Definisi Pemahaman Siswa KAJIAN TEORI

13 a. Teknik Tes Teknik pengukuran atau teknik tes merupakan pengumpulan data dengan menggunakan alat-alat yang disebut tes dan skala. Alat ini bersifat standar atau baku karena telah dibakukan atau distandarisasikan. Karena sifatnya sebagai alat ukur dan telah dibakukan, maka alat ini bersifat mengukur dan hasilnya adalah hasil ukur, dinyatakan dalam angka-angka ataupun kualifikasi tertentu. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu alat ukur baku, yaitu bahwa alat tersebut harus memiliki validitas dan realibilitas. Banyak macam alat ukur yang dapat digunakan untuk mengukur dan memahami pribadi individu. Bentuk alat ukur tersebut dibedakan antara tes dan skala. b. Teknik Non-tes Teknik non-tes merupakan cara pengumpulan data tidak menggunakan alat-alat baku, dengan demikian tidak bersifat mengukur dan tidak diperoleh angka-angka sebagai hasil pengukuran. Teknik ini hanya bersifat mendeskripsikan atau memberikan gambaran, hasilnya adalah suatu deskripsi atau gambaran. Terdapat beberapa teknik nontes yang biasa digunakan dalam pemahaman individu adalah observasi, wawancara, angket, studi dokumenter, sosiometri, otobiografi, studi kasus, dan konferensi kasus. 14

B. Profil Ki Hadjar Dewantara dan Taman Siswa

Ki Hajar Dewantara terlahir dengan nama Raden Mas R. M. Suwardi Suryaningrat yang lahir pada tanggal 2 Mei 1989. Beliau berasal dari keluarga bangsawan, tepatnya Kadipaten Pura Pakualaman Yogyakarta. R. M. Suwardi Suryaningrat merupakan putera keempat dari KPA. Surjaningrat. KPA. Surjaningratan adalah putra sulung dari Paku Alam III. Jadi, R. M. Suwardi Suryaningrat adalah cucu dari Paku Alam III. Ibunya bernama Raden Ayu Sandiyah, yang merupakan buyut dari Nyai Ageng Serang, seorang keturunan Sunan Kalijaga. Pada saat usianya yang ke-40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, Raden Mas Suwardi Suryaningrat berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara. Semenjak saat itu, beliau tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya beliau bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya. Dengan nama Suwardi Suryaningrat, ia dikenang sebagai Bapak Pergerakan Nasional, dan dengan nama Ki Hajar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan Nasional. R. M. Suwardi Suryaningrat banyak mendapatkan pelajaran tentang ilmu pengetahuan, baik di bidang pendidikan, politik, ekonomi, kesusasteraan, maupun yang bersifat religius. Masa mudanya dipengaruhi oleh suasana kesusasteraan Jawa, agama Islam, Hinduisme, kesenian dengan cabang-cabangnya seperti kesenian gending, seni suara dan seni sastra Abdurrachman Suryomihardjo, 1986: 52. 15 Pertama kalinya Ki Hajar Dewantara masuk ke Europeesche Lagere School ELS, yakni sekolah dasar berbahasa Belanda. Setelah tamat dari Sekolah Dasar Belanda tersebut, ia masuk ke Kweekschool sekolah guru pada tahun 1904, tetapi tidak lama kemudian, Ki Hajar Dewantara melanjutkan pelajarannya ke sekolah dokter Jawa atau STOVIA School Tot Opleiding Van Indische Arsten atas tawaran dari dokter Wahidin Sudiro Husodo. Kemudian beliau bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar, antara lain Sediotomo, De Express, Midden Java, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Sebagai seorang penulis, ia dikenal karena tulisannya yang peka terhadap masalah-masalah sosial, terutama tentang masalah kolonialisme Belanda di tanah air. Ki Hajar Dewantara juga pernah aktif di bidang politik dengan bergabung ke dalam Budi Utomo dan Sarikat Islam. Pada tanggal 25 Desember 1912, Ki Hajar Dewantara mendirikan Indische Partij sebagai partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia bersama dengan rekannya yaitu Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangunkusumo. Setahun kemudian, pada tahun 1913, Ki Hajar Dewantara ikut membidangi terbentuknya Komite Bumiputera sebagai bentuk protes terhadap rencana Belanda memperingati kemerdekaannya dan Perancis. Ki Hajar Dewantara memberi tamparan yang hebat kepada Belanda namun dengan cara yang tidak kasar, tidak dengan maki-maki, senantiasa tetap sebagai ksatria, memberi kata-kata yang tepat, jitu, indah susunannya, juga memberi pandangan-pandangan yang dapat direnungkan oleh pihak 16 Belanda maupun pihak kita Dwi Siswoyo, 2008: 164. Tulisan “Andaikata Aku seorang Belanda” Als Ik een Nederlander was yang dimuat dalam surat kabar De Express pimpinan Douwes Dekker. Kutipan tulisan tersebut antara lain sebagai berikut. “...Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh Si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. ide untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya....” Sumber: Bambang S. Dewantara, 1989: 59-65 Akibat dari banyaknya protes dalam tulisan tersebut, ketiga pemimpin Indische Party IP yakni, Ki Hajar Dewantara bersama Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangunkusumo ditangkap, ditahan dan dikenakan hukuman buang oleh Belanda. Mereka memilih negeri Belanda sebagai tempat pengasingan mereka. Di Belanda, perhatian Ki Hajar Dewantara tertuju pada masalah- masalah pendidikan dan pengajaran di samping bidang sosial dan politik. Ia juga aktif dalam organisasi para pelajar asal Indonesia, Indische Vereeniging Perhimpunan Hindia. Pada saat itulah ia kemudian merintis cita-cita untuk memajukan kaum pribumi dengan belajar ilmu pendidikan hingga pada akhirya pada tahun 1915 beliau memperoleh Europeesche Akte, suatu ijazah pendidikan yang cukup bergengsi yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan lembaga pendidikan yang didirikannya. 17 Ki Suratman Dwi Siswoyo dkk, 2008: 165 mengemukakan, tokoh Ki Hajar Dewantara dalam seluruh kehidupan dan perjuangannya tidak mungkin dipisahkan dari Perguruan Taman Siswa yang didirikannya, Ki Hajar Dewantara sudah menyatu dengan Taman Siswa. Secara khusus, Ki Hajar Dewantara mendefinisikan Taman Siswa sebagai badan perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat, yang menggunakan pendidikan dalam arti luas sebagai sarananya. Dengan demikian wajarlah kiranya bahwa perjuangan Taman Siswa, juga tidak mungkin lepas dari permasalahan kebudayaan tersebut Dwi Siswoyo dkk, 2008: 165. Taman Siswa didirikan pada tanggal 3 Juli 1922. Pada waktu itu, nama yang dipakai adalah “Nationall Onderwejis Instituut Taman Siswa.” Darsiti Soeratman, 1983: 1. Taman Siswa merupakan badan perjuangan yang berjiwa nasional; suatu pergerakan sosial yang menggunakan kebudayaan sendiri sebagai dasar perjuangannya Sartono Kartodirdjo dalam Darsiti Soeratman, 1983: 2. Bagi Taman Siswa, pendidikan bukanlah tujuan, melainkan media untuk mencapai tujuan perjuangan, yaitu mewujudkan manusia Indonesia yang merdeka lahir dan batinnya. Merdeka lahiriyah artinya tidak dijajah secara fisik, ekonomi, politik, dan lain sebagainya, sedangkan merdeka secara batiniyah adalah mampu mengendalikan keadaan.

C. Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, konsep berarti rancangan. Secara istilah ialah dasar pemikiran yang sudah terumuskan secara 18 sistematis. Konsep pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara ialah dasar- dasar pemikiran mengenai masalah pendidikan yang sudah terumuskan secara sistematis. Menurut Irna H.N 1985: 14, Ki Hajar Dewantara nampak benar-benar telah memahami tujuan dari “Indische Partij”, yaitu memajukan dan mengembangkan tanah air serta mempersiapkan bangsa Hindia agar dapat berdiri sendiri, bebas dan merdeka. Dalam berbagai tulisan tentang Ki Hajar Dewantara, pendidikan itu harus dimulai dari persamaan persepsi pemangku pendidikan tentang mendidik itu sendiri. Menurut Ki Hajar Dewantara, mendidik dalam arti yang sesungguhnya adalah proses memanusiakan manusia humanisasi, yakni pengangkatan manusia ke taraf insani. Di dalam mendidik, ada pembelajaran yang merupakan komunikasi eksistensi manusiawi yang otentik kepada manusia, untuk dimiliki, dilanjutkan dan disempurnakan. Jadi sesungguhnya pendidikan adalah usaha bangsa ini membawa manusia Indonesia keluar dari kebodohan, dengan membuka tabir aktual-transenden dari sifat alami manusia humanis. Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah “penguasaan diri”. Penguasaan diri merupakan langkah yang harus dituju untuk tercapainya pendidikan yang memanusiakan manusia. Ketika setiap peserta didik mampu menguasai dirinya, mereka akan mampu juga menentukan sikapnya. Dengan demikian akan tumbuh sikap yang mandiri dan dewasa.