Hibah Berdasarkan Hukum Perdata

24

BAB II KEABSAHAN ATAS HIBAH YANG DITANDATANGANI OLEH

PENGHIBAH DALAM KEADAAN SAKIT

A. Hibah Berdasarkan Hukum Perdata

Dapat diketahui lebih jelas bahwa definisi dan pengertian hibah dalam hukum perdata adalah suatu benda yang diberikan secara cuma-cuma tanpa mengharapkan imbalan, dan hal tersebut dilakukan ketika si penghibah dan penerima hibah masih hidup. Menurut kamus ilmiah popular internasional hibah adalah pemberian, sedekah, pemindahan hak. 38 Ada beberapa istilah lain yang dapat dinilai sama dengan hibah yakni “Schenking” dalam Bahasa Belanda dan “gift” dalam bahasa Inggris. Akan tetapi antara “gift” dengan hibah terdapat perbedaan mendasar terutama di dalam cakupan pengertiannya. Demikian pula antara hibah dengan “Schenking” pun memiliki perbedaan mendasar, terutama yang menyangkut masalah kewenangan istri, kemudian yang terjadi antara suami dan istri. “Schenking” tidak dapat dilakukan oleh istri tanpa bantuan suami. Demikian pula “Schenking” tidak boleh antara suami istri. Adapun hibah dapat dilakukan oleh seorang istri tanpa bantuan suami, demikian pula hibah antara suami istri tetap dibolehkan. 39 Dari beberapa pengertian, hibah dapat disimpulkan suatu persetujuan dalam mana suatu pihak berdasarkan atas kemurahan hati, perjanjian dalam hidupnya 38 Budiono, Kamus Ilmiah Popular Internasional, Surabaya : Alumni, 2005, hal. 217 39 Sudarsono, Sepuluh Aspek Agama Islam, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994, hal. 343 24 Universitas Sumatera Utara 25 memberikan hak milik atas suatu barang kepada pihak kedua secara percuma dan yang tidak dapat ditarik kembali, sedangkan pihak kedua menerima baik penghibahan ini. Sedangkan akta hibah dalam hukum positif adalah akta yang dibuat oleh si penghibah yang ditandatangani, diperbuat untuk dipakai sebagai bukti hibah dan untuk keperluan hibah dibuat. Dasar hukum hibah menurut hukum positif diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, hibah diatur dalam Pasal 1666 yaitu: “Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Undang- undang tidak mengakui lain-lain hibah-hibah diantara orang-orang yang masih hidup.” Prosedur Proses penghibahan harus melalui akta Notaris yang asli disimpan oleh Notaris bersangkutan dengan Pasal 1682, yaitu: “Tiada suatu hibah, kecuali yang disebutkan dalam pasal 1687, dapat, atas ancaman batal, dilakukan selainnya dengan suatu akta notaris, yang aslinya disimpan oleh notaris itu”. Dalam pandangan Hukum Islam Indonesia mempunyai berbagai macam suku, budaya, dan agama. Indonesia merupakan Negara hukum yang menggunakan dasar hukum Islam dan hukum positif juga hukum adat. Ada juga hukum adat menjadi acuan dasar hukum, yang paling utama adalah hukum Islam dan hukum positif. Menurut hukum Islam, hibah memiliki berbagai definisi yang berbeda-beda. Hal tersebut dikarenakan perbedaan pendapat antara orang-orang ahli ilmu agama dan ahli hukum Islam. Universitas Sumatera Utara 26 Sedangkan kata hibah adalah bentuk masdar dari kata wahaba artinya memberi. 40 Dan jika subyeknya Allah berarti memberi karunia, atau menganugrahi Q.S. Ali Imran, 3:8, Maryam, 19:5, 49, 50, 53. Dalam pengertian istilah, hibah adalah pemilikan sesuatu benda melalui transaksi Aqad tanpa mengharap imbalan yang telah diketahui dengan jelas ketika pemberi masih hidup. 41 Pengertian hibah dalam Ensiklopedi Hukum Islam adalah pemberian yang dilakukan secara sukarela dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT tanpa mengharapkan balasan apapun. 42 Di dalam syara’, hibah berarti akad yang pokok persoalan pemberian harta milik seseorang kepada orang lain di waktu dia hidup, tanpa adanya imbalan. Apabila seseorang memberikan hartanya kepada orang lain untuk dimanfaatkan tetapi tidak diberikan kepadanya hak pemilikan, maka hal itu disebut i’aarah pinjaman. 43 Kompilasi Hukum Islam KHI Pasal 171 huruf g, hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. 44 Terdapat beberapa definisi hibah yang dikemukakan oleh para ulama : 1. Abd al-Rahman al-Jaziri dalam Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah. 45 menghimpun empat definisi hibah dari empat mazhab, yaitu menurut mazhab 40 A. W. Munawir, Kamus Al-Munawir, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997, hal. 1584. 41 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998, hal. 466 42 Abdul Aziz Dahlan, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Van Hoeve, 1996, hal. 540 43 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 14 Terjemah, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 1997, hal. 167 44 Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Fokusmedia, 2007, hal. 56. 45 Abd al-Rahman al-Jaziri dalam Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Beirut: Dar al- Fikr,t.th, Juz 3, hal. 289-292. Universitas Sumatera Utara 27 Hanafi, hibah adalah memberikan sesuatu benda dengan tanpa menjanjikan imbalan seketika, sedangkan menurut mazhab Maliki yaitu memberikan milik sesuatu zat dengan tanpa imbalan kepada orang yang diberi, dan juga bisa disebut hadiah. Mazhab Syafi’i dengan singkat menyatakan bahwa hibah menurut pengertian umum adalah memberikan milik secara sadar sewaktu hidup. 2. Definisi yang lebih rinci dan komprehensif dikemukakan ulama mazhab Hambali. Ulama mazhab Hambali mendefinisikannya sebagai pemilikan harta dari seseorang kepada orang lain yang mengakibatkan orang yang diberi boleh melakukan tindakan hukum terhadap harta tersebut, baik harta itu tertentu maupun tidak, bendanya ada dan bisa diserahkan. 46 3. Menurut Teungku Muhammad Hasbie Ash-Shiddieqy hibah ialah mengalih hak milik kepada orang lain secara Cuma-Cuma tanpa adanya bayaran. 47 4. Menurut As Shan’ani dalam kitab Subulussalam yang diterjemahkan oleh Abu Bakar Muhammad mengatakan bahwa hibah adalah pemilikan harta dengan akad tanpa mengharapkan pengganti tertentu pada masa hidup. 48 5. Definisi dari Syekh Muhammad ibn Qasim al-Ghazzi, 49 hibah adalah memberikan sesuatu yang dilestarikan dan dimutlakkan dalam hubungannya dengan keadaan ketika masih hidup tanpa ada ganti, meskipun dari jenjang atas. 6. Menurut M. Ali Hasan hibah adalah pemberian atau hadiah yaitu suatu pemberian 46 Ibid. 47 Teungku Muhammad Hasbie Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001, hal. 98. 48 Abu Bakar Muhammad, Subulussalam Terjemah, Surabaya: Al-Ikhlas, 1995, hal. 319 49 Syekh Muhammad ibn Qasim al-Ghazzi, Fath al-Qarib al-Mujib, Semarang: Pustaka Alawiyah, t.th, hal. 39 Universitas Sumatera Utara 28 atau hadiah, yaitu suatu pemberian yang dilakukan secara sukarela dalam mendekatkan diri kepada Allah tanpa mengharapkan balasan apa pun. 50 7. Senada dengan Drs. Hamid Farihi, M.A., juga berpendapat bahwa hibah didefinisikan sebagai akad yang dilakukan dengan maksud memindahkan milik seseorang kepada orang lain ketika masih hidup dan tanpa imbalan. 51 Dalam Al-Qur’an, penggunaan kata hibah digunakan dalam konteks pemberian anugerah Allah SWT kepada utusan-utusan-Nya, doa-doa yang dipanjatkan oleh hamba-hamba-Nya, terutama para nabi, dan menjelaskan sifat Allah Yang Maha Memberi Karunia. Namun ayat ini dapat digunakan petunjuk dan anjuran secara umum, agar seseorang memberikan sebagian rezekinya kepada orang lain. Misalnya, QS. Al-Baqarah ayat 262, dimana terjemahannya: 52 Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah,Kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti perasaan si penerima, mereka memperoleh pahala disisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Q.S Al- Baqarah : 262 53 Firman Allah juga: Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang Telah kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: Ya Rabb-ku, Mengapa Engkau tidak menangguhkan kematianku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan Aku dapat bersedekah dan Aku termasuk orang-orang yang saleh?Al- Munafiqun: 10 54 50 M. Ali Hasan, Berbagai macam transaksi dalam Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, hal. 76. 51 Chuzaimah dan Hafizn Anshary AZ. Editor, Problematika Hukum Islam kontemporer III, Jakarta: Pustaka firdaus, 2004, hal. 105 52 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grasindo Persada,1995, hal. 467 53 Yayasan Penyelenggara PenterjemahPentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemah, Jakarta, 1971, hal. 66 54 Ibid., hal. 938. Universitas Sumatera Utara 29 Jumhur fuqaha berpegang bahwa ijma’ kesepakatan telah terjadi tentang bolehnya seseorang dalam keadaan sehatnya memberikan seluruh hartanya kepada orang asing sama sekali di luar anak-anaknya. Jika pemberian seperti ini dapat terjadi untuk orang asing, maka terlebih lagi terhadap anak. Alasan mereka adalah hadits Abu Bakar yang terkenal, bahwa ia memberi ‘Aisyah pecahan-pecahan seberat 20 wasaq dari harta hutan. Pada saat menjelang wafatnya, Abu Bakar berkata: “Demi Allah, wahai anakku, tidak seorangpun yang kekayannya lebih menyenangkan aku sesudah aku selain daripada engkau. Dan tidak ada yang lebih mulia bagiku kefakirannya selain daripada engkau. Sesungguhnya aku dahulu memberimu pecahan emas 20 wasaq. Maka jika engkau memecah- mecah dan memilikinya, maka itu adalah bagimu. Hanya saja, harta itu sekarang menjadi harta waris.” 55 Mereka berpendapat bahwa maksud hadits tersebut adalah nadb sunnah. Yang jelas al-Qur’an dan hadits banyak sekali menggunakan istilah yang konotasinya menganjurkan agar manusia yang telah dikarunia rezeki itu mengeluarkan sebagiannya kepada orang lain. Kendati istilah-istilah tersebut memiliki ciri-ciri khas yang berbeda, kesamaannya adalah bahwa manusia diperintahkan untuk mengeluarkan sebagian hartanya. Menurut jumhur ulama rukun hibah ada empat: a. Wahib Pemberi Wahib adalah pemberi hibah, yang menghibahkan barang miliknya kepada orang lain. b. Mauhublah Penerima 55 Ibnu Rusyd, Bidayatul-Mujtahid, juz 4 , Semarang: Asy-Syifa’, 1990, hal. 113. Universitas Sumatera Utara 30 Penerima hibah adalah seluruh manusia dalam arti orang yang menerima hibah. c. Mauhub Mauhub adalah barang yang di hibahkan. d. Shighat Ijab dan Qabul Shighat hibbah adalah segala sesuatu yang dapat dikatakan ijab dan qabul. 56 Sedangkan syarat-syarat hibah. Hibah menghendaki adanya penghibah, orang yang diberi hibah, dan sesuatu yang dihibahkan. 1. Syarat-syarat penghibah Disyaratkan bagi penghibah syarat-syarat sebagai berikut: a. Penghibah memiliki sesuatu untuk dihibahkan b. Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya karena suatu alasan. c. Penghibah itu orang dewasa, sebab anak-anak kurang kemampuannya. d. Penghibah itu tidak dipaksa, sebab hibah itu akad yang mempersyaratkan keridhaan dalam keabsahannya. 2. Syarat-syarat bagi orang yang diberi hibah Orang yang diberi hibah disyaratkan benar-benar ada waktu diberi hibah. Bila tidak benar-benar ada, atau diperkirakan adanya, misalnya dalam bentuk janin, maka hibah tidak sah. Apabila orang yang diberi hibah itu ada di waktu pemberian hibah, akan tetapi dia masih atau gila, maka hibah itu diambil oleh 56 Muhamad Salim, Hibah, Hukum Dan Syaratnya, Melalui http:serbamakalah.blogspot.com201305hibah-hukum-dan-syaratnya.html, Diakses tanggal 27 Juni 2014. Universitas Sumatera Utara 31 walinya, pemeliharaannya atau orang mendidiknya sekalipun dia orang asing. 3. Syarat-syarat bagi yang dihibahkan Disyaratkan bagi yang dihibahkan: a. Benar-benar ada b. Harta yang bernilai c. Dapat dimiliki zatnya, yakni bahwa yang dihibahkan itu adalah apa yang bisa dimiliki, diterima peredarannya, dan pemilikannya dapat berpindah tangan. Maka tidak sah menghibahkan air di sungai, ikan di laut, burung di udara, masjid-masjid atau pesantren-pesantren. d. Tidak berhubungan dengan tempat pemilik hibah, seperti menghibahkan tanaman, pohon, atau bangunan tanpa tanahnya. e. Dikhususkan, yakni yang dihibahkan itu bukan untuk umum, sebab pemegangan dengan tangan itu tidak sah kecuali bila ditentukaan dikhususkan seperti halnya jaminan. 57 Terdapat dua hal yang hendak dicapai oleh hibah yakni, Pertama, dengan beri memberi akan menimbulkan suasana akrab dan kasih sayang antara sesama manusia. Sedangkan mempererat hubungan silaturrahmi itu termasuk ajaran dasar agama Islam. Kedua, yang dituju oleh anjuran hibah adalah terbentuknya kerjasama dalam berbuat baik, baik dalam menanggulangi kesulitan saudaranya, maupun dalam 57 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 14, Terj: Mudzakir, Bandung: PT Al Ma’arif, 1987, hal. 178. Universitas Sumatera Utara 32 membangun lembaga-lembaga sosial. 58

B. Syarat-Syarat Akta Hibah Dalam Proses Melakukan Hibah Menurut Hukum Perdata