Keabsahan Atas Hibah Yang Ditandatangani Oleh Penghibah Dalam Keadaan Sakit

47 dasar penelitian dan dalil-dalil itu. 72 Jadi akta hibah dalam hukum Islam tidak menjelaskan secara tekstual tentang akta hibah. akan tetapi rukun dan syarat sudah dijelaskan secara eksplisit.

C. Keabsahan Atas Hibah Yang Ditandatangani Oleh Penghibah Dalam Keadaan Sakit

Suatu hal yang sering terjadi di tengah masyarakat adalah seseorang melakukan perbuatan hukum tatkala orang tersebut dalam keadaan sakit. Pertimbangan yang diberikan pada keadaan ini adalah seseorang sakit dan merasa dekat dengan kematian sehingga orang tersebut berpesan beberapa hal yang harus dilakukan keluarga yang ditinggalkannya. Salah satu hal yang sering dilakukan seseorang dalam keadaan sakit adalah selain memberi wasiat juga menghibahkan sebagian hartanya kepada seseorang atau kepada suatu badan hukum. Perbuatan seseorang berupa menghibahkan sejumlah harta kepada suatu objek hukum tentunya tidak merupakan suatu permasalahan hukum tatkala si penghibah melakukannya dalam keadaan sehat walafiat, tetapi sebaliknya apabila dalam keadaan sakit tentulah memiliki identifikasi masalah tersendiri tentang layak atau tidaknya perbuatan orang, cakap atau tidaknya orang tersebut berbuat hukum. Sakit adalah sebagai suatu keadaan yang tidak menyenangkan yang menimpa seseorang sehingga seseorang menimbulkan gangguan aktivitas sehari-hari baik itu dalam aktivitas jasmani, rohani dan sosial. Sakit juga sebagai suatu keadaan dari badan atau sebagian dari organ badan dimana fungsinya terganggu atau 72 Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif, Universitas Sumatera Utara 48 menyimpang 73 Dengan sakitnya seseorang maka dibutuhkan pengobatan sehingga kondisi dari kesehatannya dapat dikembalikan. Sakit menjelaskan adanya suatu gangguan kesehatan yang menyebabkan aktivitas kerja kegiatan terganggu. Adapun ciri-ciri sakit antara lain: suhu abnormal yaitu di atas 38°C, tubuhnya lemas, lunglai, letih, dan tidak semangat dalam melakukan segala aktifitas, wajahnya pucat dan tubuh terasa nyeri, adanya gangguan fisik, psikis, maupun sosial, dan selalu berfikir bahwa dirinya sakit. 74 Sakit memberikan suatu kaitannya dengan tingkat kesadaran seseorang. Oleh sebab itu timbul permasalahan hukum dalam kaitannya dengan peristiwa hukum dimana seseorang yang sakit melakukan tindakan hukum seperti penghibahan. Maka pada kapasitas ini hal yang mutlak harus diketahui adalah tingkat kesadaran yang dimiliki seseorang yang sedang sakit akan diketahui dengan adanya diagnosis dokter. Oleh sebab itu ketika suatu pertanyaan muncul tentang tingkat kesadaran seseorang yang sakit, maka akan diketahui dari jawabannya dokter. 75 Berdasarkan kondisi sakit ini terjadi peristiwa penghibahan. Hal ini disebabkan dengan adanya tanda sakit maka si penghibah menganggap bahwa sakitnya tersebut adalah sakit yang dapat berakibat kepada kematiannya sehingga ia perlu melakukan hal-hal yang menurut pendapatnya adalah sesuatu perbuatan baik Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2004, hal. 26 73 Hasil Wawancara Dengan dr. Yan Sitanggang, Sp.An, Rumah Sakit Sari Mutiara Medan Tanggal 3 Maret 2014. 74 Hasil Wawancara Dengan dr. Yan Sitanggang, Sp.An, Rumah Sakit Sari Mutiara Medan Tanggal 3 Maret 2014. 75 Hasil Wawancara Dengan dr. Yan Sitanggang, Sp.An, Rumah Sakit Sari Mutiara Medan Tanggal 4 Maret 2014. Universitas Sumatera Utara 49 seperti memberikan hibah kepada seseorang, baik itu dari kalangan keluarganya atau dari kalangan pihak lain. Keadaan pemberian hibah yang dilakukan penghibah dalam keadaan sakit adalah merupakan cerminan bahwa perbuatan hibah tersebut merupakan permintaan terakhir penghibah. Untuk melihat layak tidaknya perbuatan hukum seseorang dalam keadaan sakit maka dalam ilmu kedokteran dilihat terlebih dahulu tingkat kesadarannya. Menurut hasil wawancara yang dilakukan maka tingkat kesadaran seseorang yang dalam keadaan sakit dapat dibagi dalam: 1. Komposmentis. Sadar sepenuhnya, baik terhadap dirinya maupun lingkungannya. Pasien dapat menjawab pertanyaan pemeriksa dengan baik. 2. Apatis. Pasien tampak segan dan acuh tak acuh terhadap lingkungannya. 3. Delirium. Penurunan kesadaran disertai kekacauan motorik dan siklus tidur- bangun yang terganggu. Pasien tampak gaduh, gelisah, kacau, disorientasi, dan meronta-ronta 4. Somnolen letargi e. Keadaan mengantuk yang masih dapat pulih bila dirangsang, tapi bila rangsang berhenti, pasien akan tertidur kembali. 5. Sopor Stupor. Keadaan mengantuk yang dalam. Bisa dibangunkan dengan rangsang kuat rangsang nyeri, tapi pasien tidak bangun sempurna dan tidak dapat memberikan jawabab verbal dengan baik. 6. Semi Koma. Penurunan kesadaran yang tidak memberikan respon terhadap rangsang verbal, dan tidak dapat dibangunkan sama sekali, tapi reflex kornea, pupil masih baik. Respon nyeri tidak adekuat. 7. Koma. Penurunan kesadaran yang sangat dalam, tidak ada gerakan spontan dan tidak ada respo n terhadap rangsang nyeri. 76 Berdasarkan ciri ke sadaran pasien sebagaimana hasil wawancara di atas maka dapat level pasien atau seseorang yang dapat dikatakan masih dapat dikatakan memiliki kesadaran ada pada point 1 dan 2. Sedangkan point 3 sampai dengan 7 tidak memiliki kesadaran. Deng an sebab tersebut maka seseorang yang dalam keadaan sakit tetapi melakukan 76 Hasil Wawancara Dengan dr. Yan Sitanggang, Sp.An, Rumah Sakit Sari Mutiara Medan Tanggal 5 Maret 2014 Universitas Sumatera Utara 50 perbuatan hukum membuat hibah maka kondisi pasien dalam tingkat kesadaran komposmentis atau apatis. Sedangkan kondisi pasien dalam point 3 sampai point 7 menjelaskan kondisi ketidaksadaran pasien sehingga tidak dapat dan layak dalam berbuat hukum. 77 Suatu hal yang dapat dipahami dalam aktivitas pelayanan kesehatan seperti di rumah sakit atau hasil kunjungan pasien di praktek dokter maupun kunjungan dokter ke rumah pasien, pemeriksaan laboratorium dan tindakan yang intensive merujuk keadaan pasien kehari-hari mendatang keadaan pasien akan memburuk karena penyakitnya, biasanya dokter menerangkan keadaan kedepan perkembangan kearah menurunnya keadaan pasien kepada keluarga pasien yang dianggap mampu menerima keadaan panyakit yang dialami pasien, orangtuapasien yang dekat dengan kematiannya tentu mendapat firasat mengenai kesembuhan penyakitnya dan mengingat anak-anaknya yang lemah dan sebelum kematiannya akan terpikir untuk menolong hidupnya dengan memberikan hibah. Pasien yang menghibahkan sebagian harta miliknya kepada seseorang atau suatu badan hukum dilakukan oleh pasien dalam tingkat kesadaran yang baik meskipun berada dalam keadaan sakit. Hibah tersebut secara jelas diterangkan untuk siapa, harta yang mana dan juga besaran jumlahnya. Kondisi dari pasien yang demikian tentunya harus ditopang oleh tingkat kesadaran yang baik dan tidak mungkin dilakukan oleh pasien yang mengalami 77 Hasil Wawancara Dengan dr. Yan Sitanggang, Sp.An, Rumah Sakit Sari Mutiara Medan Tanggal 6 Maret 2014. Universitas Sumatera Utara 51 gangguan kesadaran. 78 Hal ini juga dibenarkan oleh salah seorang notaris dimana wawancara dilakukan. Menurut Notaris Muktar, perilaku seseorang yang sakit untuk menghibahkan sejumlah harta kepada pihak tertentu tentunya harus dilakukan dengan kesadaran yang baik, mengenal secara baik pihak-pihak yang akan menerima hibah serta memiliki komunikasi yang jelas. Hibah tidak akan mampu dilakukan oleh seseorang yang sakit yang mengalami kehilangan kesadarannya. 79 Pemberian hibah yang dilakukan seseorang dalam keadaan sakit dapat dibenarkan oleh hukum dengan alasan: 1. Bisa berkomunikasi dengan baik, artinya setiap pertanyaan bisa dijawab dengan baik. 2. Pendengaran bagus. 3. Pandangan mata bagus dalam ati bisa mengenal. 4. Mampu mengenal para penghadap. 5. Mampu memberi tanda tangan. 6. Mampu memahami maksud dan tujuan pembuatan hibah. 7. Dilakukan berdasarkan ketentuan perundang-undangan. 80 Dalam perspektif hukum Islam hibah sebenarnya hanyalah himbauan 78 Hasil Wawancara Dengan dr. Yan Sitanggang, Sp.An, Rumah Sakit Sari Mutiara Medan Tanggal 7 Maret 2014. 79 Hasil Wawancara Dengan Notaris PPAT Muktar, SH., M.Kn, tanggal 5 Maret 2014. 80 Hasil Wawancara Dengan Notaris PPAT Muktar, SH., M.Kn, tanggal 7 Maret 2014. Universitas Sumatera Utara 52 anjuran untuk saling membantu sesama manusia, karena hibah sebagai bentuk tolong menolong dalam kebajikan antara sesama manusia sangat baik dan bernilai positif. Ulama fikih telah sepakat, bahwa hukum hibah adalah sunat. Firman Allah: Artinya :“….dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir yang memerlukan pertolongan … Al-Baqarah: 177. 81 Sedangkan anjuran dalam pembuatan akta hibah menurut pendapat penulis merupakan kewajiban. Karena dengan akta autentik menjadikan dasar pembuktian yang sah dimata hukum ketika terjadi sengketa hibah. R. Subekti dalam bukunya Hukum Pembuktian mengatakan bahwa membuktikan ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. 82 Keadilan sangat memerlukan pembuktian, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya: Artinya: “ Sekiranya kepada manusia diberikan apa saja yang digugatnya, tentu setiap orang akan menggugat apa yang ia kehendaki, baik jiwa maupun harta, akan tetapi sumpah itu dibebankan kepada Tergugat.” 83 Cukup beralasan jika akta hibah dijadikan sebagai alat bukti di samping berdasarkan ayat Al-Qur’an tersebut diatas, sampainya Al-Qur’an dan Hadits kepada kita sekarang ini yang me rupakan sumber dan pegangan pokok bagi ajaran Islam, tidak lain melalui 81 Yayasan Penyelenggara PenterjemahPentafsir Al-Qur’an, Op.Cit, Al-Baqarah: 177. 82 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2007, hal. 7 83 Muslim, Shahih Muslim ,Juz II, Bandung: Ma’arif, tt, hal. 59. Universitas Sumatera Utara 53 tulisan. Adapun korelasinya apabila hibah tidak diaktakan, bisa menggunakan alat bukti yang lain, macam alat bukti dalam hukum Islam, yaitu : Menurut Samir ‘Aaliyah, alat-alat bukti itu ada enam dengan urutan sebagai berikut: a. Pengakuan b. Saksi c. Sumpah d. Qorinah e. Bukti berdasarkan indikasi-indikasi yang tampak f. Pengakuan hakim. 84 Menurut ‘Abdul Karim Zaidan, alat-alat bukti itu ada Sembilan dengan urutan sebagai berikut: a. Pengakuan b. Saksi c. Sumpah d. Penolakan sumpah e. Pengetahuan hakim f. Qorinah g. Qosamah h. Qiyafah i. Dan Qur’ah. 85 Menurut Sayyid Sabiq, alat-alat bukti itu ada empat, dengan urutan sebagai berikut: a. Pengakuan b. Saksi c. Sumpah d. Surat resmi. 86 84 Ibid., hal. 60. 85 Ibid., hal. 57. 86 Ibid., hal. 58. Universitas Sumatera Utara 54 Selain itu mengenai batasan umur akta hibah dalam Kompilasi Hukum Islam, dijelaskan Pasal 210 ayat 1 berbunyi sebagai berikut: “Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 13 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk memiliki”. Lebih jauh dikemukakan dalam Pasal 213 KHI bahwa: “Hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya”. Pembatasan yang dilakukan Kompilasi Hukum Islam, baik dari usia maupun 13 dari harta pemberi hibah, berdasar pertimbangan bahwa usia 21 tahun telah dianggap cakap untuk memiliki hak untuk menghibahkan benda miliknya itu. Demikian juga batasan 13 harta kecuali jika ahli warisnya menyetujui. 87 Batasan memberi hibah 13 harta merupakan sifat penolong untuk dirinya sendiri yaitu si penghibah untuk mengurangi kemungkinan terburuk menimpa dirinya, akan tetapi jika ahli warisnya setuju dengan pemberian semua harta si pemberi hibah maka tidak ada masalah dilakukan. Sedangkan analisis tentang penarikan kembali hibah yaitu apabila semua perhubungan atas dasar suka rela dapat dicabut kembali harta yang dihibahkan maka jatuhlah penarikan kembali hibah tersebut. Akan tetapi tidak semua pemberian dapat dicabut kembali suatu pemberian yang telah disempurnakan hanyalah dengan campur tangan orang yang diberi. Suatu pernyataan belaka dari pihak si pemberi tidaklah mencukupi. 87 Ibid., hal. 471. Universitas Sumatera Utara 55 Apabila ditelaah dari keabsahan akta hibah menurut hukum positif Undang- undang tidak mengakui bentuk-bentuk pemberian atau hibah selain hibah yang dilakukan diantara orang-orang masih hidup. Tentang kewajiban berakta hibah dalam kebijakan undang-undang sudah terpenuhinya kebutuhan hukum masyarakat karena dimulai dari prosedur Proses pembuatan akta hibah, penghibahan harus melalui akta Notaris yang asli disimpan oleh Notaris bersangkutan dengan Pasal 1682, yaitu: “Tiada suatu hibah, kecuali yang disebutkan dalam pasal 1687, dapat, atas ancaman batal, dilakukan selainnya dengan suatu akta notaris, yang aslinya disimpan oleh notaries itu”. 88 Hibah barulah mengikat dan mempunyai akibat hukum bila pada hari penghibahan itu dengan kata-kata yang tegas telah dinyatakan diterima oleh penerima hibah, atau dengan suatu akta otentik telah diberi kuasa pada orang lain. Dapat disimpulkan bahwa akta otentik adalah surat yang dibuat oleh atau dihadapan seseorang pejabat umum yang mempunyai wewenang membuat surat itu, dengan maksud untuk me njadikan surat itu sebagai alat bukti. Pejabat umum yang dimaksud adalah Notaris, pegawai catatan sipil, juru sita, panitera pengadilan dan sebagainya. Ketika Kompilasi Hukum Islam mengatur batasan umur dalam hibah, sama halnya di dalam pasal 1676-1677 Hukum Perdata BW menjelaskan bahwa: “Setiap orang diperbolehkan memberi dan menerima sesuatu sebagai hibah kecuali mereka yang oleh undang-u ndang dinyatakan tak cakap untuk itu.” “ Orang-orang yang belum dewasa tidak diperbolehkan member hibah, kecuali dalam 88 Ibid., hal. 438. Universitas Sumatera Utara 56 hal yang ditetapkan dalam bab ke tujuh dari buku ke satu Kitab Undang-undang ini.” 89 Ukuran dewasa dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah, dijelaskan dalam pasal 424. Orang dikatakan sudah dewasa ketika berumur 21 tahun, sebelumnya belum dikatakan dewasa. Artinya umur 21 tahun dikatakan sudah cakap di dalam Undang-undang. Berbeda dengan analisis tersebut, dalam hukum positif perbedaan pembagian akta hibah terbagi menjadi dua yakni untuk benda bergerak bertransaksi dengan Notaris, sedangkan untuk benda tidak bergerak bertransaksi dengan PPAT. Ketika dicermati adanya perbedaan karakter yuridis antara Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT, maka suatu hal yang sangat tidak mungkin dua karakter berbeda dijadikan satu. Menyatukan dua karakter yuridis yang berbeda hanya merupakan upaya pemaksaan yang tidak dilandasi dasar hukum yang jelas. Tegasnya ditinjau dari segi kekuatan pembuktiannya, adalah: a. Akta hibah mempunyai kekuatan pembuktian yang mutlak. apabila timbul sengketa antara pihak, maka apa yang termuat dalam akta hibah merupakan bukti yang sempurna, sehingga tidak perlu lagi dibuktikan dengan alat-alat pembuktian lain. b. Arti penting suatu akta hibah dalam praktek hukum memudahkan pembuktian dan memberikan kepastian hukum yang lebih kuat. 89 Ibid., hal. 438. Universitas Sumatera Utara 57

BAB III KEDUDUKAN AHLI WARIS LAIN DARI HIBAH YANG DIBERIKAN