Pengujian aktivitas penghancuran biofilm staphylococcus aureus oleh seduhan daun teh putih (camellia sinensis (l.) kuntze)

(1)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

PENGUJIAN AKTIVITAS PENGHANCURAN

BIOFILM

Staphylococcus aureus

OLEH SEDUHAN

DAUN TEH PUTIH (

Camellia sinensis

(L.) Kuntze)

SKRIPSI

RIKA CHAERUNISA

1111102000133

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI


(2)

PENGUJIAN AKTIVITAS PENGHANCURAN

BIOFILM

Staphylococcus aureus

OLEH SEDUHAN

DAUN TEH PUTIH (

Camellia sinensis

(L.) Kuntze)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana Farmasi

RIKA CHAERUNISA

1111102000133

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

JUNI 2015


(3)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya sendiri,

dan semua sumber yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama NIM

Tanda Tangan

Tanggal

: : :

:

Rika Chaerunisa 1111102000133


(4)

(5)

(6)

Nama

Program Studi Judul

: : :

Rika Chaerunisa Strata-1 Farmasi

Pengujian Aktivitas Penghancuran Biofilm Staphylococcus aureus oleh Seduhan Daun Teh Putih (Camellia sinensis (L.) Kuntze).

Daun teh putih (Camellia Sinensis (L.) Kuntze) merupakan daun teh muda yang masih berbentuk kuncup dengan kadar katekin tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk menguji aktivitas penghancuran biofilm Staphylococcus aureus oleh seduhan daun teh putih. Seduhan pertama dilakukan dengan menggunakan daun teh putih langsung dari kemasan, seduhan kedua menggunakan daun teh putih hasil penyeduhan daun teh putih pertama, dan seduhan tiga menggunakan daun teh putih yang sebelumnya dihaluskan kemudian diayak dengan ayakan Mesh 20. Daun teh tersebut kemudian diseduh menggunakan akuades steril bersuhu 90°C selama 10 menit dan dianalisis kandungan total fenolnya menggunakan metode Follin-ciocalteau. Hasil kandungan total fenol berturut-turut adalah 0,018%, 0,025% dan 0,028% (b/v). Uji penghancuran biofilm dilakukan menggunakan metode microtiter plate assay terhadap seduhan daun teh putih yang memiliki kandungan total fenol tertinggi yaitu seduhan tiga dan dibuat seri konsentrasi seduhan 1%, 2%, 4% dan 8% (v/v). Hasil penelitian menunjukkan bahwa seduhan daun teh putih memiliki aktivitas penghancuran biofilm pada setiap konsentrasi. Hasil optimasi menggunakan respon surface analysis (RSA) menunjukan bahwa pada konsentrasi 3,253% (v/v) dengan waktu kontak pemberian seduhan selama 90 menit pada suhu 25°C dan waktu kontak pemberian seduhan selama 30 menit pada suhu 50°C menghasilkan kondisi terbaik dalam mendapatkan aktivitas penghancuran biofilm S. aureus. Berdasarkan penelitian ini, seduhan daun teh putih memiliki aktivitas penghancuran biofilm S. aureus.

Kata kunci : Daun teh putih (Camellia Sinensis (L.) Kuntze), total fenol, penghancuran biofilm, microtitter plate assay, respon surface analysis (RSA).


(7)

ABSTRACT

Name Major Study Title

: : :

Rika Chaerunisa Strata-1 Farmasi

Determination of Brewed White Tea Leaves (Camellia sinensis (L.) Kuntze) Against Staphylococcus aureus Biofilm Destruction Activity

White tea leaves (Camellia sinensis (L.) Kuntze) is a young or buds tea leaves which contained a high level of catechins. The aims of this study were to determine the activity of Staphylococcus aureus biofilm destruction by using brewed white tea leaves. The first group were prepared by using white tea leaves directly from the package, the second group were prepared by using the results of the first one, while the last group were prepared by using white tea leaves that were previously crushed and sieved by using Mesh 20 sieve. Those three groups then brewed by using a 90°C sterile distilled water for 10 minutes and the content of phenolic total were analyzed by using Follin-ciocalteau method. The results of phenolic content were 0.018%, 0.025% and 0.028% (w/v), respectively. The destruction of biofilm were performed by using microtiter plate assay method for 1%, 2%, 4% and 8% (v/v) of the third group, a brewed white tea leaves which has the highest content of phenolic. The results showed that all of the concentrations of the third group has the destruction activity. The results of optimization by using response surface analysis (RSA) showed that the 3.253% (v/v) of the third group which determined for 90 minutes at 25°C and 30 minutes at 50°C were the best condition to destruct the S. aureus biofilm activity. Based on this research, brewes white tea leaves has the activity to destructs S. aureus biofilm.

Keywords: white tea leaves (Camellia sinensis (L.) Kuntze), phenolic total, biofilm destruction, microtitter plate assay, response surface analysis (RSA).


(8)

Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan menyusun skripsi berjudul “Pengujian Aktivitas Penghancuran Biofilm Staphylococcus aureus oleh Seduhan Daun Teh Putih (Camellia sinensis (L.) Kuntze)” untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Selama perkuliahan, proses penelitian dan penyususnan skripsi ini, penulis telah memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak yang selalu meluangkan waktu dalam memberikan bimbingan, saran, do’a serta dorongan kepada penulis. Maka perkenankanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya khususnya kepada :

1. Bapak Yardi, Ph.D., Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus Dosen Penanggung Jawab Akademik Farmasi 2011 A.

2. Ibu Ofa Suzanti Betha, M. Si., Apt sebagai pembimbing I dan Bapak Novik Nurhidayat, Ph.D sebagai pembimbing II yang dengan sabar dan rela meluangkan waktunya dalam memberikaan bimbingan, saran, ilmu pengetahuan dan dukungan dalam penelitian ini.

3. Dr. M. Yanis Musdja., Apt dan Ibu Puteri Amelia, M. Farm., Apt selaku dosen penguji I dan II atas saran dan perbaikan dalam menyusun skripsi ini. 4. Seluruh staf pengajar Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas ilmu pengetahuan, dukungan, saran dan do’a yang telah diberikan kepada penulis. Terima kasih juga kepada seluruh laboran dan karyawan Program Study Farmasi FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas bantuan yang diberikan.

5. Bapak Drs. Umar Mansur, M. Sc., Apt selaku mantan Ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas segala bantuan, saran dan dukungan kepada penulis.


(9)

ix

6. Bapak Novik Nurhidayat, Ph.D selaku kepala laboratorium Mikrobiologi Kesehatan, Pusat Penelitian Biologi, LIPI Cibinong yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian. Terima kasih juga kepada segenap staf laboratorium, Ka Lusi, Pak Acun, dan Mbak Ana atas segala bantuan, dukungan, ilmu dan keceriaan yang diberikan selama penelitian. 7. Pusat Penelitian Teh dan Kina Gambung Bandung, Pak Tajudin, Bu siti dan

para peniliti (Pak Dadan dan Pak Shabri), terima kasih atas bantuannya. 8. Terima kasih sebesar-besarnya kepada papa (Rachman Soleh, S.T) dan mama

(A. Lely Hartati, S.Pd) atas tulusnya cinta, kasih sayang, dukungan baik moril maupun materil dan do’a yang tanpa henti selalu mengiringi langkah penulis. Semoga Allah SWT selalu memberikan kesehatan, menjaga mama papa, dan keberkahan selalu menyertai.

9. Kedua kakak tercinta (Rizky Adhari, S.E dan Sulastri Mubarok, S.E), terima kasih atas cinta, kasih sayang, dukungan dan do’a yang telah diberikan.

10. Teman seperjuangan penelitian Biofilmers (Firda, Rezky, Fatah, Ka Via dan Ka Eka) dan kaka Biosensors (Ka Anom dan Ka Afif), atas pengertian, dukungan, keceriaan, do’a dan kerja sama selama penelitian.

11. Sahabat istimewa (Hanifa, Putri, Nk, Evi, Bani dan Hikmat) yang selalu ada menghiasi tiap langkah. Terimakasih atas do’a dan semangat yang diberikan. 12. Sahabat perkuliahan (Wafa, Ibo, Ni’mah, Nana, Nicky, Efri, Mida, Meri,

Nurul, Dana, Fitri, Tari, Dini, Mazay) dan seluruh keluarga besar Farmasi 2011, juga adik tingkat (Noni dan Nita) atas keceriaan dan dukungannya. 13. Keluarga CSSMoRa UIN, BEM FARMASI 2013-2014, Sepeda Sehat UIN,

dan Komunitas Pecinta Alam Arkadia UIN, terima kasih atas dukungan, saran, ilmu, keceriaan serta do’a kepada penulis.

14. Semua pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah membantu penulis hingga terwujudnya skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna dan banyak kekurangan. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca. Amin.


(10)

TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK

Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Rika Chaerunisa

NIM : 1111102000133

Program studi : Strata-1 Farmasi

Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya dengan judul

PENGUJIAN AKTIVITAS PENGHANCURAN BIOFILM

Staphylococcus aureus OLEH SEDUHAN DAUN TEH PUTIH (Camellia Sinensis (L.) Kuntze)

untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.

Dengan demikian persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Ciputat Pada Tanggal : 17 Juni 2015

Yang menyatakan,


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITA ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah... 3

1.3 Tujuan Penelitian... 3

1.4 Hipotesis ... 3

1.5 Manfaat Penelitian... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Infeksi ... 4

2.2 Biofilm ... 4

2.2.1 Definisi Biofilm ... 4

2.2.2 Struktur Biofilm ... 5

2.2.3 Pembentukan Biofilm ... 5

2.2.4 Pengendalian Biofilm ... 6

2.3 Staphylococcus aureus ... 8

2.4 Deskripsi Daun Teh Putih (Camellia sinensis (L.) Kuntze)... 9

2.5 Response Surface Analysis ... 11


(12)

3.2.1 Alat Penelitian ... 12

3.2.2 Bahan Penelitian... 12

3.2.2.1 Tanaman Uji ... 12

3.2.2.2 Bakteri Uji ... 13

3.2.2.3 Bahan Lainnya ... 13

3.3 Metode Penelitian ... 13

3.3.1 Determinasi Teh (C. sinensis) ... 13

3.3.2 Karakterisasi dan Penapisan Fitokimia Daun Teh Putih (C. sinensis) ... 13

3.3.2.1 Organoleptik ... 13

3.3.2.2 Penapisan Fitokimia ... 13

3.3.3 Penyiapan Seduhan dan Karakterisasi Seduhan Daun Teh Putih ... 14

3.3.4 Preparasi Bakteri Uji ... 15

3.3.4.1 Purifikasi dan Karakterisasi Bakteri Uji pada Media Luria Bertani Agar ... 15

3.3.4.2 Pembuatan Suspensi Bakteri Uji ... 15

3.3.5 Optimasi Waktu Pembentukan Biofilm S. aureus ... 15

3.3.6 Uji Aktivitas Penghambatan dan Penghancuran Biofilm S. aureus Secara In Vitro ... 16

3.3.6.1 Uji Penghambatan Pertumbuhan dan Perkembangan Biofilm ... 16

3.3.6.2 Uji Penghancuran Biofilm ... 17

3.3.7 Rancangan Penelitian dan Analisis Data ... 17

3.3.8 Optimasi Aktivitas Penghancuran Biofilm S. aureus ... 18

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19

4.1 Determinasi ... 19

4.2 Hasil Karakterisasi dan Penapisan Fitokimia Daun Teh Putih (C. sinensis) ... 19

4.2.1 Organoleptik ... 19

4.2.2 Penapisan Fitokimia ... 19

4.3 Hasil Penyiapan Seduhan dan Karakterisasi Seduhan Daun Teh Putih ... 20

4.4 Preparasi Bakteri Uji ... 22

4.4.1 Hasil Purifikasi dan Karakterisasi BakteriUji pada Media Luria Bertani Agar ... 22

4.4.2 Hasil Suspensi Bakteri Uji ... 24


(13)

(14)

4.6 Hasil Uji Aktivitas Penghambatan dan Penghancuran Biofilm

S. aureus oleh Seduhan Daun Teh Putih (C. sinensis) ... 25

4.7 Hasil Optimasi Aktivitas Penghancuran Biofilm S. aureus ... 28

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 33

5.1 Kesimpulan... 33

5.2 Saran ... 33

DAFTAR PUSTAKA ... 34


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Pembentukan Biofilm ... 6

Gambar 2. S. aureus yang Dilihat dari Mikroskop Elektron... 8

Gambar 3. Scanning Electron Micrograph (SEM) Biofilm S. aureus ... 9

Gambar 4. (A) Daun Teh Putih pada Tanaman Teh (C. sinensis) ... 10

Gambar 5. Karakteristik Daun Teh Putih (C. sinensis) ... 19

Gambar 6. Hasil Purifikasi Bakteri S. aureus Pada Media LB Agar ... 23

Gambar 7. Hasil Karakterisasi Bakteri S. aureus Menggunakan Pewarnaan Gram ... 23

Gambar 8. Diagram Optimasi Waktu Pembentukan Biofilm S. aureus Melalui Metode Microtitter Plate Biofilm Assay (OD595nm) ... 24

Gambar 9. Diagram Aktivitas Penghambatan dan Penghancuran Biofilm S. aureus oleh Seduhan Daun Teh Putih (C. sinensis) Melalui Metode Microtitter Plate Biofilm Assay (OD595nm) ... 26

Gambar 10. Contour plot dari % Penghancuran vs Waktu Kontak dan Konsentrasi ... 30

Gambar 11. Contour plot dari % Penghancuran vs Suhu dan Waktu kontak ... 30


(16)

Halaman Tabel 1. Hasil Uji Penapisan Fitokimia ... 20 Tabel 2. Hasil Uji Total Fenol ... 21 Tabel 3. Hasil Aktivitas Penghambatan dan Penghancuran Biofilm S. aureus


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Alur Kerja ... 39

Lampiran 2. Proses Pembuatan Media dan Cara Sterilisasi Alat dan Bahan. ... 40

Lampiran 3. Metode Penapisan Fitokimia ... 41

Lampiran 4. Metode Analisis Total Fenol ... 43

Lampiran 5. Alur Pewarnaan Gram ... 44

Lampiran 6. Perhitungan Seduhan Daun Teh Putih ... 45

Lampiran 7. Hasil Determinasi Tanaman Teh ... 46

Lampiran 8. Gambar Alat dan Bahan ... 47

Lampiran 9. Proses Penyiapan Seduhan Daun Teh Putih ... 48

Lampiran 10. Hasil Analisis Total Fenol ... 49

Lampiran 11. Hasil Uji Penapisan Fitokimia Daun Teh Putih ... 50

Lampiran 12. Hasil Uji Re-Identifikasi Reaksi Biokimia S. aureus ... 51

Lampiran 13. Hasil Uji Pembentukan dan Pertumbuhan Biofilm S. aureus. ... 52

Lampiran 14. Hasil Uji Aktivitas Penghambatan dan Penghancuran Biofilm S. aureus oleh Seduhan Daun Teh Putih (C. Sinensis) ... 53

Lampiran 15. Analisis Data Aktivitas Penghambatan dan Penghancuran Biofilm S. aureus oleh Seduhan Daun Teh Putih (C. Sinensis) ... 54

Lampiran 16. Hasil Optimasi Aktivitas Penghancuran Biofilm S. aureus Menggunakan Metode Response Surface Analysis (RSA). ... 61


(18)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi masih menempati urutan teratas penyebab penyakit dan kematian di negara berkembang, termasuk Indonesia. Infeksi dapat disebabkan oleh bakteri, virus, maupun jamur, dan dapat terjadi di masyarakat maupun di rumah sakit (Wahjono, 2007). Infeksi mikroba khususnya yang dapat merugikan manusia dapat dikontrol oleh agen antimikroba, salah satunya dengan penggunaan antibiotik. Namun, efektivitas antimikroba saat ini menurun akibat prevalensi resisten banyak obat. Mikroba dapat membuat suatu pertahanan dengan membentuk biofilm, yaitu suatu lapisan sel mikroba yang melekat di sebuah permukaan dan tertanam dalam matriks eksopolisakarida yang dihasilkan sendiri oleh miroorganisme tersebut (Saad Musbah Alasil et al., 2014).

Biofilm saat ini diakui sebagai mediator utama infeksi, dengan perkiraan 80% kejadian infeksi berkaitan dengan pembentukan biofilm (Archer et al., 2011). Biofilm sebagai pertahanan bakteri sulit diberantas dengan antibiotik dengan demikian bakteri patogen dalam bentuk biofilmnnya dapat menimbulkan masalah serius bagi kesehatan manusia (J.-H. Lee et al., 2013). Selain itu, biofilm bakteri dapat terbentuk pada permukaan sistem perairan alami, pipa air, jaringan tubuh, permukaan gigi, alat medis dan implan. Pembentukan biofilm pada alat medis dan implan seperti kateter, alat katup jantung, alat pacu jantung, sendi buatan, serta lensa kontak menjadi masalah serius di dunia medis (Chen et al., 2013).

Staphylococcus aureus telah dikenal sejak abad ke-19 sebagai penyebab infeksi lokal maupun sistemik (Yuwono, 2010), merupakan salah satu bakteri patogen yang menjadi perhatian akibat sifat resistensinya yang dikenal sebagai methicillin-resistant S. aureus (MRSA) dan vancomycin- methicillin-resistant S. aureus (J.-H. Lee et al., 2013). Kemampuan pembentukan biofilm merupakan salah satu faktor virulensi S. aureus yang dapat menyebabkan peningkatan toleransi terhadap antibiotik dan desinfektan serta resistensi terhadap fagositosis dan sel-sel imunokompeten lain (Høiby et al., 2010; J.-H. Lee et al., 2013).


(19)

2

Biofilm S. aureus berkembang dengan pesat dan membentuk koloni terutama pada permukaan yang lembab dan kaya nutrisi (Traver, 2009). Hal ini menyebabkan perlunya pengendalian biofilm khususnya untuk penghancuran biofilm. Pengendalian biofilm dapat dilakukan secara kimia dengan penambahan zat kimia seperti deterjen yang mengandung enzim, secara fisika dengan peningkatan suhu dan secara biologi dengan menggunakan bakteriofage serta interaksi mikrobiologis (M. Simoes et al., 2010).

Biofilm juga dapat dikontrol dengan memanfaatkan bahan alam yang salah satunya dapat menggunakan senyawa kimia dari tanaman. Penggunaan senyawa-senyawa tersebut lebih diterima karena aman dan telah lama digunakan oleh masyarakan umum, baik sebagai pencegahan maupun pengobatan penyakit dan infeksi (Guarrera, 2005 dalam sandasi et al, 2010). Pada penelitian ini menggunakan seduhan daun teh putih (Camellia sinensis (L.) Kuntze) yang pada penelitian sebelumnya belum diketahui memiliki aktivitas penghancuran biofilm S. aureus.

Daun teh putih (C. sinensis) adalah jenis daun teh yang paling sedikit diproses dan memiliki kandungan katekin tertinggi, merupakan daun teh muda yang masih kuncup di proses secara penguapan dengan segera setelah dipanen (Rai Nishant et al., 2012). Katekin termasuk senyawa polifenol dari kelompok flavonoid. Polifenol teh atau sering disebut dengan katekin bersifat antimikroba (Syah, Andi. 2006). Sama halnya dengan teh hijau, teh putih tersusun sebagian besar dari senyawa-senyawa katekin serta struktur flavan 3-ol lainnya yang salah satunya adalah EGCG (epigallocatechin-3-gallate). Pada penelitian Roccaro et al (2004) dalam Steinmann et al (2012) menunjukkan bahwa EGCG yang terkandung dalam teh hijau (C. sinensis) dapat menurunkan produksi lendir dan menghambat pembentukan biofilm oleh isolat S. aureus dan S. epidermidis. Hasil ini menunjukkan bahwa selain mengikat lapisan lipid dan peptidoglikan, EGCG mengganggu bahan polimer ekstraseluler (glikokaliks) (Steinmann Joerg et al., 2012).


(20)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1) Apakah seduhan daun teh putih (C. sinensis) memiliki aktivitas penghancuran biofilm S. aureus ?

2) Berapa konsentrasi seduhan, waktu kontak dan suhu inkubasi optimal yang memiliki aktivitas penghancuran biofilm terbaik ?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan aktivitas penghancuran biofilm terbaik dari aplikasi pemberian seduhan daun teh putih (C. sinensis) dengan konsentrasi seduhan, waktu kontak dan suhu inkubasi optimal terhadap biofilm S. aureus.

1.4 Hipotesis

1) Seduhan daun teh putih (C. sinensis) memiliki aktivitas penghancuran biofilm S. aureus.

2) Perbedaan aktivitas penghancuran biofilm S. aureus dipengaruhi oleh konsentrasi seduhan, waktu kontak dan suhu inkubasi.

3) Terdapat kondisi terbaik dalam mendapatkan aktivitas penghancuran biofilm S. aureus yang optimal.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan menghasilkan informasi untuk masyarakat umum mengenai kondisi yang terbaik dalam penggunaan seduhan daun teh putih (C. sinensis) untuk mengontrol biofilm S. aureus, serta memberikan informasi ilmiah untuk penelitian selanjutnya guna mengembangkan ilmu pengetahuan.


(21)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi

Penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia. Di samping itu penyakit infeksi juga bertanggung jawab pada penurunan kualitas hidup jutaan penduduk di berbagai negara maju dan berkembang. Menurut WHO sebanyak 25 juta kematian di seluruh dunia pada tahun 2011, sepertiganya disebabkan oleh penyakit infeksi. Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh mikroba patogen, dan bersifat sangat dinamis. Secara umum proses terjadinya penyakit melibatkan tiga faktor yang saling berinteraksi yaitu : faktor penyebab penyakit (agen), faktor manusia atau pejamu (host), dan faktor lingkungan (Septiari, 2012). Infeksi dapat terjadi di masyarakat maupun di rumah sakit(Wahjono, 2007).

Infeksi mikroba khususnya yang dapat merugikan manusia dapat dikontrol oleh agen antimikroba, salah satunya dengan penggunaan antibiotik. Namun, efektivitas antimikroba saat ini menurun akibat prevalensi resisten banyak obat (Saad Musbah Alasil et al., 2014). Resistensi antibiotik terhadap mikroba menimbulkan beberapa konsekuensi yang fatal. Penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang gagal berespon terhadap pengobatan mengakibatkan perpanjangan penyakit, meningkatnya resiko kematian dan semakin lamanya masa rawat inap di rumah sakit (Deshpande et al., 2011).

2.2 Biofilm

2.2.1 Definisi Biofilm

Biofilm adalah lapisan yang terdiri dari kumpulan bakteri dan menempel pada suatu permukaan. Biofilm yang melekat tersusun atas matrik polimer ekstraseluler yang dihasilkan sendiri oleh bakteri tersebut (Chen et al., 2013). Di dalam lapisan biofilm, mikroba cenderung tumbuh dan berkembang dengan pesat hingga membentuk koloni terutama pada permukaan bahan yang lembab dan kaya akan nutrisi (Traver, 2009).


(22)

2.2.2 Struktur Biofilm

Unit struktural dasar biofilm adalah mikrokoloni, sel planktonik bakteri tertanam dalam matriks extracellular polymeric substance (EPS). Mikrokoloni dapat terdiri dari satu atau lebih jenis bakteri, tergantung pada jenis bakteri. 10-25% bagian dari biofilm tersusun atas sel bakteri sedangkan 79-90% bagian lainnya tersusun atas matriks EPS. Matriks EPS melindungi sel bakteri dari berbagai kondisi lingkungan yang buruk, seperti radiasi UV, perubahan nilai pH, dan atau pengeringan. Komposisi umum EPS bakteri terdiri polisakarida, protein, asam nukleat, lipid, fosfolipid, dan zat humat. Matriks molekul EPS diperlukan untuk komunikasi antar sel yang disebut quorum sensing. Quorum sensing merupakan suatu proses yang memungkinkan bakteri dapat berkomunikasi dengan mensekresikan molekul sinyal yang disebut autoinducer.

Diantara mikrokoloni, terdapat saluran air yang mengalir. Saluran air ini berfungsi sebagai sistem sirkulasi sederhana untuk mendistribusikan nutrisi ke mikrokoloni dan menerima metabolit yang merugikan. Biofilm juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti ketersediaan nutrisi dan hidrodinamika. Biofilm bersifat polimorfik dan perubahan struktur menyesuaikan jumlah nutrisi, yang ditunjukkan oleh percobaan dengan pemberian konsentrasi glukosa yang berbeda. Ketika konsentrasi glukosa tinggi, mikrokoloni tumbuh dengan cepat menghasilkan peningkatan ketebalan biofilm secara signifikan. Ketika konsentrasi glukosa rendah, biofilm berkurang dan struktur sebelumnya diperbaiki. Studi biofilm dalam kondisi hidrodinamik yang berbeda, seperti aliran laminar dan aliran turbulen, telah menunjukkan bahwa perubahan struktur biofilm tergantung pada jenis aliran. Dalalam aliran laminar mikrokoloni bakteri menjadi bulat, dalam aliran turbulen mikrokoloni bakteri memanjang ke arah hilir (Maric S., Vranes J., 2007).

2.2.3 Pembentukan Biofilm

Proses pembentukan biofilm menurut Watnick dan Kolter (2000) terdiri dari lima tahap. Pada tahap pertama sel planktonik bakteri akan berpindah dari cairan ke permukaan benda padat. Pada tahap ini, proses perlekatan sel masih bersifat sementara, namun pada tahap kedua, sel bakteri telah menempel secara


(23)

6

permanen akibat terbentuknya material eksopolimer yang merupakan suatu senyawa perekat yang lebih kuat.

Pada tahap ketiga ditandai dengan terbentuknya mikrokoloni dan biofilm mulai terbentuk, bakteri mulai berkembang biak dan memancarkan sinyal kimiawi sebagai alat komunikasi antarsel bakteri (Prakash et al., 2003). Sementara pada tahap keempat, biofilm yang terbentuk semakin banyak dan membentuk struktur tiga dimensi yang mengandung sel terselubung dalam beberapa kelompok yang saling terhubung satu sama lainnya.

Pada tahap terakhir, perkembangan struktur biofilm mengakibatkan terjadinya dispersi sel sehingga sel tersebut berpindah dan membentuk biofilm yang baru. Perlu dicatat pada biofilm yang sudah terbentuk, proses pembelahan sel jarang terjadi. Pada kondisi tersebut, sel biofilm menggunakan sebagian besar energi untuk membentuk eksopolisakarida yang dibutuhkan sel sebagai nutrisi (Watnick and Kolter, 2000).

Gambar 1. Pembentukan Biofilm

Sumber: Montana State University (MSU) Center of Biofilm Engineering

2.2.4 Pengendalian Biofilm

Biofilm yang terdiri dari bakteri patogen dapat menimbulkan masalah yang serius bagi kesehatan manusia. Hal ini menyebabkan perlunya suatu cara atau pengendalian khusus pada biofilm. Pengendalian biofilm dapat dilakukan secara kima, fisika dan biologi.


(24)

1) Secara Kimia

Biasanya pengendalian biofilm dilakukan seperti halnya proses sanitasi dengan cara penambahan suatu zat kimia. Sanitasi kimia dilakukan dengan menggunakan desinfektan. Tujuan penggunaan desinfektan ialah untuk mereduksi jumlah mikroorganisme patogen. Selain itu menurut M. Simoes et al (2010) teknik perlakuan deaktivasi biofilm mikroba dapat dilakukan dengan menggunakan enzim berbasis deterjen juga dikenal dengan bio-cleaners.

2) Secara Fisika

Selain menggunakan bahan kimia pengendalian biofilm dapat juga dilakukan dengan metode fisika yaitu memanfaatkan suhu yang tinggi atau pemanasan. Sanitasi dengan menggunakan air panas lebih menguntungkan karena air panas mudah tersedia dan tidak beracun. Peralatan kecil seperti pisau, serta bagian – bagian alat pengolahan pangan dapat direndam dalam air yang dipanaskan hingga suhu 800C (Yunus, 2000). Tinggi rendahnya suhu mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme. Bakteri dapat tumbuh dalam rentang suhu minus 500C sampai 800C, tetapi bagaimanapun juga setiap spesies mempunyai rentang suhu yang pendek yang ditentukan oleh sensitifitas sistem enzimnya terhadap panas.

Aktivitas panas sering dijadikan sebagai sanitasi suatu peralatan kesehatan dan peralatan proses penanganan makanan. Dari hasil penelitian (Trisnawati, 2010) jumlah bakteri sebelum perlakuan sanitizer air panas berkisar antara 120 – 280 CFU/cm2. Sesudah perlakuan hasil pemeriksaan angka total bakteri berkisar antara 80 – 100 CFU/cm2

. Hasil analisis menunjukkan bahwa proses sanitasi memberikan pengaruh terhadap penurunan angka total bakteri.

3) Secara Biologi

Teknik perlakuan deaktivasi biofilm mikroba secara biologi dapat dilakukan dengan pengendalian fage dan interaksi mikrobiologis atau molekul metabolit (M. Simoes et al., 2010).

Fage dapat digunakan untuk pengendalian biofilm. Pada dasarnya fage merupakan virus yang menginfeksi bakteri melalui jalur yang spesifik serta besifat non-tosik terhadap manusia, sehingga memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan sebagai bahan pengendali biofilm mikroba (Kudva et al., 1999).


(25)

8

Pengendalian biofilm juga dapat dilakukan dengan interaksi interspesies jamak atau produksi suatu metabolit sederhana. Banyak bateri yang mampu mensintesis dan mensekresikan biosurfaktan dengan sifat anti lekat yang kuat. Davis and Marques (2009) melaporkan P. aeruginosa menghasilkan cis-2-asam dekanoat yang mampu menghambat pembentukan dan pengembangan biofilm. Ditambahkan pula peranan cis-2-asam dekanoat dalam pengendalian biofilm sangat terkait dengan kemampuan memancarkan sinyal dari molekul asam lemak rantai pendek (Prasetia, H.A., 2012).

2.3 Staphylococcus aureus

Bakteri S. aureus merupakan bakteri Gram positif berbentuk sferis dengan diameter 0,8 – 1,0 mikron, tidak bergerak, fakultatif anaerob, tidak berspora dan tidak membentuk flagel. Koloni pada media yang padat akan berbentuk bulat, halus, menonjol, dan berkilau-kilau, membentuk berbagai pigmen berwarna kuning keemasan (Jawetz et al., 2005). Secara garis besar klasifikasi bakteri S. aureus menurut Rosenbach (1884) berasal dari Filum Firmicutes, Kelas Bacili, Ordo Bacillales, Familia Staphylococcaceae, Genus Staphylococcus, Spesies S. aureus.

Gambar 2. S. aureus yang Dilihat dari Mikroskop Elektron. Sumber: Todar, 2008

S. aureus dapat menimbulkan penyakit melalui kemampuannya tersebar luas dalam jaringan dan melalui pembentukan berbagai zat ekstraseluler. Berbagai zat yang berperan sebagai faktor virulensi dapat berupa protein, termasuk enzim dan toksin. Lebih dari 90% isolat klinik menghasilkan S. aureus


(26)

virulensi bakteri (Jawetz et al., 2008). Setiap jaringan ataupun alat tubuh yang terinfeksi dapat menyebabkan timbulnya penyakit dengan tanda – tanda yang khas, yaitu peradangan, nekrosis dan pembentukan abses (Assani S, 1994).

Pembentukan biofilm S. aureus dapat menyebabkan masalah kesehatan yang serius karena dapat meningkatkan resistensi terhadap antibiotik, desinfektan dan imunitas hospes. Kemampuan pembentukan biofilm merupakan salah satu faktor virulensi S. aureus yang dapat menyebabkan peningkatan toleransi terhadap antibiotik dan desinfektan serta resistensi terhadap fagositosis dan sel-sel imunokompeten lain (Høiby, et al., 2010; J.-H. Lee et al., 2013).

Gambar 3. Scanning Electron Micrograph (SEM) Biofilm S. aureus. Sumber: Bixler, Gregory D., dan Bhushan, Bharat,. 2012.

2.4 Deskripsi Daun Teh Putih (Camellia sinensis (L.) Kuntze)

Daun teh putih adalah jenis daun teh yang diproduksi paling sedikit dan memiliki kandungan katekin yang paling tinggi. Merupakan daun teh muda yang masih kuncup dan di proses secara penguapan dengan segera setelah pemanenan untuk menonaktifkan polifenol oksedase, suatu enzim yang dapat menghilangkan katekin. Akibatnya, kandungan katekin pada teh putih lebih banyak dibanding teh hijau (Rai Nishant et al. 2012). Menurut Pusat Penelitian Teh dan Kina (2012), bahan teh putih adalah pucuk teh yang masih kuncup yang disebut peko. Peko diolah tidak melalui proses oksidasi (atau hanya sedikit terjadi oksidasi) polifenol sehingga memiliki antioksidan tertinggi. Disebut white tea karena penampakan teh ini putih keperakan mengkilat dari bulu – bulu yang menyelimutinya dan bentuknya runcing menyerupai jarum.


(27)

10

Gambar 4. (A) Daun Teh Putih pada Tanaman Teh (C. sinensis) Sumber: Mead, M. Nathaniel., 2007

Tanaman teh merupakan tanaman subtropis yang sejak lama telah dikenal dalam peradaban manusia. Klasifikasi tanaman teh menurut Rai Nishant et al (2012) berasal dari Kelas Magnoliopsida – Dicotyledon, Order Theales, Familia Theaceae, Genus Camellia L, Spesies C. sinensis. Kandungan senyawa kimia daun teh segar terdiri atas 4 kelompok besar, yaitu Substansi Fenol berupa flavonol dan katekin, Substansi Bukan Fenol (karbohidrat, substansi pektin, alkaloid, klorofil, protein dan asam amino bebas, asam organik, substansi resin, vitamin, substansi mineral), Substansi Penyebab Aroma, dan Enzim (Arifin, 1994).

Katekin teh putih (C. sinensis) tersusun sebagian besar atas senyawa – senyawa katekin (C), epikatekin (EC), epigalokatekin (EGC), epikatekin galat (ECG) dan epigalokatekin-3-galat (EGCG). Konsentrasi katekin sangat tergantung pada umur daun. Kandungan katekin berkisar 20-30% dari seluruh berat kering daun (Rai Nishant et al., 2012).

Menurut Pusat Penelitian Teh dan Kina (2012), manfaat teh putih yaitu: sangat baik menangkal radikal bebas; menurunkan kolesterol; menurunkan tekanan darah; dipercaya dapat melindungi jantung; menurunkan kadar gula darah; dapat menurunkan berat badan; dapat mencegah penuaan dan kerusakan pada kulit; membakar lemak dan mencegah munculnya sel – sel lemak baru; mencegah terjadinya mutasi sel penyebab kanker; menjadikan tulang, gigi, dan gusi lebih kuat; mencegah dan melawan pengaktifan sel usus besar, prostat; serta membantu kerja ginjal dan mencegah terjadinya batu empedu.


(28)

Alasan lain untuk minum teh, terutama teh putih menurut Syukur C (2011) adalah sangat kaya akan antioksidan, mirip dengan beta – karoten dan vitamin C. Hal ini disebabkan karena teh mengandung epigallocatechin-3-gallate, yang dilaporkan memiliki kemampuan 200 kali lebih efektif sebagai antioksidan daripada vitamin E. Antioksidan dapat membantu mencegah kanker dengan menyerap radikal bebas, antioksidan sangat baik untuk sistem kekebalan tubuh, dan antioksidan bahkan telah digunakan untuk mengurangi munculnya keriput.

2.5 Response Surface Analysis

Analisa response surface dilakukan untuk mengetahui kondisi optimal guna menghasilkan aktivitas yang terbaik. Perancangan eksperimen statistika merupakan suatu proses perencanaan eksperimen untuk memperoleh data yang tepat sehingga dapat dianalisa dengan metode statistik serta kesimpulan yang diperoleh dapat bersifat obyektif dan valid. Salah satu metoda perancangan eksperimen yang digunakan untuk mengetahui kondisi optimal adalah Metode Response Surface (Rahardjo, Jani., 2002).

Response Surface Methodology sudah dikenalkan oleh Box dan Wilson sejak tahun 1951. Dalam buku Design and Analysis of Experiment, Montgomerry (2001), menjelaskan bahwa Response Surface Methodology atau sering disingkat dengan RSM, merupakan kumpulan teknik matematis dan statistik yang digunakan untuk pemodelan dan analisis masalah dalam suatu respon yang dipengaruhi oleh beberapa variabel dan tujuannya adalah untuk mengoptimasi respon tersebut. Variabel yang mempengaruhi respon dinamakan variabel bebas atau sering dinamakan faktor. RSM telah banyak digunakan dalam beberapa bidang ilmu seperti, ilmu kimia, teknik kimia, teknologi pertanian, ilmu kesehatan, dan lain-lain.


(29)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Kesehatan, Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong. Waktu pelaksanaan penelitian dimulai pada bulan Maret sampai bulan Mei 2015.

3.2 ALAT DAN BAHAN 3.2.1 Alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah gelas beker pyrex®, spatula, Erlenmeyer pyrex®, kertas saring Whatman no.1, membran penyaring 0.2 µm, corong pyrex®, ayakan Mesh 20, lumpang, alu, kain kassa, cawan petri pyrex®, tabung reaksi pyrex®, rak tabung reaksi, pinset, jarum ose, kapas, batang pengaduk, pipet tetes, pipet mikro gilson pipetman dan tube, bunsen, alumunium foil, plastik wrap, vial, timbangan analitik denver instrument, termometer, mikroskop nikon H550S, autoklaf hiclaveTM, oven vonavex, vortex maxi mix II, incubator sanyo dan isuzu, microwave sanyo, Laminar Air flow (LAF), lemari pendingin LG dan polytron, seperangkat alat filtrasi sibata, spektrofotometer UV-Vis shimadzu, microtitterplate flat-buttom polystyrene 96 wells costar®, iMark-Biorad Microplate Reader.

3.2.2 Bahan Penelitian 3.2.2.1Tanaman Uji

Tanaman teh (C. sinensis) dan kemasan yang berisi 100% daun teh putih (C. sinensis) diperoleh dari Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK) di Perkebunan Gambung, Desa Mekarsari, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung – Jawa Barat. Daun teh putih tersebut berbentuk daun kering yang telah diproses oleh PPTK Gambung dan dikemas siap pakai. Tanaman teh dan kemasan daun teh putih diperoleh pada tanggal 5 Februari 2015.


(30)

3.2.2.2Bakteri Uji

Kultur murni dari S. aureus didapat dari koleksi Laboratorium Mikrobiologi Kesehatan (LIPI Cibinong) dengan kode strain LK1501. Mikroba ini diisolasi dari permukaan kulit bagian tangan manusia. Penetapan bakteri uji dilakukan melalui uji re-identifikasi S. sureus yang terdiri dari pengamatan secara morfologis, pewarnaan Gram dan reaksi biokimia seperti uji katalase, koagulase, phosphatase dan deteksi H2S oleh laboratorium mikrobiologi kesehatan (Breed, Roberto et al., 1957).

3.2.2.3Bahan Lainnya

Akuades steril, etanol 96%, NaCl fisiologis, lugol, safranin, kristal violet 1 %, media heterotrof (HTR) cair, media luria bertani (LB) agar, media kingler iron agar (KIA), susu skim, H2O2 3%, dan media pelarut fosfat.

3.3 METODE PENELITIAN

3.3.1 Determinasi Teh (C. sinensis)

Tujuan dilakukan determinasi adalah untuk memastikan klasifikasi dari tanaman yang digunakan dalam penelitian. Determinasi terhadap tanaman teh (C. sinensis) dilakukan di Herbarium Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahauan Indonesia (LIPI) – Cibinong.

3.3.2 Karakterisasi dan Penapisan Fitokimia Daun Teh Putih (C. sinensis) 3.3.2.1 Organoleptik

Dilakukan pengamatan secara organoleptik terhadap karakteristik daun teh putih (C. sinensis) yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bentuk, bau dan rasa.

3.3.2.2 Penapisan Fitokimia

Penapisan fitokimia dilakukan untuk mengetahui metabolit sekunder yang terkandung di dalam daun teh putih (C. sinensis). Metabolit sekunder yang diuji secara kualitatif ini antara lain alkaloid (Wagner, Mayer dan Dragendorf), steroid, flavonoid, tanin, saponin, triterpenoid dan hidrokuinon. Penapisan fitokimia pada


(31)

14

penelitian ini dilakukan oleh Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka, LPPM – IPB, Bogor. Metode penapisan fitokimia tersebut dapat dilihat pada lampiran 3.

3.3.3 Penyiapan Seduhan dan Karakterisasi Seduhan Daun Teh Putih Pada penelitian ini daun teh putih yang digunakan berada dalam satu kemasan yang sama dan diseduh sesuai dengan saran penyajian pada kemasan. Penyiapan daun teh putih pada penelitian ini divariasikan yaitu seduhan 1 menggunakan daun teh kering yang langsung dari kemasan, seduhan 2 menggunakan daun teh putih hasil seduhan pertama dan seduhan 3 menggunakan daun teh putih yang sebelumnya diserbuk halus dengan cara digiling pada lumpang alu kemudian diayak dengan ayakan Mesh 20. Bertujuan untuk mendapatkan hasil seduhan daun teh putih yang memiliki kandungan total fenol tertinggi untuk digunakan pada uji penghambatan pertumbuhan dan penghancuran biofilm S. aureus.

Mula – mula tiap variasi daun teh putih ditimbang sebanyak 2 gram, lalu diseduh menggunakan 100 mL akuades bersuhu 90°C dalam keadaan ditutup dan diamkan selama 10 menit tanpa di aduk. Setelah diseduh daun teh putih disaring dengan menggunakan kertas saring untuk memisahkan daun teh dari seduhan lalu disaring kembali menggunakan membran penyaring berukuran 0.2 µ untuk menghindari kontaminan. Hasil tiap seduhan dikarakterisasi dengan cara dianalisis secara kuantitatif kandungan total fenolnya di Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka, LPPM – IPB, Bogor, Jawa Barat. Metode analisis total fenol tersebut dapat dilihat pada lampiran 4.

Seduhan daun teh putih yang memiliki kandungan total fenol (polifenol) tertinggi selanjutnya dilakukan penyiapan berbagai seri konsentrasi dengan dilakukan pengenceran menggunakan akuades steril dengan seri konsentrasi 1%, 2%, 4% dan 8% (v/v) untuk pengujian aktivitas penghambatan pertumbuhan dan penghancuran biofilm S. aureus. Perhitungan pengenceran tersebut dapat dilihat pada lampiran 6.


(32)

3.3.4 Preparasi Bakteri Uji

3.3.4.1Purifikasi dan Karakterisasi Bakteri Uji pada Media Luria Bertani Agar

Tujuan dilakukan purifikasi bakteri uji adalah untuk memurnikan biakan bakteri uji dari kultur murni S. aureus. Teknik yang digunakan adalah Streak Plate. Jarum ose dipanaskan terlebih dahulu hingga berpijar, dan didinginkan. Kemudian bakteri diambil dari kultur murni dan digoreskan pada media luria bertani agar lalu diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam (Deby et al., 2010) dan dilakukan pengamatan secara morfologis terhadap bakteri uji yang telah dipurifikasi serta dilakukan karakterisasi bakteri dengan pewarnaan Gram.

3.3.4.2Pembuatan Suspensi Bakteri Uji

Diambil sebanyak satu ose bakteri uji yang telah dipurifikasi pada media luria bertani agar dan dimasukkan ke dalam tabung berisi 10 mL media heterotrof (HTR) cair dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37°C. Tabung yang berisi kultur cair bakteri uji divorteks kemudian diukur nilai optical dencity (Absorbansi OD600) untuk mengetahui konsentrasi suspensi bakteri tersebut (Bjarnsholt, Thomas et al., 2011). Seluruh pengerjaan preparasi bakteri uji dilakukan secara aseptis di dalam Laminar Air Flow (LAF) yang sebelumnya telah dibersihkan dengan alkohol, lalu disterilkan dengan UV yang dinyalakan selama lebih kurang 2 jam sebelum digunakan.

3.3.5 Optimasi Waktu Pembentukan Biofilm S. aureus

Pengujian dilakukan menggunakan microtitierplate flat-bottom polystyrene 96 wells, dengan cara memasukkan sebanyak 200 µL suspensi bakteri ke dalam tiap wells kemudian di optimasi waktu inkubasinya. Bertujuan untuk mendapatkan waktu inkubasi optimal dalam membentuk biofilm. Variasi waktu inkubasi yang digunakan adalah 1, 2, 3, dan 4 hari. Setelah masa inkubasi, microplate dicuci menggunakan air mengalir sebanyak 3 kali, kemudian ditambahkan 200 µL larutan kristal violet 1% ke tiap well dan diinkubasi pada suhu ruang selama 15 menit. Microplate dicuci kembali dengan menggunakan air mengalir sebanyak 3 kali. Larutan etanol 96% sebanyak 200 µL dimasukkan ke


(33)

16

tiap well dan diinkubasi pada suhu ruang selama 15 menit. Selanjutnya dilakukan pembacaan pertumbuhan biofilm (Absorbansi OD595) menggunakan alat iMark-Biorad Microplate Reader. Pengujian dilakukan triplo dan dikerjakan secara aseptis di dalam Laminar Air Flow (LAF) yang sebelumnya telah dibersihkan dengan alkohol, lalu disterilkan dengan UV yang dinyalakan selama lebih kurang 2 jam sebelum digunakan. Hasil nilai absorbansi terbesar dinyatakan sebagai pembentukan biofilm S. aureus yang optimal. Waktu inkubasi optimal digunakan untuk kontrol negatif pada uji penghambatan pertumbuhan dan penghancuran biofilm S. aureus.

3.3.6 Uji Aktivitas Penghambatan dan Penghancuran Biofilm S. aureus Secara In Vitro (Prasasti dan Hertiani, 2010; Sandasi et al., 2010) 3.3.6.1Uji Penghambatan Pertumbuhan dan Perkembangan Biofilm

Tujuan dilakukan uji penghambatan pertumbuhan biofilm adalah untuk mendapatkan aktivitas seduhan teh putih dalam penghambatan pertumbuhan biofilm S. aureus. Pengujian dilakukan secara in vitro menggunakan microtitterplate flat-bottom polystyrene 96 wells. Dilakukan secara aseptis di dalam Laminar Air Flow (LAF) yang sebelumnya telah dibersihkan dengan alkohol, lalu disterilkan dengan UV yang dinyalakan selama lebih kurang 2 jam sebelum digunakan.

Suspensi bakteri uji, seduhan daun teh putih dan media dimasukkan dalam waktu bersamaan. Ke dalam tiap well dimasukkan media HTR sebanyak 60 µL, suspensi bakteri uji sebanyak 70 µL dan seduhan daun teh putih sebanyak 70 µL dengan variasi konsentrasi 1%, 2%, 4%, dan 8% (v/v). Kemudian diinkubasi selama 2 hari pada suhu 37°C. Setelah masa inkubasi, microplate dicuci menggunakan air mengalir sebanyak 3 kali, kemudian ditambahkan 200 µL larutan kristal violet 1% ke tiap well dan diinkubasi pada suhu ruang selama 15 menit. Microplate dicuci kembali menggunakan air mengalir sebanyak 3 kali. Larutan etanol 96% sebanyak 200 µL dimasukkan ke tiap well dan diinkubasi pada suhu ruang selama 15 menit. Selanjutnya dilakukan pembacaan pertumbuhan biofilm (Absorbansi OD595) menggunakan alat iMark-Biorad Microplate Reader.


(34)

Pengujian dilakukan triplo. Persentase penghambatan dari biofilm S. aureus dapat diukur dengan rumus sebagai berikut :

% penghambatan =

3.3.6.2Uji Penghancuran Biofilm

Tujuan dilakukan uji penghancuran biofilm adalah untuk mendapatkan aktivitas seduhan daun teh putih dalam menghancurkan biofilm S. aureus. Pengujian ini dilakukan sebagaimana pada uji penghambatan pertumbuhan biofilm, hanya saja seduhan daun teh putih ditambahkan pada biofilm yang telah terbentuk. Biofilm terbentuk setelah masing-masing wells diinkubasi selama 48 jam pada suhu 37°C dengan jumlah suspensi bakteri uji sebanyak 200 µL media heterotrof (HTR). Setelah terbentuknya biofilm, suspensi bakteri uji dalam microplate tersebut dibuang, kemudian dimasukkan seduhan daun teh putih sebanyak 200 µL dengan variasi konsentrasi 1%, 2%, 4% dan 8% (v/v). Selanjutnya diinkubasi pada suhu ruang selama 1 jam. Setelah masa inkubasi, microplate dicuci menggunakan air mengalir sebanyak 3 kali, dan diberi perlakuan sebagaimana yang telah dilakukan pada uji penghambatan pertumbuhan biofilm. Persentase penghancuran dari biofilm S. aureus dapat diukur dengan rumus sebagai berikut :

% penghancuran =

3.3.7 Rancangan Penelitian dan Analisis Data

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratoris dengan desain penelitian post test only control-group design. Data yang diperoleh dari uji aktivitas penghambatan dan penghancuran biofilm S. aureus merupakan data kuantitatif berupa nilai absorbansi atau pertumbuhan biofilm (absorbansi OD595). Data hasil pengujian aktivitas penghambatan dan penghancuran biofilm seduhan teh putih (C. sinensis) terhadap biofilm S. aureus dianalisis secara statistik. Tujuan dilakukan analisa statistik adalah untuk melihat apakah seduhan daun teh


(35)

18

putih memperlihatkan perbedaan aktivitas penghambatan dan penghancuran biofilm yang signifikan terhadap biofilm yang dibentuk oleh bakteri S. aureus.

3.3.8 Optimasi Aktivitas Penghancuran Biofilm S. aureus

Pada penelitian ini, optimasi aktivitas penghancuran biofilm S. aureus dilakukan dengan menggunakan aplikasi metode Response Surface Analysis (RSA) tiga faktorial dengan jumlah replikasi 1. Tiga faktor yang digunakan meliputi konsentrasi seduhan daun teh putih, waktu kontak pemberian seduhan dan suhu inkubasi yang digunakan dalam desain dan analisis eksperimen RSA divariasikan. Rentang yang digunakan pada konsentrasi seduhan daun teh putih 1% - 8% (v/v), waktu kontak pemberian seduhan daun teh putih 30 menit – 90 menit, dan suhu inkubasi pada suhu 25°C - 50°C. Tujuannya adalah untuk mengetahui konsentrasi seduhan daun teh putih, waktu kontak dan suhu inkubasi yang menunjukkan aktivitas penghancuran biofilm S. aureus optimal.


(36)

4.1 Determinasi

Berdasarkan hasil determinasi tanaman pada tanggal 06 Januari 2015 membuktikan bahwa tanaman yang digunakan adalah teh Camellia sinensis (L.) Kuntze, suku Theaceae. Hasil determinasi tersebut dapat dilihat pada lampiran 7.

4.2 Hasil Karakterisasi dan Penapisan Fitokimia Daun Teh Putih (C. sinensis)

4.2.1 Organoleptik

Daun teh putih yang digunakan pada penelitian ini berada dalam kemasan yang sama, bertujuan mengurangi variabel pengganggu yang menyebabkan perbedaan komposisi zat berkhasiat, misalnya perbedaan waktu panen dan lama penyimpanan. Karakteristik daun teh putih (C. sinensis) yang digunakan dalam penelitian ini adalah berbentuk panjang, sedikit bengkok dan berujung runcing menyerupai jarum. Berwarna hijau keperakan mengkilat dari bulu – bulu yang menyelimutinya. Memiliki bau khas teh dengan rasa hambar saat di hisap dan sedikit pahit jika dikunyah. Karakteristik daun teh putih yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada gambar 5.

Gambar 5. Karakteristik Daun Teh Putih (C. sinensis) Sumber: Dokumen Pribadi

4.2.2 Penapisan Fitokimia

Kandungan metabolit sekunder pada daun teh putih (C. sinensis) diuji dengan cara penapisan fitokimia pada tanggal 08 Mei 2015. Metabolit sekunder


(37)

20

dan Dragendorf), steroid, flavonoid, tanin, saponin, triterpenoid, dan hidrokuinon.

Hasil penapisan fitokimia daun teh putih (C. sinensis) dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Hasil Uji Penapisan Fitokimia

Golongan Hasil Teknik Analisis

Alkaloid

Wagner +

Visualisasi Warna

Mayer +

Dragendorf +

Steroid +

Flavonoid +

Tanin +

Saponin +

Triterpenoid -

Hidrokuinon -

Keterangan : (+) = positif (-) = negatif

Dari hasil pengujian penapisan fitokimia menunjukkan bahwa daun teh putih (C. sinensis) yang digunakan pada penelitian ini memiliki kandungan senyawa flavonoid, tanin dan saponin dimana metabolit sekunder tersebut berpotensi memiliki aktivitas antibiofilm. Menurut J.-H. Lee et al (2013) senyawa kuersetin (salah satu zat aktif kelas flavonoid, termasuk dalam kelompok flavonol) dan tanin berpotensi menghambat pembentukan biofilm. Kemampuan ekstrak tanaman Alnus japonica yang mengandung senyawa kuersetin dan tanin dapat menghambat ekspresi intercellular adhesion genes icaA dan icaD yang berperan dalam inisiasi pembentukan biofilm (Cramton et al, 1999 dalam J.-H. Lee et al, 2013). Sedangkan senyawa saponin dapat mengganggu pembentukan biofilm dengan cara merusak matriks biofilm, membuat celah pada lapisan lipid sehingga memungkinkan penembusan (Coleman et al., 2010). Senyawa lain seperti polifenol dapat menembus biofilm dan melakukan aksi antimikroba. Polifenol teh atau sering disebut dengan katekin bersifat antimikroba (Syah, Andi., 2006).

4.3 Hasil Penyiapan Seduhan dan Karakterisasi Seduhan Daun Teh Putih Setelah seduhan telah siap, sebagian larutan dari hasil tiap penyeduhan


(38)

ini dianalisis kandungan total fenol (polifenol total) dalam tiap seduhan secara kuantitatif dengan metode Follin-ciocalteau di Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka, LPPM – IPB, Bogor, Jawa Barat pada tanggal 16 Maret 2015. Hasil analisis total fenol tiap seduhan teh putih (C. sinensis) dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Hasil Uji Total Fenol

Nama Sampel Hasil Teknik Analisis Seduhan 1 0,018% (b/v)

Spektrofotometri Seduhan 2 0,025% (b/v)

Seduhan 3 0,028% (b/v)

Dari hasil uji total fenol metode Folin-ciocalteau diatas terlihat pada seduhan 1 hanya mengandung 0,018% (b/v), dimungkinkan karena daun teh putih belum terekstrak sempurna. Jika dilihat dari karakteristiknya, daun teh putih masih dalam bentuk kuncup dan menggulung sehingga kandungan metabolit sekunder sulit terekstrak keluar dari dalam daun teh dan hanya menghasilkan total fenol lebih sedikit dibandingkan seduhan lainnya. Pada seduhan 2 menghasilkan kandungan total fenol yang lebih tinggi dari seduhan satu yaitu sebesar 0,025% (b/v). Sesuai dengan saran penyajian kemasan, teh putih dapat diseduh ulang hingga 2-3 kali menggunakan volume air yang sama, ini membuktikan bahwa daun teh putih masih berkhasiat dan layak dikonsumsi meskipun sebelumnya telah diseduh. Sedangkan pada seduhan 3 mengandung total fenol yang lebih tinggi dari seduhan lainnya yaitu mencapai 0,028% (b/v), dimungkinkan karena daun teh putih terekstrak sempurna karena daun teh putih sebelumnya telah diserbuk halus dengan cara digiling dalam lumpang dan alu kemudian di ayak dengan ayakan Mesh 20. Dengan perlakuan sebelumnya ini, sangat disayangkan karena dapat menghilangkan keunikan dari bentuk daun teh putih meskipun menghasilkan total fenol yang paling tinggi.

Dari hasil analisis total fenol didapatkan seduhan 3 memiliki polifenol total yang paling tinggi yaitu 0,028% (b/v). Dipilihnya seduhan yang memiliki kandungan polifenol total tertinggi karena dimungkinkan memiliki aktivitas antibiofilm yang lebih baik khususnya dalam aktivitas penghambatan dan penghancuran biofilm S. aureus. Polifenol dapat diartikan sebagai suatu senyawa kimia yang umumnya terdapat pada daun teh dimana struktur dasarnya memiliki


(39)

22

gugus aromatik yang terikat satu atau lebih gugus OH. Senyawa dari golongan polifenol dalam daun teh putih yang digunakan pada penelitian ini, setelah dilakukan penapisan fitokimia adalah flavonoid dan tanin yang keduanya berpotensi memiliki aktivitas antibiofilm. Kemudian diseduh dan dianalisis secara kuantitatif total fenol (polifenol totalnya), dimungkinkaan senyawa flavonoid dan tanin pada daun teh putih larut selama proses penyeduhan karena senyawa fenol cenderung mudah larut dalam air. Senyawa saponin juga mudah larut dalam air (J. B. Harborne, 1987).

Seduhan 3 dijadikan larutan seduhan yang akan digunakan untuk pengujian penghambatan pertumbuhan dan penghancuran biofilm S. aureus. Larutan seduhan dianggap konsentrasi 100% karena daun teh putih tidak larut sempurna dalam larutan penyeduh dan harus disaring untuk memisahkan daun teh putih dari larutan seduhan dan tidak bisa dipastikan konsentrasi (b/v). Dari larutan tersebut dibuat seri konsentrasi sebesar 1%, 2%, 4% dan 8% (v/v) dengan cara dilakukan pengenceran menggunakan akuades steril. Seri konsentrasi seduhan daun teh putih (C. sinensis) dibuat dengan tujuan untuk mendapatkan aktivitas antibiofilm khususnya dalam aktivitas penghambatan pertumbuhan dan penghancuran biofilm meskipun dengan menggunakan konsentrasi yang kecil.

4.4 Preparasi Bakteri Uji

4.4.1 Hasil Purifikasi dan Karakterisasi Bakteri Uji pada Media Luria Bertani Agar

Purifikasi bertujuan untuk memurnikan biakan bakteri uji dari kultur murni S. aureus. Pada penelitian ini purifikasi bakteri uji menggunakan media luria bertani (LB) agar selama 24 jam pada suhu 37°C untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bakteri uji sehingga dapat tumbuh dengan baik (J.-H. Lee et al., 2013). Media LB agar merupakan media pendukung bagi banyak pertumbuhan dan tersusun dari komponen yang umumnya diperlukan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi mikroorganisme, media LB agar bukan media selektif untuk bakteri S. aureus (Pratiwi, 2008).


(40)

tertanam dalam perbenihan luria bertani agar jika dilihat dari sisi atas koloni – koloni terlihat bundar, menonjol dan sisi meninggi, koloni berkilau berwarna kuning tua keemasan dan tumbuh dengan baik pada media LB agar. Hasil purifikasi bakteri uji pada media luria bertani agar dapat dilihat pada gambar 6.

Gambar 6. Hasil Purifikasi Bakteri S. aureus pada Media LB Agar. Sumber: Dokumen Pribadi

Dari hasil pewarnaan Gram dapat dilihat secara mikroskopik bahwa isolat bakteri uji yang digunakan menghasilkan warna ungu, berbentuk bulat tidak beraturan seperti anggur, dan tidak berspora. Dengan pewarnaan Gram, golongan bakteri ini dapat menyerap dan mempertahankan zat warna kristal ungu pada peptidoglikan setebal 20 – 80 nm (Mims et al., 1998) dengan komposisi terbesar teichoic, asam teichuroni, dan berbagai macam polisakarida (Jawetz et al., 2005) sehingga tidak luruh saat dicuci dengan alkohol 96%. Jadi dapat disimpulkan isolat yang digunakan adalah benar merupakan bakteri Gram positif yaitu bakteri S. aureus. Hasil karakterisasi bakteri S. aureus menggunakan pewarnaan Gram dapat dilihat pada gambar 7.


(41)

24

4.4.2 Hasil Suspensi Bakteri Uji

Tabung yang berisi kultur cair bakteri uji yang telah diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37°C terlihat lebih keruh dari hari sebelumnya, hal ini menandakan bakteri uji telah tumbuh dan konsentrasi bakteri uji lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. Selanjutnya divortex selama 1 menit hingga homogen kemudian diukur nilai Optical Density (Absorbansi OD600) menggunakan alat spektrometer, kemudian dilakukan pengenceran menggunakan HTR cair hingga mencapai 0,5 (Abs OD600) atau ~108 CFU/mL. Digunakan OD 0,5 pada suspensi bakteri uji karena dapat membentuk biofilm yang baik (kuat) pada nilai OD ≥ 0.5 (Ando et al., 2004). Selain itu, pada nilai OD 0,5 bakteri S. aureus berada pada tahap pertengahan fase log (Bjarnsholt, Thomas et al., 2011) dan dalam laju metabolisme yang cepat. Menurut Pratiwi, Sylvia (2008) fase log (fase eksponensial) merupakan fase dimana mikroorganisme tumbuh dan membelah pada kecepatan maksmum, tergantung pada genetika mikroorganisme, sifat media, dan kondisi pertumbuhan. Sel-baru terbentuk dengan laju konstan dan massa yang bertambah secara eksponensial.

4.5 Hasil Optimasi Waktu Pembentukan Biofilm S. aureus

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6

Suspensi Bakteri Uji (200µL)

A b sor b an si

Diagram Optimasi Waktu Pembentukan

Biofilm S. aureus

1 hari 2 hari 3 hari 4 hari


(42)

Sebelum dilakukan uji aktivitas penghambatan pembentukan dan penghancuran biofilm seduhan daun teh putih (C. sinensis), kultur cair suspensi bakteri S. aureus harus diuji pertumbuhan biofilm dengan menggunakan metode Microtitter Plate Biofilm Assay (Absorbansi OD595) tujuannya memastikan bakteri uji pada waktu inkubasi optimal dapat membentuk biofilm terbaik pada alat uji. Diagram optimasi waktu pembentukan biofilm S. aureus dapat dilihat pada gambar 8.

Pada grafik terlihat bakteri S. aureus dapat membentuk biofilm yang baik dan pembentukan biofilm S. aureus paling optimal pada waktu inkubasi selama 2 hari. Jumlah suspensi bakteri uji yang digunakan sebanyak 200µL karena dapat membentuk biofilm terbaik sesuai dengan hasil optimasi pembentukan biofilm terbaik pada uji pendahuluan sebelumnya. Waktu inkubasi optimal dengan suspensi bakteri uji sebanyak 200µL dijadikan sebagai kontol negatif pada pengujian aktivitas penghambatan pertumbuhan dan penghancuran biofilm seduhan daun teh putih (C. sinensis) terhadap biofilm S. aureus.

4.6 Hasil Uji Aktivitas Penghambatan dan Penghancuran Biofilm S. aureus oleh Seduhan Daun Teh Putih (C. sinensis)

Setelah diketahui waktu optimal yang dibutuhkan bakteri S. aureus membentuk biofilm paling baik, selanjutnya dilakukan uji aktivitas penghambatan pertumbuhan dan penghancuran biofilm S. aureus oleh seduhan daun teh putih (C. sinensis). Hasil pengujian pada penelitian ini menunjukkan bahwa seduhan daun teh putih (C. sinensis) memiliki aktivitas penghambatan pertumbuhan dan penghancuran biofilm S. aureus dan dapat dilihat pada tabel 3 dan gambar 9.

Tabel 3. Hasil Aktivitas Penghambatan dan Penghancuran Biofilm S. aureus (%kontrol negatif)

Sampel Aktivitas Penghambatan (%) Aktivitas Penghancuran (%)

1% 2% 4% 8% 1% 2% 4% 8%

I 56,643 61,479 61,812 63,313 31,019 18,519 25,231 27,995 II 56,976 58,810 64,314 47,971 37,731 50,231 48,148 31,481 III 53,474 55,642 53,641 32,129 51,389 47,917 39,352 24,870 Rata-rata 55,698 58,644 59,922 47,804 40,046 38,889 37,577 28,115 SD 1,93 2,93 5,58 15,59 10,38 17,68 11,56 3,36


(43)

26

Gambar 9. Diagram Aktivitas Penghambatan dan Penghancuran Biofilm S. aureus oleh Seduhan Daun Teh Putih (C. Sinensis) Melalui

Metode Microtitter Plate Biofilm Assay (OD595nm)

Pada aktivitas penghambatan pertumbuhan, pola umum dari grafik aktivitas antibiofilm (% kontrol negarif) mengikuti pola tertentu, yaitu pola sigmoid (membentuk huruf S). Aktivitas yang paling baik dalam penghambatan pertumbuhan biofilm S. aureus dihasilkan pada konsentrasi 4% (v/v), dengan penghambatan mencapai 59,922% dan penghambatan terendah pada konsentrasi 8% (v/v) dengan penghambatan sebesar 47,804%. Tingginya aktivitas penghambatan pertumbuhan pada konsentrasi 4% (v/v) jika dilihat dari eror bars berupa standar deviasi tidak berbeda jauh aktivitasnya dengan konsentrasi lainnya dan menunjukkan bahwa seduhan daun teh putih (C. sinensis) memiliki aktivitas penghambatan pertumbuhan biofilm S. aureus.

Pada penelitian Roccaro et al (2004) dalam Steinmann et al (2012), menunjukkan bahwa EGCG yang merupakan salah satu bentuk katekin yang terkandung dalam teh hijau dapat menurunkan produksi lendir dan menghambat pembentukan biofilm oleh isolat S. aureus dan S. epidermidis dari mata. Hasil ini menunjukkan bahwa selain mengikat lapisan lipid dan peptidoglikan, EGCG

0 10 20 30 40 50 60 70

Penghambatan pertumbuhan Penghancuran

A kt iv itas A n tibiofi lm (% ko n tr o l n e g atif ) Perlakuan Pengujian

Diagram Aktivitas Penghambatan dan

Penghancuran Biofilm S. aureus

1% (v/v) 2% (v/v) 4% (v/v) 8% (v/v)


(44)

2012). Sama halnya dengan teh hijau, teh putih mengandung senyawa katekin (sering disebut dengan polifenol teh) memiliki aktivitas dalam penghambatan pembentukan biofilm S. aureus, namun jumlah kandungan katekin di setiap jenis teh berbeda dan bergantung dengan cara pengolahan daun teh sebelum dilakukan pengeringan. Selain itu mekanisme aktivitas penghambatan pertumbuhan biofilm oleh seduhan daun teh putih belum diketahui.

Pada aktivitas penghancuran biofilm S. aureus, terlihat pola umum dari grafik aktivitas antibiofilm (% kontrol negarif) mengikuti pola tertentu, yaitu pola linier yang terus menurun dari konsentrasi seduhan rendah ke konsentrasi seduhan tertinggi. Aktivitas paling baik dihasilkan pada konsentrasi 1% (v/v), dengan penghancuran mencapai 40,046% dan penghancuran biofilm terendah pada konsentrasi 8% (v/v) dengan penghancuran sebesar 28,115%. Jika dilihat dari eror bars berupa standar deviasi pola grafik berbetuk sigmoid dengan titik puncak pada konsentrasi 2% (v/v), hal ini dimungkinkan konsentrasi 2% (v/v) memiliki aktivitas penghancuran paling baik namun tidak berbeda jauh aktivitasnya dengan konsentrasi 1% (v/v) dan konsentrasi 4% sedangkan terlihat berbeda secara nyata dengan konsentrasi 8% (v/v), dimungkinkan pada konsentrasi 8% (v/v) merupakan konsentrasi yang terlalu besar sehingga menghasilkan nilai absorbansi yang tinggi karena adanya senyawa daun teh putih yang tersisa dalam tiap wells. Hasil pengujian pada penelitian ini menunjukkan bahwa seduhan daun teh putih (C. sinensis) memiliki aktivitas penghancuran biofilm S. aureus.

Data yang telah diperoleh pada setiap aktivitas seduhan daun teh putih terhadap penghambatan pertumbuhan dan penghancuran biofilm selanjutnya dilakukan uji persyaratan. Hasil uji normalitas Kolmogorov-Smirnov menunjukkan bahwa data terdistribusi normal (p≥0,05). Setelah dilakukan uji normalitas, dilanjutkan uji homogenitas Levene. Hasil uji homogenitas menghasilkan data yang homogen (p≥0,05). Hasil uji tersebut menunjukkan nilai signifikan 0,160 (p≥0,05) untuk aktivitas penghambatan pertumbuhan dan 0,086 (p≥0,05) untuk aktivitas penghancuran biofilm. Hasil uji anova yang dilakukan menunjukkan nilai signifikan 0,000 (p≤0,05) pada aktivitas penghambatan pertumbuhan dan 0,006 (p≤0,05) pada aktivitas penghancuran biofilm, ketika dilanjutkan dengan uji BNT jenis LSD data yang diperoleh menunjukkan hasil


(45)

28

yang berbeda secara bermakna terhadap kontrol negatif (p≤0,05) namun tidak berbeda secara bermakna antar konsentrasi seduhan daun teh putih untuk setiap aktivitas. Kontrol negatif yang digunakan adalah biofilm S. aureus dengan menggunakan jumlah kepadatan bakteri uji dan waktu inkubasi optimal sebelumnya.

4.7 Hasil Optimasi Aktivitas Penghancuran Biofilm S. aureus

Optimasi dilakukan pada aktivitas penghancuran biofilm S. aureus. Hal ini dilakukan karena bakteri S. aureus telah membentuk biofilm terlebih dahulu dan berkembang dengan pesat hingga membentuk koloni terutama pada permukaan yang lembab dan kaya nutrisi (Traver, 2009). Mikroba dapat membuat suatu pertahanan dengan membentuk biofilm, yaitu suatu lapisan sel mikroba yang melekat di sebuah permukaan dan tertanam dalam matriks eksopolisakarida yang dihasilkan sendiri oleh miroorganisme tersebut (Saad Musbah Alasil et al., 2014) sehingga masalah utama dari kejadian biofilm yaitu lebih diperlukan akivitas penghancuran biofilm. Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan optimasi aktivitas penghancuran biofilm S. aureus oleh seduhan daun teh putih (C. sinensis).

Optimasi aktivitas penghancuran biofilm dilakukan terhadap 3 faktor yaitu konsentrasi seduhan, waktu kontak pemberian seduhan dan suhu inkubasi yang didesain dan analisis eksperimen pada Response Surface Analysis (RSA) bervariasi. Rentang yang digunakan pada konsentrasi seduhan daun teh putih 1% - 8% (v/v), waktu kontak pemberian seduhan daun teh putih 30 menit – 90 menit, dan suhu inkubasi pada suhu 25°C - 50°C. Pemilihan rentang konsentrasi seduhan daun teh putih mengikuti uji penghambatan pertumbuhan dan penghancuran biofilm sebelumnya yaitu dimulai dari 1% sampai dengan 8% (v/v). Sedangkan rentang waktu kontak pada titik tengah mengikuti uji pada umumnya yaitu selama 60 menit (Prasasti dan Hertiani, 2010) kemudian dimodifikasi yaitu dengan diturunkan dan ditingkatkan 30 menit, sehingga rentang waktu kontak pemberian seduhan yang digunakan dimulai dari 30 menit hingga 90 menit. Dan untuk pemilihan suhu inkubasi dimulai dari suhu ruang yaitu 25°C, suhu optimal


(46)

kondisi suhu termofil yaitu pada suhu diatas 45°C hingga 90°, bahkan mencapai 122°C (Shadily, Hassan., 1980). Kondisi suhu termofil yang digunakan adalah 50°C. Sehingga rentang suhu inkubasi yang digunakan dimulai dari 25°C hingga 50°C.

Hasil desain eksperimen pada RSA terlihat konsentrasi seduhan daun teh putih yang akan diuji pada optimasi aktivitas penghancuran biofilm S. aureus adalah 1%, 4,5% dan 8% (v/v) dengan cara dilakukan pengenceran menggunakan aquadest steril. Perhitungan pengenceran tersebut dapat dilihat pada lampiran 6. Waktu kontak pemberian seduhan selama 30 menit, 60 menit, dan 90 menit. Serta kondisi suhu yang diuji pada tahap ini adalah 25°C, 37,5°C dan 50°C. Hal ini dilakukan untuk mengetahui berapakah titik optimal dari setiap variabel faktor dan apakah ada hubungan antara satu faktor dengan faktor yang lainnya. Sebelum dioptimasi, terdapat 20 pasang desain dan analisis eksperimen dari ketiga variabel faktor yang harus dilakukan uji aktivitas penghancuran biofilm S. aureus. Pengujian dilakukan dengan jumlah replikasi 1, secra triplo.

Pengujian dan proses penyiapan seduhan dilakukan dengan cara yang sama pada uji penghancuran biofilm sebelumnya. Yaitu dibiarkan terlebih dahulu biofilm terbentuk dalam setiap wells dan dibuang kemudian diberi perlakuan dengan memasukkan seduhan daun teh putih kedalamnya. Hasil yang didapatkan setelah dilakukan uji aktivitas penghancuran biofilm S. aureus adalah berupa nilai pertumbuhan biofilm (Absorbansi OD595). Selanjutnya dilakukan perhitungan rumus sehingga didapatkan persen penghancuran biofilm, kemudian dianalisis menggunakan metode Response Surface Analysis (RSA) dan diperoleh hasil berupa contour plot yang menunjukkan suhu, konsentrasi dan waktu kontak yang optimal.

Hasil optimasi aktivitas penghancuran biofilm S. aureus oleh seduhan daun teh putih pada % penghancuran biofilm S. aureus dapat dilihat pada lampiran 16. Dan hasil contour plot dari % penghancuran biofilm terhadap waktu kontak dan konsentrasi seduhan pada suhu 25°C dapat dilihat pada gambar 10.


(47)

30 konsentrasi w a k tu k o n ta k 8 7 6 5 4 3 2 1 90 80 70 60 50 40 30 suhu 37,5 Hold Values > – – – – < -48 -48 -36 -36 -24 -24 -12 -12 0 0 Penghancuran %

Contour Plot of % Penghancuran vs waktu kontak; konsentrasi

Gambar 10. Contour plot dari % Penghancuran vs Waktu Kontak dan Konsentrasi.

Hasil contour plot dari % penghancuran biofilm terhadap suhu dan waktu kontak pada konsentrasi 1% (v/v) dapat dilihat pada gambar 11.

waktu kontak s u h u 90 80 70 60 50 40 30 50 45 40 35 30 25

k onsentrasi 4,5 Hold Values > – – – – < -20 -20 0 0 20 20 40 40 60 60 Penghancuran %

Contour Plot of % Penghancuran vs suhu; waktu kontak

Gambar 11. Contour plot dari % Penghancuran vs Suhu dan Waktu kontak.

Contour plot dari aktivitas % Penghancuran biofilm S. aureus pada RSA seduhan daun teh putih yaitu berwarna putih kehijauan hingga hijau tua. Kondisi


(48)

didapatkan kondisi optimal untuk aktivitas penghancuran biofilm S. aureus adalah pada konsentrasi 3,253 % (v/v), dengan waktu kontak pemberian seduhan selama 90 menit pada suhu 25°C dan waktu kontak pemberian seduhan selama 30 menit pada suhu 50°C.

Pada contour plot terlihat bahwa aktivitas % penghancuran memberi hasil yang baik pada kondisi suhu 25°C dengan waktu kontak selama 90 menit dan pada kondisi suhu 50°C dengan waktu kontak selama 30 menit. Seduhan teh putih pada suhu ruang ternyata memiliki aktivitas dalam penghancuran biofilm, didukung dengan waktu kontak selama 90 menit memberi aktifitas penghancuran biofilm S. aureus yang optimal. Sama halnya dengan kondisi suhu 50°C biofilm S. aureus dengan mudah terdegradasi meski pemberian seduhan teh putih hanya dalam waktu kontak selama 30 menit. Selain itu, dengan adanya kondisi suhu yang tinggi dimungkinkan membantu peningkatan aktivitas penghancuran biofilm S. aureus oleh seduhan daun teh putih. Hal ini dimungkinkan karena salah satu komposisi penyusun biofilm bakteri adalah lipid, dan pada suhu yang tinggi akan meregang dan terganggu kestabilan lapisan biofilm sehingga membuka celah dan membantu teh putih masuk kedalam biofilm sehingga dapat bertindak sebagai antimokroba. Sehingga bakteri mati dan tidak membentuk biofilm kembali.

Dari hasil optimasi terlihat bahwa aktivitas penghancuran biofilm S. aureus terbaik oleh seduhan daun teh putih dapat digunakan pada suhu yang hangat yaitu 50°C dengan waktu kontak pemberian seduhan daun teh putih yang lebih singkat dalam waktu 30 menit, atau dapat menggunakan kondisi suhu ruang yaitu 25°C (tidak panas) namun dengan waktu kontak pemberian seduhan daun teh putih yang sedikit lebih lama yaitu 90 menit. Namun, mekanisme aktivitas penghancuran biofilm S. aureus oleh seduhan daun teh putih belum diketahui.

Dari hasil contour plot aktivitas penghancuran terlihat semakin buruk pada suhu 50°C dengan waktu kontak 90 menit dimungkinkan karena sumur yang diberikan perlakuan seduhan daun teh putih sudah tidak terdapat biofilm S. aureus karena tingginya suhu dan nilai absorbansi yang lebih tinggi dari kontrol negatif dimungkinkan karena seduhan daun teh putih yang menempel pada tiap wells dan tidak hilang pada suhu yang tinggi.


(49)

32

Setelah dilakukan optimasi ativitas penghancuran bifilm S. aureus menggunakan metode Response Surface Analysis (RSA) jika dibandingkan dengan hasil skrining awal pada pengujian aktivitas penghancuran, pada contour plot terlihat aktivitas penghancuran biofilm pada kondisi suhu 25°C selama 60 menit menghasilkan warna hijau muda yang artinya tidak optimal dan menghasilkan % penghancuran dengan nilai kecil. Pengujian dengan kondisi yang tidak optimal pada hasil pengujian aktivitas penghambatan pertumbuhan dan penghancuran biofilm pada sebelum optimasi dimungkinkan menyebabkan aktivitas penghancuran yang lebih rendah dibandingkan dengan aktivitas penghambatan pertumbuhan biofilm S. aureus.


(50)

5.1 Kesimpulan

1) Seduhan daun teh putih (C. sinensis) memiliki aktivitas penghancuran biofilm S. aureus.

2) Perbedaan aktivitas penghancuran biofilm S. aureus dipengaruhi oleh konsentrasi seduhan, waktu kontak dan suhu inkubasi.

3) Setelah dilakukan optimasi menggunakan metode Response Surface Analysis (RSA) didapatkan kondisi terbaik untuk mendapatkan aktivitas penghancuran biofilm S. aureus yang optimal.

5.2 Saran

1) Seduhan daun teh putih (C. sinensis) dengan kondisi terbaik dapat digunakan oleh masyarakat umum dalam mengontrol biofilm S. aureus. 2) Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kandungan kimia

yang lebih spesifik dalam seduhan daun teh putih (C. sinensis) secara kuantitatif menggunakan metode analisa tertentu dan mengetahui mekanisme yang terjadi pada aktivitas penghancuran biofilm S. aureus oleh seduhan daun teh putih (C. sinensis).


(51)

DAFTAR PUSTAKA

Ando, Eiichi., Monden, Koichi., Mitsuhata, Ritsuko., Kariyama, Reiko., dan Kumon, Hiromi. 2004. Biofilm Formation among Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus Isolates from Patients with Urinary Tract Infection. Acta Medica Okayama. Vol. 58, No. 4, pp. 207-214.

Archer, et al. 2011. Staphylococcus Aureus Biofilms Properties, Regulation and Roles in Human Disease. Landes Bioscience. Virulence 2:5, 445-459. Arifin, S. 1994. Petunjuk Teknis Pengolahan Teh dan Kina. Pusat Penelitian Teh

dan Kina. Gambung, Bandung.

Assani S. 1994. Mikrobiologi Kedokteran Edisi Revisi. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Binarupa Aksara. Jakarta.

Bixler, Gregory D., dan Bhushan, Bharat. 2012. Biofouling: Lessons From Nature. Phil. Trans. R. Soc. A 370, 2381–2417.doi:10.1098/Rsta.2011.0502. Breed, Roberto et al. 1957. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology.

Seventh Edition. The Williams and Wilkins Company.

Chen, Meng., Yu, Qingsong., dan Sun, Hongmin. 2013. Novel Strategies for the Prevention and Treatment of Biofilm Related Infections. International Journal of Molecular Sciences. 14. 18488-18501; doi: 10.3390/ijms140918488.

Coleman et al. 2010. Characterization of plant-derived saponin natural products against Candida albicans. ACS Chem Biol. Doi: 10.1021/cb900243b

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2965462/ [diakses pada: 10 Juni 2015. Jam 23:33].

Davies D.G., Marques C.N. 2009. A Fatty Acid is Responsible for Inducing Dispersion in Microbial Biofilms. Journal of Bacteriology191: 1393-1403. Deby et al., 2010. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun (Coleus

atropurpureus (L.) Benth) Terhadap Staphylococcus aureus, Escherichia coli, dan Pseudomonas aeruginosa Secara In Vitro. Program Studi Farmasi. FMIPA UNSRAT Manado, 95115.

Deshpande, J. D., Joshi, M. 2011. Antimicrobial Resistance: The Global Public Health Challenge. International Journal of Student Research.Volume I. Issue 2.


(1)

Keputusan : Densitas

biofilm berbeda secara bermakna (p≤0,05), lalu pengujian

dilanjutkan dengan uji BNT/LSD

e. Uji Beda Nyala Terkecil (BNT) terhadap densitas biofilm

Tujuan

: Untuk menentukan data densitas biofilm kelompok mana yang

memberikan nilai yang berbeda secara bermakna dengan data densitas biofilm

kelompok lainnya.

Hipotesis

: Ho : Data densitas biofilm tidak berbeda secara bermakna

Ha : Data densitas biofilm berbeda secara bermakna

Pengambilan keputusan

Jika nilai signifikansi ≥0,05 maka Ho diterima

Jika nilai signifikansi ≤0,05 makan Ho ditolak

Multiple Comparisons

Absorbansi LSD (I)

Konsentrasi (J)

Konsentrasi

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound

kontrol (-) 1% .334000* .038552 .000 .24810 .41990

2% .351667* .038552 .000 .26577 .43757

4% .359333* .038552 .000 .27343 .44523

8% .286667* .038552 .000 .20077 .37257

1% kontrol (-) -.334000* .038552 .000 -.41990 -.24810

2% .017667 .038552 .657 -.06823 .10357

4% .025333 .038552 .526 -.06057 .11123

8% -.047333 .038552 .248 -.13323 .03857

2% kontrol (-) -.351667* .038552 .000 -.43757 -.26577

1% -.017667 .038552 .657 -.10357 .06823

4% .007667 .038552 .846 -.07823 .09357

8% -.065000 .038552 .123 -.15090 .02090

4% kontrol (-) -.359333* .038552 .000 -.44523 -.27343

1% -.025333 .038552 .526 -.11123 .06057

2% -.007667 .038552 .846 -.09357 .07823


(2)

8% kontrol (-) -.286667* .038552 .000 -.37257 -.20077

1% .047333 .038552 .248 -.03857 .13323

2% .065000 .038552 .123 -.02090 .15090

4% .072667 .038552 .089 -.01323 .15857

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Penghancuran Biofilm

a. Uji normalitas dan homogenitas terhadap densitas biofilm

b. Uji normalitas

Kolmogorov-Sminrnov

Tujuan

: Untuk melihat distribusi data densitas biofilm

Hipotesis : Ho : Data densitas biofilm terdistribusi normal

Ha : Data densitas biofilm tidak terdistribusi normal

Pengambilan keputusan

Jika nilai signifikansi ≥0,05 maka Ho diterima

Jika nilai signifikansi ≤0,05 makan Ho ditolak

Descriptive Statistics

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum

Absorbansi 15 .30707 .078386 .210 .462

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Absorbansi

N 15

Normal Parametersa,,b Mean .30707

Std. Deviation .078386

Most Extreme Differences Absolute .143

Positive .143

Negative -.114

Kolmogorov-Smirnov Z .553

Asymp. Sig. (2-tailed) .920

a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.

Keputusan : Uji normalitas absorbansi biofilm seluruh kelompok terdistribusi

normal (

p

≥0,05)


(3)

c. Uji homogenitas

Levene

Tujuan : Untuk melihat data densitas biofilm homogen atau tidak

Hipotesis : Ho : Data densitas biofilm homogen

Ha : Data densitas biofilm tidak homogen

Pengambilan keputusan

Jika nilai signifikansi ≥0,05 maka Ho diterima

Jika nilai signifikansi ≤0,05 makan Ho ditolak

Descriptives

Absorbansi

N Mean Std. Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound

kontrol (-) 3 .43200 .026153 .015100 .36703 .49697 .414 .462

1% 3 .25900 .044844 .025891 .14760 .37040 .210 .298

2% 3 .26400 .076374 .044095 .07428 .45372 .215 .352

4% 3 .26967 .049943 .028835 .14560 .39373 .224 .323

8% 3 .31067 .014503 .008373 .27464 .34669 .296 .325

Total 15 .30707 .078386 .020239 .26366 .35048 .210 .462

Test of Homogeneity of Variances

Absorbansi

Levene Statistic df1 df2 Sig.

2.787 4 10 .086

Keputusan : Uji homogenitas densitas biofilm seluruh kelompok homogen

(p≥0,05) sehingga bisa dilanjutkan dengan uji Anova.

d. Uji analisis varians (ANOVA) satu arah terhadap densitas biofilm

Tujuan : Untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan data densitas biofilm

Hipotesis: Ho : Data densitas biofilm tidak berbeda secara bermakna

Ha : Data densitas biofilm berbeda secara bermakna

Pengambilan keputusan

Jika nilai signifikansi ≥0,05 maka Ho diterima

Jika nilai signifikansi ≤0,05 makan Ho ditolak


(4)

ANOVA

Absorbansi

Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

Between Groups .064 4 .016 7.073 .006

Within Groups .022 10 .002

Total .086 14

Keputusan : Densitas

biofilm berbeda secara bermakna (p≤0,05), lalu pengujian

dilanjutkan dengan uji BNT/LSD

e. Uji Beda Nyala Terkecil (BNT) terhadap densitas biofilm

Tujuan

: Untuk menentukan data densitas biofilm kelompok mana yang

memberikan nilai yang berbeda secara bermakna dengan data densitas biofilm

kelompok lainnya.

Hipotesis

: Ho : Data densitas biofilm tidak berbeda secara bermakna

Ha : Data densitas biofilm berbeda secara bermakna

Pengambilan keputusan

Jika nilai signifikansi ≥0,05 maka Ho diterima

Jika nilai signifikansi ≤0,05 makan Ho ditolak

Multiple Comparisons

Absorbansi LSD (I)

Konsentrasi (J)

Konsentrasi

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound

kontrol (-) 1% .173000* .038700 .001 .08677 .25923

2% .168000* .038700 .001 .08177 .25423

4% .162333* .038700 .002 .07610 .24856

8% .121333* .038700 .011 .03510 .20756

1% kontrol (-) -.173000* .038700 .001 -.25923 -.08677

2% -.005000 .038700 .900 -.09123 .08123

4% -.010667 .038700 .788 -.09690 .07556

8% -.051667 .038700 .211 -.13790 .03456

2% kontrol (-) -.168000* .038700 .001 -.25423 -.08177


(5)

4% -.005667 .038700 .886 -.09190 .08056

8% -.046667 .038700 .256 -.13290 .03956

4% kontrol (-) -.162333* .038700 .002 -.24856 -.07610

1% .010667 .038700 .788 -.07556 .09690

2% .005667 .038700 .886 -.08056 .09190

8% -.041000 .038700 .314 -.12723 .04523

8% kontrol (-) -.121333* .038700 .011 -.20756 -.03510

1% .051667 .038700 .211 -.03456 .13790

2% .046667 .038700 .256 -.03956 .13290

4% .041000 .038700 .314 -.04523 .12723


(6)

Lampiran 16.

Hasil Optimasi Aktivitas Penghancuran Biofilm

S. aureus

Menggunakan Metode

Response Surface Analysis

(RSA).

Suhu

Aktivitas Penghancuran (%)

30 menit

60 menit

90 menit

25°C

1%

-25,153

4,5%

20,571

1%

46,329

8%

-88,957

8%

31,024

37,5°C

4,5%

18,339

4,5%

-41,852

4,5%

7,626

-8,965

0,379

-6,439

-10,101

-19,192

1%

14,539

8%

-43,110

50°C

1%

56,054

4,5%

38,524

1%

-0,446

8%

13,914

8%

-38,542

Plot Optimasi Aktivitas Penghancuran Biofilm Seduhan Daun Teh Putih

Plot Optimasi Aktivitas Penghancuran Seduhan 3 (ayakan

Mesh

20)

Cur High Low 0,62177D Optimal

d = 0,62177 Maximum % Pengha y = 62,1770

0,62177 Desirability Composite

25,0 50,0 30,0

90,0 1,0

8,0

waktu ko suhu

konsentr