Beberapa Nilai Dasar Penggerak Kesetiaan dalam Perkawinan Katolik

57

D. Beberapa Nilai Dasar Penggerak Kesetiaan dalam Perkawinan Katolik

1. Membina Keadilan dan Cinta Kasih

Dalam lingkup perkawinan, cinta kasih suami istri adalah poros kehidupan keluarga Gilarso, 2003: 89. Hakekat cinta sejati suami istri adalah pengakuan akan eksistensi masing-masing, baik suami maupun istri. Suami istri yang saling mencintai akan menerima pasangannya dengan apa adanya baik itu kelemahan dan juga kekurangannya. Maka, suami istri yang baik dan yang saling mencintai tidak akan menuntut pasangannya hanya untuk dirinya sendiri saja, melainkan untuk membantu dan mendampingi pasangannya Gilarso, 2003: 97. Suami istri yang saling mencintai berlaku adil bila masing-masing tidak menuntut sesuatu yang melebihi batas kemampuan pasangannya, berlaku benar baginya, dan tidak melakukan hal-hal yang semena-mena terhadap pasangannya. Kedua nilai ini, cinta dan keadilan, menjadi penggerak dasar nilai kesetiaan dalam hidup perkawinan. Suami istri berlaku setia satu sama lain atas dasar persatuan cinta kasih mereka dan rasa keadilan satu terhadap yang lain. Karena itu, cinta sejati dan sikap adil suami istri itu perlu dipelihara dan dikembangkan menuju persatuan yang makin lama makin kuat dan erat Gilarso, 2003: 89.

2. Bijaksana dalam Keputusan dan Tindakan

Suami istri yang membangun kebersamaan hidup dalam ikatan perkawinan dipanggil menjadi orang yang bijaksana. Kebijaksanaan hidup suami istri itu dibangun atas dasar pengalaman hidup, di mana ditemukan kebijaksanaan Allah sendiri Darminta, 2006:16-17; Sir 1:1. Asal usul kebijaksanaan ialah pemberian 58 ilahi yang juga disebut ‘takut akan Allah’. Allah itu mahabijaksana. Suami istri Katolik justru dipanggil untuk mengambil bagian dalam kebijaksanaan Allah itu. Dalam realitas hidup perkawinan, sikap bijaksana suami istri terungkap dalam setiap keputusan dan tindakan mereka. Kesulitan dan tantangan yang paling umum dihadapi oleh setiap pasangan suami istri adalah bagaimana menyeimbangkan prioritas dalam setiap keputusan yang diambil. Keputusan yang gegabah bisa berdampak pada sikap ketidakpercayaan dari pihak lain. Dan hal itu justru menjadi ancaman dalam sebuah perkawinan. Oleh karena itu, sikap bijaksana dalam keputusan turut menjadi faktor yang menentukan dalam kehidupan berkeluarga.

3. Kesabaran sebagai Buah Iman

Kata “sabar” berarti tahan menghadapi cobaan tidak cepat marah, tidak mudah putus asa, tidak mudah patah hati; tabah, tenang, tidak tergesa-gesa. Kata “sabar” juga memiliki makna secara teologis. Kesabaran adalah ciri khas dari Allah yang tidak melupakan orang-orang pilihan-Nya yang menderita. Dalam diri Kristus, kesabaran Allah itu menjadi nyata. Kristus dengan sabar menanggung dosa manusia dan menyelamatkan manusia melalui wafat dan kebangkitan-Nya. Pada gilirannya, oleh kuasa Roh manusia harus lebih sabar terhadap sesamanya, harus berlapang hati dalam kasih; sabar menghadapi cobaan dalam hidupnya. Rasul Paulus merumuskan “kesabaran” itu sebagai esensi dari cinta kasih. Ia menegaskan, “kasih itu sabar, ......, Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu ” 1 Kor 59 13:3-7. Dalam lingkup perkawinan, kesabaran merupakan esensi dari pengungkapan cinta suami istri. Suami istri yang saling mencintai harus bersikap sabar terhadap pasangannya dalam segala situasi.

4. Kesetiaan Seumur Hidup

Di dunia ini tidak ada kesetiaan yang sempurna seperti kesetiaan Kristus. Dalam seluruh hidup-Nya, Kristus selalu setia pada panggilan dan perutusan-Nya yaitu menyelamatkan umat manusia. Kesetiaan-Nya terbukti pada kesediaan-Nya untuk menderita dan wafat di kayu salib demi keselamatan dunia. Kesatuan suami istri sebenarnya harus diarahkan menjadi seperti kesatuan antara Kristus dan Gereja-Nya. Dia tetap setia, meskipun manusia tidak setia kepada-Nya 2 Tim 2:13. Kesetiaan seperti itu memungkinkan suami istri untuk saling menyerahkan diri secara total sampai mati, seperti Kristus telah menyerahkan diri-Nya sampai mati bagi Gereja-Nya Fil 2:8.

E. Rangkuman