Data yang dianalisis dalam skripsi ini adalah tuturan verbal hal-hal yang dituturkan yang sifatnya percakapan antarorang atau tuturan seseorang
dalam komunitas pesepeda. Data diambil dari pengamatan yang dilakukan oleh peneliti tentang percakapan di komunitas sepeda tinggi, sepeda fixie,
sepeda BMX, komunitas sepeda MTB mountain bike. Selama bulan April 2013 hingga Juni 2013. Ada sekitar 46 tuturan yang dianalisis dalam
penelitian ini.
B. Hasil Analisis Data
Agar pemahaman kita makin jelas mengenai hasil temuan atau analisis di atas, di bawah ini akan dijelaskan secara rinci mengenai masing-masing di
atas. 1.
Tingkat Kesantunan Tuturan Bahasa Slang dalam Komunitas Sepeda di Yogyakarta
Dari data yang diperoleh, kemudian dianalisis dengan skala kesantunan yang digunakan oleh Leech sebagai dasar pemikiran analisis.
Singkatnya, Gunarwan 1994:91-93 menuliskan pendapat Leech 1983:123 tentang lima skala yang perlu kita pertimbangkan untuk
“menilai” derajat kesantunan. Kelima skala itu, yang kesemuanya terangkum ke dalam skala pragmatik, adalah skala biaya-keuntunganm
skala keopsionalan, skala ketaklangsungan, skala keotoritasan, dan skala jarak sosial. Kelima skala tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
a. Skala biaya-keuntungan untung-rugi
Skala ini dipakai un tuk “menghitung” biaya dan keuntungan selama
melakukan tindakan seperti yang ditujukan oleh daya ilokusioner tindak tutur dalam kaitannya dengan penutur dan pendengar mitra tutur.
Indikator yang ditunjukkan melalui skala ini ialah seberapa besar tuturan penutur menguntungkan mitra tutur saat melakukan tuturan. Semakin
penutur menguntungkan diri mitra tuturnya, maka tingkat kesantunannya menjadi sangat santun. Sebaliknya, apabila penutur merugikan mitra
tuturnya melalui tuturannya, maka tingkat kesantunannya menjadi tidak santun. Data penelitian disajikan sebagai berikut.
1 P1 : “Kodok nandi ki?”
P1 : “Kodok dimana nih?” P2 :
“Jare sik OTW seko omah”. P2 : “Katanya masih OTW dari rumah”
P1 : “Sukurlah lek ngono” P1 : “Syukurlah kalau begitu”
Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang teman yang menanyakan teman lain karena belum muncul saat acara akan
dimulai
. DT.12 2
P1 : “Aku ndhisikan yo cah” P1 : “Aku duluan ya teman”
P2 : “Jam sakmene wes pamitan cah Wah, ra mbois tenan og”.
P2 : “Jam segini sudah pamit pulang Wah, gak keren banget sih”. P1 : “Ra mbois rupamu kui”.
P1 : “Gak keren mukamu itu”. Konteks: Tuturan di atas diucapkan saat ada seorang teman dari
komunitas sepeda MTB berpamitan kepada teman-temannya .
DT.18 3
P1 : “Aku punya tebak-tebakan nih”. P2 : “Apaan?”
P1 : “Kenapa Superman kalo pake celana dalam di luar?” P2 :
“Bercandanya garing ah”.
P1 : “Gak lucu ya?” ekspresi muka malu Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang teman dalam
komunitas sepeda fixie saat ada seseorang yang sedang membuat lelucon tetapi tidak lucu
. DT.24 4
“Ben rak spaneng, yang di barat digoyang. Mari…” “Supaya tidak tegang, yang di barat digoyang. Mari…”
Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh pembawa acara dalam acara JLFR Jogja Last Friday Ride saat para peserta terlihat bosan
dengan acara yang ada. JLFR merupakan suatu kegiatan bersepeda untuk seluruh pesepeda yang ada di Yogyakarta. Kegiatan tersebut
diadakan setiap hari jumat malam di akhir bulan
. DT.28 5
P1: “Kamu kok keliatan murung sih, miapah?” P2:
“Miapah, miapah gundulmu kui”.
Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh salah satu anggota sepeda fixie kepada anggota lain karena lawan tuturnya terlihat tidak
bersemangat saat berkumpul bersama teman-teman lain . DT.29
6 P1 : “Eh, kamu sekarang semester berapa sih?”
P2 : “O iya, aku lupa gak bawa pompa sepeda nih. Ban sepedaku bocor halus”.
P1 : “Krik… krik… krik…” sunyi Konteks: Seorang teman penutur P1 bertanya kepada teman lain
mitra tutur P2, tetapi penutur tidak mendapatkan jawaban yang diinginkan
. DT.41 7
P1 : “Katanya besok pas acara ultah JLFR Shaggy Dog mau manggung lho”.
P2 : “Ciyus?” P1 : “Tauk ah” Nada ketus
Konteks: Penutur berusaha memberikan informasi kepada mitra tutur, tetapi tanggapan mitra tutur malah hanya sekedar
mempermainkan
. DT.46 Jika kita mengkaji tuturan di atas berdasarkan skala biaya-keuntungan,
maka akan tampak sebagai berikut: Data 1 mengindikasikan bahwa P1 sudah mengerti tentang arti
kata OTW On The Way. Sehingga saat penutur P1 bertanya, mitra tutur P2 hanya menjawab dengan sebuah singkatan. Dari tuturan tersebut bisa
dilihat bahwa tuturan berjalan dengan baik karena penutur dan mitra tutur
memiliki pemahaman yang sama terhadap singkatan tersebut dan tidak mengalami kesulitan untuk mengerti pembicaraan yang sedang
berlangsung. Tuturan tersebut termasuk dalam kategori tuturan yang santun karena penutur dan mitra tutur mengerti alur tuturan yang sedang
berlangsung. Penekanan kata OTW dalam tuturan tersebut seperti mempertegas pertuturan yang sedang berlangsung. Hal ini kemudian
menimbulkan keuntungan dalam sebuah percakapan antara penutur dan mitra tutur. Semakin tuturan tersebut membuat mitra tutur merasa
diuntungkan, maka semakin santunlah tuturan yang terjadi. Data 1 ingin berbicara bahwa tuturan otw walau merupakan sebuah singkatan tetapi
sudah menjelaskan secara panjang lebar keberadaan teman dari penutur dan mitra tutur. Tuturan otw yang merupakan sebuah singkatan telah
dimengerti oleh mitra tuturnya, sehingga hal itu tidak merusak suasana tuturan yang sedang berlangsung. Tuturan 1 menjadi tidak santun apabila
antara penutur dan mitra tutur terjadi kesalahan komunikasi tidak memahami tuturan satu dengan yang lainnya. Misalnya saja saat penutur
menyebut tuturan otw tetapi mitra tutur malah bingung atau bahkan tidak mengerti, tuturan tersebut menjadi tidak santun dan hal ini bisa merugikan
diri mitra tutur. Data 2 merupakan tuturan dari seorang penutur kepada mitra tutur
saat sedang berpamitan kepada teman-temannya untuk pulang duluan. Pada tuturan 2 tersebut si mitra tutur tampak tidak terima dengan kata
mbois yang diucapkan oleh penutur. Mitra tutur menganggap si penutur
menyindir mitra tutur lewat tuturan yang terucap dan itu mengakibatkan mitra tutur merasa sangat dirugikan karena melecehkan mitra tutur. Hal itu
menyebabkan mitra tutur menjadi marah yang terlihat jelas dari tanggapan mitra tutur terhadap tuturan penutur. Tuturan tersebut dinilai tidak santun
karena jelas-jelas penutur merugikan mitra tuturnya sampai membuat mitra tutur menanggapi tuturan penutur dengan nada marah. Penekanan kata
mbois menginginkan mitra tuturnya supaya tetap berada di sana karena
masih banyak acara yang akan berlangsung. Suasana tuturan antara penutur dan mitra tutur menjadi tidak menarik lagi karena mitra tutur
merasa sangat dirugikan melalui tuturan tersebut. penutur seolah tidak peduli akan alasan yang dibuat oleh mitra tuturnya. Agar tuturan pada poin
2 menjadi santun, maka kata mbois mungkin bisa diucapkan dengan menggunakan bahasa Indonesia atau sekedar menanyakan alasan mengapa
pulang lebih awal. Misalnya “jam sakmene wes pamitan, emang ono acara opo to?
” jam segini sudah pamitan, memang ada acara apa?. Mungkin apabila penutur dalam tuturan 2 mengucapkan seperti itu, mitra tutur
tidak akan merasa tersinggung dan dirugikan oleh ucapannya. Data 3 dan 6 termasuk tuturan yang tidak santun. Penegasan kata
garing dan
krik…krik…krik… yang dituturkan memiliki arti yang sama. Kedua kata tersebut membuat suasana menjadi tidak nyaman karena
tuturan yang terjadi menjadi tidak bisa dilanjutkan. Kata garing di sini merupakan suatu penegasan bahwa apa yang dibuat itu sudah kadaluwarsa
tidak terpakai lagi pada saat ini. Hal tersebut bisa dilihat dari percakapan
yang terjadi. Antara penutur P1 dan mitra tutur P2 tidak lagi bisa melanjutkan tuturannya karena P2 dianggap telah mengejek P1 sampai-
sampai P1 merasa malu karena lelucon yang dibuatnya tidak lucu. Sedangkan pada kata krik merupakan suatu penegasan bahwa si penutur
P1 dalam tuturan 11 tidak digubris oleh P2. Hal ini bisa saja menyebabkan mitra tuturnya tidak lagi nyaman dengan percakapan yang
ada, karena penutur menyindir mitra tuturnya dengan ungkapan lain. Akibat dari tuturan tersebut, mitra tutur bisa saja menjadi kesal dan marah
terhadap penutur. Tuturan 3 dan 6 akan terdengar lebih santun apabila baik mitra tutur 3 maupun penutur 6 menggunakan pilihan kata yang
tepat. Misalnya saja pada tuturan garing , diganti dengan “Oh, iya, saya
sudah pe rnah mendengar lelucon itu, memang lucu.” Hal itu terdengar
lebih menarik dan tidak menimbulkan efek negatif atau mengejek lawan bicaranya. Kemudian tuturan
krik… krik… krik… memang jika didengarkan tidak terasa bahwa tuturan tersebut menyindir mitra tuturnya.
Bagi orang yang sudah mengerti arti dari tuturan tersebut, maka tuturan itu menjadi sindiran yang menyakitkan karena merasa pertanyaannya
dihiraukan oleh mitra tuturnya. Yang harus dilakukan oleh penutur seharusnya mengerti keadaan mitra tuturnya. Karena pertanyaannya
menyinggung masalah kuliah, mungkin saja pertanyaan tersebut tidak dijawab oleh mitra tuturnya karena mitra tutur malu untuk menjawabnya.
Sebaliknya, penutur yang mengerti sebaiknya mengalihkan topik
pembicaraannya ke yang lain supaya tuturan masih bisa berjalan dengan baik.
Data 4 merupakan tuturan dari seorang pembawa acara dalam acara JLFR
yaitu kegiatan bersepeda yang rutin diadakan pada setiap jumat malam dalam minggu terakhir setiap bulannya. Data tersebut tergolong
tidak santun, karena acara JLFR adalah acara besar yang dihadiri oleh banyak pesepeda dalam hal ini tidak semua pesepeda mengerti bahasa
Jawa. Kata spaneng sendiri sebenarnya bukanlah bahasa Jawa secara utuh sehingga banyak orang tidak mengerti arti kata spaneng itu sendiri. Hal ini
sangat merugikan pendengar, dan semakin pendengar merasa dirugikan, maka tuturan tersebut menjadi semakin tidak santun. Kata spaneng
bukanlah kata yang dimengerti oleh banyak orang. Maka dari itu, supaya tuturan tersebut menjadi santun, alangkah baiknya jika penutur pembawa
acara menggunakan tuturan yang dimengerti oleh semua pendengarnya. Misalnya saja spaneng
diganti dengan “tegang, dingin, beku, dan lain- lain”. Hal itu dipengaruhi karena tidak semua pendengar berasal dari Jawa,
sehingga baik jika pembawa acara menggunakan bahasa Indonesia karena diketahui oleh banyak orang.
Data 5 dan 7 memperlihatkan bahwa tuturan tersebut ternyata merusak suasana percakapan. Penutur seolah tidak mempedulikan suasana
hati mitra tuturnya data 5. Hal ini menyebabkan tuturan tersebut menjadi tidak santun. Sama halnya dengan tuturan 7, kata ciyus menimbulkan
efek negatif sehingga menghancurkan suasana tuturan. Sebenarnya,
apabila penutur memilih kata yang sedikit halus tuturan yang terjadi mungkin tidak seperti itu. Kata miapah mengapa, jika dituturkan dengan
bahasa Indonesia memungkinkan mitra tutur menerima dengan senang hati petanyaan yang ada. Kata miapah hanya cocok apabila saat suasana hati
sedang senang atau bersemangat. Apabila dalam keadaan sedih seperti itu, malah akan merusak suasana. Sedangkan kata ciyus mengakibatkan
penutur menjadi jengkel karena informasi yang diberikan seolah dianggap hanya guyonan semata tanpa memperhatikan suasana hati lawan tuturnya.
Tuturan ciyus dan miapah sebenarnya sah-sah saja digunakan dalam percakapan di komunitas sepeda ini, hanya saja yang perlu diketahui
supaya bahasa tersebut menjadi santun ialah waktu dan tempat pengucapannya. Kata ciyus dan miapah cenderung diucapkan dalam
suasana yang tidak serius nonformal. Maka, supaya tuturan menjadi lebih santun kata ciyus
harus diterjemahkan ke dalam bahasa aslinya “serius” dan miapah
menjadi “mengapa” dalam suasana yang serius. Apabila penutur sudah melakukan hal seperti itu, maka kedua tuturan tersebut tidak
akan merusak suasana tuturan. b.
Skala keopsionalan Skala keopsionalan dipakai untuk “menghitung” beberapa pur memberi
par pilihan dalam melaksanakan tindakan seperti ditujukan oleh daya
ilokusioner tindak ujaran makin besar jumlah pilihan, makin santunlah tindak ujarnya. Data penelitian disajikan sebagai berikut.
8 P1 : “Abot dab, digenjot ra anteng wae”
P1: “Berat, dikayuh gak cuma diam saja”
P2 : “Yo ngko lek kesel gantian.”
P2: “Ya nanti kalau capek gantian.” Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh salah seorang saat sedang
mengayuh sepeda tinggi tandem sepeda dengan menggunakan dua pengemudi. Tuturan tersebut terucap setelah mereka mengayuh
sepeda dengan jarak yang cukup jauh
. DT.05 9
“Malam minggu kita akan mengadakan gowes ceria ke Pantai Parang Tritis ya
”
Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pembawa acara saat mengumumkan acara pada malam minggu
. DT.11 10
P1 : “Gejes gak bisa dateng katanya” P2 :
“Secara kakinya lagi sakit”. P1 :
“Wah, gak seru nih”.
Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seseorang kepada teman lain saat sedang memberi informasi tentang keberadaan Gejes
. DT.13
11 “Silakan bagi anda yang sedang jomblo boleh bribik-bribik sedikit.
Selagi masih ada waktu ”.
Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh pembawa acara dalam acara JLFR dan dalam situasi yang tidak resmi
. DT.16 12
P1 : “Cah, aku pamit sikek yo, ono acara ning omah”. P1 : “Teman, aku pamit duluan ya, ada acara di rumah”
P2 : “O, iyo dab, titi dj yo”.
P2 : “O, iya, titi dj ya” P1 : “Yoi”.
Konteks: Tuturan di atas diucapkan untuk seorang teman yang sedang berpamitan kepada komunitasnya karena ada acara lain
. DT.20
13 P1: “Ada yang baru jadian lho”
P2: “Wah, berarti peje-peje nih”
Konteks: Tuturan di atas diucapkan karena ada salah satu teman dari komunitas sepeda lipat baru saja mempunyai pacar
. DT.39 14
“Oke semuanya sudah siap? Rede
Pada hitungan ketiga, satu… dua… tiga… yo…” Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh salah seorang juri dalam
perlombaan balap sepeda dalam acara JLFR . DT.40
Jika kita mengkaji tuturan di atas berdasarkan skala keopsionalan, maka akan tampak sebagai berikut:
Data 8 merupakan tuturan dari seorang teman akrab. Walaupun tuturan tersebut ditujukan kepada teman akrab, tetapi data tersebut
menunjukkan ketidaksantunan penutur terhadap mitra tutur dalam sebuah percakapan. Dalam hal ini, penutur tidak memberikan pilihan sama sekali
kepada mitra tutur. Ia mengharuskan mitra tuturnya untuk meng-genjot mengayuh sepedanya. Tuturan genjot sendiri sebenarnya tidak asing
didengar di kalangan komunitas sepeda, namun dalam hal ini setidaknya penutur menambahkan kata ajakan untuk mengayuh sepeda. Misalnya saja,
“ayo dab digenjot, abot” atau “tolong digenjot, abot dab”. Apabila diberi imbuhan kata tolong atau ajakan tersebut, mungkin mitra tutur sendiri
mempunyai alasan lain mengapa dia tidak mengayuh, sehingga mitra tutur memiliki pilihan lain dan tidak harus melakukan seperti yang
diperintahkan penutur. Data 9 merupakan tuturan seorang pembawa acara yang ditujukan
kepada para peserta yang hadir dalam acara tersebut. Kata gowes sendiri merupakan sebuah penekanan dari acara yang akan dilaksanakan. Dengan
adanya kata gowes berarti panitia acara yang saat itu diwakili oleh pembawa acara menyampaikan bahwa acara yang akan dilaksanakan pada
saat itu adalah gowes menggunakan sepeda. Dalam skala opsional, pembawa acara tidak peduli kepada seluruh peserta yang hadir dan tidak
memberikan pilihan sama sekali karena semua yang mengikuti acara
tersebut harus menggunakan sepeda. Yang tidak menggunakan sepeda secara tidak langsung tidak boleh mengikuti acara tersebut. Hal tersebut
menjadi tidak santun karena seolah penutur pembawa acara tidak mau tahu, dengan pendengar lain yang mungkin ingin menyusul karena
sebelumnya ada acara lain, tetapi tidak menggunakan sepeda. Bisa saja penekanan kata gowes sendiri malah membuat acara semakin tidak seru.
Seharusnya kata gowes tidak perlu diucapkan sehingga acara yang dilaksanakan bisa dihadiri oleh semua peserta, baik yang berangkat
bersamaan maupun yang menyusul dengan menggunakan kendaraan lain. Data 10 merupakan tuturan yang memiliki tingkat kesantunan
tergolong santun. Hal ini disebabkan kata secara apabila diartikan ke dalam bahasa Indonesia itu berarti berhubung. Jadi, tuturan tersebut hanya
sebagai penegas, untuk memberikan informasi yang ada. Tuturan tersebut tampak santun juga dari situasi tuturan yang terjadi. Tuturan terlihat baik-
baik saja dan berjalan dengan lancar karena mitra tutur merasa mendapat jawaban yang tepat dan pasti, memang tidak ada pilihan lain tetapi kata itu
sudah mewakili jawaban dari pertanyaan yang ada. Data 11 ingin mengatakan kepada pendengar bahwa kata bribik
memiliki taraf kesantunan yang cukup baik. Hal ini ditunjukkan karena kata bribik memiliki banyak pilihan. Penekanan pada kata bribik berarti
boleh hanya sekedar berkenalan saja atau hanya sekedar ngobrol dengan teman baru terutama teman lawan jenis bahkan sampai harus mengenal
lebih dekat. Hal ini memberikan banyak pilihan kepada mitra tutur karena
kata bribik sendiri sudah banyak dipahami di kalangan muda. Ajakan dari penutur untuk melakukan suatu tindakan dari sebuah tuturan dan
memberikan banyak pilihan kepada mitra tuturnya. Data 12 apabila dilihat memang tidak memberikan banyak pilihan
kepada mitra tuturnya. Tetapi indikasi penekanan kata titi dj merupakan singkatan dari “hati-hati di jalan”. Memang si penutur tidak memberikan
pilihan lain kecuali harus berhati-hati saat berada di jalan. Selain tidak adanya pilihan, kita juga harus melihat bahwa pesan yang terkandung
dalam tuturan tersebut merupakan pesan positif dari penutur kepada lawan tuturnya untuk bertindak hati-hati saat berada di jalan. Pesan tersebut yang
membuat santun tuturan yang terjadi. Dari tuturan tersebut mitra tutur menjadi senang karena ada teman yang memperhatikan.
Data 13 menimbulkan suatu keharusan dan tidak ada pilihan lain. Tuturan ini menimbulkan efek ketidaksantunan karena mitra tutur P2
mengharuskan penutur P1 untuk peje. Hal tersebut menjadi tidak santun karena peje
berarti “pajak jadian”. Jadi, si penutur seperti menyuruh mitra tuturnya untuk mentraktir teman-teman karena baru saja jadian. Hal ini
bisa saja membuat si penutur P1 menjadi terpojok karena situasi karena dihadapkan dengan satu pilihan yang sebisa mungkin harus dilakukan.
Maksud dari ‘pajak’ tersebut memang hanya sekedar bertanya kapan akan mengadakan syukuran karena sudah mempunnyai pacar. Tetapi dengan
adanya tuturan peje yang berarti ‘pajak’, maka secara tidak langsung
seseorang wajib mengadakan syukuran karena pajak sifatnya adalah wajib.
Sebaiknya supaya tuturan di 13 menjadi lebih santun tuturan peje tidak digunakan dan diganti dengan kata yang sebenarnya. Misalnya, “Wah,
kapan syukuran ne?” dengan menggunakan pilihan kata yang tepat, kemungkinan mitra tutur tidak akan merasa terpojokkan karena harus
mentraktir teman-teman. Apabila tuturan diganti dengan kata syukuran di atas, mitra tutur masih memiliki pilihan untuk tidak melakukannya karena
alasan tertentu. Data 14 merupakan tuturan dari seorang juri pada perlombaan
balap sepeda. Kata rede siap sebenarnya merupakan kata asing yang kemudian dijadikan sebagai bahasa slang dalam komunitas sepeda. Pada
kasus ini, data 14 dapat digolongkan sebagai kata yang tidak santun karena para peserta perlombaan tidak diberi pilihan lagi. Apabila juri
sudah mengatakan rede berarti para peserta sudah harus siap dengan posisinya masing-masing. Sama halnya dengan tuturan 13, penekanan
tuturan rede di atas membuat mitra tutur peserta menjadi terpojokkan. Penutur seakan tidak peduli dengan keadaan peserta. Karena kemungkinan
tidak semua peserta yang hadir untuk mengikuti perlombaan tersebut sudah mengecek sepeda mereka. Penutur tidak melihat situasi dan kondisi
para peserta yang mengikuti balap sepeda tersebut. Saat kata rede terucap tidak ada pilihan lain untuk para peserta lomba untuk siap dan mulai.
Dalam hal ini, penutur tidak memberikan pilihan kepada mitra tuturnya untuk mengecek persiapan yang diperlukan, maka dari itu tuturan di atas
menjadi tidak santun. Supaya tuturan tersebut menjadi lebih santun, ada
baiknya supaya kata rede sebaiknya dihilangkan atau diganti dengan bahasa Indonesia saja ‘siap’, karena penekanan kata rede lebih dalam
dibandingkan kata ‘siap’ itu sendiri. c.
Skala ketaklangsungan Skala ketaklan
gsungan dipakai untuk “mengukur” ketaklangsungan tindak ujaran: seberapa panjang jarak yang “ditempuh” oleh daya ilokusioner
sampai ia tiba di tujuan ilokusioner. Data penelitian disajikan sebagai berikut.
15 P1 : “Eh, Sinta tu kenapa sih kok sekarang jarang ikutan kumpul?
P2 : “Jadi orang gak usah kepo banget ya?”
P1 : “Masalah buat lo?”
P2 : “Huuu…”
Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh mitra tutur P2 dengan maksud mengejek penutur P1
. DT.06 16
P1: “Gini ya rasanya hidup di kota, ketemu macet, banyak polusi. Coba semua pake sepeda pasti gak separah ini”.
P2 : “Jadi orang tu jangan kamseupay dech”
P1 : “Apa hubungannya dengan macet ma polusi coba?” P2 : “Ya ada lah, karena lu biasa hidup di kampung”.
Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh penutur P2 dengan maksud mengejek mitra tutur P1, tetapi situasi dan suasana
percakapannya ialah santai
. DT.07 17
“Oke. Yang barusan datang, langsung saja merapat ke sisi barat jalan, supaya tidak mengganggu pengguna jalan yang lain.
”
Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pembawa acara dalam acara JLFR. Tuturan tersebut ditujukan untuk beberapa orang
yang baru saja tiba di lokasi acara untuk memarkirkan sepedanya di bahu jalan supaya tidak mengganggu pengguna jalan yang lain
. DT.10
18 P1: “Dirimu tuh masih jomblo to Feb?”
P2: “Kasih tau enggak ya?”
Konteks: Tuturan di atas diucapkan ketika ada salah satu teman cowok dari komunitas sepeda BMX yang sedang merayu salah satu
cewek dari komunitas sepeda BMX tersebut . DT.37
19 P1 : “Eh, ada yang bawa motor enggak nih?”
P2 : “Emang kenapa bro?” P1 : “Sepedaku rantainya putus. Kalo ada yang bawa ntar aku anterin
pulang dong”. P2 : “Wah, itu sih DL Derita Loe?”
P1 : “Tega lu ya” dengan wajah murung Konteks: Penutur bertanya kepada mitra tutur, kemudian ingin minta
tolong untuk mengantarkan pulang karena sepeda yang dipakai tiba- tiba rusak
. DT.42 20
P1 : “Bagi yang belum mengenal saya, sungguh sangat amat terlalu” P2 : “Huuu… jayus, jayus. Gak ada yang pengen tau”.
P1 : “Mumpung saya belum terkenal lho” P2 : “Ha… ha… ha…”
Konteks: Seorang pembawa acara penutur dalam suasana santai menghibur para peserta JLFR dengan berpura-pura menanyakan
siapa yang ingin mengetahui namanya. Tanggapan salah satu peserta mitra tutur saat mendengar pertanyaan si penutur
. DT.44
Jika kita mengkaji tuturan di atas berdasarkan skala ketaklangsungan, maka akan tampak sebagai berikut:
Data 15 memperlihatkan bahwa tuturan yang terjadi menjadi tidak santun. Terlihat dari percakapan yang terjadi, si penutur P1 bertanya
dengan nada dan cara yang tepat, sedang mitra tutur P2 memberi tanggapan yang hanya sepintas saja seperti tidak dipikirkan. Penekanan
kata kepo sendiri memberikan indikasi bahwa P1 adalah orang yang selalu ingin tahu segala sesuatunya. Kata kepo sendiri memberi penekanan
negatif sehingga membuat P1 tampak sedikit kecewa. Seharusnya si mitra tutur memberikan jawaban atas pertanyaan penutur, tetapi malah
sebaliknya penutur mendapat ejekan dari mitra tuturnya dan itu terjadi secara langsung ditambah adanya penekanan kata kepo.
Data 16 merupakan suatu singkatan dari “kampungan sekali udik payah”. Penekanan kata kamseupay sebenarnya sudah menimbulkan
konotasi yang negatif bagi mitra tuturnya. Satu kata yang memiliki banyak makna dan juga memiliki arti negatif. Hal ini menyebabkan tingkat
kesantunan yang dimiliki oleh tuturan tersebut menjadi tidak santun dikarenakan
mitra tutur
P2 secara
langsung mengutarakan
kejengkelannya terhadap penutur P1 akibat dari keluhan si penutur P1 terhadap kemacetan yang terjadi.
Data 17 merupakan tuturan yang diucapkan oleh pembawa acara yang mengajak para pesepeda yang baru datang supaya tidak memenuhi
jalanan. Dalam skala ini, pembawa acara secara langsung menyuruh para peserta yang baru saja datang untuk segera menepi dan tidak memenuhi
jalan umum. Kata merapat dimaksudkan untuk segera memarkirkan sepedanya ke tepi jalan, supaya tidak mengganggu pengguna jalan yang
lain. Kata merapat sendiri menjadi kurang santun karena penutur secara langsung menyuruh mitra tutur untuk segera menepi.
Data 18 merupakan tuturan dari seorang teman kepada teman lain yang menanyakan apakah dia sudah mempunyai pacar atau belum. Kata
jomblo artinya adalah belum mempunyai pacar. Pada tuturan 19 tersebut,
si penutur telah merugikan mitra tutur karena secara terrang-terangan dan tanpa basa-basi langsung menanyakan kehidupan pribadi orang lain. Hal
itu mengakibatkan tuturan menjadi tidak santun, penanda yang sangat tampak dari percakapan tersebut ialah jawaban dari mitra tutur yang
seolah-olah ingin mengalihkan pembicaraan dan tidak memberitahu secara langsung jawaban yang sebenarnya.
Data 19 dan 20 mempunyai kemiripan dalam penekanan penggunaan kata dalam tuturannya. Kata DL dan jayus merupakan kata
yang digunakan untuk menyindir orang lain. Hal ini sangat tampak tidak santun karena orang yang bersangkutan adalah mitra tuturnya, sehingga
secara langsung mitra tutur mengetahui bahwa penutur sebenarnya tidak menyukainya.
d. Skala keotoritasan
Skala keotoritasan merujuk pada hubungan status sosial antara penutur dan pendengar yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat
sosial antara penutur dan pendengar maka tuturan yang digunakan akan cenderung semakin santun. Data penelitian disajikan sebagai berikut.
21 “Ra ngrusui sikek to ndes”
“Jangan mengganggu dulu teman” Konteks: Tuturan di atas diucapkan saat sedang dalam situasi semi
formal yaitu dalam suasana rapat komunitas sepeda tinggi . DT.19
22 “Salam Tonjo buat kalian semua. Buat penampilan MALMIME-JA,
ERWE, dan semua kawan-kawan yang terlibat. Wangun tenan ”
Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pembawa acara untuk memberikan salam sekaligus ucapan terimakasih atas
penampilan dari beberapa grup band yang telah mempersembahkan beberapa lagu kepada semua yang hadir dan juga ucapan terimakasih
kepada semua teman yang terlibat dalam acara JLFR
. DT.25 23
P1 : “Baiklah teman-teman, besok acara tidak seperti biasanya. Siang kita akan mulai bergerak dari Jl. Mangkubumi.
P2 : “Wah, gak bisa boci dong?” dengan suara keras P1 : “Ntar yang mau boci, di jalan aja ya”
P2 : “Huuuuu…..”
Konteks: Seorang pembawa acara penutur sedang mengumumkan acara esok hari. Kemudian peserta mitra tutur menjawab tuturan
penutur dengan nada sedikit kecewa . DT.43
Jika kita mengkaji tuturan di atas berdasarkan skala keotoritasan, maka akan tampak sebagai berikut:
Data 21 bisa dikategorikan ke dalam tuturan yang santun, karena si penutur ketua memiliki skala keotoritasan yang lebih tinggi
dibandingkan pendengar anggota. Penutur menggunakan kata ndes yaitu kepanjangan dari gondes, biasanya panggilan untuk preman atau orang
yang terlihat seperti brandal. Maka dari itu, sapaan itu masih bisa dikatakan santun karena yang mengatakan penutur memiliki jabatan
otoritas yang lebih tinggi dibandingkan pendengar. Lain halnya apabila tuturan tersebut ditujukan kepada teman yang tingkatanderajatnya sama
tidak ada jarak otoritas sebagai pemisah antara penutur dan mitra tuturnya. Mungkin hal tersebut malah akan merusak suasana tuturan.
Data 22 merupakan tuturan yang diucapkan oleh pembawa acara di saat menyapa para peserta. Salam tonjo bisa diartikan sebagai salam
hangat, tetapi memang tidak dipakai di komunitas lain. Tuturan tersebut tergolong dalam kategori yang sangat santun, karena si pembawa acara
sebagai penutur mempunyai kekuasaan otoritas penuh dalam membawakan sebuah acara. Kemudian dari arti salam tersebut, salam
tersebut memiliki arti yang sangat positif dan bisa memberi semangat para peserta yang mengikuti acara tersebut.
Dilihat dari konteks tuturan yang terjadi, data 23 menimbulkan efek yang negatif juga. Hal ini tampak dari tuturan yang terjadi, tuturan
tersebut menjadi tidak santun karena si pembawa acara P1 tampak seperti jengkel dengan mengulangi kata boci tersebut sewaktu menanggapi tuturan
dari mitra tuturnya. Karena si penutur memiliki otoritas dalam acara tersebut, maka ia mengulangi kata tersebut dengan menggunakan intonasi
nada yang sedikit meninggi supaya mitra tuturnya menjadi tahu bahwa sebenarnya pengumuman tersebut merupakan pengumuman penting dan
wajib diperhatikan oleh teman-teman. e.
Skala jarak sosial Skala jarak sosial mengarah kepada peringkat hubungan sosial antara
penutur dan pendengar yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderungan semakin dekat jarak hubungan di antara keduanya akan
menjadi kurang santunlah pertuturan itu. Dengan kata lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur dan pendengar sangat menentukan
peringkat kesantunan tuturan yang digunakan. Data penelitian disajikan sebagai berikut.
24 P1 : “Lha, suwe ra ketok nandi wae bro?”
P1: “Lha, lama tidak kelihatan kemana saja kau?” P2 :
“Sori bro aku sik sibuk ki.” P2: “Sori teman, aku masih sibuk.”
Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang teman yang sudah mengenal dekat sapaan akrab. Tuturan tersebut diucapkan saat
salah satu teman dari komunitas sepeda tinggi baru saja muncul setelah lama tidak kelihatan
. DT.01 25
P1 : “Malem minggu rep do mancal nandi ki cah?” P1 : “Malam Minggu mau pada bersepeda kemana teman?”
P2 : “Halah, yo mung koyo biasane wae, kumpul ning KM 0”.
P2 : “Halah, ya hanya seperti biasanya aja, kumpul di KM 0” P1 :
“Oke”. P1 : “Oke”
Konteks: Tuturan tersebut diucapkan kepada sesama teman sepeda dalam komunitas sepeda tinggi. Di saat percakapan mengenai kapan
dan dimana akan bersepeda kembali
. DT.02 26
P1: “Koe seko endi e, kok sui men?” P1: “Kamu darimana saja, kok lama sekali?”
P2 : “Seko Bantul dab”
P2: “Dari Bantul kawan” Konteks: Tuturan di atas ditujukan menjawab sekaligus menyapa
teman yang menanyakan sesuatu kepadanya . DT.22
27 P1 : “Dadi uwong ki mbok biasa wae, ra usah alay”
P1 : “Jadi orang tuh biasa saja, gak usah alay” P2 :
“Lha emang ngopo to?” P2 : Lha emang kenapa to?”
Konteks: Tuturan tersebut diucapkan pada situasi yang bebas dan santai. Tuturan tersebut terucap karena mitra tutur bertingkah aneh
di depan teman-temannya
. DT.27 28
P1: “Halo bos, sui ra ketok nandi wae?” P1: “Halo sob, lama tidak kelihatan kemana saja?”
P2: “Sori, pitku lagi rewel ki, makane ra tau metu.” P2: “Sori, sepedaku masih rusak, makanya gak pernah keluar.”
Konteks: Tuturan di atas biasanya diucapkan untuk menyapa teman lain yang mungkin tidak begitu akrab
. DT.31 29
P1 : “Koe kok kecu banget’e ndes” P1 : “Kamu kok gak jelas banget”
P 2 : “Ra ngece bro, kualat lho”.
P2 : “Enggak mengejek bro, kualat lho” Konteks: Penutur mengejek mitra tuturnya dengan nada bercanda.
DT.38
Jika kita mengkaji tuturan di atas berdasarkan skala jarak sosial, maka akan tampak sebagai berikut:
Data 24, 26, dan 28 memiliki kesamaan arti dan juga tergolong dalam tuturan yang santun. Kata bro 24 digunakan untuk menyapa teman
lain dan ini memperlihatkan adanya suatu kedekatan jarak sosial dalam
hubungan mereka. Dalam hal ini tuturan tersebut termasuk dalam kategori sangat santun karena baik penutur maupun pendengar mempunyai
kedekatan jarak sosial. Kata bro sendiri merupakan kependekan dari kata asing brother yang berarti saudara. Sedangkan data 28, kata bos berasal
dari kata sobat dan disingkat menjadi sob, kemudian dibalik menjadi bos. Biasanya memang sapaan ini digunakan oleh seorang yang baru saja
mengenal atau tidak mengenal secara dekat. Kata bos sendiri jika dikategorikan merupakan tuturan yang sangat santun, karena kata bos
sendiri didengar seolah teman yang baru dikenal lebih besar strata dengan penutur walaupun sebenarnya setara dengan dab dan bro. Data
26 merupakan tuturan yang diucapkan oleh seorang kepada teman lain untuk menyapa panggilan untuk seseorang dan biasanya sudah mengenal
akrab. Kata dab termasuk dalam kategori santun, karena kata tersebut dipakai untuk seseorang yang telah memiliki kedekatan jarak sosial.
Data 25 merupakan tuturan yang diucapkan oleh teman yang sudah mengetahui arti dari kata mancal yang dimaksud. Kata mancal memiliki
arti yang positif di kalangan sepeda. Apabila kata tersebut dipakai ke dalam bahasa percakapan di luar komunitas sepeda tentu akan
menimbulkan efek yang tidak santun sama sekali karena kata tersebut mengandung arti negatif yaitu menendang. Sedangkan pada tuturan di
kalangan komunitas sepeda, tuturan tersebut sudah biasa sehingga tidak menimbulkan efek apa-apa dan dianggap sebagai bahasa yang santun.
Data 27 menunjukkan bahwa dengan adanya kedekatan jarak sosial tuturan tersebut semakin tidak santun. Hal ini dapat dilihat dari penekanan
kata alay yang memiliki arti “remaja yang belum mempunyai pendirian”.
Karena penutur dan mitra tutur merupakan teman dekat jadi tuturan yang terucap dengan menekankan kata alay tersebut menimbulkan efek negatif
dan tidak santun. Penutur tidak perlu berpikir lagi tentang perasaan mitra tuturnya karena mitra tutur adalah teman dekat dari penutur.
Data 29 memberikan indikasi tidak santun pada tuturan yang terjadi. Hal tersebut ditunjukkan lewat penekanan kata kecu yang berarti
“tidak jelas”. Ketidaksantunan pada tuturan tersebut tampak dari tanggapan mitra tutur terhadap diri penutur yang menjawab dengan nada
malas. Hal ini bisa saja disebabkan dari jarak sosial yang ada antara penutur dan mitra tuturnya. Dilihat dari jawaban mitra tutur, sepertinya
penutur dan mitra tutur bukanlah teman dekat sehingga kata kecu yang seharusnya bisa menjadi guyonan malah menjadikan komunikasi tidak
wajar lagi.
2. Efektivitas Penggunaan Bahasa Slang sebagai Bahasa Percakapan
Setelah membahas beberapa hal berkaitan dengan penggunaan bahasa slang dan seberapa besar tingkat kesantunan bahasa slang yang
digunakan di dalam komunitas sepeda di Yogyakarta, peneliti kemudian ingin melihat keefektifan penggunaan bahasa slang sebagai bahasa
percakapan.
Di atas sudah dijelaskan tingkat kesantunan bahasa slang menurut skala kesantunan Leech. Di bawah ini akan dipaparkan pula hasil temuan
berupa penanda-penanda tingkat kesantunan tuturan di dalam bahasa slang. Dalam tulisan ini, yang dimaksud dengan penanda tingkat
kesantunan adalah satuan kebahasaan kata, frasa, klausa, atau pun kalimat yang dituturkan seorang penutur yang memungkinkan pendengar
berpersepsi memberikan tanggapan atau penilaian tentang tinggi rendahnya tingkat kesantunan suatu atau seluruh tuturan diungkapkan
atau dituturkan pembicara. Penanda-penanda tingkat kesantunan itu adalah sebagai berikut.
a. Pemakaian pilihan kata diksi
Keraf dalam bukunya Diksi dan Gaya Bahasa memberikan dua definisi tentang pilihan kata diksi. Pertama, pilihan kata diksi
mencakup pengertian
kata-kata mana
yang dipakai
untuk menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelom-
pokan kata-kata yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu
situasi. Kedua, pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang
ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai cocok dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok
masyarakat pendengar 1984:24.
Lebih lanjut Keraf menjelaskan bahwa persoalan pemilihan atau pendayagunaan kata pada dasarnya berkisar pada dua persoalan
pokok, yakni pertama, ketepatan memilih kata untuk mengungkapkan sebuah gagasan, hal atau barang yang akan diamanatkan, dan kedua,
kesesuaian atau kecocokan dalam mempergunakan kata tersebut. ketepatan pilihan kata mempersoalkan kesanggupan sebuah kata untuk
menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada imajinasi pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh pembicara penutur.
Persoalan ketepatan pemilihan kata akan menyangkut pula masalah makna kata dan kosakata seseorang. Penguasaan yang banyak
terhadap kosakata akan memungkinkan penulis atau pembicara lebih bebas memilih-milih kata yang dianggapnya paling tepat mewakili
pikirannya. Ketepatan makna kata menuntut pula kesadaran penulis atau pembicara untuk mengetahui bagaimana hubungan antara bentuk
bahasa kata dengan referensinya. Di atas sudah disinggung bahwa persoalan pemilihan kata
diksi jelas terkait dengan masalah makna yang timbul dari penggunaan atau pemilihan kata tersebut. Ada empat kemungkinan
yang muncul ketika penutur memilih kata, yakni: penutur memilih kata-kata yang bermakna denotasi dengan tujuan memperhalus tuturan
menjadikan tuturannya itu lebih santun, penutur memilih kata-kata denotatif yang memang maknanya kasar atau negatif misalnya:
karena marah yang mengakibatkan tuturannya terdengar kurang
santun, penutur memilih kata-kata yang bermakna konotasi dengan tujuan memperhalus tuturan, dan penutur memilih kata-kata konotatif
yang memang maknanya kasar atau negatif sehingga tuturannya terdengar kasar kurang santun. Dari beberapa hal di atas penulis
kemudian merangkum menjadi dua bagian penting untuk menilai keefektifan bahasa slang yang digunakan sebagai bahasa percakapan.
1 Penggunaan kata yang tepat
Penggunaan kata yang tepat untuk menyampaikan suatu gagasan merupakan hal terpenting yang harus diperhatikan saat
bertutur kata. Dengan pemilihan kata yang tepat, tuturan yang terjadi antara penutur dan mitra tutur pun menjadi baik. Semakin
tepat pemilihan kata berarti dalam menyampaikan suatu gagasan juga akan semakin baik dan hal itu menunjukkan bahwa tuturan
tersebut efektif untuk digunakan dalam percakapan. 2
Menemukan bentuk yang sesuai Yang dimaksud sesuai cocok ialah tuturan yang terjadi
sesuai dengan situasi dan nilai rasa. Jadi, seorang penutur harus bisa meilhat bagaimana situasi dari mitra tuturnya, supaya tuturan
yang terjadi tidak menyakiti atau merugikan diri mitra tuturnya atau sebaliknya. Apabila penutur mengutarakan tuturannya tidak
sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang tepat maka tuturan tersebut tidak efektif untuk digunakan.
Tuturan bisa berjalan dengan efektif apabila situasi tuturan tidak menjadi kacau. Misalnya saja tuturan terjadi di saat mitra
tutur sedang tidak enak hati tetapi penutur malah membuat guyonan. Hal itu malah akan semakin merusak suasana tuturan
karena penutur bisa saja malah membuat marah mitra tuturnya. b.
Pemakaian gaya bahasa KBBI Daring menjelaskan bahwa gaya bahasa merupakan
pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis; pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek
tertentu; cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulis atau lisan.
Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis
Keraf, 1984:113. Gaya bahasa adalah bahasa indah yang dipergunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan
serta memperbandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum. Pendek kata penggunaan gaya bahasa
tertentu dapat mengubah serta menimbulkan konotasi tertentu. Berdasarkan hasil analisis terhadap data-data yang ada,
ditemukan beberapa jenis gaya bahasa yang dipergunakan penutur pembicara ketika bertutur. Gaya-gaya bahasa itu digunakan oleh
penutur dengan maksud tertentu. Lawan bicaranya ’kehilangan muka’ atau tersinggung dan malu, tetapi ada pula yang dengan sengaja
memakai gaya bahasa-gaya bahasa itu dengan tujuan agar apa yang dituturkannya itu benar-benar membuat lawan bicaranya malu
kehilangan muka misalnya: karena marah, mengkritik, dan lain- lain. Beberapa hal tersebut terangkum dalam tiga kriteria, yaitu:
1 Kejujuran
Kejujuran yang dimaksud berkaitan dengan gaya bahasa ialah kejujuran diri penutur untuk tetap mengikuti kaidah-kaidah dan
aturan-aturan tentang bahasa yang berlaku di masyarakat umum. Penutur diharapkan tidak berbelit-belit saat bertutur kata. Jadi,
semakin tuturan berbelit-belit, maka tuturan tersebut semakin tidak efektif untuk digunakan.
2 Sopan santun
Sopan santun yang dimaksudkan adalah bagaimana penutur menghormati mitra tutur. Rasa hormat yang dimaksudkan adalah
tentang kejelasan dan kesingkatan kata yang digunakan. Berbicara secara jelas bisa mnguntungkan mitra tutur, karena tidak perlu
berpikir keras untuk mengetahui maksud penuturnya. Jadi, semakin tuturan tersebut membuat mitra tutur menjadi bingung,
maka tuturan tersebut semakin tidak efektif untuk digunakan. 3
Menarik. Sebuah gaya yang menarik dapat diukur melalui variasi,
humor yang sehat, pengertian yang baik, tenaga hidup, dan imajinatif. Maksud dari semuanya itu ialah penutur diharapkan
kaya akan kosakata, bisa menciptakan rasa gembira saat melakukan tuturan serta memiliki daya khayal supaya percakapan
menjadi lebih hidup. Jadi, apabila penutur membuat suasana tuturan menjadi terhenti maka tuturan tersebut tidak efektif
digunakan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai alat ukur
keefektifan suatu tuturan telah dijelaskan di atas. Secara singkat beberapa hal tersebut akan dirangkum menjadi satu tabel supaya
memudahkan kita untuk menilai suatu keefektifan sebuah tuturan.
TABEL 1 KRITERIA KEEFEKTIFAN TUTURAN
EFEKTIF TIDAK EFEKTIF
1. Penutur dan mitra tutur
mengerti konteks tuturan. 2.
Penggunaan kata yang tepat. 3.
Bentuk yang sesuai. 4.
Jujur. 5.
Sopan santun. 6.
Menarik. 1.
Penutur dan mitra tutur tidak mengerti konteks tuturan.
2. Penggunaan kata yang tidak
tepat. 3.
Bentuk yang tidak sesuai. 4.
Tidak jujur. 5.
Tidak ada unsur sopan santun.
6. Tidak menarik.
Tabel di atas sudah merangkum hal apa saja yang perlu diperhatikan dalam sebuah tuturan sehingga tuturan tersebut menjadi efektif untuk
digunakan sebagai bahasa percakapan. Tabel tersebut menjelaskan bahwa
tuturan yang efektif ialah tuturan yang dimengerti oleh kedua komunikan sebagai hal paling penting yang harus diperhatikan. Selanjutnya, baik
pennutur maupun mitra tutur harus memperhatikan poin kedua sampai keenam. Supaya lebih jelas, peneliti akan menyajikan beberapa data untuk
melihat seberapa besar keefektifan suatu tuturan yang digunakan di dalamnya. Berikut akan disajikan beberapa tuturan yang tergolong efektif
untuk digunakan. 30
Acara malam hari ini akan kita buat gayeng.”
Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh pembawa acara dalam pembukaan acara ulang tahun JLFR ke-36
. DT.17 31
P1 : “Kuesel’e pool, sopo to jane sing milih rute?” P1 : “Capeknya pool banget, siapa sih yang memilih rute?”
P2 : “Emboh ki, jare Theo”.
P2 : “Enggak tahu, katanya Theo” Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang teman dalam
komunitas sepeda fixie yang saat itu terlihat sangat kelelahan karena rute perjalanan yang sangat panjangjauh
. DT.23 32
“Baiklah teman-teman. Supaya acaranya tidak begitu rempong, kita buat sederhana sa
ja.”
Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh ketua sepeda tinggi dalam rapat intern komunitas. Pada saat itu rapat sudah berlangsung cukup
lama dan tidak menghasilkan apa-apa . DT.26
33 P1: “Krungu-krungu cewekmu sik berondong yo Lang? lha kok
mulyo uripmu ”.
P1 : “Dengar-dengar pacarmu masih berondong ya Lang? Lha kok beruntung hidupmu”
P2: “Yo biasalah”.
Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh penutur saat mengetahui bahwa pacar Gilang ternyata lebih muda darinya
. DT.32
Data 30 merupakan tuturan yang diucapkan oleh pembawa acara dalam acara JLFR ke-36. Kata gayeng sendiri menunjukkan sebuah
penekanan maksud dari yang diharapkan oleh si penutur. Tidak ada basa-
basi dari si penutur tetapi langsung menyampaikannya kepada pendengar. Kata gayeng sendiri termasuk dalam kriteria tuturan santun. Karena
merupakan sebuah ajakan yang intinya dalam acara tersebut harus dipenuhi dengan keceriaan. Dilihat dari kriteria kesantunan yang dimiliki
oleh kata tersebut, maka secara tidak langsung kata gayeng sendiri merupakan tuturan bahasa slang yang efektif untuk digunakan dalam
komunitas sepeda di Yogyakarta. Kata tersebut sudah pasti dimengerti oleh semua peserta yang hadir dalam acara itu. Penggunaan kata tersebut
juga menimbulkan suasana yang menarik sehingga membuat mitra tutur menjadi semakin bersemangat dalam mengikuti acara yang dihadirinya.
Data 31 menekankan kata pool yang berarti “sangat”. Kata tersebut
menimbulkan penutur tidak memberikan banyak pilihan untuk menanggapi tuturan dari penutur. Penutur hanya memberikan pilihan
bahwa bersepeda di hari itu sangat membuat letih tanpa mempedulikan mitra tutur apakah ia sudah letih atau belum. Karena penutur tidak
memberikan banyak pilihan kepada mitra tuturnya, maka tuturan tersebut termasuk dalam kategori tidak santun. Dilihat dari konteks tuturan yang
terjadi, walau tuturan tersebut tergolong tuturan yang tidak santun, mitra tutur tetap mengerti maksud dari kata pool yang dimaksud. Karena mitra
tutur mengerti akan arah pembicaraan yang terjadi, maka tuturan tersebut termasuk kedalam tuturan yang efektif untuk digunakan dalam percakapan
yang terjadi. Mungkin memang ada beberapa kriteria keefektifan yang tidak terpenuhi, misalnya saja tidak menarik kemudian bentuknya tidak
sesuai, tetapi secara garis besar tuturan tersebut masih bisa digunakan efektif karena percakapan masih dapat berlangsung dengan lancar.
Data 32 merupakan tuturan dari seorang ketua komunitas sepeda tinggi. Kata rempong ruwetribet sendiri terucap ketika rapat sudah
terlalu lama dan membahas hal-hal yang tidak penting. Apabila dilihat dari konteks tuturan dan dimana tuturan itu dilakukan, maka tuturan tersebut
tergolong sebagai tuturan yang tidak santun. Tuturan tersebut tergolong tidak
santun karena
ketua secara
terang-terangan menyatakan
ketidakpuasannya terhadap rapat yang diadakan dan secara tidak langsung mengajak anggota yang lain supaya segera menyudahi rapat yang diadakan
tersebut. Tuturan tersebut tergolong efektif untuk digunakan dalam tuturan yang terjadi karena dalam ketua tentu sudah memahami bahwa mitra tutur
anggota kelompok mengerti akan arti kata rempong tersebut. Tentu dalam hal ini, penutur sudah mempertimbangkan segala sesuatunya saat
menuturkan tuturan tersebut. Penutur merupakan orang yang memiliki otoritas sebagai pemimpin, maka sudah tepat jika ia menggunakan kata
rempong sebagai penegasan kepada teman-teman yang lain untuk
mengambil keputusan dalam rapat yang sedang berlangsung. Data 33 tidak begitu merugikan mitra tutur. Hal ini bisa dilihat dari
percakapan yang terjadi. Saat penutur menanyakan sesuatu mitra tutur masih menjawab pertanyaan penutur dengan santai. Apabila digolongkan
ke dalam tingkat kesantunan tuturan berondong di sini tergolong tidak santun. Walaupun tuturan tersebut tergolong ke dalam tuturan yang tidak
santun, tuturan tersebut efektif untuk digunakan sebagai bahasa percakapan dalam komunitas tersebut. Hal tersebut dapat dilihat melalui
percakapan yang sedang berlangsung. Tuturan antara penutur dan mitra tutur dapat berjalan dengan baik, itu menandakan bahwa keduanya
mengerti akan konteks tuturan. Apabila penutur dan mitra tutur sudah mengerti akan konteks tuturan yang ada, tentu kata berondong termasuk
kata yang tepat dan sesuai untuk digunakan dalam bahasa percakapan. Lebih dari itu, walau kata berondong dipandang sebagai bahasa yang
kurang santun bagi kebanyakan orang, dalam komunitas ini kata tersebut sudah biasa digunakan dan dianggap sopan dan menarik.
Supaya dapat membedakan dengan jelas bagaimana keefektifan suatu tuturan bahasa slang, selanjutnya akan disajikan pula beberapa
tuturan bahasa slang yang tidak efektif untuk digunakan.
34 “Baiklah, sekarang kita akan mengadakan perlombaan balap sepeda
jenis apapun. Dan pemenangnya nanti akan mendapatkan kaos unyu- unyu
dari panitia JLFR Jogja Last Friday Ride ”.
Konteks: Tuturan di atas diucapkan oleh seorang pembawa acara saat sedang mengumumkan hadiah dari perlombaan yang akan
dilaksanakan . DT.15
35 P1: “Dab, ayo melu balapan”
P1: “Teman, ayo ikut balapan” P2: “Wegah, ra wani aku lek banter-banteran.”
P2: “Gak mau, saya tidak berani kalau kebut-kebutan.” P1: “Wuuuu…. Cemen tenan.”
P1: “Wuuuu… Pengecut sekali” Konteks: Tuturan di atas diucapkan untuk merendahkan lawan
tuturnya ketika ditawari untuk mengikuti kegiatan lomba balap sepeda tinggi, tetapi dia menolak karena tidak berani jika balapan
menggunakan sepeda tinggi. Hal ini terjadi saat situasi ramai karena
ada beberapa orang yang sudah siap untuk mengikuti balapan tersebut
. DT.35 36
P1 : “Sekali-kali kongkow-kongkow di tempat lain yuk” P2 : “Apaan tuh?”
P1 : “Nongkrong maksudnya”. P2 : “Ooo…”
Konteks: Penutur mengajak mitra tutur tetapi mitra tutur tidak mengetahui arti pembicaraan si penutur
. DT.45
Data 34 merupakan tuturan yang bersifat satu arah, tanpa mengharuskan adanya jawaban dari mitra tutur. Tuturan yang diucapkan
oleh pembawa acara tersebut tergolong tidak santun karena pembawa acara penutur menganggap semua mitra tutur mengetahui arti dari kata
unyu-unyu yang dimaksud. Kata unyu di atas menjadi tidak efektif untuk
digunakan karena penutur baru hanya menganggap bahwa mitra tutur yang adalah seluruh peserta JLFR mengetahui arti kata unyu yang dimaksud.
Tuturan yang bersifat satu arah seperti di atas seharusnya menggunakan kata-kata yang sudah pasti diketahui banyak orang supaya dapat
dimengerti oleh mitra tuturnya, bahkan diusahakan tuturan tersebut menjadi menarik bagi sebagian besar orang yang mendengarnya mitra
tutur. Tuturan di atas sudah pasti tidak efektif digunakan karena dari keenam kriteria keefektifan yang ada penutur sudah melanggar kriteria
utama. Apabila mitra tutur sudah tidak bisa mengerti konteks tuturan yang dimaksud, sudah pasti tuturan tersebut tidak tepat, tidak sesuai, tidak
sopan, dan bahkan tidak menarik untuk didengarkan oleh mitra tuturnya. Data 35 merupakan tuturan yang diucapkan oleh teman sesama
komunitas sepeda tinggi. Kata cemen dalam tuturan tersebut sudah sangat
jelas secara langsung meremehkan pendengar. Penutur secara langsung mengejek pendengarnya dengan kata cemen pengecut. Tuturan ini masuk
dalam kategori tidak santun, karena penutur sama saja merendahkan harga diri mitra tutur, apalagi di hadapan banyak orang. Tuturan 35 merupakan
tuturan yang masih dimengerti oleh mitra tuturnya. Walaupun tuturan tersebut dimengerti oleh mitra tuturnya, tetapi dalam hal ini jika melihat
konteks tuturan yang terjadi, tuturan yang terjadi antara penutur dan mitra tutur menjadi terhenti karena mitra tutur dianggap rendah di mata penutur.
Tuturan ini sebenarnya memenuhi kriteria pertama dalam menilai suatu keefektifan suatu tuturan, tetapi kriteria kedua sampai keenam tidak
diperhatikan oleh penutur sehingga menimbulkan ketidakefektifan dalam tuturan tersebut. Hal utama yang menyebabkan tuturan ini tidak efektif
untuk digunakan adalah merendahkan mitra tutur. Merendahkan mitra tutur tentu sama saja membuat mitra tutur menjadi tidak tertarik untuk
mendengar tuturan tersebut. Jika mitra tutur tidak tertarik, ia tentu menganggap itu tidak santun dan bahkan tuturan tersebut tidak sesuai
untuk diucapkan atau digunakan. Data 36 sudah sangat jelas terlihat bahwa tuturan dengan
penegasan kata kongkow menjadi tidak santun. Tampak jelas karena tindak tuturan yang terjadi tidak lagi berjalan dengan lancar. Mitra tutur tidak
mengetahui arti dari kata tersebut. Hal ini sangat merugikan diri mitra tutur. Dinilai dari efektif tidaknya penggunaan tuturan 36 tersebut, dapat
disimpulkan bahwa tuturan tersebut tidak efektif untuk digunakan dalam
suatu tuturan. Hal pertama yang perlu diperhatikan dari percakapan yang terjadi di atas, antara penutur dan mitra tutur sudah kehilangan
komunikasi. Dilihat dari tuturannya, mitra tutur tidak mengerti arti dari kata kongkow sendiri. Ketidakmengertian mitra tutur terhadap tuturan yang
ada merujuk ke indikator kefektifan yang lainnya. Hal kedua sudah pasti mitra tutur menganggap tuturan tersebut tidak sesuai dan tepat untuk
digunakan karena mitra tutur tidak mengerti arah pembicaraan yang dimaksud. Apabila kesemuanya itu terjadi, secara tidak langsung mitra
tutur menjadi tidak tertarik dengan tuturan yang terjadi.
C. Pembahasan