Pengaruh budaya Batak dalam penerimaan pendeta perempuan

79

3.3. Pengaruh budaya Batak dalam penerimaan pendeta perempuan

HKBP cukup lama bergumul untuk menerima Perempuan sebagai pendeta. Sejak tahun 1950 perempuan sudah diterima di pendidikan teologia dan hanya sebagai guru jemaat dan tahun 1957 sebanyak tujuhbelas 17 orang perempuan telah tamat dari pendidikan teologia namun penerimaan pendeta perempuan dilakukan 31 tahun kemudian. Pergumulan itu berlangsung terus dan pada akhirnya disepakati penerimaan perempuan sebagai pendeta melalui pentahbisan dalam tahun 1986. Proses pentahbisan itupun dilakukan dipengaruhi hubungan keluarga marga - ketika itu Ephorus HKBP marga Sihombing, maka mereka mendahulukan Nortje Lumbantoruan yang adalah juga rumpun marganya, meskipun sebenarnya ada 3 orang perempuan yang harus ditahbiskan, termasuk Minaria Sumbayak dan Tianar Marpaung kedua perempuan ini lebih dulu menyelesaikan pendidikan teologia dan telah menunggu berpuluh-puluh tahun untuk dapat menjadi Pendeta di HKBP. Namun tiga bulan setelah penahbisan Pdt Nortje Lumbantoruan mereka berdua ditahbiskan. Faktor budaya sangat kuat memengaruhi Gereja HKBP dengan sistim patriarkhat, laki-laki lebih diutamakan 158 sehingga perempuan dinomorduakan. Dalam soal penempatan pendeta resort, memang lebih mengutamakan laki-laki-laki sebab laki- laki akan selalu memilih temannya laki-laki. 159 Me urut BN, asih ada e erapa resort yang menolak pendeta perempuan melayani pemberkatan nikah dan pelayanan 158 BRH, Hasil Wawancara. 159 Ibid. 80 perjamuan kudus jika seda g ha il . 160 Bahkan menurut DS, masih banyak jemaat HKBP sulit menerima pendeta perempuan hamil, karena alasan pengeluaran Gereja akan bertambah ketika pendeta perempuan tersebut cuti melahirkan maka Gereja akan membayar pendeta yang lain untuk melaksanakan tugas pelayanan sampai batas cuti berakhir. 161 Lebih buruk lagi menurut MSS perempuan yang sudah menikah tidak mungkin dipilih menjadi pemimpin karena dia tetap mengurus dapur. Dia lebih banyak memikirkan keluarga sehingga tidak mungkin mengurus Gereja sebaik laki-laki menggunakan energinya untuk itu. 162 Selanjutnya MSS menjelaskan bahwa jika perempuan lengah mengurus keluar ga a g adalah gereja ke il kare a pela a a a maka Gereja bisa bubar. Namun keduanya, mengurus Gereja dan keluarga dapat dilakukan jika perempuan lebih rajin dan lebih tekun serta memiliki kemauan yang tinggi. 163 Anehnya pendeta perempuan yang menikah dan suaminya tidak bekerja, dia diremehkan karena posisi suaminya tidak diperhitungkan di tengah-tengah jemaat. 164 Hal tersebut terjadi karena sistim patriarkhi yang berkembang ditengah-tengah masyarakat dan Gereja bahwa laki-laki sebagai kepala rumah tangga tidak layak mengurus rumah dan anak-anak. Hal itu juga yang membuat ketika perempuan diutus untuk mengikuti suatu kegiatan mewakili jemaat atau resort maka mereka akan 160 BN, Hasil wawancara. 161 DPS, hasil wawancara. 162 MSS, hasil wawancara. 163 Ibid. 164 DPS, hasil wawancara. 81 memberikan peluang itu kepada laki-laki. Dalam diri perempuan tersebut ada minder dan merasa bahwa laki-laki lebih mampu. 165 Di sisi lain, karena alasan kasihan kepada perempuan melihat medan pelayanan sangat jauh dan menempuhnya harus menginap, maka jemaat sendiri akan menolak jika pendeta perempuan sebagai pendeta resort ditempatkan ke sana. 166 Karena pengaruh budaya yang sangat kuat di HKBP, maka pandangan laki-laki terhadap perempuan sebagai berikut: Perempuan harus membekali diri dalam pendidikan dan mampu membawakan diri. 167 Pendidikan bagi perempuan merupakan hal yang utama untuk dapat diterima sebagai pemimpin Gereja. 168 Pengetahuan itu bukan saja hanya melalui pendidikan formal dapat juga melalui kursus-kursus, seminar dan membaca buku. 169 Perempuan harus memperlengkapi dirinya dengan keras, hal-hal yang perlu diketahuinya harus dimilikinya seperti ketrampilan, keluwesan dan pengetahuannya dua kali lipat dari pendeta laki-laki. 170 Bagaimanapun hal tersebut harus diupayakan sendiri oleh pendeta perempuan. Dia harus aktif mengikuti seminar, diskusi dan kursus baik yang berada di tingkat nasional dan internasional sehingga memiliki pengetahuan yang lebih. Bisa saja perempuan itu merasa sudah lebih pintar, lebih tahu dari antara temannya perempuan namun jika dia melibatkan diri dalam diskusi, seminar yang dihadiri juga pendeta laki- laki maka dia akan menemukan pengetahuannya masih kurang jika dibanding dengan 165 DPS, hasil wawancara. 166 BN, hasil wawancara dan BNN, Hasil wawancara, Rabu, 28 Maret 2012, Pearaja Tarutung, Tapanuli Utara 167 JS, Hasil wawancara. 168 BNN, Hasil wawancara. 169 AVP, Hasil wawancara, 31 Maret 2012, Medan. 170 RH, Hasil wawancara, Pearaja-Tarutung, Tapanuli Utara, Kamis, 29 Maret 2012. 82 Pendeta laki-laki. Hal ini akan membuat Pendeta perempuan mau belajar terus dalam meningkatkan pengetahuannya. 171 Dari uraian di atas penulis menyimpulkan bahwa paham patriarkhi telah menghasilkan ketidakadilan jender dalam masyarakat Batak dan Gereja HKBP. Di Gereja terjadi marjinalisasi terhadap pendeta perempuan dengan membatasinya sebagai pemimpin di resort, distrik dan sinode. Menurut Mansour Fakih, marginalisasi terhadap perempuan terjadi sudah sejak di rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga laki-laki dan perempuan yang diperkuat oleh adat istiadat dan tafsir keagamaan. 172 Dalam hal ini pendeta perempuan HKBP yang telah bejumlah 277 orang tersebut dibatasi sebagai pemimpin Gereja di tingkat resort, distrik dan sinode. Disamping itu juga terjadi Subordinasi terhadap perempuan karena pendeta laki- laki mendominasi posisi kepemimpinan, mengakibatkan perempuan sebagai warga kelas dua. 173 Adanya anggapan beberapa orang pendeta HKBP bahwa perempuan itu emosional, mau menangis dalam rapat sehingga tidak bisa tampil sebagai pemimpin akibatnya perempuan hanya ditempatkan dalam pelayanan di tengah-tengah jemaat dan bukan sebagai pemimpin. Oleh karena itu menurut Russell, 174 perempuan dalam Gereja terpanggil untuk berbagi seperti yang diungkapkan: a. penegasan proses kritis dengan apa yang dimaksud menjadi manusia dan mencoba menjalani penemuan kehidupan mereka yang bebas. Saatnya 171 BRH, Hasil wawancara. 172 Mansour Fakih, Analisis Gender..., 13 -14. 173 Dwi J Narwoko,-Bagong Suyanto, Sosiologi Teks... 341 – 342. 174 Letty M. Russell, Human Liberation.... 38. 83 sekarang menegaskan kemampuan dan mampu bekerjasama dengan kebebasan ke depan yang merupakan suatu pemberian Roh Kudus. b. Diakritis dalam berteologi Fungsi diakritis, penegasan dapat membantu perempuan dan gereja mengambil sikap kenabian menentang masyarakat yang mempertajam pemahaman masyarakat yang ada dan asumsi-asumsi budaya lama yang menutup masa depan. Pencarian tindakan Allah yang tegas dan mengkritik seluruh bagian dunia termasuk diri mereka sendiri yang menolak rencana Allah dan tujuan keadilan, kebebasan dan kedamaian manusia. Dengan cara inilah mereka dapat bergabung dengan yang lainnya dalam membantu masyarakat menemukan kebebasan baru. 175 Memulai diakritis, artinya memiliki keberanian menjadi orang asing dalam masyarakat; bertindak dan berpikir bersama orang-orang yang merintih untuk kebebasan dan bekerja untuk mengganggu status quo. Akibatnya menjadi orang marginal, orang yang tidak nyaman dengan rekan-rekan mereka atau juga tidak nyaman menerima norma-norma Gereja maupun masyarakat. 176 Penegasan teologis dengan cara yang lebih luas dan bervariasi, perempuan harus berkeinginan mengambil tindakan konkrit untuk merubah masyarakat dengan mempertaruhkan isu-isu teologis berdasarkan kesadaran baru masyarakat. Dalam situasi ini perempuan Kristen berteologi tidak hanya menambahkan pengembangan keahlian dalam displin ilmu. Berteologi berarti dirinya sendiri bertindak kebebasan. 175 Letty M. Russel, Human Liberation ..., 38. 84 Kritis berarti menemukan pertanyaan-pertanyaan yang benar tentang Alkitab dan tradisi-tradisi Gereja tentang Tuhan dan iman. Bukan hanya menerima teks-teks tertentu yang disampaikan oleh Bapa-bapa Gereja, melainkan pertanyan-pertanyaan serius harus dimunculkan dalam rangka mencoba memahami apa arti hidup nyata anak-anak Allah. 177 Grup-grup dan organisasi-organisasi perempuan dalam Gereja dahulu kala, telah menempatkan peran mendukung dan mendengar dalam masalah teologi dan penelitian sosial serta kepemimpinan dalam Gereja. Saat ini adalah waktunya memainkan peran mendengar Maria, mendengar Tuhan Yesus dan memerankan kebebasan Injil daripada hanya mengingatkan Martha dengan dapur Gereja Lukas 10: 38-42. Ketika grup-grup perempuan menemukan bahwa mereka tidak dapat ke luar dari menjahit, basar dan rutinitas belajar Alkitab, menghadapi bentuk-bentuk baru diakonia dan teologi lebih serius dan refleksi sosial, mereka tidak mungkin lagi dapat melayani untuk kebebasan manusia. Sering hasil tipe peran marginal oleh beberapa grup perempuan gagal menegaskan tipe yang lebih serius dan tekad perempuan yang menginginkan perjuangan. Perempuan membutuhkan pembentukan suasana struktur dan organisasi baru dimana mereka menemukan cara untuk mendukung satu dengan yang lain dalam diakrisis kritis dan tindakan kenabian. Berkumpul bersama sebagai perempuan tidak cukup memunculkan kesadaran dan diskusi masalah-masalah juga tidak mendidik. Proses kebebasan adalah sebuah 177 Letty M. Russel, Human Liberation ..., 40. 85 kelanjutan perjuangan untuk bertindak bersama dengan yang lain dan itu sangat berarti dan diperlukan untuk mentransformasi masyarakat. Sebagaimana dikatakan dalam puisi Julius Lester yang dikutip oleh ‘ussell, doa kita tidak ha a u tuk kesadaran kritis, tetapi juga untuk mengganggu kekuasan yang mapan yang dapat memotong kesadaran seperti pisau cukur, mengganggu kita, dan memaksa kita u tuk erti dak ke a ia . 178 Pandangan aliran feminisme liberal sangatlah tepat disadari Gereja HKBP sehingga pendeta perempuan dapat bertindak dalam perspektif kenabian dalam pelayanannya. Untuk itu Pendeta perempuan perlu memperlengkapi diri sehingga mereka sadar bahwa dalam diri perempuan itu sendiri ada potensi yang dapat dikembangkan. 179 Dari ungkapan diatas dapat disimpulkan bahwa pendeta perempuan perlu mempersiapkan diri agar bisa bersaing dalam suatu dunia yang penuh persaingan bebas. Pendeta perempuan hendaknya lebih banyak diberi kesempatan studi lanjut, mengikuti kursus dan pelatihan, seminar dan diskusi sehingga dapat menggali potensi yang ada dalam dirinya. Gereja sudah sejak dahulu kala memulai kebebasan dan kini saatnya bertindak. Oleh karena itu jika berbicara tentang perempuan dan kebebasan, itu berarti menjelaskan apa yang dimaksud perjalanan mengarah ke jalan kebebasan dengan yang lain, yaitu memberikan peluang kepada perempuan dalam kepemimpinan gereja. Dapat dikatakan bahwa HKBP sebagai gereja tidak berhak membatasi atau 178 Letty M. Russel, Human Liberation ..., 40. 179 Mansour Fakih, Analisa Gender... 80 – 83. 86 kurang memberikan kesempatan bagi pendeta perempuan dalam memimpin gereja dengan alasan apapun. Karena pendeta laki-laki dan perempuan memiliki kebebasan yang sama untuk melayani dan sebagai pemimpin gereja.

3.4. Pemahaman tentang mitra sejajar antara laki-laki dan perempuan dalam