70 para penginjil Barat tersebut, kini saatnya untuk pendeta perempuan diberikan
kesempatan yang lebih banyak lagi sebagai pemimpin Gereja di HKBP dan tentunya berdasarkan kemampuan yang mereka miliki.
c. Pemimpin Jemaat di HKBP
Dalam Aturan Peraturan HKBP tahun 2002 yang memimpin HKBP tertulis dalam pasal 18 sbb:
1. Pimpinan jemaat memimpin jemaat cabang dan pendeta resort memimpin
jemaat induk 2.
Pendeta resort memimpin jemaat resort.
135
3. Praeses bersama kepala bidang memimpin distrik.
136
4. Ephorus bersama Sekretaris Jenderal dan kepala departemen memimpin
segenap HKBP. Untuk pemilihan Praeses, Kepala Departemen, Sekretaris Jenderal dan Ephorus
dilakukan Sinode Godang setiap lima tahun sekali dan mereka bersama Kepala Biro Personalia HKBP yang menetapkan pimpinan jemaat cabang, pendeta resort dan kepala
bidang di distrik melalui Surat Keputusan SK. Adapun syarat bagi pemimpin HKBP yang dapat dipilih di Sinode Godang tersebut adalah:
137
a. Paling sedikitnya sudah 15 tahun setelah menerima tahbisan kependetaan di HKBP,
dan bekerja terus di HKBP. Pendeta-pendeta yang oleh HKBP diutus bekerja di gereja atau di lembaga lain, dianggap bekerja di HKBP.
b. Tidak pernah dikenai sanksi Peraturan Penggembalaan dan Siasat Gereja.
c. Sehat rohani dan jasmani.
d. Usianya tidak lebih dari 61 tahun pada saat pemilihan.
e. Dipilih oleh Sinode Godang
135
Aturan Peraturan HKBP 2002, Pearaja-Tarutung, Kantor Pusat HKBP, 2002, 127; Dalam AP HKBP tsb dituliskan bahwa Resort adalah persekutuan jemaat-jemaat setempat untuk memantapkan dan mengembangkan
persekutuan, kesaksian dan pelayanan di tengah-tengah jemaat.
136
Ibid, 130: Distrik adalah kesatuan dari beberapa resort untuk memantapkan dan mengembangkan persekutuan, kesaksian dan pelayanan di distrik itu. Praeses dipilih oleh Sinode Godang.
137
Aturan Peraturan HKBP 2002, Pearaja-Tarutung, Kantor Pusat HKBP, 2002, 127
71 Syarat yang sama juga berlaku bagi Sekretaris Jenderal, Kepala Departemen Marturia
dan Koinonia. Namun untuk Kepala Departemen Diakonia, pada butir a dinyatakan: Seorang pelayan atau warga jemaat yang bersedia mengorbankan dirinya dalam
pekerjaan pelayanan, diakonia dan kemasyarakatan karena Kristus. Untuk butir b, c, d dan e sama.
Sangat jelas dinyatakan bahwa hanya pendetalah yang dapat dipilih menjadi Praeses, Sekretaris Jenderal, Ephorus, Kepala Departemen Marturia dan Koinonia.
Namun ada pengecualian untuk Kepala Departemen Diakonia terbuka peluang bagi pelayan non tahbisan, yaitu warga jemaat tanpa membatasi waktu pelayanan mereka.
Dari hasil wawancara, ada beberapa penambahan syarat sesuai dengan kebutuhan pelayanan dalam zaman ini. Pemimpin di HKBP sudah harus dipersiapkan sejak dia
mahasiswa di STT, Calon Pendeta dan Pendeta mempunyai wawasan yang luas, mengetahui ekonomi, politik dan isu-isu yang berkembang dalam tingkat nasional dan
internasional dan mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris.
138
Di samping itu juga Biro pembinaan HKBP harus tetap melakukan Pembinaan berjenjang sesuai dengan masa pelayanannya.
139
Menurut Ephorus HKBP yang dimaksud dengan pembinaan berjenjang dan terpadu, yaitu pembinaan bagi yang telah melayani
di daerah tradisional mereka masuk ke pembinaan dengan materi pembinaan di transisional, lalu melayani dan selanjutnya diadakan kembali pembinaan bagi mereka
138
DPS, Hasil wawancara, Selasa, 8 April 2012, Siborongborong, Tapanuli Utara.
139
JS, Hasil wawancara, Rabu, 28 Maret 2012, Pearaja Tarutung, Tapanuli Utara.
72 yang berbakat untuk kategorial, di kota dan di kantor. Setelah itu mereka ditempatkan
sesuai dengan bakat masing-masing.
140
Dari ungkapan di atas, Penulis memahami bahwa untuk menjadi seorang pemimpin di HKBP tidak dibatasi apakah dia perempuan atau laki-laki. Peluang itu
diberikan sama pada keduanya, tetapi mengapa pada kenyataannya dilapangan sangat sedikit pendeta perempuan sebagai pemimpin? Dari hasil penelitian yang dilakukan di
lapangan ada 4 faktor yang mempengaruhi sulitnya pendeta perempuan disertakan dalam kepemimpinan di tingkat resort, distrik dan sinode dalam usia Gereja HKBP 150
tahun yaitu:
3.2.Relasi Pendeta Perempuan dengan lingkungannya
Sekalipun dalam Aturan dan Peraturan HKBP tahun 2002, menyebutkan pendeta tanpa membedakan laki-laki atau perempuan,
141
namun kenyataannya kesempatan untuk memimpin bagi pendeta perempuan sangat sedikit sekali baik di tingkat resort,
distrik dan Sinode. Oleh karena itu menurut MSS, seorang pendeta perempuan menyatakan:
pe deta pere pua harus erusaha e gejar keterti ggala a, harus
isa e o jol sehi gga le ih dike al .
142
Sehubungan dengan itu menurut DS kepala biro personalia HKBP, pendeta perempuan harus memperkenalkan dirinya di tingkat
distrik dengan menunjukkan kualitas pelayanannya di jemaat .
143
140
BN, Hasil wawancara, Senin, 2 April 2012, Hotel Asean, Medan
141
Ibid
142
MSS, Ibid.
143
DS, Hasil wawancara, Seminarius Sipoholon, Tapanuli Utara, Rabu, 28 Maret 2012
73 Dalam mengejar ketertinggalannya itu perlu dibekali dengan kepemimpinan
sehingga tahu bagaimana memimpin rapat dan ada prakteknya.
144
Pendeta perempuan juga harus banyak terlibat dalam gerakan oikumene sebagai peserta, apakah partisipan
atau berpartisipasi sehingga mempunyai wawasan nasional dan internasional.
145
Sebagai pemimpin Gereja, menurut RH, sekretaris jenderal HKBP, pendeta
perempuan harus cakap dan mampu membawa diri . Lebih lanjut dipaparkannya bahwa:
Faktor ter esar sulit a pe deta pere pua diteri a sebagai pemimpin adalah diri perempuan itu sendiri, dia tidak tahu
dia perempuan. Oleh karena itu dia harus tahu dulu bahwa dia perempuan, dia harus berpenampilan sebagai perempuan karena cara kita berada
dan berinteraksi menunjukkan siapa kita. Sulit bagi saya menggambarkan ini perempuan dan ini laki-laki, hal itu hanya dapat dilihat ketika perempuan
itu sendiri berinteraksi dengan jemaat.
146
Menurut AVP dosen STT-HKBP Pematangsiantar, pendeta perempuan harus tahu dimana dia berada, karena itu dia perlu membangun relasi dengan laki-laki untuk
membangun diri dan keluar dari ketertinggalannya.
147
Perempuan selalu menerima dirinya sebagai figur yang lemah, sehingga dia lebih sering mengukur kemampuannya
dan kurang mau mencoba, dia tidak berusaha dahulu melainkan terus membatasi kemampuannya dan menjadi tertutup. Akibatnya beberapa keinginan yang diharapkan
jemaat tidak ditemukan dalam diri perempuan tersebut. Untuk itu perempuan dituntut mau belajar sehingga mampu memahami potensi jemaat dan dengan kemampuan dan
144
DPS, Ibid.
145
BRH, Hasil wawancara, Medan, Minggu, 8 April 2012,
146
RH, Hasil wawancara, Kantor Pusat HKBP Pearaja-Tarutung, Tapanuli Utara, Kamis, 29 Maret 2012
147
AVP, Hasil wawancara, Medan, 31 Maret 2012.
74 pengetahuan yang dimiliki perempuan tersebut, jemaat dapat dikembangkan.
148
Pendeta perempuan harus mempersiapkan dirinya dahulu, dengan mengetahui tradisi sehingga dapat menyesuaikannya dan mampu melihat kebutuhan jemaat. Tentu sekali
dibutuhkan pengetahuan dan spiritualitas yang lebih untuk dapat membawakan diri dengan baik.
149
Dari data wawancara yang ada, dapat disimpulkan bahwa HKBP yang masih kuat berpegang dalam sistim patriarkhat dan masih enggan untuk menerima perempuan
sebagai pemimpin atau pendeta jemaat di tingkat resort, distrik dan sinode. Hal ini sangat merugikan kaum perempuan dan juga pendeta perempuan karena hampir dua
pertiga dari peserta ibadah dan seluruh aktifitas gereja, perempuan melibatkan diri didalamnya, namun dalam aras kepimimpinan, mereka dibatasi karena pendengar-
pendengar dominan merendahkan dan tidak mempercayai kemampuan perempuan. Secara lembaga dan konstitusi, semua jabatan dan golongan dalam gereja
terbuka bagi perempuan dan laki-laki meskipun dalam kenyataannya perempuan belum terwakili dengan jumlah yang sama dengan jumlah perempuan dalam gereja.
Perempuan dan laki-laki berpartisipasi sama dalam aktifitas gereja, sedangkan dalam kepemimpinan gereja masih didominasi laki-laki.
Dalam teori ketidakadilan jender, marginalisasi perempuan adalah suatu proses peminggiran atas satu jenis kelamin tertentu dalam hal ini pendeta perempuan
disebabkan oleh perbedaan jender. Marginalisasi perempuan, karena perbedaan jender dapat bersumber dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsir agama, tradisi atau
148
DPS, hasil wawancara, Siborong-borong-Tapanuli Utara, 8 April 2012
149
Ibid.
75 kebiasaan, bahkan asusmsi ilmu pengetahuan. Revolusi hijau misalnya telah
menyingkirkan perempuan dari pekerjaannya secara ekonomis dan kehilangan pekerjaan sehingga terjadilah proses pemiskinan terhadap perempuan.
150
Membatasi atau kurang melibatkan perempuan dalam kepemimpinan di dalam gereja merupakan perlakuan yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan, telah
mengakibatkan penyisihan hak-hak perempuan. Tradisi atau kebiasaan, yang terdapat dalam budaya Batak telah membuat pembatasan hak kepada perempuan, secara khusus
pendeta perempuan sebagai pemimpin di gereja HKBP. Disamping itu juga terjadi subordinasi terhadap perempuan karena adanya
dominasi laki-laki terhadap perempuan mengakibatkan perempuan sebagai warga kelas dua. Juga ada anggapan masyarakat bahwa perempuan itu emosional, irasional dalam
berpikir sehingga tidak bisa tampil sebagai pemimpin akibatnya perempuan hanya ditempatkan pada posisi yang tidak penting.
151
Hal ini terjadi berawal dari kesadaran jender yang tidak adil.
Perempuan dalam gereja merepresentasikan pertama sekali bahwa perkumpulan perempuan diklaim sebagai Gereja dan sebagai persekutuan kebebasan dari patriakhi.
Hal itu berarti bahwa tradisi patriarkhi adalah penolakan keinginan Tuhan. Itu juga merupakan penolakan sebagai aturan penciptaan atau sebagai refleksi biologis alami.
152
150
Narwoko, Dwi, J – Suyanto Bagong, Sosiologi Teks ..., 341.
151
Ibid, 341 - 342
152
Rosemary Radford Ruether, Women-Church, San Francisco, Harper Row, Publisher, 1985, 57-58.
76 Menurut Ruther,
153
sebagai sistim sosial aspek kebapakan, atau laki-laki, menggunakan kekuasaannya untuk menempatkan diri mereka dalam posisi
mendominasi perempuan serta membuat keluarga dan masyarakat ketergantungan kepada mereka. Laki-laki sebagai pemimpin sosial dan merekalah yang akan
memonopoli budaya, ekonomi, kekuasaan atas masyarakat. Oleh karena itu perempuan-gereja berarti tidak hanya perlu menolak sistim ini
dan ikatan yang mempengaruhi untuk melepaskan diri darinya. Patriarkhi bisa memisahkan perempuan dari perempuan, menabrak garis keturunan misalnya mertua
dan menantunya, ibu dari anak perempuannya sehingga mengisolasi perempuan dalam rumah tangganya maupun dari perempuan tetangganya. Perempuan hanya memimpin
semua kelas pelayanpembantu.
154
Hal itu mengasumsikan bahwa perempuan tidak suka bersekutu dengan sesamanya perempuan sehingga perempuan yang satu memiliki kompetisi dengan
perempuan yang lain dan menilai pekerjaan laki-laki lebih baik dari apa yang telah dikerjakannya. Setiap tempat dimana perempuan bertemu dan berbicara bersama
adalah rua g arji al ta pa akses kuasa da i for asi sehi gga pe
i araa pere pua dala er agai te pat aka e jadi dire ehka .
155
Dari hal di atas memunculkan pertanyaan, bagaimana dapat terlihat perempuan- gereja boleh terbebas dari patriarkhi? Ruther mengasumsikan bahwa persekutuan
perempuan-gereja adalah langkah pertama sebagai sebuah proses kepenuhan dan
153
Rosemary Radford Ruether, Women- Church ..., 58
154
Ibid.
155
Ibid.
77 kulminasi kebebasan itu sendiri. Dalam persekutuan itu, perempuan tidak melegitimasi
mitos teologi yang membenarkan gereja patriarkhi dan memulai bentuk yang membebaskan. Persekutuan yang dibangun dalam kebebasan dan mengakar pada
penebusan manusia baru.
156
Dari apa yang dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa perempuan perlu memberdayakan diri mereka sendiri melalui Roh kebebasan atas mereka.
Pemberdayaan yang diterima seseorang menjadi dasar merayakan persekutuan baru, berkomunikasi bersama dan menumbuhkan diri mereka sendiri dan menjadi dewasa
dalam persekutuan yang membebaskan. Selanjutnya Ruther memberikan beberapa saran kepada perempuan-Gereja
sebagai berikut:
157
1. Sebagai Perempuan-Gereja perlu menanggalkan predikat hamba dari
patriarkhi. Kita perlu menanggalkan dalam nama kemanusiaan, Tuhan tidak menciptakan kita untuk menjadi hamba patriarkhi. Tuhan Yesus datang ke dunia
ini tidak untuk memelihara patriarkhi melainkan meletakkan kekuasaanNya dan merendahkan diri. Dalam tanganNya misi penebusan ditransformasikan
sebagaimana yang pertama akan menjadi terakhir dan yang terakhir menjadi yang pertama. Inilah cara Tuhan membuat dunia yang seharusnya ada. Kita perlu
memiliki keberanian mengklaim menjadi seperti Kristus melalui representasi misi Kristus.
156
Rosemary Radford Ruether, Women-Church ..., 57-58
157
Op-cit, 72 - 73
78 2.
Sebagai perempuan-Gereja kita sering melihat adanya kengerian, fitnah, penipuan, keinginan yang salah dalam gereja. Hal ini bukan suara Tuhan, bukan
wajah penebus, bukan misi gereja kita. Sebagai perempuan-gereja kita perlu mengklaim misi otentik Kristus, misi gereja yang benar untuk membentuk
kembali kemanusian kita dan bukan menghancurkannya. Oleh karena itu kita perlu menolak dampak dari praktek-praktek patriarkhi yang tidak manusiawi.
3. Sebagai perempuan-Gereja kita perlu belajar apa arti menjadi pelayan. Tugas
kita melayani kepada orang yang menderita dan bersama yang lain mengajarkan kata-kata kehidupan. Manusia baru yang kita bangun bersama di bumi baru
perlu dibebaskan dari penindasan patriarkhi. 4.
Kita sebagai perempuan-Gereja perlu memanggil laki-laki agar terbebas dari patriarki dan bergabung dengan kita keluar darinya sehingga tidak ada lagi
kekerasan terhadap perempuan melainkan semua anak-anak dunia dapat duduk bersama.
Oleh karena itu HKBP perlu membebaskan diri dari patriarkhi karena hal tersebut bukan keinginan Tuhan. Marjinalisasi dan subordinasi sebagai produk dari sistim
patriarkhi telah dijadikan sebagai tolak ukur terhadap keberadaan pendeta perempuan, dalam realita telah mengganggu relasi perempuan dengan lingkungan. Namun pendeta
laki-laki dan perempuan hendaknya secara bersama-sama membebaskan diri dari ha
a patrairkhi dengan melayani secara bersama. Itu berarti memberikan peluang yang sama baik kepada pendeta laki-laki maupun perempuan berpartisipasi dalam
kepemimpinan gereja dan meniadakan dominasi.
79
3.3. Pengaruh budaya Batak dalam penerimaan pendeta perempuan