Lucy Mei Ling dan Politik Asimilasi Orde baru
                                                                                113
satu dampaknya yang masih terasa hingga saat ini adalah politik SARA; sebuah politik yang  mengharamkan  segala  pembicaraan  yang  terkait  dengan  suku,  ras  dan  agama.
Pemerintah  Orba  secara  serius  mempopulerkan  pandangannya  dengan  membentuk serangkaian  birokrasi  rumit,  namun  efektif,  karena  hingga  menyentuh  atom-atom
elemen  masyarakat  Indonesia.  Maksudnya  tidak  lain  untuk  menghilangkan  elemen- elemen etnis, terutama Cina, di komunikasi keseharian masyarakat. Walhasil, ekspresi-
ekspresi kultural masyarakat Cina terpaksa berubah bentuk namun, sesungguhnya, tetap distinct
. Sebagai contoh, nama-nama masyarakat keturunan Cina, yang katanya telah di- Indonesia-kan, tetap terlihat, katakanlah, khas Cina.
Ketika pertama kali mendapatkan novel Lucy Mei Ling karya Motinggo Busye, yang  sebelumnya  belum  pernah  saya  dengar  karena  kalah  terkenal  dengan  karya-
karyanya yang lain seperti Malam Jahanam, saya cukup terkejut. Keterkejutan saya ini tentu  saja  terkait  dengan  judul  novel  ini  dan  masa  diterbitkannya  masa  yang  sedikit
disinggung di paragraf sebelumnya. Novel ini diterbitkan pada tahun 1977 yang mana, seperti banyak di buku-
buku yang dikutip di Bab II, merupakan masa ‘keemasan’ Orba. Akan  tetapi,  judul  novel  ini  dengan  jelas  menggunakan  nama  khas  etnis  yang  selama
masa Orba dianggap tidak ada. Bagi saya ini sebuah nilai tambah di sisi keberanian si penulis  untuk  mendobrak  zamannya  karena  karya  sastra  yang  bercerita  tentang  etnis
Cina hampir tidak ada. Kita mengetahui bahwa ada penulis-penulis dari kalangan etnis Cina seperti Marga T. yang cukup produktif, akan tetapi di karya-karyanya hampir tidak
muncul  tokoh-tokoh  dengan  penjelasan  latar  belakang  etnisnya.  Hal-hal  seperti  nama, agama,  adat-istiadat  yang  biasanya  dapat  menjadi  penanda  etnis  tertentu  selalu  absen.
Lantas,  bagaimana  dengan  karya  Motinggo  Busye  ini  yang  memakai  nama  yang,  saya yakin,  di  benak  orang  Indonesia,  merupakan  nama  dari  kalangan  etnis  Cina?  Sebelum
ke sana, berikut adalah ringkasan cerita novel Lucy Mei Ling. Lucy Mei Ling
bercerita tentang seorang dokter asal Indonesia bernama Sanjaya yang  dikirim  untuk  belajar  di  Taiwan  University.  Di  Taiwan,  ia  bertemu  dengan  dua
114
perempuan  yang,  kemudian,  dengan  keduanya,  dr.  Sanjaya  membentuk  sebuah hubungan  yang  rumit.  Perempuan  tersebut  adalah  Linda  Wu  dan  Lucy  Mei  Ling  yang
seorang mahasiswa di Taiwan University. Pada awalnya, dr. Sanjaya berkawan dengan dua orang Taiwan yaitu Linda Wu dan Lu Chen yang ternyata merupakan teman dekat
Lucy  Mei  Ling.  Oleh  Lu  Chen,  di  sebuah  permainan  kartu,  dr.  Sanjaya  diperkenalkan dengan Lucy Mei Ling dan ternyata momen tersebut adalah sebuah momen cinta-pada-
pandangan-pertama bagi kedua orang dari dua bangsa yang berbeda tersebut. Setelah perkenalan tersebut, hubungan antara dr. Sanjaya dengan Lucy Mei Ling
pun  berlanjut.  Keduanya  kemudian  lebih  sering  bertemu  dan,  pada  akhirnya, memutuskan  untuk  berhubungan  lebih  jauh.  Tantangan  pertama  hubungan  keduanya
datang  dari  Linda  Wu  yang  memang  menyukai  dr.  Sanjaya  apalagi  Linda  merasa ‘ditanggapi’  oleh  Sanjaya  karena  keduanya  pernah  berciuman.  Namun,  hal  tersebut
terjadi  jauh  sebelum  Sanjaya  berkenalan  dengan  Lucy.  Linda  memulai  serangannya pada  Lucy  dengan  fitnah-fitnah  yang  dilontarkan  atas  diri  Lucy.  Ia  memfitnah  Lucy
dengan mengatakan pada Sanjaya bahwa Luc y adalah seorang perempuan ‘gampangan’
yang telah dikenal karena banyak berhubungan badan dengan banyak laki-laki termasuk Lu Chen. Bahkan, ia mengatakan kalau Lucy mengidap penyakit kelamin. Akan tetapi,
fitnah-fitnah  tersebut  tidak  berhasil  mengubah  perasaan  Sanjaya  terhadap  Lucy. Tantangan  kedua  datang  dari  keluarga  Lucy.  Lu  Sheng  Lei,  papa  Lucy,  yang
mengetahui hubungan Lucy dengan Sanjaya dari Linda Wu, tidak menyetujui hubungan mereka apalagi  di kemudian hari ia mendengar  kabar dari  Lu Chen bahwa dokter dari
Indonesia tersebut pernah berhubungan dengan Linda Wu dan meninggalkannya begitu saja.  Namun  bukan  itu  saja  alasan  ketidaksetujuan  Lu  Sheng  Lei.  Alasan  utamanya
adalah  bahwa  Lu  Sheng  Lei  telah  menjodohkan  Lucy  dengan  anak  keluarga  Chiang: Chiang  Chou-pou.  Untuk  mencegah  hubungan  Sanjaya-Lucy  berjalan  lebih  jauh,  Lu
Sheng Lei memindahkan kuliah Lucy ke sebuah universitas seni yang berjarak jauh dari Taipei, tempat tinggal dan bertugasnya Sanjaya.
115
Melalui  segala  tantangan  yang  menghadang  sebelumnya,  Sanjaya  dan  Lucy dapat  bersatu  dan  membentuk  sebuah  keluarga.  Setelah  menikah  keduanya  tinggal  di
Indonesia.  Lucy  memilih  untuk  menjadi  warga  Negara  Indonesia.  Buah  hati  mereka satu-satunya lahir di Indonesia dan diberi nama Pauline. Akan tetapi pernikahan mereka
tak  berjalan  lama.  Telah  diketahui  sejak  awal  pertemuan  keduanya  bahwa  ada  sesuatu yang salah di dalam tubuh Lucy. Ia mengidap sebuah penyakit yang terkait dengan otak
dan  mata.  Pada  sebuah  pemeriksaan,  Sanjaya  mendapat  kabar  bahwa  hidup  Lucy  tak akan lama lagi. Mengetahui kabar yang mematahkan hatinya tersebut, Sanjaya memiliki
rencana lain. Di malam sebelum tanggal yang ditetapkan menjadi malam terakhir hidup Lucy, Sanjaya
– untuk menghindari kesedihan karena kehilangan Lucy – memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri dengan meminum racun sebelum tidur. Benar saja,
pada  hari  berikutnya,  Sanjaya  tak  pernah  bangun  dari  tidurnya.  Beberapa  saat  setelah mengetahui kematian suaminya, Lucy pun meninggal dunia seperti prediksi dokternya.
Bagaimana  cerita  yang  berlatar  sebagian  besar  di  Taiwan  ini  terkait  dengan kondisi  orang  Cina  di  Indonesia?  Apakah  Taiwan  digunakan  oleh  Motinggo  Busye
sebagai  simbol  untuk  menggambarkan  Indonesia?  Ataukah  Taiwan  dipilih  karena memiliki beberapa kemiripan dengan kondisi di Indonesia? Bagaimana perbedaan novel
Lucy  Mei  Ling dengan  DBD  yang  jarak  penerbitan  berjarak  puluhan  tahun  dengan
kondisi masyarakat  yang jauh berbeda? Seperti sebelumnya, pertanyaan-pertanyaan ini akan  dijawab  dengan  beberapa  sub-bab  yang  pembagiannya  berdasarkan  ranah  yang
muncul di dalam novel.
B.1. Lucy  Mei  Ling  sebagai  sebuah  usaha  menyelamatkan  identitas  kultural
masyarakat Cina dalam politik asimilasi B.1.a. Bahasa
Pada  masa  Orba  bahasa  Cina  dan  huruf  kanjinya  bukanlah  sesuatu  yang  dapat dengan mudah ditemui atau dipelajari bahkan di daerah pertokoan yang rata-rata dihuni
116
masyarakat Cina. Percakapan-percakapan berbahasa Cina hanya terjadi di ruang ruang- ruang privat  yang dibatasi oleh tembok rumah dan ditutup rapat-rapat bersama dengan
bentuk-bentuk kebudayaan mereka  yang lain. Bahkan, secara umum, berbicara tentang kebudayaan  daerah  apapun  mendapat  tantangannya  dengan  tidak  diperbolehkannya
segala  peredaran  wacana  berbau  SARA.  Kondisi  yang  menekan  bentuk-bentuk kebudayaan  Cina  tersebut  dipertahankan  oleh  Pemerintahan  Orba  sampai  akhir
masanya. Dengan  konteks  tersebut  tentu  membutuhkan  keberanian  tersendiri  untuk
menceritakan  hal-hal  yang  dianggap  tabu  oleh  penguasa  Orba.  Lucy  Mei  Ling mengambil  Taiwan,  sebuah  Negara  yang  bahasa  nasinalnya  adalah  bahasa  Mandarin,
sebagai  latarnya.  Mungkinkah  kemudian  novel  ini  menghindari  penggunaan  bahasa Mandarin,  walaupun  hanya  sekilas,  di  dalam  narasinya?  Tentu  tidak.  Ini  bisa  jadi
langkah  menarik  yang  diambil  oleh  Motinggo  Busye.  Dengan  bangunan  latar sedemikian  rupa,  ia  kemudian  dapat,  bahkan  tak  terhindarkan,  menggunakan  bahasa
Mandarin.  Paling  tidak,  jika  ia  dapat  beradu  argumen  dengan  otoritas  Orba  mengenai penggunaan  bahasa  Mandarin  dalam  novelnya,  ia  dapat  menjawab  bahwa  hal  tersebut
merupakan  konsekuensi  logis  dari  narasi  yang  dibangunnya.  Meskipun  tidak  banyak bagian percakapan dalam bahasa Mandarin namun, bagi saya, Motinggo Busye berani
menampilkan  sesuatu  yang  dekat  sekali  dengan  klaim  ‘haram’  di  masa  penulisan novelnya.
Titik  paling  menarik  dari  munculnya  bahasa  Mandarin  adalah  mengungkap bahwa  orang  Cina  di  Indonesia  memiliki  latar  belakang  dan  akar  kebudayaannya
sendiri. Di masa kini, hal tersebut bukanlah rahasia dan bukanlah sebuah pengetahuan yang sulit didapat. Akan tetapi, di masa Orba, saya pikir tidak semua orang benar-benar
memahaminya  karena  telah  bertahun-tahun  orang-orang  tidak  melihat  bentuk-bentuk kebudayaan  tersebut  muncul  ke  permukaan.  Bagi  orang  pribumi,  terutama  yang  tidak
117
tinggal berdekatan dengan orang-orang Cina, tentu bentuk-bentuk kebudayaan tersebut bukan sesuatu yang familiar bahkan mungkin asing.
Lebih jauh, penggunaan  bahasa Mandarin di dalam  Lucy Mei Ling  tidak  hanya terbatas  pada  komunikasi  antar  orang  Taiwan  saja.  Dr.  Sanjaya  yang  dokter  asal
Indonesia juga acapkali terlibat dalam percakapan dalam bahasa Mandarin.  Salah satu contohnya  adalah  ketika  Linda  Wu  berbincang-bincang  dengan  Dr.  Sanjaya  tentang
Lucy, jauh sebelum keduanya terlibat cinta segitiga, yang ada di halaman 13,
“Hah, saya selalu segan”, kata Sanjaya. “Pukantang”, kata Linda mengganti bahasa Inggerisnya dengan bahas Tionghoa lagi,
supaya lebih akrab, dan dia lanjutkan: “Tepien c’ingtao-shehsia t’ant’an-pa …. Hmm, if you’re
in convenience, Dr. San”
“Saya memang segan untuk datang kerumahmu untuk ngobrol-ngobrol”, kata Dr. Sanjaya.
122
Terlihat  di  kutipan  percakapan  tersebut  kedua  berganti-ganti  bahasa  antara  bahasa Inggris dan bahasa Mandarin. Tampaknya Dr. Sanjaya juga secara aktif dan pasif dapat
berbahasa  Mandarin  karena  Linda  disebutkan  ingin  menggunakan  bahasa  Mandarin “supaya lebih akrab” jadi dalam kondisi yang tidak resmi keduanya memang terbiasa
bercakap-cakap menggunakan bahasa Mandarin. Posisi  Dr.  Sanjaya  ini,  di  konteks  Indonesia  Orba,  sangat  tidak  lazim.  Dengan
minimnya jumlah tempat kursus di masa itu, jelas tak banyak orang, baik yang pribumi maupun  non-pribumi,  dapat  berbahasa  Mandarin.  Dapat  dikatakan,  belajar  bahasa
Mandarin  bukan  hal  yang  menarik  untuk  dilakukan.  Jadi,  kemampuannya  berbahasa Mandarin  tentu  saja  patut  mendapat  perhatian  khusus.  Tokoh  Sanjaya  bisa  jadi  asal-
muasal  kecenderungan  sastra  Multikulturalis  di  masa  Reformasi.  Yang  saya  maksud adalah  kecenderungan  mengenal  dan  mengangkat  tema  yang  tadinya  dipinggirkan
dengan  tokoh-tokoh  di  dalamnya  yang  saling  berhubungan  dengan  latar  belakang kebudayaan masing-masing dan saling mengenal dan mempelajari satu sama lain seperti
122
Busye, 1977, p. 13
118
di empat karya dari masa Reformasi yang akan saya bahas di belakang. Mengenal dan menjadikannya  satu  identitas  dengan  dirinya  sebuah  kebudayaan  lain  adalah  semangat
yang  dibawa  di  tokoh  Dr.  Sanjaya  yang  gemanya  diteruskan  hingga  penulisan  karya sastra di Masa Reformasi.
B.1.b. Nama
Pada  awalnya,  ketika  menbaca  novel  ini  untuk  pertama  kalinya  dan  masih berada  di  lembar-lembar  awal,  saya  mengalami  kebingungan  denga  identitas,
menggunakan bahasa Orba, kesukuan Dr. Sanjaya. Nama Sanjaya di kepala saya adalah nama  seorang  keturunan  Cina  di  Indonesia  karena  nama  tersebut  dekat  dengan  nama-
nama  belakang  orang-orang  Cina  di  Indonesia  yang  lazim  ditemui  seperti  Wijaya, Chandra,  Tanuwijaya  dll.  Nama-nama  tersebut  adalah  nama  hasil  perubahan  sesuai
dengan kebijakan penguasa Orba yang kebanyakan didapatkan karena kedekatan bunyi atau  makna  dengan  marga-marga  orang  Cina.  Sanjaya  bisa  jadi  merupakan  gubahan
baca:  pemaksaan  dari  nama  belakang  ‘San’.  Namun,  setelah  beberapa  lembar kemudian, saya salah.
Nama  orang  Cina  di  Kartu  Tanda  Penduduk-nya  adalah  urusan  yang  pelik. Mengidentifikasi  mereka  bukanlah  urusan  mudah  walaupun  di  kemudian  hari  nama-
nama  Jawa-nya  menjadi  mudah  dikenali.  Di  narasi  Lucy  Mei  Ling,  nama-nama  Cina, baik  yang  telah  mengadaptasi  nama  depan  Barat  maupun  yang  tidak  dan  masih
menggunakan  sistem  tiga  kata  atau  frasa,  dapat  dengan  mudah  ditemui.  Bagi  orang Indonesia, apalai di masa jayanya Orba, melihat nama belakang asli orang Cina adalah
sebuah  hal  yang  ‘mewah’  karena  sangat  jarang  ditemui  kecuali  mungkin  di  beberapa daerah di luar Jawa yang mana dulu di masa pemberlakuan kebijakan pergantian tidak
terawasi seketat di Jawa dan penduduk Cina-nya cukup banyak seperti di Pontianak atau Singkawang.  Dengan  nada  yang  sama  dengan  ketika  menceritakan  perihal  bahasa
Mandarin,  saya  katakan  bahwa  Motinggo  Busye  cukup  memiliki  nyali  untuk mencantumkan nama-nama tersebut.
119
Lebih  jauh,  di  titik  wacana,  saya  pikir  Motinggo  Busye  ingin  memperkarakan kembali  hak  atas  identitas  orang  Cina  di  Indonesia.  Saya  kira  ia  membayangkan  para
pembacanya  bertanya,  “kenapa  tidak  ada  nama  seperti  ‘Wu’  atau  ‘Mei  Ling’  di belakang  nama  orang-orang  Cina
di  Indonesia?” atau  “kenapa hampir tidak ada  yang bernama,  yang  di  telinga  orang  Indonesia  sangat  Cina
,  seperti  Lu  Sheng  Lei?” Meskipun, secara naratif, tidak se-vulgar itu namun saya pikir dengan serentetan nama
Cina tersebut, orang akan mulai berpikir. Namun, apabila dibandingkan dengan panjang novel  ini  dan  pendalaman  naratif  adegan-adegan  lain,  sesungguhnya  identitas  kultural
masyrakat Cina terbilang tidak mencolok. Sejauh  saya  membaca  Lucy  Mei  Ling  hanya  dua  sisi  kultural  yang  terlihat  dari
orang-orang  Taiwan  tersebut  seperti  yang  telah  saya  jabarkan  di  sub-bab  sebelumnya. Sisi-sisi lain seperti adat-istiadat dan kegiatan keagamaan sama sekali tidak terlihat. Dr.
Sanjaya tinggal di Taiwan dalam jangka waktu yang cukup lama terutama karena tentu proses belajar di sebuah universitas jelas memakan waktu. Saya pikir selama di Taiwan
ia  seharusnya  melewati  waktu-waktu  tertentu  di  setiap  tahun  yang  sakral  bagi  orang Cina di seluruh dunia seperti Imlek, Sincia Capgomeh dll. Ketiga hari besar yang saya
sebutkan  tersebut  adalah  hari-hari  besar  yang  terkait  dengan  penanggalan  dan  tahun baru  masyarakat  Cina.  Meskipun  Taiwan  secara  politik  berseberangan  dengan  RRC
namun  saya  yakin  Taiwan  masih  menggunakan  penanggalan  berbasis  peredaran  bulan tersebut.  Jadi,  tidak  mungkin  tidak  ada  perayaan  berskala  besar  di  Taiwan.  Sebagai
orang  berasal  dari  Indonesia,  cukup  logis  jika  saya  berpikir  ia  seharusnya  terkesima, atau  minimal  tertarik,  dengan  perayaan-perayaan  tersebut  karena  perayaan-perayaan
tersebut  tidak  mungkin  ditemuinya  di  Indonesia.  Jadi,  absennya  perayaan-perayaan tersebut dalam narasi Lucy Mei Ling cukup janggal.
Terkait  dengan  peribadatan  dan  adat-istiadat  lagi,  tidak  pernah  disinggung  tata cara  ibadah  Buddha  atau  Konghucu  sebagai  agama  yang  dianut  sebagian  besar  rakyat
Taiwan.  Padahal  ia  sehari-hari  bekerja  dan  berkomuninkasi  dengan  orang  Taiwan.
120
Bagaimana  mungkin  ia  tidak  pernah  melihat  orang-orang  tersebut  beribadah? Bagaimana mungkin ia tidak melihat kuil di sepanjang jalan yang ia lewati atau altar di
rumah-rumah  kolega  yang  ia  kunjungi?  Parahnya,  ketidakhadiran  sisi  kultural  orang Cina  ini  juga  ditemukan  di  narasi  pernikahan  Sanjaya  dan  Lucy  seperti  di  kutipan
berikut :
“[t]ak disangka, pesta itu benar-benar sengaja diberikan kesan luar biasa bagi sepasang pengantin, sehingga tujuh juru potret terkenal pun ikut mengabadikan pesta itu bagi album
kenangan dua insan yang kawin karena jalinan cinta.  O, perkawinan semacam ini memang perkawinan yang sangat abadi, perkawinan bagi dua makhluk yang saling mencintai yang kalau
perlu sehidup serta semati. ”
123
Terlihat  di  penjelasan  yang  cukup  singkat  tersebut  tentang  tata  cara  berdasar  adat- istiadat  Cina  yang  mereka  berdua  harus  lalui.  Tidak  ada  penjelasan  tentang  dekorasi
yang  biasanya  penuh  warna  merah  dan  emas.  Tidak  ada  upacara  sujud  memberii penghormatan  pada  orang  tua.  Padahal  acara  tersebut  digelar  di  Taipei.  Satu-satunya
penjelasan  di  sisi  kultural  adalah  baju  pengantin  yang  digunakan  Lucy  yang  penuh dengan simbol liong. Tapi, kemana atraksi liang-liong atau barongsai-nya?
Kasus  yang  lain  adalah  hal-hal  yang  terkait  dengan  kegiatan  sehari-hari  seperti makan.  Karena  novel  ini  berlatar  Taiwan  tentu  akan  dengan  mudah  ditemui  rumah-
rumah  makan  bergaya  Cina  dengan  segala  jenis  menu  dan  perangkat  makannya  yang khas  seperti  mangkuk  dan  sumpit.  Hal-hal  seperti  itu,  yang  saya  kira  seharusnya
menarik  perhatian  Dr.  Sanjaya,  terutama  di  awal-awal  kedatangannya  di  Taiwan, ternyata  tidak  muncul  di  narasi.  Padahal  banyak  bagian  di  dalam  novel  yang  bercerita
tentang makan malam yang melibatkan Dr. Sanjaya. Salah satunya adalah ajakan Lucy pada  Dr.  Sanjaya  bersama  beberapa  teman  lain  untuk  makan  malam  di  New  Angel
Hotel.  Di  sana  hanya  disebutkan  bahwa  rumah  makan  tersebut  memiliki  menu “makanan laut yang enak sekali”.
124
Tidak  diikuti  penjelasan  lain  seperti  ke-khas-an- nya  yang  membuatnya  tidak  ditemukan  di  manapun.  Padahal,  dalam  percakapan
123
Lih. Ibid., hal. 458-459
124
Lih. Ibid., hal. 16
121
tersebut Lucy membahasakan Dr. Sanjaya sebagai “tamu Indonesia kita” yang artinya Dr.  Sanjaya  dianggap  datang  dari  latar  belakang  yang  berbeda  dan  seharusnya  dibuat
menjadi tertarik dengan penjelasan lebih jauh tentang makanan laut tadi. Tapi ternyata tak satu pun dari ‘suguhan’ tersebut yang menarik Sanjaya.
Sedikitnya identifikasi kultural terhadap tokoh-tokoh Cina ini semakin tertutupi dengan  attitude  Lucy  setelah  menikah  dan  pindah  ke  Indonesia  bersama  suami  dan
anaknya. Di masa tersebut Lucy menjadi sangat nasionalis ke arah Indonesia dan orang tuanya  pun  mengamini  nasionalismenya  tersebut.  Identitasnya  di  Taiwan  seperti  tak
berbekas dan dengan semangatnya menerima ke-Indonesia-annya tanpa mempedulikan sejarah yang ia miliki di Taiwan. Menurut saya, dengan pendekatan naratif semacam itu
Lucy Mei Ling memiliki kecenderungan untuk percaya pada jalan keluar versi Orba atas
Chinesche  Kwestie yaitu  penghilangan  sejarah  dan  identitas  masyarakat  Cina  di
Indonesia supaya mereka dapat dengan segera di-Indonesia-kan di-pribumi-kan?.
B.2. Wacana Cina sebagai identitas ekonomi
Dengan  membaca  sub-bab  B.1.  dapat  disimpulkan  bahwa  identitas  orang  Cina tidak dibangun melalui pondasi kultural karena jelas wacananya tidak mencukupi. Jadi,
bagaimana  kemudian  Motinggo  Busye  membangun  identitas-identitas  Cina  yang  ada? Kemana  ia  beralih?  Mengingat  kuatnya  ideologi  Orba  yang  disokong  dengan  segala
macam program ‘cuci otak’-nya, tentu narasi novel Lucy Mei Ling beralih ke arah yang telah ditentukan oleh wacana Simbolik Orba di masa tersebut.
Tiga puluh dua tahun panjangnya Orde Baru adalah titik terendah sekaligus titik tertinggi  masyarakat  Cina  di  Indonesia.  Di  sisi  kultural,  mereka  memang  dihabisi
hingga titik terendahnya dengan segala bentuk pelarangan yang dipaksakan atas ekpresi- ekspresi kultural mereka. Akan tetapi, di sisi yang lain, orang-orang Cina dari golongan
tertentu  bukanlah  sosok-sosok  asing  di  dalam  mesin  Orba.  Suharto  membangun ekonomi  Indonesia  salah  satunya  dengan  memanfaatkan  sisa-sisa  kekuasaan  kolonial
122
yang  terpatri  kuat  di  dalam  tubuh  masyarakat  Cina.  Sejak  masa  kolonial,  orang-orang Cina  banyak  didatangkan  oleh  Belanda  untuk  memperluas  jaringan  kekuasaan
ekonominya . Sebelum masa Hindia-Belanda, ketika nusantara masih berada di tangan VOC, merambah bahan-bahan baku di pedalaman Kalimantan adalah sebuah pekerjaan
yang tak dapat dilakukan VOC sendiri. Dalam kerangka tersebutlah banyak orang Cina yang  kemudian  didatangkan  entah  sebagai  kuli  maupun  tauke.  Dengan  begitu,  sejak
awal, orang-orang Cina memang diposisikan untuk hanya berada di sisi ekonomi semata karenanya sebagian besar dari masyarakat ini mapan di sisi ekonomi. Itulah yang belum
terpecahkan  dan  dimanfaatkan  Orba.  Tidak  dapat  dipungkiri,  ketika  membangun ekonomi  Indonesia,  Suharto  memanfaatkan  jaringan  yang  dimiliki  orang-orang  Cina.
Lihat  saja  nama-nama  pengusaha  seperti  Ciputra  dan  Sudono  Salim  yang  tentu  tidak asing  dan  besar  usahanya  di  masa  Orba.  Posisi  kedua  pengusaha  tersebut  benar-benar
mirip  dengan  Tjong  A  Fie  di  masa  kolonial  yang  kemegahannya  warisan  masih  dapat kita  lihat  sampai  sekarang  di  pusat  kota  Medan.  Suharto  memperlakukan  masyarakat
Cina  tidak  ubahnya  seperti  VOC  memperlakukan  kuli-kuli  dan  tauke-tauke  Cina  yang diperas secara ekonomis.
Kembali ke Lucy Mei Ling, saya tidak memndapat informasi apakah Motinggo Busye sebelum, atau ketika, menulis novel ini melakukan perjalanan ke Taiwan. Tapi,
image dan wacana yang saya tangkap ketika membaca narasi tentang orang-orang Cina
di  sekitar  Sanjaya  adalah  image  dan  wacana  tentang  anggota    keluarga  Ciputra  atau Sudono  Salim.  Hampir  tidak  ada  kolega  Sanjaya  di  Taiwan  yang  bukan  bagian  dari
kaum  jetset.  Sanjaya  pertama  kali  melihat  Lucy  di  padang  golf  ketika  ia  bermain bersama Lu Chen dan Linda Wu. Mereka sering sekali menginap dan makan di tempat-
tempat yang, dilihat dari namanya, mewah. Mereka kerap kali berlibur ke tempat-tempat eksotis di pinggiran kota dan, di kasus Lucy, keluarganya telah berlangganan di sebuah
kondominium  di  tempat  wisata  Kaohsiung.  Lebih  jauh,  melihat  sekali  lagi  prosesi pernikahan Sanjaya dan Lucy, gayanya begitu khas keluarga Cina kaya di Indonesia. Di
satu  sisi,  tidak  ada  kegiatan  yang  berangkat  dari  adat-istiadat  dan  keagamaan  karena
123
dilarang. Namun, sisi lain, prosesinya dipenuhi dengan kemewahan seperti hadiah dari keluarga  Lucy,  yang  mengejutkan  Sanjaya,  yang  berbentuk  batangan  emas  bernilai
seratus juta dalam kurs rupiah. Hingga di titik ini, saya yakin Motinggo Busye memang mengambil image-image tersebut dari keluarga pengusaha Cina yang kaya di Indonesia.
Taiwan hanyalah latar yang memudahkannya bercerita tentang orang Cina. Cerita-cerita tentang orang-orang di sekitar Sanjaya adalah wacana-wacana yang
membangun  identitas  Cina  sebagai  sebuah  identitas  yang  ditentukan  oleh  wacana ekonomi.  Kenyataan  tersebut  adalah  jalan  alternatif  yang  ‘harus’  ditempuh  Motinggo
Busye untuk bercerita tentang masyarakat Cina. Jadi, seperti petunjuk Bapak Presiden, mengutip  kata  baca:  mantra  Harmoko,  orang  Cina  adalah  masyarakat  yang
identitasnya bergantung pada ranah ekonomi dengan segala ‘efek samping’-nya seperti keculasan, gila harta etcetera.
                