir bahwa kaumnya melupakan darah seni yang mengalir di darahnya yang diturunkan oleh Jaka Prabangkara yang pelukis alam; sebuah hal yang makin menjauhkan dari Tanah Jawa yang kampung halamannya juga. Pada kaumnya yang pedagang, kesengsaraan yang menimpanya ia tautkan. Walaupun pada kenyataannya, kaumnya yang pedaganglah yang menderita lebih banyak dan bukan dirinya yang cenderung aman karena ‘darah biru’-nya. Dengan kata lain, si Putri Cina hanya menangisi kondisi yang ‘tak bersalah’-nya dan kemudian terkena imbas semuanya. 135 Ibid., hal. 75 136 Ibid., 137 Ibid., hal. 75-76 140 D.4. Wacana masyarakat Cina sebagai korban yang mapan secara ekonomis Hampir serupa dengan novel yang sebelumnya dibahas, wacana korban yang ada dalam Putri Cina jauh lebih kental. Jika Ca Bau Kan langsung berupa tanggapan atas penindasan atas masyarakat Cina yang terjadi, Putri Cina sekaligus menggambarkan penindasan yang terjadi. Selain itu, Putri Cina dikemas melalui nada yang lamentatif dari sudut pandang tokoh-tokoh Cina-nya. Hal tersebut jelas membuat para pembacanya meletakkan masyarakat Cina sebagai korban. Lebih jauh, terdapat dua jenis penindasan yang dimunculkan untuk memposisikan masyarakat Cina sebagai korban. Yang pertama adalah penindasan berupa kekerasan fisik: pengejaran, pembakaran rumah, pembunuhan, pemerkosaan dan lain-lain. Berikutnya adalah penindasan berupa pelupaan atas jasa-jasa masyarakat cina terhadap pribumi secara kultural khususnya. Dua jenis penindasan tersebutlah yang lantas mengkonsepkan jalan keluar yang didambakan oleh Sindhunata. Jalan keluar yang pertama adalah pengangkatan bahwa penindasan atas masyarakat Cina nyata adanya. Dengan menggambarkan kengerian yang ‘sebenarnya’ Sindhunata berharap agar kejadian-kejadian tersebut tak terulang kembali. Kedua, yang menjadi pusat perhatian saya, adalah pengakuan atas kontribusi masyarakat Cina di Indonesia. Secara politis, Putri Cina menceritakan sumbangsihnya atas berdirinya kerajaan-kerajaan besar – salah satunya Demak – melalui penceritaan hidup tokoh Putri Cina. Secara kultural, Putri Cina memberi ruang pada bentuk-bentuk sumbangan kultural masyarakat Cina pada proses pembentukan kebudayaan pribumi seperti makanan. Seperti halnya Ca Bau Kan, Putri Cina mengangkat hal-hal yang tadinya tak mendapat ruang di masa lalu. Membuatnya setara dengan kelompok masyarakat lain adalah tujuan utamanya. Putri Cina ingin agar sumbangan kultural masyarakat Cina di Indonesia diakui sama pentingnya dengan sumbangan dari kelompok-kelompok masyarakat lain. Di sini kita melihat bagaimana multikulturalisme menjadi pegangan lagi untuk menyelesaikan permasalahan terkait dengan masyarakat Cina di Indonesia. Sayangnya ada sebuah hal lagi, yang mirip dengan yang muncul di Ca Bau Kan, yang luput dari perhatian Sindhunata, yaitu kenyataan bahwa tokoh-tokoh Cina yang ia 141 ajukan sebagai korban tidaklah semata-mata korban. Mereka adalah kelompok masyarakat yang memiliki posisi sosial, politik dan ekonomis yang mapan ketika dibandingkan dengan pribumi. Seperti disebutkan dalam novel ini, orang-orang Cina yang menjadi korban adalah para pedagang dan keluarga kerajaan. Dua golongan tersebut jelas bukan golongan akar rumput. Kondisi yang tak setara di sisi tersebut tidak dibahas lebih lanjut dan hanya disebutkan dengan lugunya. Pertanyaan seperti “bagaimana dengan kesetaraan ekonomis?” tidak muncul di kesadaran naratif novel Putri Cina.

E. Dimsum Terakhir: keCinaan dan keperempuanan

E.1. Dimsum terakhir: penulis keturunan Cina dan karyanya Dimsum Terakhir ditulis oleh seorang perempuan penulis keturunan Cina bernama Clara Ng. Clara yang lahir di Jakarta pada tahun 1973 adalah seorang penulis yang cukup produktif dengan karya-karya yang sering digolongkan sebagai fiksi populer meskipun saya tidak tahu benar standar-standar yang digunakan pada penggolongan tersebut. Di penelitian ini saya tidak mempermasalahkan hal tersebut karena yang menarik bagi saya adalah bahwa novel ini menceritakan kehidupan masyarakat Cina di Indonesia, khususnya Jakarta, dengan segudang masalahnya yang terkadang tak ada hubungan dengan keCinaan. Clara Ng sendiri tidak selalu menulis tema-tema yang berhubungan dengan keCinaan. Bahkan Dimsum Terakhir , novel ke tujuhnya, yang terbit tahun 2006, adalah novel pertamanya yang mengulik permasalahan Cina di Indonesia. Di novel- novel sebelumnya Clara tidak pernah, dengan rinci, menjabarkan latar budaya dan kesukuan tokoh-tokohnya. Tapi, di Dimsum Terakhir adat-istiadat orang-orang Cina di Indonesia digambarkan secara detil mulai dari makanan dan ritual-ritual keagamaannya meskipun latar tempatnya tak berbeda dengan novel-novelnya sebelumnya yang perkotaan. Tampaknya Clara tak mau melewatkan kebebasan berekspresi paska-Orba 142 bagi orang-orang Cina tanpa menyumbangkan sebuah karya yang bercerita tentang masyarakat Cina di Indonesia seperti halnya yang dilakukan penulis-penulis keturunan Cina yang lain: Lan Fang, Hanna Fransisca, Sindhunata dll. Dimsum Terakhir menceritakan tentang kehidupan sebuah keluarga Cina di kota besar Jakarta. Kepala keluarga bermarga Tan tersebut adalah Nung Tan Tjin Yung yang memiliki seorang istri bernama Anas. Keluarga tersebut memiliki empat orang anak perempuan kembar yang interval kelahirannya hanya dalam hitungan menit. Ke empat anak tersebut adalah Rosi Tan Mei Xi, yang petani mawar, Novera Tan Mei Mei, yang guru TK di Yogyakarta, Siska Tan Mei Xia, yang bekerja di sebuah perusahaan di Singapura, dan Indah Tan Mei Yi, yang penulis sekaligus wartawan. Cerita di novel ini dimulai ketika empat orang anak perempuan yang telah memiliki jalan hidup masing-masing tersebut harus berhadapan dengan kenyataan bahwa mereka adalah orang-orang dengan keluarga, adat-istiadat dan kebiasaan tertentu. Konflik- konflik yang terjadi bersumber dari tabrakan yang terjadi antara dunia empat perempuan tersebut dengan nilai-nilai yang mereka temui lagi di dalam keluarga inti mereka. Novel ini ditulis oleh seorang keturunan Cina dan berkisah tentang sebuah keluarga Cina. Sehingga, dapat dikatakan,ini adalah tulisan dengan tingkat pengalaman pribadi yang cukup mendalam. Permasalahannya, bagaimana si penulis menggambarkan keluarga yang mungkin memiliki kemiripan dengan latar belakang keluarganya sendiri? Masalah-masalah apakah yang dihadapi masyarakat Cina di Indonesia paska-Orba? Sebelum nantinya di bab berikutnya kita lebih jauh menyisir dampak asimilasi Orba dan multikulturalisme, pertanyaan-pertanyaan tersebut haruslah, terlebih dahulu, terjawab. E.2. Dimsum Terakhir: Identitas kultural Cina Indonesia di masa Reformasi E.2.a. Bahasa Seperti telah diulas di Bab II, semoga dengan mencukupi, bahwa segala hal yang berbau Cina disingkirkan selama masa Orba. Sebagai usaha untuk melawannya, di masa Reformasi hal-hal yang disingkirkan tadi coba diangkat kembali ke permukaan. Di sub-