Lucy Mei Ling dan Politik Asimilasi Orde baru
113
satu dampaknya yang masih terasa hingga saat ini adalah politik SARA; sebuah politik yang mengharamkan segala pembicaraan yang terkait dengan suku, ras dan agama.
Pemerintah Orba secara serius mempopulerkan pandangannya dengan membentuk serangkaian birokrasi rumit, namun efektif, karena hingga menyentuh atom-atom
elemen masyarakat Indonesia. Maksudnya tidak lain untuk menghilangkan elemen- elemen etnis, terutama Cina, di komunikasi keseharian masyarakat. Walhasil, ekspresi-
ekspresi kultural masyarakat Cina terpaksa berubah bentuk namun, sesungguhnya, tetap distinct
. Sebagai contoh, nama-nama masyarakat keturunan Cina, yang katanya telah di- Indonesia-kan, tetap terlihat, katakanlah, khas Cina.
Ketika pertama kali mendapatkan novel Lucy Mei Ling karya Motinggo Busye, yang sebelumnya belum pernah saya dengar karena kalah terkenal dengan karya-
karyanya yang lain seperti Malam Jahanam, saya cukup terkejut. Keterkejutan saya ini tentu saja terkait dengan judul novel ini dan masa diterbitkannya masa yang sedikit
disinggung di paragraf sebelumnya. Novel ini diterbitkan pada tahun 1977 yang mana, seperti banyak di buku-
buku yang dikutip di Bab II, merupakan masa ‘keemasan’ Orba. Akan tetapi, judul novel ini dengan jelas menggunakan nama khas etnis yang selama
masa Orba dianggap tidak ada. Bagi saya ini sebuah nilai tambah di sisi keberanian si penulis untuk mendobrak zamannya karena karya sastra yang bercerita tentang etnis
Cina hampir tidak ada. Kita mengetahui bahwa ada penulis-penulis dari kalangan etnis Cina seperti Marga T. yang cukup produktif, akan tetapi di karya-karyanya hampir tidak
muncul tokoh-tokoh dengan penjelasan latar belakang etnisnya. Hal-hal seperti nama, agama, adat-istiadat yang biasanya dapat menjadi penanda etnis tertentu selalu absen.
Lantas, bagaimana dengan karya Motinggo Busye ini yang memakai nama yang, saya yakin, di benak orang Indonesia, merupakan nama dari kalangan etnis Cina? Sebelum
ke sana, berikut adalah ringkasan cerita novel Lucy Mei Ling. Lucy Mei Ling
bercerita tentang seorang dokter asal Indonesia bernama Sanjaya yang dikirim untuk belajar di Taiwan University. Di Taiwan, ia bertemu dengan dua
114
perempuan yang, kemudian, dengan keduanya, dr. Sanjaya membentuk sebuah hubungan yang rumit. Perempuan tersebut adalah Linda Wu dan Lucy Mei Ling yang
seorang mahasiswa di Taiwan University. Pada awalnya, dr. Sanjaya berkawan dengan dua orang Taiwan yaitu Linda Wu dan Lu Chen yang ternyata merupakan teman dekat
Lucy Mei Ling. Oleh Lu Chen, di sebuah permainan kartu, dr. Sanjaya diperkenalkan dengan Lucy Mei Ling dan ternyata momen tersebut adalah sebuah momen cinta-pada-
pandangan-pertama bagi kedua orang dari dua bangsa yang berbeda tersebut. Setelah perkenalan tersebut, hubungan antara dr. Sanjaya dengan Lucy Mei Ling
pun berlanjut. Keduanya kemudian lebih sering bertemu dan, pada akhirnya, memutuskan untuk berhubungan lebih jauh. Tantangan pertama hubungan keduanya
datang dari Linda Wu yang memang menyukai dr. Sanjaya apalagi Linda merasa ‘ditanggapi’ oleh Sanjaya karena keduanya pernah berciuman. Namun, hal tersebut
terjadi jauh sebelum Sanjaya berkenalan dengan Lucy. Linda memulai serangannya pada Lucy dengan fitnah-fitnah yang dilontarkan atas diri Lucy. Ia memfitnah Lucy
dengan mengatakan pada Sanjaya bahwa Luc y adalah seorang perempuan ‘gampangan’
yang telah dikenal karena banyak berhubungan badan dengan banyak laki-laki termasuk Lu Chen. Bahkan, ia mengatakan kalau Lucy mengidap penyakit kelamin. Akan tetapi,
fitnah-fitnah tersebut tidak berhasil mengubah perasaan Sanjaya terhadap Lucy. Tantangan kedua datang dari keluarga Lucy. Lu Sheng Lei, papa Lucy, yang
mengetahui hubungan Lucy dengan Sanjaya dari Linda Wu, tidak menyetujui hubungan mereka apalagi di kemudian hari ia mendengar kabar dari Lu Chen bahwa dokter dari
Indonesia tersebut pernah berhubungan dengan Linda Wu dan meninggalkannya begitu saja. Namun bukan itu saja alasan ketidaksetujuan Lu Sheng Lei. Alasan utamanya
adalah bahwa Lu Sheng Lei telah menjodohkan Lucy dengan anak keluarga Chiang: Chiang Chou-pou. Untuk mencegah hubungan Sanjaya-Lucy berjalan lebih jauh, Lu
Sheng Lei memindahkan kuliah Lucy ke sebuah universitas seni yang berjarak jauh dari Taipei, tempat tinggal dan bertugasnya Sanjaya.
115
Melalui segala tantangan yang menghadang sebelumnya, Sanjaya dan Lucy dapat bersatu dan membentuk sebuah keluarga. Setelah menikah keduanya tinggal di
Indonesia. Lucy memilih untuk menjadi warga Negara Indonesia. Buah hati mereka satu-satunya lahir di Indonesia dan diberi nama Pauline. Akan tetapi pernikahan mereka
tak berjalan lama. Telah diketahui sejak awal pertemuan keduanya bahwa ada sesuatu yang salah di dalam tubuh Lucy. Ia mengidap sebuah penyakit yang terkait dengan otak
dan mata. Pada sebuah pemeriksaan, Sanjaya mendapat kabar bahwa hidup Lucy tak akan lama lagi. Mengetahui kabar yang mematahkan hatinya tersebut, Sanjaya memiliki
rencana lain. Di malam sebelum tanggal yang ditetapkan menjadi malam terakhir hidup Lucy, Sanjaya
– untuk menghindari kesedihan karena kehilangan Lucy – memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri dengan meminum racun sebelum tidur. Benar saja,
pada hari berikutnya, Sanjaya tak pernah bangun dari tidurnya. Beberapa saat setelah mengetahui kematian suaminya, Lucy pun meninggal dunia seperti prediksi dokternya.
Bagaimana cerita yang berlatar sebagian besar di Taiwan ini terkait dengan kondisi orang Cina di Indonesia? Apakah Taiwan digunakan oleh Motinggo Busye
sebagai simbol untuk menggambarkan Indonesia? Ataukah Taiwan dipilih karena memiliki beberapa kemiripan dengan kondisi di Indonesia? Bagaimana perbedaan novel
Lucy Mei Ling dengan DBD yang jarak penerbitan berjarak puluhan tahun dengan
kondisi masyarakat yang jauh berbeda? Seperti sebelumnya, pertanyaan-pertanyaan ini akan dijawab dengan beberapa sub-bab yang pembagiannya berdasarkan ranah yang
muncul di dalam novel.
B.1. Lucy Mei Ling sebagai sebuah usaha menyelamatkan identitas kultural
masyarakat Cina dalam politik asimilasi B.1.a. Bahasa
Pada masa Orba bahasa Cina dan huruf kanjinya bukanlah sesuatu yang dapat dengan mudah ditemui atau dipelajari bahkan di daerah pertokoan yang rata-rata dihuni
116
masyarakat Cina. Percakapan-percakapan berbahasa Cina hanya terjadi di ruang ruang- ruang privat yang dibatasi oleh tembok rumah dan ditutup rapat-rapat bersama dengan
bentuk-bentuk kebudayaan mereka yang lain. Bahkan, secara umum, berbicara tentang kebudayaan daerah apapun mendapat tantangannya dengan tidak diperbolehkannya
segala peredaran wacana berbau SARA. Kondisi yang menekan bentuk-bentuk kebudayaan Cina tersebut dipertahankan oleh Pemerintahan Orba sampai akhir
masanya. Dengan konteks tersebut tentu membutuhkan keberanian tersendiri untuk
menceritakan hal-hal yang dianggap tabu oleh penguasa Orba. Lucy Mei Ling mengambil Taiwan, sebuah Negara yang bahasa nasinalnya adalah bahasa Mandarin,
sebagai latarnya. Mungkinkah kemudian novel ini menghindari penggunaan bahasa Mandarin, walaupun hanya sekilas, di dalam narasinya? Tentu tidak. Ini bisa jadi
langkah menarik yang diambil oleh Motinggo Busye. Dengan bangunan latar sedemikian rupa, ia kemudian dapat, bahkan tak terhindarkan, menggunakan bahasa
Mandarin. Paling tidak, jika ia dapat beradu argumen dengan otoritas Orba mengenai penggunaan bahasa Mandarin dalam novelnya, ia dapat menjawab bahwa hal tersebut
merupakan konsekuensi logis dari narasi yang dibangunnya. Meskipun tidak banyak bagian percakapan dalam bahasa Mandarin namun, bagi saya, Motinggo Busye berani
menampilkan sesuatu yang dekat sekali dengan klaim ‘haram’ di masa penulisan novelnya.
Titik paling menarik dari munculnya bahasa Mandarin adalah mengungkap bahwa orang Cina di Indonesia memiliki latar belakang dan akar kebudayaannya
sendiri. Di masa kini, hal tersebut bukanlah rahasia dan bukanlah sebuah pengetahuan yang sulit didapat. Akan tetapi, di masa Orba, saya pikir tidak semua orang benar-benar
memahaminya karena telah bertahun-tahun orang-orang tidak melihat bentuk-bentuk kebudayaan tersebut muncul ke permukaan. Bagi orang pribumi, terutama yang tidak
117
tinggal berdekatan dengan orang-orang Cina, tentu bentuk-bentuk kebudayaan tersebut bukan sesuatu yang familiar bahkan mungkin asing.
Lebih jauh, penggunaan bahasa Mandarin di dalam Lucy Mei Ling tidak hanya terbatas pada komunikasi antar orang Taiwan saja. Dr. Sanjaya yang dokter asal
Indonesia juga acapkali terlibat dalam percakapan dalam bahasa Mandarin. Salah satu contohnya adalah ketika Linda Wu berbincang-bincang dengan Dr. Sanjaya tentang
Lucy, jauh sebelum keduanya terlibat cinta segitiga, yang ada di halaman 13,
“Hah, saya selalu segan”, kata Sanjaya. “Pukantang”, kata Linda mengganti bahasa Inggerisnya dengan bahas Tionghoa lagi,
supaya lebih akrab, dan dia lanjutkan: “Tepien c’ingtao-shehsia t’ant’an-pa …. Hmm, if you’re
in convenience, Dr. San”
“Saya memang segan untuk datang kerumahmu untuk ngobrol-ngobrol”, kata Dr. Sanjaya.
122
Terlihat di kutipan percakapan tersebut kedua berganti-ganti bahasa antara bahasa Inggris dan bahasa Mandarin. Tampaknya Dr. Sanjaya juga secara aktif dan pasif dapat
berbahasa Mandarin karena Linda disebutkan ingin menggunakan bahasa Mandarin “supaya lebih akrab” jadi dalam kondisi yang tidak resmi keduanya memang terbiasa
bercakap-cakap menggunakan bahasa Mandarin. Posisi Dr. Sanjaya ini, di konteks Indonesia Orba, sangat tidak lazim. Dengan
minimnya jumlah tempat kursus di masa itu, jelas tak banyak orang, baik yang pribumi maupun non-pribumi, dapat berbahasa Mandarin. Dapat dikatakan, belajar bahasa
Mandarin bukan hal yang menarik untuk dilakukan. Jadi, kemampuannya berbahasa Mandarin tentu saja patut mendapat perhatian khusus. Tokoh Sanjaya bisa jadi asal-
muasal kecenderungan sastra Multikulturalis di masa Reformasi. Yang saya maksud adalah kecenderungan mengenal dan mengangkat tema yang tadinya dipinggirkan
dengan tokoh-tokoh di dalamnya yang saling berhubungan dengan latar belakang kebudayaan masing-masing dan saling mengenal dan mempelajari satu sama lain seperti
122
Busye, 1977, p. 13
118
di empat karya dari masa Reformasi yang akan saya bahas di belakang. Mengenal dan menjadikannya satu identitas dengan dirinya sebuah kebudayaan lain adalah semangat
yang dibawa di tokoh Dr. Sanjaya yang gemanya diteruskan hingga penulisan karya sastra di Masa Reformasi.
B.1.b. Nama
Pada awalnya, ketika menbaca novel ini untuk pertama kalinya dan masih berada di lembar-lembar awal, saya mengalami kebingungan denga identitas,
menggunakan bahasa Orba, kesukuan Dr. Sanjaya. Nama Sanjaya di kepala saya adalah nama seorang keturunan Cina di Indonesia karena nama tersebut dekat dengan nama-
nama belakang orang-orang Cina di Indonesia yang lazim ditemui seperti Wijaya, Chandra, Tanuwijaya dll. Nama-nama tersebut adalah nama hasil perubahan sesuai
dengan kebijakan penguasa Orba yang kebanyakan didapatkan karena kedekatan bunyi atau makna dengan marga-marga orang Cina. Sanjaya bisa jadi merupakan gubahan
baca: pemaksaan dari nama belakang ‘San’. Namun, setelah beberapa lembar kemudian, saya salah.
Nama orang Cina di Kartu Tanda Penduduk-nya adalah urusan yang pelik. Mengidentifikasi mereka bukanlah urusan mudah walaupun di kemudian hari nama-
nama Jawa-nya menjadi mudah dikenali. Di narasi Lucy Mei Ling, nama-nama Cina, baik yang telah mengadaptasi nama depan Barat maupun yang tidak dan masih
menggunakan sistem tiga kata atau frasa, dapat dengan mudah ditemui. Bagi orang Indonesia, apalai di masa jayanya Orba, melihat nama belakang asli orang Cina adalah
sebuah hal yang ‘mewah’ karena sangat jarang ditemui kecuali mungkin di beberapa daerah di luar Jawa yang mana dulu di masa pemberlakuan kebijakan pergantian tidak
terawasi seketat di Jawa dan penduduk Cina-nya cukup banyak seperti di Pontianak atau Singkawang. Dengan nada yang sama dengan ketika menceritakan perihal bahasa
Mandarin, saya katakan bahwa Motinggo Busye cukup memiliki nyali untuk mencantumkan nama-nama tersebut.
119
Lebih jauh, di titik wacana, saya pikir Motinggo Busye ingin memperkarakan kembali hak atas identitas orang Cina di Indonesia. Saya kira ia membayangkan para
pembacanya bertanya, “kenapa tidak ada nama seperti ‘Wu’ atau ‘Mei Ling’ di belakang nama orang-orang Cina
di Indonesia?” atau “kenapa hampir tidak ada yang bernama, yang di telinga orang Indonesia sangat Cina
, seperti Lu Sheng Lei?” Meskipun, secara naratif, tidak se-vulgar itu namun saya pikir dengan serentetan nama
Cina tersebut, orang akan mulai berpikir. Namun, apabila dibandingkan dengan panjang novel ini dan pendalaman naratif adegan-adegan lain, sesungguhnya identitas kultural
masyrakat Cina terbilang tidak mencolok. Sejauh saya membaca Lucy Mei Ling hanya dua sisi kultural yang terlihat dari
orang-orang Taiwan tersebut seperti yang telah saya jabarkan di sub-bab sebelumnya. Sisi-sisi lain seperti adat-istiadat dan kegiatan keagamaan sama sekali tidak terlihat. Dr.
Sanjaya tinggal di Taiwan dalam jangka waktu yang cukup lama terutama karena tentu proses belajar di sebuah universitas jelas memakan waktu. Saya pikir selama di Taiwan
ia seharusnya melewati waktu-waktu tertentu di setiap tahun yang sakral bagi orang Cina di seluruh dunia seperti Imlek, Sincia Capgomeh dll. Ketiga hari besar yang saya
sebutkan tersebut adalah hari-hari besar yang terkait dengan penanggalan dan tahun baru masyarakat Cina. Meskipun Taiwan secara politik berseberangan dengan RRC
namun saya yakin Taiwan masih menggunakan penanggalan berbasis peredaran bulan tersebut. Jadi, tidak mungkin tidak ada perayaan berskala besar di Taiwan. Sebagai
orang berasal dari Indonesia, cukup logis jika saya berpikir ia seharusnya terkesima, atau minimal tertarik, dengan perayaan-perayaan tersebut karena perayaan-perayaan
tersebut tidak mungkin ditemuinya di Indonesia. Jadi, absennya perayaan-perayaan tersebut dalam narasi Lucy Mei Ling cukup janggal.
Terkait dengan peribadatan dan adat-istiadat lagi, tidak pernah disinggung tata cara ibadah Buddha atau Konghucu sebagai agama yang dianut sebagian besar rakyat
Taiwan. Padahal ia sehari-hari bekerja dan berkomuninkasi dengan orang Taiwan.
120
Bagaimana mungkin ia tidak pernah melihat orang-orang tersebut beribadah? Bagaimana mungkin ia tidak melihat kuil di sepanjang jalan yang ia lewati atau altar di
rumah-rumah kolega yang ia kunjungi? Parahnya, ketidakhadiran sisi kultural orang Cina ini juga ditemukan di narasi pernikahan Sanjaya dan Lucy seperti di kutipan
berikut :
“[t]ak disangka, pesta itu benar-benar sengaja diberikan kesan luar biasa bagi sepasang pengantin, sehingga tujuh juru potret terkenal pun ikut mengabadikan pesta itu bagi album
kenangan dua insan yang kawin karena jalinan cinta. O, perkawinan semacam ini memang perkawinan yang sangat abadi, perkawinan bagi dua makhluk yang saling mencintai yang kalau
perlu sehidup serta semati. ”
123
Terlihat di penjelasan yang cukup singkat tersebut tentang tata cara berdasar adat- istiadat Cina yang mereka berdua harus lalui. Tidak ada penjelasan tentang dekorasi
yang biasanya penuh warna merah dan emas. Tidak ada upacara sujud memberii penghormatan pada orang tua. Padahal acara tersebut digelar di Taipei. Satu-satunya
penjelasan di sisi kultural adalah baju pengantin yang digunakan Lucy yang penuh dengan simbol liong. Tapi, kemana atraksi liang-liong atau barongsai-nya?
Kasus yang lain adalah hal-hal yang terkait dengan kegiatan sehari-hari seperti makan. Karena novel ini berlatar Taiwan tentu akan dengan mudah ditemui rumah-
rumah makan bergaya Cina dengan segala jenis menu dan perangkat makannya yang khas seperti mangkuk dan sumpit. Hal-hal seperti itu, yang saya kira seharusnya
menarik perhatian Dr. Sanjaya, terutama di awal-awal kedatangannya di Taiwan, ternyata tidak muncul di narasi. Padahal banyak bagian di dalam novel yang bercerita
tentang makan malam yang melibatkan Dr. Sanjaya. Salah satunya adalah ajakan Lucy pada Dr. Sanjaya bersama beberapa teman lain untuk makan malam di New Angel
Hotel. Di sana hanya disebutkan bahwa rumah makan tersebut memiliki menu “makanan laut yang enak sekali”.
124
Tidak diikuti penjelasan lain seperti ke-khas-an- nya yang membuatnya tidak ditemukan di manapun. Padahal, dalam percakapan
123
Lih. Ibid., hal. 458-459
124
Lih. Ibid., hal. 16
121
tersebut Lucy membahasakan Dr. Sanjaya sebagai “tamu Indonesia kita” yang artinya Dr. Sanjaya dianggap datang dari latar belakang yang berbeda dan seharusnya dibuat
menjadi tertarik dengan penjelasan lebih jauh tentang makanan laut tadi. Tapi ternyata tak satu pun dari ‘suguhan’ tersebut yang menarik Sanjaya.
Sedikitnya identifikasi kultural terhadap tokoh-tokoh Cina ini semakin tertutupi dengan attitude Lucy setelah menikah dan pindah ke Indonesia bersama suami dan
anaknya. Di masa tersebut Lucy menjadi sangat nasionalis ke arah Indonesia dan orang tuanya pun mengamini nasionalismenya tersebut. Identitasnya di Taiwan seperti tak
berbekas dan dengan semangatnya menerima ke-Indonesia-annya tanpa mempedulikan sejarah yang ia miliki di Taiwan. Menurut saya, dengan pendekatan naratif semacam itu
Lucy Mei Ling memiliki kecenderungan untuk percaya pada jalan keluar versi Orba atas
Chinesche Kwestie yaitu penghilangan sejarah dan identitas masyarakat Cina di
Indonesia supaya mereka dapat dengan segera di-Indonesia-kan di-pribumi-kan?.
B.2. Wacana Cina sebagai identitas ekonomi
Dengan membaca sub-bab B.1. dapat disimpulkan bahwa identitas orang Cina tidak dibangun melalui pondasi kultural karena jelas wacananya tidak mencukupi. Jadi,
bagaimana kemudian Motinggo Busye membangun identitas-identitas Cina yang ada? Kemana ia beralih? Mengingat kuatnya ideologi Orba yang disokong dengan segala
macam program ‘cuci otak’-nya, tentu narasi novel Lucy Mei Ling beralih ke arah yang telah ditentukan oleh wacana Simbolik Orba di masa tersebut.
Tiga puluh dua tahun panjangnya Orde Baru adalah titik terendah sekaligus titik tertinggi masyarakat Cina di Indonesia. Di sisi kultural, mereka memang dihabisi
hingga titik terendahnya dengan segala bentuk pelarangan yang dipaksakan atas ekpresi- ekspresi kultural mereka. Akan tetapi, di sisi yang lain, orang-orang Cina dari golongan
tertentu bukanlah sosok-sosok asing di dalam mesin Orba. Suharto membangun ekonomi Indonesia salah satunya dengan memanfaatkan sisa-sisa kekuasaan kolonial
122
yang terpatri kuat di dalam tubuh masyarakat Cina. Sejak masa kolonial, orang-orang Cina banyak didatangkan oleh Belanda untuk memperluas jaringan kekuasaan
ekonominya . Sebelum masa Hindia-Belanda, ketika nusantara masih berada di tangan VOC, merambah bahan-bahan baku di pedalaman Kalimantan adalah sebuah pekerjaan
yang tak dapat dilakukan VOC sendiri. Dalam kerangka tersebutlah banyak orang Cina yang kemudian didatangkan entah sebagai kuli maupun tauke. Dengan begitu, sejak
awal, orang-orang Cina memang diposisikan untuk hanya berada di sisi ekonomi semata karenanya sebagian besar dari masyarakat ini mapan di sisi ekonomi. Itulah yang belum
terpecahkan dan dimanfaatkan Orba. Tidak dapat dipungkiri, ketika membangun ekonomi Indonesia, Suharto memanfaatkan jaringan yang dimiliki orang-orang Cina.
Lihat saja nama-nama pengusaha seperti Ciputra dan Sudono Salim yang tentu tidak asing dan besar usahanya di masa Orba. Posisi kedua pengusaha tersebut benar-benar
mirip dengan Tjong A Fie di masa kolonial yang kemegahannya warisan masih dapat kita lihat sampai sekarang di pusat kota Medan. Suharto memperlakukan masyarakat
Cina tidak ubahnya seperti VOC memperlakukan kuli-kuli dan tauke-tauke Cina yang diperas secara ekonomis.
Kembali ke Lucy Mei Ling, saya tidak memndapat informasi apakah Motinggo Busye sebelum, atau ketika, menulis novel ini melakukan perjalanan ke Taiwan. Tapi,
image dan wacana yang saya tangkap ketika membaca narasi tentang orang-orang Cina
di sekitar Sanjaya adalah image dan wacana tentang anggota keluarga Ciputra atau Sudono Salim. Hampir tidak ada kolega Sanjaya di Taiwan yang bukan bagian dari
kaum jetset. Sanjaya pertama kali melihat Lucy di padang golf ketika ia bermain bersama Lu Chen dan Linda Wu. Mereka sering sekali menginap dan makan di tempat-
tempat yang, dilihat dari namanya, mewah. Mereka kerap kali berlibur ke tempat-tempat eksotis di pinggiran kota dan, di kasus Lucy, keluarganya telah berlangganan di sebuah
kondominium di tempat wisata Kaohsiung. Lebih jauh, melihat sekali lagi prosesi pernikahan Sanjaya dan Lucy, gayanya begitu khas keluarga Cina kaya di Indonesia. Di
satu sisi, tidak ada kegiatan yang berangkat dari adat-istiadat dan keagamaan karena
123
dilarang. Namun, sisi lain, prosesinya dipenuhi dengan kemewahan seperti hadiah dari keluarga Lucy, yang mengejutkan Sanjaya, yang berbentuk batangan emas bernilai
seratus juta dalam kurs rupiah. Hingga di titik ini, saya yakin Motinggo Busye memang mengambil image-image tersebut dari keluarga pengusaha Cina yang kaya di Indonesia.
Taiwan hanyalah latar yang memudahkannya bercerita tentang orang Cina. Cerita-cerita tentang orang-orang di sekitar Sanjaya adalah wacana-wacana yang
membangun identitas Cina sebagai sebuah identitas yang ditentukan oleh wacana ekonomi. Kenyataan tersebut adalah jalan alternatif yang ‘harus’ ditempuh Motinggo
Busye untuk bercerita tentang masyarakat Cina. Jadi, seperti petunjuk Bapak Presiden, mengutip kata baca: mantra Harmoko, orang Cina adalah masyarakat yang
identitasnya bergantung pada ranah ekonomi dengan segala ‘efek samping’-nya seperti keculasan, gila harta etcetera.