Penelitian yang dilakukan oleh Dr. H. Jamal, M.Pd., berjudul “Kesantunan dalam Perspektif: Suatu Telaah Sosiopragmatik Penggunaan
Bahasa di BDK Surabaya ” Artikel Balai Diklat Keagamaan Surabaya, hlm. 1-
12. Dalam penelitiannya, Jamal memberikan beberapa kesimpulan tentang kesantunan berbahasa. Ia menuliskan bahwa setiap masyarakat mempunyai
seperangkat norma yang terdiri atas sejumlah kaidah eksplisit untuk menentukan kesantunan berbahasa. Kaidah itu ditentukan oleh perilaku tertentu, lingkungan,
dan cara berpikir masyarakat tersebut.
B. Landasan Teori
Ilmu pragmatik merupakan salah satu ilmu yang mengkaji tentang penggunaan bahasa. Pragmatik sendiri mengkaji tentang penggunaan bahasa
sebagai alat komunikasi manusia. Bidang kajian ilmu pragmatik lebih mengarahkan kajiannya tentang maksud atau daya suatu ujaran. Kesantunan
tuturan dalam bahasa saat ini bisa diukur melalui bidang kajian ilmu pragmatik karena dalam setiap tuturan tentu terkandung maksud yang ingin disampaikan
kepada mitra tutur lawan tutur. Yule 1996:5 memberi arti pragmatik sebagai studi tentang hubungan
antara bentuk-bentuk linguistik dan pemakai bentuk-bentuk itu. Ia juga mengatakan manfaat belajar bahasa melalui pragmatik ialah bahwa seseorang
dapat bertutur kata tentang makna yang dimaksudkan orang, asumsi mereka, maksud dan tujuan mereka, dan jenis-jenis tindakan. Sebagai contoh manfaat
belajar bahasa yang dimaksudkan Yule adalah percakapan antara satu orang
dengan orang lain. Pragmatik mengajari bagaimana memahami makna yang terdapat dalam setiap tuturan dalam suatu percakapan yang dilakukan oleh dua
orang atau lebih. Purwo 1990:1-2 menuliskan bahwa pragmatik dapat dibedakan
menjadi dua hal: 1 pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan atau 2 pragmatik sebagai sesuatu yang mewarnai tindakan mengajar. Bagian 1 dibedakan lagi
menjadi dua hal a pragmatik sebagai bidang kajian linguistik, dan b pragmatik sebagai salah satu segi di dalam bahasa. Pernyataan tersebut menggambarkan
bahwa bidang kajian pragmatik merupakan salah satu ilmu yang digunakan untuk mengajarkan kepada setiap orang ilmu tentang bahasa. Penggunaan bahasa akan
lebih baik jika dapat mengerti akan bahasa itu sendiri. Kegiatan komunikasi merupakan suatu kegiatan yang pasti terjadi
dalam kehidupan ini. Tidak mungkin dapat melakukan suatu hal dengan orang lain tanpa adanya komunikasi. KBBI Daring mendefinisikan komunikasi sebagai
pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami; hubungan; kontak. Kegiatan komunikasi
tak bisa dipungkiri harus melibatkan lebih dari satu orang di dalamnya. Komunikasi tidak bisa berjalan dengan baik apabila tidak ada sesuatu yang
dikirim dan yang menerima, dalam hal ini menerima suatu informasi. Subbab ini ingin menjelaskan beberapa hal, khususnya yang berkaitan
dengan penggunaan bahasa slang dan bagaimana tingkat kesantunan bahasa slang sebagai ragam bahasa. Hal-hal apa saja yang mempengaruhi tingkat kesantunan
dalam penggunaan bahasa.
1. Teori Kesantunan Berbahasa
Kesantunan oleh Yule disamakan dengan kesopanan. Kesopanan dalam suatu interaksi didefinisikan sebagai alat yang digunakan untuk
menunjukkan kesadaran tentang wajah orang lain. Dalam hal ini kesopanan dapat disempurnakan dalam kejauhan dan kedekatan sosial Yule, 1996:104.
Saat melakukan komunikasi dengan orang lain, hal yang dibutuhkan ialah mengetahui jenjang sosial dalam kehidupan. Misalnya saja saat berbicara
dengan dosenguru, bahasa yang digunakan tentunya tidak sama dengan bahasa pergaulan dengan teman-teman sebaya.
Berbahasa secara santun akan membuat seseorang mendapatkan simpati dari lawan tuturmitra tutur. Banyak hal yang perlu diperhatikan
bahkan dipelajari supaya dapat menggunakan bahasa secara santun, khususnya dalam percakapan yang dilakukan dengan mitra tutur. Kesantunan
saat berbahasa membawa penutur dan mitra tutur menjadi saling mengerti. Sikap saling mengerti dapat memperlancar kegiatan komunikasi yang sedang
berlangsung. Kesantunan berbahasa memegang kedudukan penting dalam
kehidupan bermasyarakat. Dikatakan sebagai kedudukan penting karena saat berbahasa secara santun, maka dalam tuturan tersebut sudah mencerminkan
diri tiap penuturnya secara utuh. Struktur bahasa yang santun adalah struktur bahasa yang disusun oleh penuturpenulis agar tidak menyinggung perasaan
pendengar atau pembaca Pranowo, 2009:4. Kesantunan berkaitan erat dengan respon yang diberikan orang lain.
Banyak hal yang harus diperhatikan supaya tuturan menjadi santun. Penelitian ini menguraikan bagaimana dan apa saja yang harus diperhatikan
saat bertutur kata. Beberapa ahli menuliskan hal-hal yang mungkin dapat diterapkan saat bertutur kata, seperti prinsip kesantunan, cara berkomunikasi
secara santun, indikator yang perlu diperhatikan supaya tuturan menjadi santun, dan juga kaidah-kaidah kesantunan yang ada dalam bahasa Indonesia.
a. Prinsip kesantunan
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan prinsip kesantunan yang dikemukakan oleh Leech. Prinsip yang dikemukakan oleh Leech lebih
dikenal sebagai prinsip kerja sama, dalam hal ini kerja sama antara penutur dan mitra tutur saat melakukan tuturan. Prinsip kesantunan Leech 1983
dalam Rahardi 2005:59 ialah prinsip kesantunan yang sampai saat ini dianggap paling lengkap, paling mapan, dan relatif paling komprehensif.
Rumusan itu selengkapnya tertuang dalam enam maksim interpersonal sebagai berikut.
1 Tact maxim: minimize cost to other. Maximize benefit to other.
2 Generosity maxim: minimize benefit to self. Maximize cost be self.
3 Approbation maxim: minimize dispraise. Maximize to other.
4 Modesty maxim: minimize praise of self. Maximize dispraise of self.
5 Agreement maxim: minimize disagreement between self and other.
Maximize agreement between self and other. 6
Sympathy maxim: minimize antiphaty between self other. Maximize sympathy between self and other.
Sebelum membahas keenam maksim Leech, Wijana 1996:55-56 menerangkan tentang berbagai bentuk ujaran yang digunakan untuk
mempermudah menangkap makna yang terkandung di dalam maksim tersebut. Bentuk-bentuk ujaran tersebut yaitu bentuk ujaran komisif
digunakan untuk menyatakan janji atau penawaran. Ujaran impositif digunakan untuk menyatakan perintah atau suruhan. Ujaran ekspresif
digunakan untuk menyatakan sikap psikologis pembicara terhadap sesuatu keadaan. Ujaran asertif digunakan untuk menyatakan kebenaran proposisi
yang diungkapkan. Wijana 1996:56-61 membahasakan keenam maksim Leech tersebut
secara lebih ringkas berturut-turut sebagai berikut. 1
Maksim kebijaksanaan: Maksim ini diutarakan dengan tuturan impositif dan komisif. Maksim ini menggariskan setiap peserta pertuturan untuk
meminimalkan kerugian orang lain, atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain.
2 Maksim penerimaan: Maksim penerimaan diutarakan dengan kalimat
komisif dan imposif. Maksim ini mewajibkan penutur untuk memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri, dan meminimalkan keuntungan
diri sendiri. 3
Maksim kemurahan: Maksim ini diutarakan dengan menggunakan kalimat ekspresif dan kalimat asertif. Maksim kemurahan ini menuntut peserta
pertuturan untuk memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain, dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain.
4 Maksim kerendahan hati: Maksim kerendahan hati ini diungkapkan
dengan kalimat ekspresif dan asertif. Maksim kerendahan hati berpusat pada diri sendiri. Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk
memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri, dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.
5 Maksim kecocokan: Maksim ini diungkapkan dengan kalimat ekspresif
dan asertif. Maksim kecocokan menggariskan setiap penutur dan lawan tutur untuk memaksimalkan kecocokan di antara mereka, dan
meminimalkan ketidakcocokan di antara mereka. 6
Maksim Kesimpatian: Maksim ini juga diungkapkan dengan tuturan asertif dan ekspresif. Maksim kesimpatian ini mengharuskan setiap peserta
pertuturan untuk memaksimalkan rasa simpati, dan meminimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya.
Lain halnya dengan Rahardi, Pranowo 2009:21 menuliskan prinsip kesantunan Leech ada tujuh. Prinsip ketujuh dari Leech tersebut adalah
maksim pertimbangan consideration maxim. Maksim pertimbangan adalah maksim yang menyatakan bahwa penutur hendaknya meminimalkan perasaan
tidak senang kepada mitra tutur. Maksud dari pernyataan tersebut adalah bahwa penutur diharapkan bisa membuat mitra tuturnya merasa lega terhadap
pertuturan yang
sedang berlangsung.
Penutur diharapkan
dapat mengungkapkan rasa senang pada mitra tuturnya.
b. Berkomunikasi secara santun
Komunikasi merupakan suatu kegiatan yang lebih kompleks karena harus bisa melihat situasi dan kondisi saat tuturan antara penutur dan mitra
tutur terjadi. Penggunaan bahasa yang baik dan benar saja belum cukup untuk melakukan kegiatan berkomunikasi. Seseorang yang mampu berbahasa secara
baik berarti sudah mampu menggunakan bahasa sesuai dengan ragam dan situasi Pranowo, 2009:4. Sedangkan bahasa yang benar adalah bahasa yang
dipakai sesuai dengan kaidah yang berlaku Pranowo, 2009:5. Agar komunikasi bisa berjalan secara santun, penutur perlu
mengetahui strategi bagaimana supaya bahasa yang digunakan menjadi santun. Pranowo 2009:39-46 menyebutkan tiga strategi supaya kita dapat
berkomunikasi dengan santun. 1
Apa yang dikomunikasikan: Setiap orang yang berkomunikasi dengan orang lain harus ada yang dibicarakan. Ketika seseorang berkomunikasi
dengan orang lain tetapi tidak jelas tentang pokok masalah pembicaraannya, maka mitra tutur akan menilai bahwa penutur itu tidak
berkualitas. Pembicaraan menjadi tidak terarah dan tidak konsekuen dan bahkan bisa saja dalam suatu pembicaraan penutur bisa membahas
beberapa pokok masalah sehingga membuat mitra tuturnya menjadi bingung.
2 Bagaimana cara berkomunikasi: Hal ini mengarah pada cara
menyampaikan maksud dari pembicaraan antara penutur dan mitra tutur. Grice menyatakan bahwa ketika penutur berkomunikasi, informasi yang
diberikan oleh penutur cukup seperlunya saja, jangan kurang dan jangan lebih.
3 Mengapa sesuatu hal perlu dikomunikasikan: Penutur diajak untuk
bersikap jujur. Apa yang diungkapkan harus sesuai dengan hati nuraninya. Jadi, apa yang akan dibicarakan harus benar-benar dipikirkan secara
matang supaya tidak terjadi salah paham antara penutur dan mitra tutur. Untuk menentukan kesantunan bahasa verbal lisan kita juga perlu
memperhatikan aspek intonasi keras lembutnya intonasi ketika seseorang berbicara, aspek nada bicara berkaitan dengan suasana emosi penutur: nada
resmi, nada bercanda atau bergurau, nada mengejek, nada menyindir, faktor pilihan kata, dan faktor struktur kalimat Pranowo, 2009:76.
Intonasi harus diperhatikan saat berkomunikasi supaya mitra tutur merasa nyaman saat komunikasi sedang berlangsung. Tidak mungkin seorang
dengan jarak yang dekat akan menggunakan intonasi yang keras saat sedang berkomunikasi dengan mitra tuturnya. Hal tersebut bisa saja menyindir mitra
tutur karena seolah menganggap mitra tutur tuli sehingga penutur harus menggunakan intonasi yang keras saat sedang berbicara dengan mitra
tuturnya. Nada berkaitan erat dengan perasaan. Misalnya saja saat sedang
bersedih, nada bicara dapat mewakili suasana hati dengan menurunkan nada bicara sehingga menjadi datar. Sebaliknya, apabila sedang merasa senang,
nada bicara dalam tuturan seharusnya menjadi meninggi. Maka dari itu, nada
bicara merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan supaya apa yang dirasakan bisa tersampaikan kepada mitra tutur.
Dalam bahasa lisan, kesantunan juga dipengaruhi oleh faktor bahasa nonverbal, seperti gerak-gerik anggota tubuh, kerlingan mata, gelengan
kepala, acungan tangan, kepalan tangan, tangan berkacak pinggang, dan sebagainya Pranowo, 2009:78. Gerak-gerik anggota tubuh biasanya terjadi
secara tidak kita sadari. Alwasillah 1985:13 menuliskan bahwa aspek-aspek ini tidak perlu dibukukan atau sengaja diajarkan secara formal pada mereka
dan penerus mereka. Faktor bahasa nonverbal merupakan hal yang dipelajari sebelum kita bisa bertutur kata, maka bahasa nonverbal dapat juga disebut
sebagai bumbu bahasa dalam percakapan. c.
Kriteria skala kesantunan Kriteria skala ialah ukuran yang menjadi dasar penilaian atau
penetapan sesuatu KBBI Daring. Banyak hal yang bisa dijadikan sebagai ukuran suatu kesantunan, khususnya kesantunan dalam bahasa. Beberapa ahli
telah merangkum berbagai teori sebagai ukuran skala kesantunan. Tentunya seseorang harus benar-benar mengetahui sesantun apakah tuturan yang
terucap, supaya dalam melakukan percakapan dengan mitra tuturnya tidak menyinggung atau menyakiti mitra tuturnya.
Di bawah ini akan dijelaskan beberapa kriteria skala kesantunan yang telah dirangkum oleh beberapa para ahli.
1 Skala Kesantunan Leech
Skala kesantunan yang dipaparkan oleh Leech terdiri dari lima skala kesantunan saat bertutur kata.
a Cost-benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan, ukuran dari
skala ini ialah semakin tuturan merugikan diri penutur, akan dianggap semakin santunlah tuturan tersebut. Sebaliknya, semakin tuturan itu
menguntungkan diri penutur akan semakin dianggap tidak santunlah tuturan tersebut. Dalam hal ini, penutur sebisa mungkin harus bersikap
rendah hati saat bertutur kata. Seorang penutur tidak seharusnya sombong dan angkuh bahkan tidak peduli dengan mitra tuturnya,
tetapi seorang penutur harus bisa membuat mitra tuturnya merasa tidak dirugikan saat sedang melakukan percakapan.
b Optionality scale atau skala pilihan, menunjuk kepada banyak atau
sedikitnya pilihan option yang disampakan si penutur kepada si mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu
memungkinkan penutur atau mitra tutur untuk menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap semakin santunlah tuturan
itu. c
Indirectness scale atau skala ketidaklangsungan menunjuk kepada peringkat langsung atau tudak langsungnya maksud sebuah tuturan.
Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tidak langsung,
maksud sebuah tuturan, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu.
Di negara Indonesia ini, skala ketidaklangsungan sering terjadi pada masyarakat Jawa. Biasanya mereka menyampaikan sesuatu tidak
secara langsung melainkan harus berputar-putar sampai akhirnya ke inti permasalahan yang ingin diutarakan.
d Authority scale atau skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan
status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan
mitra tutur. Tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosial di
antara keduanya, akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur. Hal ini sangat jelas, saat
berbicara dengan seseorang yang jabatannya lebih tinggi darinya, tentu bahasa yang digunakan akan sangat berbeda dengan bahasa yang
digunakan jika sedang bertutur kata dengan teman. Maka dari itu, status sosial juga sangat mempengaruhi dan bisa menjadi tolok ukur
suatu kesantunan dalam berbahasa. e
Social distance scale atau skala jarak sosial menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat
dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat sosial di antara keduanya, akan semakin kurang
santunlah tuturan itu. Dengan kata lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur dengan mitra tutur sangat menentukan peringkatskala
kesantunan tuturan suatu bahasa saat bertutur.
2 Skala kesantunan Brown and Levinson
Brown dan Levinson hanya mencantumkan tiga kriteria skala supaya bahasa yang kita gunakan itu santun. Tiga kriteria skala tersebut
ditentukan secara kontekstual, sosial, dan kultural. Uraian dari ketiga kriteria di atas akan dijelaskan lebih lanjut seperti di bawah ini.
a Social distance between speaker and hearer atau skala peringkat jarak
sosial antara penutur dan mitra tutur. Skala ini banyak ditentukan oleh parameter perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar belakang
sosiokultural. b
The speaker and hearer relatif power atau Skala peringkat status sosial antara penutur dan mitra tutur, seringkali disebut dengan
peringkat kekuasaan power rating didasarkan pada kedudukan asimetrik
adanya kesenjangan antara penutur dan mitra tutur. c
The degree of imposition associated with required expenditure of goods or services
atau skala peringkat rank rating tindak tutur, didasarkan atas kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak
tutur lainnya. 3
Skala kesantunan Robin Lakoff Seperti halnya Brown dan Levinson, Robin Lakoff juga merangkum
kriteria skala kesantunan tuturan menjadi tiga bagian. Ketiga skala tersebut ialah skala formalitas, skala ketidaktegasan, dan skala kesamaan
atau kesekawanan. Supaya pemahaman tentang ketiga kriteria skala
tersebut menjadi jelas, di bawah ini akan dijelaskan tentang ketiga kriteria skala yang dimaksudkan oleh Robin Lakoff.
a Formality scale atau skala formalitas. Skala ini dinyatakan agar para
peserta tutur dapat merasa nyaman dan kerasan dalam kegiatan bertutur. Tuturan yang digunakan tidak boleh bernada memaksa dan
tidak boleh berkesan angkuh. Dalam kegiatan bertutur, masing-masing peserta tutur harus dapat menjaga keformalitasan dan menjaga jarak
yang sewajarnya antara yang satu dengan lainnya. b
Hesitancy scale atau skala ketidaktegasan. Skala ini menunjukkan bahwa penutur dan mitra tutur dapat saling merasa nyaman dalam
bertutur. Pilihan-pilihan dalam bertutur harus diberikan oleh kedua belah pihak. Seseorang tidak diperbolehkan bersikap terlalu tegang
dan terlalu kaku di dalam kegiatan bertutur karena akan dianggap tidak santun.
c Equality scale atau skala kesekawanan kesamaan. Orang harus
bersikap ramah dan selalu mempertahankan persahabatan antara pihak satu dengan pihak lainnya. Agar tercapai maksud demikian, penutur
haruslah menganggap mitra tutur sebagai sahabat. Dengan menganggap pihak yang satu sebagai sahabat bagi pihak lainnya, rasa
kesekawanan dan kesejajaran sebagai salah satu prasyarat kesantunan akan dapat tercapai Rahardi, 2005:66-70.
Dari pemaparan ketiga ahli bahasa tersebut, kemudian kita dapat mengetahui apa sajakah yang menjadi kriteria tuturan menjadi santun. Dari
penjelasan yang diberikan oleh Leech, Brown dan Levinson, serta Robin Lakoff, mereka menjelaskan beberapa kriteria skala kesantunan yang
isinya hampir sama. Pada dasarnya pemikiran ketiga tokoh di atas sama, karena ketiga unsur yang disebutkan oleh masing-masing ahli banyak
kesamaan maksud di dalamnya. Jika disimpulkan secara singkat, kriteria kesantunan yang harus
diperhatikan ialah jarak sosial antara penutur dan mitra tutur, adanya satu pilihan saat kita bertutur, status sosial, ketidaklangsungan menyampaikan
maksud saat bertutur kata, kedekatan dengan mitra tutur, dan adanya otoritas antara penutur dan mitra tutur.
Gunarwan 1994:91-93 menuliskan pendapat Leech berkaitan dengan skala kesantunan. Ia menuliskan bahwa ada tiga skala yang perlu
kita pertimbangkan untuk “menilai” derajat kesantunan sebuah direktif. Ketiga skala itu, yang kesemuanya terangkum ke dalam skala pragmatik,
adalah skala
biaya-keuntungan, skala
keopsionalan, dan
skala ketaklangsungan. Dalam hal ini, kesantunan direktif dari yang paling
kurang santun sampai yang paling santun adalah fungsi dalam pengertian perhitungan diferensial-integral dari ketiga skala tersebut. Di bawah ini
akan dicontohkan skala pertama yaitu skala biaya-keuntungan untung- rugi dalam kaitannya dengan penutur pur dan pendengar par. Skala ini
menjelaskan mengapa, walaupun sama-sama bermodus imperatif dan intonasi serta nada bertutur juga sama, ujaran-ujaran di bawah ini semakin
ke bawah semakin santun.
1 Bersihkan toilet saya
2 Kupaskan mangga
3 Ambilkan koran di meja itu
4 Beristirahatlah
5 Dengarkan lagu kesukaanmu ini
6 Minum kopinya
Dari contoh skala biaya-keuntungan di atas, kita bisa melihat bahwa dalam tuturan modus imperatif juga pun memiliki tingkat
kesantunan yang berbeda. Apabila diamati dan dibaca dengan cermat mulai dari contoh 1 sampai 5 perbedaan itu bisa kita lihat. Misalnya
saja pada kalimat 1 pur murni memberikan perintah kepada par tanpa adanya imbalan sama sekali. Itu menunjukkan bahwa par mengalami
kerugian. Sedangkan pada 5 pur memerintahkan par untuk meminum kopi. Secara tidak langsung par akan mendapatkan keuntungan apabila ia
meminum kopi tersebut. Kedua, skala keopsionala
n, dipakai untuk “menghitung” berapa pur
memberi par pilihan dalam melaksanakan tindakan. Makin besar jumlah pilihan, makin santunlah tindak ujarnya.
1 Pindahkan kotak ini
2 Kalau tidak lelah, pindahkan kotak itu
3 Kalau tidak lelah dan ada waktu,
pindahkan kotak ini
Biaya bagi par
Biaya bagi pur
Kurang santun
Lebih santun
Lebih sedikit pilihan
Lebih banyak pilihan
Kurang santun
Lebih santun
4 Kalau tidak lelah dan ada waktu, pindahkan kotak ini – itu kalau
kamu mau 5
Kalau tidak lelah dan ada waktu, pindahkan kotak ini – itu kalau kamu mau dan tidak berkeberatan
Skala ketiga, skala ketaklangsungan, d ipakai untuk “mengukur”
ketakla ngsungan tindak ujaran: seberapa panjang jarak yang “ditempuh”
oleh daya ilokuksioner sampai ia tiba di tujuan ilokusioner. 1
Jelaskan persoalannya 2
Saya ingin Saudara menjelaskan persoalannya. 3
Maukah Saudara menjelaskan persoalannya? 4
Saudara dapat menjelaskan persoalannya. 5
Berkeberatankah Saudara
menjelaskan persoalannya?
d. Indikator kesantunan
Agar tuturan menjadi santun ada beberapa indikator kesantunan yang perlu diperhatikan. Beberapa indikator tersebut telah dikemukakan oleh para
ahli. Pranowo 2009:100-104 menuliskan beberapa indikator kesantunan oleh para ahli yang harus diperhatikan supaya komunikasi bisa berjalan
dengan baik. 1
Indikator kesantunan Dell Hymes 1978 a
S Setting and Scene latar mengacu pada tempat dan waktu terjadinya komunikasi.
Lebih langsung
Lebih tak langsung
Kurang santun
Lebih santun
b P Participants peserta mengacu pada tujuan yang ingin dicapai
dalam berkomunikasi. Lebih mengarah kepada sikap untuk saling menjaga dan menghormati perasaan baik dari penutur atau dari mitra
tutur. c
E Ends tujuan komunikasi mengacu pada tujuan yang akan dicapai dalam berkomunikasi. Berkaitan dengan ini, tuturan yang diutarakan
oleh penutur harus lebih halus dan jangan sampai mitra tutur sakit hati terhadap tuturan penutur.
d A Act Sequence pesan yang ingin disampaikan mengacu pada
bentuk dan pesan yang ingin disampaikan. Bentuk pesan dapat disampaikan dalam bahasa tulis misalnya berupa permintaan,
sedangkan isi pesan ialah wujud permintaannya. e
K Key kunci mengacu pada pelaksanaan percakapan. Maksudnya, bagaimana pesan tersebut disampaikan kepada mitra tutur cara
penyampaian. f
I Instrumentalities Sarana mengacu pada bentuk dan gaya bicara. Maksudnya, penutur harus mempunyai gaya bicara saat bertutur kata
supaya menjadi menarik bagi mitra tuturnya Emiritus, 1995:7. g
N Norms norma yaitu pranata sosial kemasyarakatan yang mengacu pada norma perilaku partisipan dalam berkomunikasi.
h G Genres ragam, register mengacu pada ragam bahasa yang
digunakan, misalnya ragam formal, ragam santai dan sebagainya.
2 Indikator kesantunan Grice 2000
a Ketika berbicara harus mampu menjaga martabat mitra tutur agar
tidak merasa dipermalukan. b
Ketika berkomunikasi tidak boleh mengatakan hal-hal yang kurang baik mengenai diri mitra tutur atau orang atau barang yang ada
kaitannya dengan mitra tutur. c
Tidak boleh mengungkapkan rasa senang atas kemalangan mitra tutur. d
Tidak boleh menyatakan ketidaksetujuan dengan mitra tutur sehingga mitra tutur merasa jatuh harga dirinya.
e Tidak boleh memuji diri sendiri atau membanggakan nasib atau
kelebihan diri sendiri. 3
Indikator kesantunan Leech 1983 a
Tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur maksim kebijaksanaan “tact maxim”
b Tuturan lebih baik menimbulkan kerugian pada penutur maksim
kedermawanan “generosity maxim” c
Tuturan dapat memberikan pujian kepada mitra tutur maksim pujian “praise maxim”
d Tuturan tidak memuji diri sendiri maksim kerendahan hati “Modesty
maxim ”
e Tuturan dapat memberikan persetujuan kepada mitra tutur maksim
kesetujuan “agreement maxim”
f Tuturan dapat mengungkapkan rasa simpati terhadap yang dialami
oleh mitra tutur maksim simpati “thy maxim” g
Tuturan dapat mengungkapkan sebanyak-banyaknya rasa senang pada mitra tutur maksim pertimbangan “consideration maxim”
4 Indikator kesantunan Pranowo 2005
a Angon rasa: memperhatikan suasana hati mitra tutur dan sebisa
mungkin membuat hati mitra tutur berkenan. b
Adu rasa: mempertemukan perasaan penutur dan mitra tutur supaya isi komunikasi menjadi sama-sama dikehendaki.
c Empan papan: menjaga tuturan agar dapat diterima oleh mitra tutur.
d Sifat rendah hati: menjaga agar penutur memperlihatkan
ketidakmampuannya di hadapan mitra tutur. e
Sikap hormat: memposisikan mitra tutur pada tempat yang lebih tinggi.
f Sikap tepa selira: tuturan memperlihatkan bahwa apa yang dikatakan
kepada mitra tutur juga dirasakan oleh penutur. Berkaitan tentang teori-teori tentang indikator di atas, dapat dilihat
bahwa kesantunan suatu tuturan ternyata memiliki beberapa indikator yang dapat digunakan sebagai acuan saat bertutur dengan mitra tutur. Dilihat dari
beberapa indikator yang ada, indikator-indikator kesantunan di atas dibuat berdasarkan kehidupan di masyarakat dalam melakukan suatu pertuturan
bersama mitra tuturnya.
2. Bahasa Slang
Penggunaan kata slang yang semakin marak menambah ragam bahasa yang terdapat di negara Indonesia. Keraf 1981:108 mendefinisikan
kata slang sebagai kata-kata nonstandar yang informal, yang disusun secara khas; atau kata-kata biasa yang diubah secara arbitrer; atau kata-kata kiasan
khas, bertenaga dan jenaka yang dipakai dalam percakapan. Bahasa slang yang hadir saat ini memang tampak telah disusun secara khas, karena mudah
dimengerti bagi kelompoknya, dan juga hanya dipakai sebagian orang saja. Kata slang sebenarnya bukan hanya digunakan oleh kaum muda
saja. Semua orang tanpa batasan apapun sebenarnya seringkali menggunakan bahasa slang sebagai bahasa komunikasi sehari-hari. Kesadaran dalam
pemakaian bahasa slang tersebut yang sebenarnya perlu ditinjau ulang dan dilihat secara lebih serius. Pei dan Gaynor 1954 dalam Alwasilah 1985:56-
57 menuliskan ”a style of language in faitly common use, produced by popular adaptation and extension of the meaning of existing words and by
coining new words with disregard for scholastic standards and linguistic principles of the formation of words, generally peculiar to certain classes and
social or age groups ”. Intinya, Pei dan Gaynor ingin mengatakan bahwa
slang merupakan bentuk bahasa yang dipakai secara umum, kemudian dibuat dengan adaptasi yang populer sesuai dengan zamannya, dan kemudian
menyusun kata-kata baru tersebut tanpa melihat standar atau kaidah-kaidah kebahasaan yang ada. Pada umumnya hanya digunakan oleh kelompok-
kelompok sosial tertentu saja.
Alwasillah 1985:57 juga mengutip tulisan Hartman Stork 1972:
120 yang mendefinisikan kata slang. “a variety of speech characterized by newly coined and rapidly changing vocabulary, used by the
young or by social and professional groups for ‘in-group’ communication and thus tending top revent understanding by the rest of the speech
community ”. Mereka mengatakan bahwa slang merupakan berbagai ujaran
yang ditandai dengan kosakata baru yang diciptakan, tetapi kemudian kosakata tersebut cepat berubah, biasanya digunakan oleh generasi muda atau
kelompok sosial dan profesional. Bahasa ini digunakan untuk komunikasi dalam kelompok. Dengan demikian cenderung tidak seluruh masyarakat
mengetahui tuturan yang digunakan dalam kelompok tersebut. Bahasa slang yang telah dikenal tidak bisa bertahan lama karena
bahasa tersebut ternyata adalah bahasa musiman. Kebosanan setiap orang dalam penggunaan bahasa slang terletak pada intensitas penggunaan bahasa
tersebut. Semakin sering bahasa baru digunakan dan semakin banyak orang mengetahui bahasa tersebut, maka bahasa tersebut lama-kelamaan tidak akan
lagi dipakai karena setiap orang pasti memiliki titik jenuh terhadap sesuatu. Sebagai contoh kata slang yang sering digunakan, kata ”ciyus” yang memiliki
arti serius. Kata itu muncul pada akhir tahun 2012, belum mencapai umur yang panjang kata tersebut saat ini sudah sangat jarang digunakan.
Kita bisa melihat pada awal mula kemunculan kata tersebut, banyak orang terutama kaum muda menggunakan kata tersebut. mereka
menggunakan kata tersebut untuk menjawab atau menanggapi sesuatu yang sebenarnya penting. Misalnya saja dalam suatu percakapan:
A Hei, hari ini kamu kelihatan sumringah, ada apa?
B Ciyuuss…??
Dari percakapan tersebut kita mengetahui bahwa percakapan secara tidak langsung tidak dapat dilanjutkan. Penutur yang bertanya secara halus dan
sopan ternyata hanya dibalas dengan jawaban singkat dan bahkan itu pun tidak menjawab pertanyaan dari penutur sama sekali. Mitra tutur seakan tidak
mengerti keadaansituasi yang terjadi saat itu. Kadangkala kata slang dihasilkan dari salah ucap yang disengaja,
atau kadangkala berupa pengrusakan sebuah kata biasa untuk mengisi suatu bidang makna yang lain Keraf, 1985:108. Secara tak langsung, Keraf ingin
mengatakan bahwa kata slang itu muncul karena kebiasaan ngawur saat bertutur kata. Saat seseorang mengucapkan sesuatu dan menghasilkan ucapan
yang mungkin terdengar menarik bahkan mudah untuk dimengerti, maka dengan persetujuan bersama kelompok tertentu kata tersebut digunakan
sebagai bahasa percakapan. Keraf 1985:109 menuliskan bahwa kata-kata slang memiliki dua
kekurangan. Pertama, hanya sedikit yang hidup terus; kedua, pada umumnya kata-kata slang menimbulkan ketidaksesuaian. Hal ini terjadi seperti telah
dikatakan di atas, semakin bahasa tersebut terlalu sering digunakan, maka bahasa tersebut akan segera lusuh dan kehilangan tenaganya. Kita harus
mengetahui bagaimana keindahan suatu bahasa, supaya bahasa yang kita gunakan bisa dipakai sampai kapan pun.
3. Faktor Kebahasaan sebagai Penanda Kesantunan
Kesantunan merupakan hal yang dibutuhkan setiap orang dalam melakukan interaksi. Terjadinya interaksi yang ideal membutuhkan suatu
penanda supaya apa yang dikomunikasikan menjadi jelas dan berjalan dengan lancar. Hubungan antara penutur dan mitra tutur menjadi lebih baik karena
keduanya saling mengerti apa yang sedang dipercakapkan. Berikut dijelaskan tentang dua faktor kebahasaan yang bisa dijadikan sebagai penanda
kesantunan saat bertindak tutur. a.
Pemakaian pilihan kata diksi
Kemunculan bahasa slang bisa dijadikan sebagai kekayaan bahasa dalam ragam bahasa. Bahasa slang muncul supaya komunikasi yang terjadi di
kalangan tertentu menjadi mudah dan lancar. Hanya saja kemunculan bahasa slang tersebut kurang memperhatikan diksi dalam menggunakan kata.
Beberapa bahasa slang malah banyak yang menimbulkan kata menjadi tidak benar. Memang bahasa slang digunakan untuk mempermudah seseorang
dalam berkomunikasi, tetapi kemudahan itu malah menjadikan bahasa slang yang muncul sebagai bentuk ragam bahasa tidak memperhatikan ketepatan
dalam pemilihan kata. Diksi atau lebih dikenal sebagai pilihan kata tidak hanya digunakan
untuk mengungkapkan suatu gagasan, ide, gaya bahasa, dan ungkapan Keraf, 1985:21-22. Diksi merupakan suatu cara bagaimana kita mempelajari dan
menggunakan kata secara benar. Seorang yang sedang melakukan tuturan harus benar-benar memperhatikan mitra tuturnya supaya percakapan tersebut
bisa berjalan dengan benar. Ide dan gagasan yang dituangkan harus benar- benar matang, supaya jangan sampai kita menyinggung perasaan mitra tutur
saat sedang melakukan percakapan. Adalah suatu kekhilafan yang besar untuk menganggap persoalan
pilihan kata adalah persoalan yang sederhana, persoalan yang tidak perlu dibicarakan atau dipelajari karena akan terjadi dengan sendirinya secara wajar
pada setiap manusia Keraf, 1985:23. Pilihan kata bagi Keraf bukanlah permasalahan bagaimana kita memilih kata secara benar, tetapi juga ini
menyangkut bagaimana tuturan dari penutur bisa diterima oleh mitra tutur. Setiap kata yang terucap harus mengandung arti dan maksud tentang apa yang
sedang dibicarakan. Seseorang tidak boleh berucap dengan asal-asalan, bahkan sampai tidak ada artinya.
Finoza 2005:105-106 menuliskan ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan berkaitan dengan pilihan kata. Pertama,
kemahiran memilih kata hanya dimungkinkan bila seseorang menguasai kosakata yang cukup luas. Kedua, diksi atau pilihan
kata mengandung pengertian upaya kemampuan membedakan secara tepat kata-kata yang memiliki nuansa makna serumpun.
Ketiga, diksi atau pilihan kata menyangkut kemampuan untuk memilih kata-kata yang tepat dan cocok untuk situasi tertentu.
Dari ketiga hal penting tersebut, tentunya kita semakin mengerti akan fungsi dari diksi tersebut. Sebagai masyarakat yang menggunakan bahasa
sebagai alat komunikasi, kita tentunya harus bisa menerapkannya dalam kehidupan kita supaya dalam melakukan percakapan satu sama lain bisa
mengerti. Interaksi yang terjadi antara penutur dan mitra tutur akan berjalan
dengan baik dan lancar ketika keduanya saling mengerti maksud dalam percakapan yang dilakukan.
Gorys Keraf dalam Finoza 2005:108-110 menyebutkan enam syarat supaya menjadi pemilih kata yang akurat.
1 Dapat membedakan denotasi dan konotasi.
2 Dapat membedakan kata-kata yang hampir bersinonim.
3 Dapat membedakan kata-kata yang hampir mirip dalam ejaannya.
4 Dapat memahami dengan tepat makna kata-kata abstrak.
5 Dapat memakai kata penghubung yang berpasangan secara tepat.
6 Dapat membedakan antara kata-kata yang umum dan kata-kata yang
khusus. Dilihat dari syarat-syarat yang disebutkan oleh Keraf, untuk menjadi
seorang pemilih kata yang akurat tentu membutuhkan kemampuan berbahasa yang tidak sembarangan. Sebagai masyarakat bahasa, yang menggunakan
bahasa sebagai alat komunikasi tidak perlu semua syarat tersebut terpenuhi. Hal yang diperlukan oleh masyarakat tidaklah sedetail yang tersebut di atas,
melainkan hanya perlu beberapa hal saja untuk bisa menjadi pemilih kata yang baik. Untuk menjadi pemilih kata yang akurat adalah pilihan setiap
orang, tetapi hal yang wajib adalah bisa menjadi pemilih kata yang baik, sehingga saat melakukan percakapan kita bisa melakukannya dengan
maksimal. Ketepatan pilihan kata mempersoalkan kesanggupan kata untuk
menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca atau
pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh penulis atau pembicara Keraf, 1985:87. Untuk bisa melakukan pemilihan kata yang
benar-benar sesuai, tentu hal yang sangat dibutuhkan ialah menguasai kosakata sebanyak-banyaknya. Seorang penutur yang memiliki banyak
kosakata, akan lebih bebas memilih-milih kata yang sesuai dengan konteks tuturan yang ada. Tuturan yang dapat diterima oleh orang lain merupakan
tuturan yang benar-benar sudah dipersiapkan secara matang, karena dengan persiapan matang tersebut penutur dapat memilih kata dengan tepat.
Keraf 1985:88-89 menyebutkan beberapa butir perhatian dan persoalan yang harus diperhatikan setiap orang agar bisa mencapai ketepatan
pilihan katanya. 1
Membedakan secara cermat denotasi dari konotasi. 2
Membedakan dengan cermat kata-kata yang hampir bersinonim. 3
Membedakan kata-kata yang mirip dalam ejaannya. 4
Hindarilah kata-kata ciptaan sendiri. 5
Waspadalah terhadap pernggunaan akhiran asing, terutama kata-kata asing yang mengandung akhiran asing tersebut.
6 Kata kerja yang menggunakan kata depan harus digunakan secara
otomatis. 7
Untuk menjamin ketepatan diksi, penulis atau pembicara harus membedakan kata umum dan kata khusus.
8 Mempergunakan kata-kata indria yang menunjukkan persepsi khusus
9 Memperhatikan perubahan makna yang terjadi pada kata-kata yang
sudah dikenal. 10
Memperhatikan kelangsungan pilihan kata. Salah satu cara untuk menjaga ketepatan pilihan kata adalah
kelangsungan. Yang dimaksud dengan kelangsungan pilihan kata adalah teknik memilih kata yang sedemikian rupa, sehingga maksud atau pikiran
seseorang dapat disampaikan secara tepat dan ekonomis Keraf, 1985:100. Setelah mengetahui bagaimana memilih kata secara tepat, penutur harus bisa
mempertahankan kelangsungan pilihan kata supaya tuturan dapat berlangsung sesuai dengan maksud dan tujuan dari penutur tersebut. Penutur juga harus
memperhatikan pillihan kata yang digunakan, apabila ia ingin tindak tutur berjalan dengan lancar. Penutur tidak boleh mempergunakan terlalu banyak
kata saat sedang berbicara dengan mitra tuturnya, karena bisa mengakibatkan mitra tutur malah tidak mengerti maksud dari tuturan yang diutarakan oleh
penutur. Setelah mengetahui bagaimana ketepatan dan menjaga agar pilihan kata
yang penutur gunakan telah sesuai, hal selanjutnya adalah tentang kesesuaian pilihan kata. Keraf 1985:102 menuliskan perbedaan antara ketepatan dan
kesesuaian pertama-tama mencakup soal kata mana yang akan digunakan dalam kesempatan tertentu, walaupun kadang-kadang masih ada perbedaan
tambahan berupa perbedaan tata bahasa, pola kalimat, panjang atau kompleksnya sebuah alinea, dan beberapa segi lain. Jadi, kesesuaian pilihan
kata lebih melihat ke situasi dan lingkungankeberadaan punutur dan mitra tutur saat melakukan interaksi.
Kesesuaian pilihan kata juga memiliki syarat-syarat yang perlu diperhatikan. Keraf 1985:103 menyebutkan tujuh persyaratan yang perlu
diperhatikan supaya pilihan kata yang digunakan sesuai dengan situasi tuturan.
1 Hindarilah sejauh mungkin bahasa atau unsur substandar dalam suatu
situasi formal. 2
Gunakanlah kata-kata ilmiah dalam situasi yang khusus saja. 3
Hindarilah jargon dalam tulisan untuk pembaca umum. 4
Penulis atau pembicara sejauh mungkin menghindari pemakaian kata- kata slang.
5 Dalam penulisan jangan mempergunakan kata percakapan.
6 Hindarilah ungkapan-ungkapan usang idiom yang mati.
7 Jauhkan kata-kata atau bahasa yang artifisial.
Berbagai definisi, syarat-syarat, dan lain-lain, telah menunjukkan betapa bahasa slang tidak memperhatikan hal serupa. Padahal, pilihan kata
dalam penggunaan suatu bahasa merupakan hal terpenting dan harus diperhatikan. Lain halnya dengan bahasa slang, pilihan kata menjadi sesuatu
yang tidak diperhatikan bahkan seakan tidak untuk diketahui karena penggunaan bahasa slang sebagai bahasa percakapan tidak mengandung
unsur-unsur yang tersebut di atas.
b. Pemakaian gaya bahasa
Unsur keindahan merupakan suatu bentuk yang seharusnya banyak diinginkan oleh sebagian besar orang. Supaya kata yang digunakan menjadi
indah, tentunya kita harus memiliki kemampuan dan keahlian khusus untuk mempergunakan kata-kata tersebut. Bahasa slang muncul karena dianggap
memiliki keindahan tertentu bagi sebagian orang. Gaya bahasa slang kurang begitu diperhatikan sehingga bahasa slang yang digunakan sebagai bahasa
percakapan kurang diminati oleh semua orang. Gaya atau gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. Kata
style diturunkan dari kata Latin stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada
lempengan lilin. Kelak pada waktu penekanan dititikberatkan pada keahlian untuk menulis indah, maka style lalu berubah menjadi kemampuan dan
keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara indah Keraf, 1985:112. Dalam tuturan tentu hal ini berkaitan dengan tindak tutur antara
penutur dan mitra tutur saat melakukan percakapan. Bagaimana penutur bisa bertutur kata secara indah dengan mitra tuturnya.
Secara singkat gaya bahasa atau style oleh Keraf 1985:113 dapat dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas
yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis pemakai bahasa. Gaya bahasa yang hadir digunakan sebagai sesuatu yang khas dari ungkapan
penutur. Keraf ingin mengatakan bahwa seorang penutur itu harus mempunyai kekhasan dalam tuturannya, dan hal itu pasti dimiliki oleh setiap
penutur karena kepribadian antara satu orang dengan yang lain tentu berbeda.
Bertutur kata merupakan hal yang berkaitan erat dengan kehidupan kita. Ada tiga unsur yang perlu diperhatikan supaya sebuah gaya bahasa menjadi
baik Keraf, 1985:113-115. 1
Kejujuran Kejujuran yang dimaksud berkaitan dengan gaya bahasa ialah kejujuran
diri penutur untuk tetap mengikuti kaidah-kaidah dan aturan-aturan tentang bahasa yang berlaku di masyarakat umum. Penutur diharapkan tidak
berbelit-belit saat bertutur kata. Semakin penutur mengungkapkan sesuatu secara berbelit-belit, menandakan bahwa penutur tidak mengetahui apa
yang dikatakannya. 2
Sopan santun Sopan santun yang dimaksudkan adalah bagaimana penutur menghormati
mitra tutur. Rasa hormat yang dimaksudkan adalah tentang kejelasan dan kesingkatan kata yang digunakan. Berbicara secara jelas bisa
menguntungkan mitra tutur, karena tidak perlu berpikir keras untuk mengetahui maksud penuturnya. Kesingkatan dimaksudkan supaya
penutur mempergunakan kata-kata secara efisien, atau mengadakan repetisi yang tidak perlu.
3 Menarik
Sebuah gaya yang menarik dapat diukur melalui variasi, humor yang sehat, pengertian yang baik, tenaga hidup, dan imajinatif. Maksud dari semuanya
itu ialah penutur diharapkan kaya akan kosakata, bisa menciptakan rasa
gembira saat melakukan tuturan serta memiliki daya khayal supaya percakapan menjadi lebih hidup.
Dapat dikatakan bahwa gaya bahasa percakapan bahasanya masih lengkap untuk suatu kesempatan, dan masih dibentuk menurut kebiasaan-
kebiasaan, tetapi kebiasaan ini agak longgar bila dibandingkan dengan kebiasaan pada gaya bahasa resmi dan tak resmi Keraf, 1985:120. Bahasa
percakapan memang biasanya lebih luas dan lebih bebas dibandingkan bahasa tulis, karena bahasa percakapan pasti akan digunakan dalam situasi apapun
dan dimana pun kita berada. Sedangkan bahasa tulis ada batasan-batasan tertentu yang harus diperhatikan dan tidak di semua kesempatan kita bisa
menggunakan bahasa tulis. Dari hasil klasifikasi menunjukkan tingkat kesantunan dan beberapa
fungsi komunikatif dalam penggunaan bahasa slang, secara khusus di kalangan komunitas pesepeda yang ada di Yogyakarta. Klasifikasi data
tersebut telah diidentifikasi berdasarkan landasan teori yang telah dipaparkan di atas dan deskripsi analisis data akan dipaparkan sebagai berikut.
1 Ada beberapa kriteria skala kesantunan yang dapat dipakai sebagai alat
ukur kesantunan dalam percakapan bahasa slang di komunitas sepeda Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan kriteria skala kesantunan
Leech dalam menganalisis tingkat kesantunan bahasa slang dalam komunitas sepeda.
2 Dalam suatu tuturan yang diucapkan oleh penutur dalam komunitas
pesepeda yang berupa kata, frasa, klausa, atau pun kalimat kalimat yang
memungkinkan pendengar atau mitra tutur memberikan penilaiannya berpersepsi tentang tinggi rendahnya tingkat kesantunan tuturan
bahasa slang tersebut. Inilah yang dalam tulisan ini disebut sebagai penanda keefektifan tuturan yang ditemukan, yakni: a pemakaian
pilihan kata diksi, dan b pemakaian gaya bahasa. Dalam suatu tuturan dapat terjadi hanya satu penanda, tetapi dapat pula terjadi lebih dari satu
penanda digunakan dalam satu tuturan secara bersamaan. Berbahasa secara santun akan membuat seseorang mendapatkan simpati
atau perhatian dari lawan tuturmitra tutur. Semua bahasa baik dalam kata, frasa, atau pun kalimat dalam hal ini, memiliki tingkat kesantunan yang
berbeda-beda. Hal itu bisa dilihat dari berbagai aspek, seperti intonasi, nada bicara, faktor pilihan kata, dan faktor struktur kalimat. Tuturan yang santun
ialah tuturan yang memperhatikan kaidah-kaidah yang berlaku di masyarakat dan tidak melanggar norma serta merugikan diri mitra tutur.
Bahasa slang dikenal oleh banyak orang sebagai bahasa yang memiliki tingkat kesantunan yang rendah. Banyak orang melihat bahasa slang dari
salah satu aspek saja, tetapi sebenarnya tidak semua bahasa slang memiliki tingkat kesantunan rendah. Kita harus bisa melihat kapan dan dimana tuturan
tersebut berlangsung. Tidak boleh dengan semena-mena kita langsung mengatakan bahwa bahasa slang merupakan bahasa yang memiliki tingkat
kesantunan rendah dibandingkan dengan bahasa Indonesia.
4. Konteks
Dalam suatu percakapan, tentu akan terjadi suatu tindak tuturan antara penutur dan mitra tutur. Hal utama yang perlu diperhatikan dalam suatu
tindak tuturan tersebut tentunya suatu konteks pembicaraan yang sedang berlangsung. Apabila penutur dan mitra tutur sudah mengerti konteks
pembicaraannya, sudah pasti tuturan akan menjadi lancar dan dimengerti satu dengan yang lainnya. Untuk lebih jelasnya, Imam Syafi’i melalui Mulyana,
2005:24 menuliskan tentang konteks tuturan yang terjadi dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu:
a. Konteks linguistik linguistic context, yaitu kalimat-kalimat dalam
percakapan. b.
Konteks epostemis epistemis context, adalah latar belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh partisipan.
c. Konteks fisik physical context, meliputi tempat terjadinya percakapan,
obyek yang disajikan dalam percakapan, dan tindakan partisipan. d.
Konteks sosial social context, yaitu relasi sosio-kultural yang melengkapi hubungan antara pelaku atau partisipan dalam suatu
percakapan. Dari beberapa uraian tentang konteks di atas, dapat disimpulkan bahwa
peranan konteks dalam suatu tuturan sangat penting. Karena dengan adanya konteks, tuturan dapat dimengerti dengan baik oleh partisipan mitra tutur.
C. Kerangka Berpikir