42
Pada bab sebelumnya, telah diuraikan mengenai perkawinan adat suku Dayak Tunjung di kabupaten Kutai Barat. Sedangkan pada bab ini, akan dibahas
tentang ajaran Gereja tentang kesetiaan dalam perkawinan Katolik.
A. Perkawinan Katolik
1. Hakikat Perkawinan Katolik
Hidup berkeluarga adalah rutinitas manusiawi. Melalui perkawinan seorang pria dan wanita membentuk hidup berkeluarga. Realitas manusia yang
disebut perkawinan itu direalisasikan dalam bentuk yang beragam. Mengingat beragamnya wujud perkawinan itu maka, C. Groenen mengusulkan definisi yang
sangat umum tentang perkawinan sebagai berikut: Perkawinan adalah hubungan yang kurang lebih mantap dan stabil antara
pria dan wanita entah seseorang atau beberapa orang justru sebagai pria dan wanita, jadi hubungan seksual, yang oleh masyarakat yang
bersangkutan kurang lebih luas sedikit banyak diatur, diakui dan dilegalisasikan Groenen, 1993: 19.
Definisi perkawinan tersebut sangat umum dan dimaksudkan untuk memberi tempat bagi berbagai macam kemungkinan bentuk hidup berkeluarga
dalam berbagai budaya terutama negara Indonesia yang multikultur. Menurut Bernard Cooke, dalam bentuk-bentuk lahiriah dan penampilan
sosialnya, perkawinan orang-orang kristen tidak terlalu mencolok berbeda dengan perkawinan-perkawinan lain dalam masyarakat. Orang kristen kawin menurut
poola-pola budaya di mana mereka hidup. Hanya saja yang membedakan adalah pemahaman orang risten tentang apa artinya dihubungkan satu sama lain “di
dalam Tuhan” Cooke, 1991:43. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
Landasan persekutuan hidup suami istri kita jumpai pertama dalam Kitab Suci. Dalam Perjanjian Lama, terutama dalam kitab Kejadian 2:24 disebutkan
bahwa wanita diciptakan karena pria, namun pria harus meninggalkan ibu bapanya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging
Konigsmann, 1987: 20. Segi persekutuan ini ditekankan kembali dalam Perjanjian Baru, terutama dalam Matius 19:1-12 dan Markus 10:1-12. Dalam
Matius 19:1-12, Yesus menegaskan bahwa dalam rencana Allah yang asli, penciptaan perkawinan bersifat tidak terceraikan dan tidak ada instansi manusia
manapun yang dapat mengakhiri persatuan Bergant Karis, 2002:62. Dalam Markus 10:1-12, inti pesan Yesus adalah tuntutan kepada suami
istri untuk hidup dalam kesetiaan serta persatuan selamanya sampai mati Bergant Karis, 2002:100. Maka dengan demikian dapat disimpulkan pandangan Yesus
mengenai hakikat perkawinan sebagai berikut: perkawinan ialah kesatuan erat antara seorang pria dan seorang wanita, yang dipersatukan oleh Allah sendiri,
sedemikian erat sehingga keduanya bukan lagi dua melainkan satu Hadiwardoyo, 1988: 22.
Persekutuan hidup pria dan wanita di dalam perkawinan itu kemudian direfleksikan lebih lanjut dalam ajaran Gereja. Pra Konsili Vatikan II, Gereja
masih memandang dimensi persekutuan hidup pria dan wanita dalam perkawinan lebih sebagai kontrak. Pandangan ini dapat di temukan dalam Kitab Hukum
Kanonik 1917, kanon 1012 Rubiyatmoko, 2011:18. Dengan kontrak dimaksudkan persetujuan antara dua atau beberapa orang yang saling mewajibkan
diri untuk memberikan, melakukan atau menghindarkan sesuatu. Perkawinan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
merupakan kontrak karena didirikan dengan adanya persetujuan bilateral antara seorang pria dan seorang wanita Rubiyatmoko, 2011:18.
Pandangan Kitab Hukum Kanonik 1917 yang terkesan statis ini mengalami perkembangan dengan munculnya berbagai refleksi teologis-sistematis
tentang perkawinan antara tahun 1950-1960 Rubiyatmoko, 2011:18. Ada pergeseran tekanan, di mana dimensi personal perkawinan mendapat tekanan
lebih dibandingkan dimensi institusional. Itulah sebabnya Gaudium et Spes no. 48 mengesampingkan istilah kontrak contractus dan mengangkat istilah perjanjian
atau kesepakatan feodus untuk mendefinisikan perkawinan: Persekutuan hidup suami istri yang mesra, yang diadakan oleh Sang
Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukumnya, dibangun oleh janji pernikahan atau persetujuan pribadi yang tak dapat ditarik kembali.
Demikian karena tindakan manusiawi, yakni saling menyerahkan diri dan saling menerima antara suami dan istri, timbullah suatu lembaga yang
mendapat keteguhannya, juga bagi masyarakat, berdasarkan ketetapan ilahi Gaudium et Spes 48.
Meskipun Konsili Vatikan II tidak menggunakan istilah kontrak, tetapi tidak menolak hakikat perkawinan sebagai suatu kontrak, karena di dalam
perjanjian perkawinan itu terdapat unsur-unsur kontraknya, yaitu forma kesepakatan pribadi antara seorang pria dan seorang wanita, objek kebersamaan
seumur hidup, dan akibat hak atas persetubuhan dan atas kebersamaan seumur hidup. Dalam Kitab Hukum Kanonik 1983 edisi revisi kanon 1055 kedua istilah
tersebut justru digunakan untuk menunjuk kedua pokok dari perkawinan, yaitu feodus dan sekaligus contractus Rubiyatmoko, 2011:19.
45
Elemen paling esensial yang membentuk perkawinan katolik adalah cinta suami istri Groenen, 1993: 321-325. Karena dasarnya adalah cinta suami istri,
maka hakikat perkawinan katolik adalah persekutuan antara dua pribadi, pria dan wanita, untuk saling mencintai dan saling menerima seumur hidup dengan
kewajiban-kewajiban dan hak-hak yang khas Gilarso, 2003:88. Dengan kata lain, perkawinan menunjuk relasi suami istri, yaitu persekutuan hidup dan cinta
yang mereka pilih secara bebas dan pemberian diri secara timbal balik. Persekutuan hidup itu berlangsung seumur hidup, sampai maut memisahkan.
2. Tujuan Perkawinan Katolik
Suami istri tidak hanya sekedar membentuk sebuah persekutuan hidup dalam ikatan perkawinan. Dalam Kitab Hukum Kanonik 1983 kanon 1055
disebutkan ada tiga tujuan utama perkawinan yaitu kebahagiaan atau kesejahteraan suami istri bonum coniugum serta keterbukaan pada kelahiran
bonum prolis dan pendidikan anak Rubiyatmoko, 2011:19. Secara singkat tujuan perkawinan katolik dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Kebahagiaan atau kesejahteraan suami istri bonum coniugum
Pasangan suami istri yang hendak menikah harus memiliki suatu kehendak bahwa mereka nantinya akan saling membahagiakan dan
menyejahterakan pasangannya. Kesejahteraan dan kebahagiaan suami istri menyangkut relasi interpersonal antara suami istri, persekutuan jiwa dan
hati untuk saling menolong dan membantu. Disini diandaikan ada cinta kasih suami istri. Cinta kasih suami sitri tentu tidak hanya berarti kasih
46
yang bersifat romantis. Kasih suami istri merupakan cinta kasih dasariah untuk mengupayakan apa yang baik bagi pasangannya Susianto Budi,
2015:8. b.
Keterbukaan pada kelahiran bonum prolis Kelahiran anak sebagai tujuan perkawinan tidak bermaksud bahwa
keluarga tersebut nantinya harus memiliki anak. Tetapi, yang dimaksud adalah suami istri tersebut memiliki keinginan atau intensi memiliki anak.
Jika nanti mereka tidak dikaruniai seorang anak, perkawinan mereka tetap sah Susianto Budi, 2015: 8. Yang terpenting adalah mereka mempunyai
keinginan untuk memiliki anak. Maka, jika pasangan suami istri secara jelas menolak kehadiran anak dalam perkawinannya, tentu saja ini
bertentangan dengan hakikat dan tujuan dari perkawinan katolik. c.
Pendidikan anak Pendidikan anak secara Katolik pertama-tama berarti bahwa anak
tersebut harus dibaptis secara Katolik. Kapan orangtua membaptis anaknya? Hukum Gereja mengatakan pada minggu-minggu pertama
setelah kelahiran. Setelah anak ini dibaptis, anak didampingi dan dididik sesuai dengan iman dan ajaran Katolik Susianto Budi, 2015: 9.
3. Ciri-ciri Hakiki Perkawinan Katolik
Dalam Kitab Hukum Kanonik 1983 kanon 1056 ciri-ciri hakiki proprietates perkawinan ialah unitas kesatuan dan indissolubilitas sifat tak-
dapat-diputuskan, yang dalam perkawinan Katolik memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen.
47
a. Unitas kesatuan
Menjadi suami dan istri berarti suatu perubahan total dalam kehidupan seseorang. Dalam Kej 2:24 dikatakan: “Seorang laki-laki
meninggalkan ayah ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging”. Hidup yang demikian bukan berarti hidup
dua orang bersama, tetapi hidup menjadi satu orang satu daging. Kesatuan atau unitas ini menunjuk unsur unitif dan monogam perkawinan.
Dengan unsur unitif dimaksudkan sebagai unsur yang menyatukan suami dan istri secara lahir dan batin. Sedangkankan, unsur monogam
menyatakan bahwa perkawinan hanya sah jika dilaksanakan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan Rubiyatmoko, 2011: 21.
Kesatuan dalam perkawinan bukan hanya soal “kontrak” atau janji saja. Kesatuan unitas dalam perkawinan menunjuk suatu kebaharuan
dalam hidup suami istri; mereka telah menjadi satu manusia baru. Suami hidup di dalam istrinya, dan istri hidup dalam suaminya. Kesatuan mereka
bukan hanya kesatuan badan, melainkan meliputi hidup seluruh hidup, jiwa dan raga. Oleh karena itu kesatuan suami istri juga menyangkut iman
mereka KWI, 1996:436.
b. Indissolubilitas tak-dapat-diputuskan
Cinta suami istri menuntut kesetiaan sejati dari keduanya. Ini merupakan konsekuensi dari pemberian diri yang dilakukan oleh suami
istri. Cinta menuntut kepastian, dan kepastian berarti memberikan jaminan bahwa cinta itu tidak hanya berlaku sementara atau hanya bersifat
48
percobaan belaka KGK 1646. Maka Kristus menegaskan, “Apa yang
telah dipersatukan A llah, janganlah diceraikan oleh manusia” Mrk 10:9.
Di sinilah letak ajaran Gereja, bahwa sifat tak-dapat-diputuskan perkawinan indissolubilitas mempunyai dasar dan kekuatannya
dalamKristus. Yesus Kristus sendiri menghendaki ikatan perkawinan yang bersifat tak-dapat-diputuskan itu Mat 19:6; Mrk 10:9.
c. Sakramental
Sakramen adalah
lambang atau
simbol kelihatan
yang menghadirkan karya keselamatan Allah. Perkawinan Katolik adalah
sakramen Susianto Budi, 2015:9. Artinya, perkawinan Katolik melambangkan serta menghadirkan Allah yang menyelamatkan. Paham
perkawinan sebagai sakramen berasal dari ajaran Santo Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Efesus 5:11-33. Dalam surat Efesus tersebut
dijelaskan bahwa hubungan cinta kasih suami istri bukan hanya luhur dan mulia tetapi bersifat ilahi, karena di kehendaki oleh Allah dan menunjuk
kepada kesatuan Kristus dengan Gereja-Nya Susianto Budi, 2015:9. Kristus adalah sumber rahmat yang istimewa. Ia tinggal bersama
suami istri dan memberi mereka kekuatan untuk memanggul salibnya dan mengikuti-Nya, untuk bangun lagi setelah jatuh, untuk saling mengampuni
dan menanggung beban, untuk merendahkan diri seorang kepada yang lain ‘di dalam takut akan Kristus’ Ef 5:21 dan saling mengasihi dalam cinta
yang mesra, subur dan adikodrati KWI, 2011: 9-10; KGK 1642. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
Berkat rahmat Sakramen Perkawinan, suami istri menerima rahmat istimewa yang membuat mereka lebih mampu menjadi suci dan mendidik
anak-anak secara Katolik Lumen Gentium 11. Berkat Sakramen Perkawinan,
karakter kesatuan
unitas dan
tak terputuskan
Indissolubilitas ikatan perkawinan mereka diperkuat dengan rahmat istimewa Kitab Hukum Kanonik 1983 kanon 1056; KGK 1641.
Dasar terdalam dari kesetiaan seumur hidup ini terletak pada kesetiaan Allah sendiri pada perjanjian-Nya, khususnya seperti nampak
dalam kesetiaan Kristus yang tak pernah pudar terhadap Gereja. Kesetiaan Kristus inilah yang diungkapkan melalui kesatuan hidup suami istri yang
diikat dalam sakramen perkawinan. Dengan kata lain, lewat sakramen perkawinan kesetiaan yang tak terceraikan antara suami istri mendapat
makna baru dan lebih mendalam.
B. Landasan Biblis tentang Kesetiaan Perkawinan Katolik