Teknik pengumpulan data Teknik Analisis Data

22 mengenai bahan hukum primer, seperti: hasil-hasil penelitian dan karya ilmiah dari kalangan hukum, yang berkaitan keabsahan penghibahan yang dilakukan pemberi hibah dalam keadaan sakit. 3 Bahan tertier adalah bahan pendukung di luar bidang hukum seperti kamus ensiklopedia atau majalah yang terkait dengan keabsahan penghibahan yang dilakukan pemberi hibah dalam keadaan sakit.

3. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan Library Research, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka untuk memperoleh data sekunder berupa buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang- undangan. Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut: 36 a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan objek penelitian. b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui, artikel- artikel media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan perundang- undangan. 36 Ronitijo Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990, hal. 6 Universitas Sumatera Utara 23 c. Mengelompokan data-data yang relevan dengan permasalahan. d. Menganalisis data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.

4. Teknik Analisis Data

Lexy J. Moloeng mengatakan bahwa proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto, dan sebagainya. 37 Dalam penelitian ini, semua data yang diperoleh dikelompokkan sesuai dengan penelitian dan diteliti serta dievaluasi keabsahannya. Setelah itu diseleksi dan diolah lalu dianalisa sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku untuk melihat kecenderungan yang ada. Analisa data termasuk penarikan kesimpulan dilakukan secara deduktif, sehingga diharapkan akan memberikan solusi dan jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini. 37 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006, hal. 247. Universitas Sumatera Utara 24

BAB II KEABSAHAN ATAS HIBAH YANG DITANDATANGANI OLEH

PENGHIBAH DALAM KEADAAN SAKIT

A. Hibah Berdasarkan Hukum Perdata

Dapat diketahui lebih jelas bahwa definisi dan pengertian hibah dalam hukum perdata adalah suatu benda yang diberikan secara cuma-cuma tanpa mengharapkan imbalan, dan hal tersebut dilakukan ketika si penghibah dan penerima hibah masih hidup. Menurut kamus ilmiah popular internasional hibah adalah pemberian, sedekah, pemindahan hak. 38 Ada beberapa istilah lain yang dapat dinilai sama dengan hibah yakni “Schenking” dalam Bahasa Belanda dan “gift” dalam bahasa Inggris. Akan tetapi antara “gift” dengan hibah terdapat perbedaan mendasar terutama di dalam cakupan pengertiannya. Demikian pula antara hibah dengan “Schenking” pun memiliki perbedaan mendasar, terutama yang menyangkut masalah kewenangan istri, kemudian yang terjadi antara suami dan istri. “Schenking” tidak dapat dilakukan oleh istri tanpa bantuan suami. Demikian pula “Schenking” tidak boleh antara suami istri. Adapun hibah dapat dilakukan oleh seorang istri tanpa bantuan suami, demikian pula hibah antara suami istri tetap dibolehkan. 39 Dari beberapa pengertian, hibah dapat disimpulkan suatu persetujuan dalam mana suatu pihak berdasarkan atas kemurahan hati, perjanjian dalam hidupnya 38 Budiono, Kamus Ilmiah Popular Internasional, Surabaya : Alumni, 2005, hal. 217 39 Sudarsono, Sepuluh Aspek Agama Islam, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994, hal. 343 24 Universitas Sumatera Utara 25 memberikan hak milik atas suatu barang kepada pihak kedua secara percuma dan yang tidak dapat ditarik kembali, sedangkan pihak kedua menerima baik penghibahan ini. Sedangkan akta hibah dalam hukum positif adalah akta yang dibuat oleh si penghibah yang ditandatangani, diperbuat untuk dipakai sebagai bukti hibah dan untuk keperluan hibah dibuat. Dasar hukum hibah menurut hukum positif diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, hibah diatur dalam Pasal 1666 yaitu: “Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Undang- undang tidak mengakui lain-lain hibah-hibah diantara orang-orang yang masih hidup.” Prosedur Proses penghibahan harus melalui akta Notaris yang asli disimpan oleh Notaris bersangkutan dengan Pasal 1682, yaitu: “Tiada suatu hibah, kecuali yang disebutkan dalam pasal 1687, dapat, atas ancaman batal, dilakukan selainnya dengan suatu akta notaris, yang aslinya disimpan oleh notaris itu”. Dalam pandangan Hukum Islam Indonesia mempunyai berbagai macam suku, budaya, dan agama. Indonesia merupakan Negara hukum yang menggunakan dasar hukum Islam dan hukum positif juga hukum adat. Ada juga hukum adat menjadi acuan dasar hukum, yang paling utama adalah hukum Islam dan hukum positif. Menurut hukum Islam, hibah memiliki berbagai definisi yang berbeda-beda. Hal tersebut dikarenakan perbedaan pendapat antara orang-orang ahli ilmu agama dan ahli hukum Islam. Universitas Sumatera Utara 26 Sedangkan kata hibah adalah bentuk masdar dari kata wahaba artinya memberi. 40 Dan jika subyeknya Allah berarti memberi karunia, atau menganugrahi Q.S. Ali Imran, 3:8, Maryam, 19:5, 49, 50, 53. Dalam pengertian istilah, hibah adalah pemilikan sesuatu benda melalui transaksi Aqad tanpa mengharap imbalan yang telah diketahui dengan jelas ketika pemberi masih hidup. 41 Pengertian hibah dalam Ensiklopedi Hukum Islam adalah pemberian yang dilakukan secara sukarela dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT tanpa mengharapkan balasan apapun. 42 Di dalam syara’, hibah berarti akad yang pokok persoalan pemberian harta milik seseorang kepada orang lain di waktu dia hidup, tanpa adanya imbalan. Apabila seseorang memberikan hartanya kepada orang lain untuk dimanfaatkan tetapi tidak diberikan kepadanya hak pemilikan, maka hal itu disebut i’aarah pinjaman. 43 Kompilasi Hukum Islam KHI Pasal 171 huruf g, hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. 44 Terdapat beberapa definisi hibah yang dikemukakan oleh para ulama : 1. Abd al-Rahman al-Jaziri dalam Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah. 45 menghimpun empat definisi hibah dari empat mazhab, yaitu menurut mazhab 40 A. W. Munawir, Kamus Al-Munawir, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997, hal. 1584. 41 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998, hal. 466 42 Abdul Aziz Dahlan, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Van Hoeve, 1996, hal. 540 43 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 14 Terjemah, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 1997, hal. 167 44 Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Fokusmedia, 2007, hal. 56. 45 Abd al-Rahman al-Jaziri dalam Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Beirut: Dar al- Fikr,t.th, Juz 3, hal. 289-292. Universitas Sumatera Utara 27 Hanafi, hibah adalah memberikan sesuatu benda dengan tanpa menjanjikan imbalan seketika, sedangkan menurut mazhab Maliki yaitu memberikan milik sesuatu zat dengan tanpa imbalan kepada orang yang diberi, dan juga bisa disebut hadiah. Mazhab Syafi’i dengan singkat menyatakan bahwa hibah menurut pengertian umum adalah memberikan milik secara sadar sewaktu hidup. 2. Definisi yang lebih rinci dan komprehensif dikemukakan ulama mazhab Hambali. Ulama mazhab Hambali mendefinisikannya sebagai pemilikan harta dari seseorang kepada orang lain yang mengakibatkan orang yang diberi boleh melakukan tindakan hukum terhadap harta tersebut, baik harta itu tertentu maupun tidak, bendanya ada dan bisa diserahkan. 46 3. Menurut Teungku Muhammad Hasbie Ash-Shiddieqy hibah ialah mengalih hak milik kepada orang lain secara Cuma-Cuma tanpa adanya bayaran. 47 4. Menurut As Shan’ani dalam kitab Subulussalam yang diterjemahkan oleh Abu Bakar Muhammad mengatakan bahwa hibah adalah pemilikan harta dengan akad tanpa mengharapkan pengganti tertentu pada masa hidup. 48 5. Definisi dari Syekh Muhammad ibn Qasim al-Ghazzi, 49 hibah adalah memberikan sesuatu yang dilestarikan dan dimutlakkan dalam hubungannya dengan keadaan ketika masih hidup tanpa ada ganti, meskipun dari jenjang atas. 6. Menurut M. Ali Hasan hibah adalah pemberian atau hadiah yaitu suatu pemberian 46 Ibid. 47 Teungku Muhammad Hasbie Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001, hal. 98. 48 Abu Bakar Muhammad, Subulussalam Terjemah, Surabaya: Al-Ikhlas, 1995, hal. 319 49 Syekh Muhammad ibn Qasim al-Ghazzi, Fath al-Qarib al-Mujib, Semarang: Pustaka Alawiyah, t.th, hal. 39 Universitas Sumatera Utara 28 atau hadiah, yaitu suatu pemberian yang dilakukan secara sukarela dalam mendekatkan diri kepada Allah tanpa mengharapkan balasan apa pun. 50 7. Senada dengan Drs. Hamid Farihi, M.A., juga berpendapat bahwa hibah didefinisikan sebagai akad yang dilakukan dengan maksud memindahkan milik seseorang kepada orang lain ketika masih hidup dan tanpa imbalan. 51 Dalam Al-Qur’an, penggunaan kata hibah digunakan dalam konteks pemberian anugerah Allah SWT kepada utusan-utusan-Nya, doa-doa yang dipanjatkan oleh hamba-hamba-Nya, terutama para nabi, dan menjelaskan sifat Allah Yang Maha Memberi Karunia. Namun ayat ini dapat digunakan petunjuk dan anjuran secara umum, agar seseorang memberikan sebagian rezekinya kepada orang lain. Misalnya, QS. Al-Baqarah ayat 262, dimana terjemahannya: 52 Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah,Kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti perasaan si penerima, mereka memperoleh pahala disisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Q.S Al- Baqarah : 262 53 Firman Allah juga: Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang Telah kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: Ya Rabb-ku, Mengapa Engkau tidak menangguhkan kematianku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan Aku dapat bersedekah dan Aku termasuk orang-orang yang saleh?Al- Munafiqun: 10 54 50 M. Ali Hasan, Berbagai macam transaksi dalam Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, hal. 76. 51 Chuzaimah dan Hafizn Anshary AZ. Editor, Problematika Hukum Islam kontemporer III, Jakarta: Pustaka firdaus, 2004, hal. 105 52 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grasindo Persada,1995, hal. 467 53 Yayasan Penyelenggara PenterjemahPentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemah, Jakarta, 1971, hal. 66 54 Ibid., hal. 938. Universitas Sumatera Utara 29 Jumhur fuqaha berpegang bahwa ijma’ kesepakatan telah terjadi tentang bolehnya seseorang dalam keadaan sehatnya memberikan seluruh hartanya kepada orang asing sama sekali di luar anak-anaknya. Jika pemberian seperti ini dapat terjadi untuk orang asing, maka terlebih lagi terhadap anak. Alasan mereka adalah hadits Abu Bakar yang terkenal, bahwa ia memberi ‘Aisyah pecahan-pecahan seberat 20 wasaq dari harta hutan. Pada saat menjelang wafatnya, Abu Bakar berkata: “Demi Allah, wahai anakku, tidak seorangpun yang kekayannya lebih menyenangkan aku sesudah aku selain daripada engkau. Dan tidak ada yang lebih mulia bagiku kefakirannya selain daripada engkau. Sesungguhnya aku dahulu memberimu pecahan emas 20 wasaq. Maka jika engkau memecah- mecah dan memilikinya, maka itu adalah bagimu. Hanya saja, harta itu sekarang menjadi harta waris.” 55 Mereka berpendapat bahwa maksud hadits tersebut adalah nadb sunnah. Yang jelas al-Qur’an dan hadits banyak sekali menggunakan istilah yang konotasinya menganjurkan agar manusia yang telah dikarunia rezeki itu mengeluarkan sebagiannya kepada orang lain. Kendati istilah-istilah tersebut memiliki ciri-ciri khas yang berbeda, kesamaannya adalah bahwa manusia diperintahkan untuk mengeluarkan sebagian hartanya. Menurut jumhur ulama rukun hibah ada empat: a. Wahib Pemberi Wahib adalah pemberi hibah, yang menghibahkan barang miliknya kepada orang lain. b. Mauhublah Penerima 55 Ibnu Rusyd, Bidayatul-Mujtahid, juz 4 , Semarang: Asy-Syifa’, 1990, hal. 113. Universitas Sumatera Utara 30 Penerima hibah adalah seluruh manusia dalam arti orang yang menerima hibah. c. Mauhub Mauhub adalah barang yang di hibahkan. d. Shighat Ijab dan Qabul Shighat hibbah adalah segala sesuatu yang dapat dikatakan ijab dan qabul. 56 Sedangkan syarat-syarat hibah. Hibah menghendaki adanya penghibah, orang yang diberi hibah, dan sesuatu yang dihibahkan. 1. Syarat-syarat penghibah Disyaratkan bagi penghibah syarat-syarat sebagai berikut: a. Penghibah memiliki sesuatu untuk dihibahkan b. Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya karena suatu alasan. c. Penghibah itu orang dewasa, sebab anak-anak kurang kemampuannya. d. Penghibah itu tidak dipaksa, sebab hibah itu akad yang mempersyaratkan keridhaan dalam keabsahannya. 2. Syarat-syarat bagi orang yang diberi hibah Orang yang diberi hibah disyaratkan benar-benar ada waktu diberi hibah. Bila tidak benar-benar ada, atau diperkirakan adanya, misalnya dalam bentuk janin, maka hibah tidak sah. Apabila orang yang diberi hibah itu ada di waktu pemberian hibah, akan tetapi dia masih atau gila, maka hibah itu diambil oleh 56 Muhamad Salim, Hibah, Hukum Dan Syaratnya, Melalui http:serbamakalah.blogspot.com201305hibah-hukum-dan-syaratnya.html, Diakses tanggal 27 Juni 2014. Universitas Sumatera Utara 31 walinya, pemeliharaannya atau orang mendidiknya sekalipun dia orang asing. 3. Syarat-syarat bagi yang dihibahkan Disyaratkan bagi yang dihibahkan: a. Benar-benar ada b. Harta yang bernilai c. Dapat dimiliki zatnya, yakni bahwa yang dihibahkan itu adalah apa yang bisa dimiliki, diterima peredarannya, dan pemilikannya dapat berpindah tangan. Maka tidak sah menghibahkan air di sungai, ikan di laut, burung di udara, masjid-masjid atau pesantren-pesantren. d. Tidak berhubungan dengan tempat pemilik hibah, seperti menghibahkan tanaman, pohon, atau bangunan tanpa tanahnya. e. Dikhususkan, yakni yang dihibahkan itu bukan untuk umum, sebab pemegangan dengan tangan itu tidak sah kecuali bila ditentukaan dikhususkan seperti halnya jaminan. 57 Terdapat dua hal yang hendak dicapai oleh hibah yakni, Pertama, dengan beri memberi akan menimbulkan suasana akrab dan kasih sayang antara sesama manusia. Sedangkan mempererat hubungan silaturrahmi itu termasuk ajaran dasar agama Islam. Kedua, yang dituju oleh anjuran hibah adalah terbentuknya kerjasama dalam berbuat baik, baik dalam menanggulangi kesulitan saudaranya, maupun dalam 57 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 14, Terj: Mudzakir, Bandung: PT Al Ma’arif, 1987, hal. 178. Universitas Sumatera Utara 32 membangun lembaga-lembaga sosial. 58

B. Syarat-Syarat Akta Hibah Dalam Proses Melakukan Hibah Menurut Hukum Perdata

Hibah barulah mengikat dan mempunyai akibat hukum bila pada hari penghibahan itu dengan kata-kata yang tegas telah dinyatakan diterima oleh penerima hibah, atau dengan suatu akta otentik telah diberi kuasa pada orang lain. Pada Pasal 1683 KUH Perdata menyebutkan : ”Tiada suatu hibah mengikat si penghibah, atau menerbitkan sesuatu akibat yang bagaimanapun, selain mulai hari penghibahan itu dengan kata-kata yang tegas telah diterima oleh si penerima hibah sendiri atau oleh seorang yang dengan suatu akta autentik oleh si penerima hibah itu telah dikuasakan untuk menerima penghibahan- penghibahan yang telah diberikan kepada si penerima hibah atau akan diberikan kepadanya di kemudian hari. Jika penerimaan tersebut tidak telah dilakukan didalam surat hibah sendiri, maka itu akan dapat dilakukan didalam suatu akta autentik kemudian, yang aslinya harus disimpan, asal yang demikian itu dilakukan di waktu si penghibah masih hidup; dalam hal mana penghibahan, terhadap orang yang belakangan disebut ini, hanya akan berlaku sejak hari penerimaan itu diberitahukan kepadanya.” Guna mendapatkan suatu keputusan akhir perlu adanya bahan-bahan mengenai fakta-fakta. Dengan adanya bahan yang mengenai fakta-fakta itu akan dapat diketahui dan diambil kesimpulan tentang adanya bukti. Kita mengetahui 58 Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Konteporer, Jakarta: Kencana, 2004, hal. 471-472 Universitas Sumatera Utara 33 bahwa dalam setiap ilmu pengetahuan dikenal tentang adanya pembuktian. Dalam hal ini ada beberapa alat dalam perkara perdata yang bisa digunakan sebagai bukti, antara lain : a. Bukti dengan surat b. Bukti dengan saksi c. Persangkaan-persangkaan d. Sumpah Dari beberapa macam alat bukti di atas, sesuai dengan permasalahan akan meneliti tentang alat bukti tertulis atau surat. Alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Surat sebagai alat pembuktian tertulis dapat dibedakan dalam akta dan surat bukan akta, sedangkan pengertian akta adalah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat seja k semula dengan sengaja untuk membuktikan. 59 Dan dalam hal akta masuk dalam kategori alat bukti dengan surat dalam HIR Pasal 165 disebutkan bahwa: “Surat akta yang sah, ialah suatu surat yang diperbuat demikian oleh atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa untuk membuatnya, menjadi bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak dari padanya, tentang segala hal yang disebut didalam surat itu dan juga tentang yang ada dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja, dalam hal terakhir ini hanya jika yang diberitahukan itu berhubungan langsung dengan perihal pada surat akta itu. Kemudian akta masih dapat dibedakan lagi dalam akta autentik, akta di bawah tangan dan surat bukan akta. Jadi dalam hukum pembuktian dikenal paling tidak tiga 59 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2006, hal. 149 Universitas Sumatera Utara 34 jenis surat, yaitu: 1. Akta autentik Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1868 pengertian akta autentik adalah: “Suatu akta autentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.” Berdasarkan Pasal 1868 KUH Perdata dapat disimpulkan unsur akta autentik yakni: a. Bahwa akta tersebut dibuat dan diresmikan Verleden dalam bentuk menurut hukum; b. Bahwa akta tersebut dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum; c. Bahwa akta tersebut dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk membuatnya di tempat akta tersebut dibuat, jadi akta itu harus ditempat wewenang pejabat yang membuatnya. Pasal 1869 KUH Perdata: “Suatu akta yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai dimaksud di atas, atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta autentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan jika ia ditanda tangani oleh para pihak.” Dapat disimpulkan bahwa akta otentik adalah surat yang dibuat oleh atau dihadapan seseorang pejabat umum yang mempunyai wewenang membuat surat itu, dengan maksud untuk menjadikan surat itu sebagai alat bukti. Pejabat umum yang dimaksud adalah Notaris, pegawai catatan sipil, juru sita, panitera pengadilan dan Universitas Sumatera Utara 35 sebagainya. 2. Akta di bawah tangan Akta dibawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. 60 Ada ketentuan khusus mengenai akta di bawah tangan, yaitu akta di bawah tangan yang memuat hutang sepihak, untuk membayar sejumlah uang tunai atau menyerahkan suatu benda, harus ditulis seluruhnya dengan tangan sendiri oleh yang bertanda tangan, suatu keterangan untuk menguatkan jumlah atau besarnya atau banyaknya apa yang harus dipenuhi, dengan huruf seluruhnya. Keterangan ini lebih terkenal dengan “bon pour cent florins”. Bila tidak demikian, maka akta di bawah tangan itu hanya dapat diterima sebagai permulaan bukti tertulis Ps. 4 S 1867 No. 29, 1871 BW, 291 Rbg. Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada Pasal 1874 yang dalam ayat satu mengatakan: “Sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan dianggap akta-akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai umum.” Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1878 KUH Perdata terdapat kekhususan akta dibawah tangan, yaitu akta harus seluruhnya ditulis tangan si penanda tangan sendiri, atau setidak-tidaknya, selain tanda tangan, yang harus ditulis dengan 60 Ibid., hal. 105. Universitas Sumatera Utara 36 tangannya si penanda tangan adalah suatu penyebutan yang memuat jumlah atau besarnya barang atau uang yang terhutang. Apabila ketentuannya tidak dipenuhi, maka akta tersebut hanya sebagai suatu permulaan pembuktian dengan tulisan. 61 3. Surat bukan akta Untuk kekuatan pembuktian dari surat yang bukan akta di dalam HIR maupun KUH Perdata tidak ditentukan secara tegas. Walaupun surat-surat yang bukan akta ini sengaja dibuat oleh yang bersangkutan, tapi pada asasnya tidak dimaksudkan sebagai alat pembuktian di kemudian hari. Oleh karena itu surat-surat yang demikian itu dapat dianggap sebagai petunjuk ke arah pembuktian. Yang dimaksudkan sebagai petunjuk ke arah pembuktian disini adalah bahwa surat-surat itu dapat dipakai sebagai bukti tambahan ataupun dapat pula dikesampingkan dan bahkan sama sekali tidak dapat dipercaya. Jadi dengan demikian surat bukan akta untuk supaya dapat mempunyai kekuatan pembuktian, sepenuhnya bergantung pada penilaian hakim sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1881 2 KUH Perdata. Pasal 1881 ayat satu KUH Perdata menentukan sebagai berikut: “Register-register dan surat-surat urusan rumah tangga tidak memberikan pembuktian untuk keuntungan si pembuatnya; adalah register-register dan surat-surat itu merupakan pembuktian terhadap si pembuatnya: 1e. di dalam segala hal di mana surat-surat itu menyebutkan dengan tegas tentang suatu pembayaran yang telah diterima; 2e. apabila surat-surat itu dengan tegas menyebutkan bahwa catatan yang telah dibuat adalah untuk memperbaiki suatu kekurangan di dalam 61 Teguh Samudera, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Jakarta:Alumni, 1992, hal. 45. Universitas Sumatera Utara 37 sesuatu alasan hak bagi seorang untuk keuntungan siapa surat itu menyebutkan suatu perikatan. Pasal 1883 ayat satu KUH Perdata menentukan sebagai berikut : “Catatan yang oleh seorang berpiutang dibubuhkan pada suatu alas hak yang selamanya dipegangnya, harus dipercayai, biarpun tidak ditandatangani maupun diberikan tanggal, jika apa yang ditulis itu merupakan suatu pembebasan terhadap si berutang.” Maka dari itu dapat penulis simpulkan bahwa walaupun surat-surat yang bukan akta merupakan alat pembuktian yang bebas nilai kekuatan buktinya sebagaimana telah diuraikan diatas, tetapi ada juga surat-surat yang bukan akta yang mempunyai kekuatan bukti yang lengkap, antara lain surat-surat yang ditentukan dalam Pasal 1881 dan Pasal 1883 KUH Perdata. Sedangkan akta hibah menurut hukum positif dalam hukum perdata alat bukti tertulis atau surat tercantum dalam Pasal 138,165,167 HIRPasal 164, 285-305 R.bg dan Pasal 1867-1894 BW serta Pasal 138-147 RV. Pada asasnya di dalam persoalan perdata hibah, alat bukti yang berbentuk tulisan itu merupakan alat bukti yang diutamakan atau merupakan alat bukti yang nomor satu jika dibandingkan dengan alat-alat bukti lainnya. 62 Dengan demikian, Alat bukti surat merupakan alat bukti pertama dan utama. Dikatakan pertama oleh karena alat bukti surat gradasinya disebut pertama dibandingkan dengan alat bukti lainnya sedangkan dikatakan utama oleh karena dalam hukum perdata hibah yang dicari adalah kebenaran formal. Maka alat bukti 62 Ibid., hal. 36. Universitas Sumatera Utara 38 surat memang sengaja dibuat untuk dapat dipergunakan sebagai alat pembuktian utama. Di dalam hukum, akta mempunyai bermacam-macam fungsi. Fungsi akta termaksud dapat berupa, antara lain: a. Syarat untuk menyatakan adanya suatu perbuatan hukum. Suatu akta yang dimaksudkan dengan mempunyai fungsi sebagai syarat untuk menyatakan adanya suatu perbuatan hukum adalah bahwa dengan tidak adanya atau tidak dibuatnya akta, maka berarti perbuatan hukum itu tidak terjadi. Dalam hal ini diambilkan contoh sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1681, 1682, 1683 tentang cara menghibahkan, 1945 KUH Perdata tentang sumpah di muka hakim untuk akta autentik; sedangkan untuk akta di bawah tangan seperti halnya dalam Pasal 1610 tentang pemborongan kerja, Pasal 1767 tentang peminjaman uang dengan bunga, Pasal 1851 KUH Perdata tentang perdamaian. Jadi, akta disini maksudnya digunakan untuk lengkapnya suatu perbuatan hukum. b. Sebagai alat pembuktian Fungsi suatu akta sebagai alat pembuktian dimaksudkan bahwa dengan tidak adanya atau tidak dibuatnya akta, maka berarti perbuatan hukum tersebut tidak dapat terbukti adanya. Dalam hal ini dapat diambilkan contoh dalam pasal 1681, 1682, 1683 tentang cara menghibahkan. Jadi disini akta memang dibuat untuk alat pembuktian di kemudian hari. 63 Dari definisi yang telah diketengahkan dimuka jelas bahwa akta itu dibuat sejak 63 Ibid, hal. 46-47 Universitas Sumatera Utara 39 semula dengan sengaja untuk pembuktian dikemudian hari. Sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta itu tidak membuat sahnya perjanjian tetapi hanyalah agar dapat digunakan sebagai alat bukti di kemudian hari. 64 Seperti telah disinggung di atas bahwa fungsi akta yang paling penting di dalam hukum adalah akta sebagai alat pembuktian, maka “daya pembuktian atau kekuatan pembuktian akta akan dapat dibedakan ke dalam tiga macam” 65 yaitu: a. Kekuatan Pembuktian Lahir pihak ketiga. Yang dimaksud dengan kekuatan pembuktian lahir ialah kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keadaan lahir, apa yang tampak pada lahirnya: yaitu bahwa surat yang tampaknya dari lahir seperti akta, dianggap mempunyai kekuatan seperti akta sepanjang tidak terbukti sebaliknya. 66 Jadi surat itu harus diperlakukan seperti akta, kecuali ketidakotentikan akta itu dapat dibuktikan oleh pihak lain. Misalnya dapat dibuktikan bahwa tanda tangan yang di dalam akta dipalsukan. Dengan demikian berarti pembuktiannya bersumber pada kenyataan. 67 b. Kekuatan Pembuktian Formil Kekuatan pembuktian formil ini didasarkan atas benar tidaknya ada pertanyaan oleh yang bertanda tangan di bawah akta itu. Kekuatan pembuktian ini memberi kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak menyatakan dan 64 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hal. 160. 65 A Pitlo, Pembuktian dan Daluwarsa, Jakarta: PT Intermasa,1978, hal. 56-57. 66 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hal. 160 67 Teguh Samudera, Op. Cit, hal. 48 Universitas Sumatera Utara 40 melakukan apa yang dimuat dalam akta. Misalnya antara A dan B yang melakukan hibah, mengakui bahwa tanda tangan yang tertera dalam akta itu benar jadi pengakuan mengenai isi dari pernyataan itu. Atau dalam hal ini menyangkut pertanyaan, “benarkah bahwa ada pernyataan para pihak yang menandatangani“? Dengan demikian berarti pembuktiannya bersumber atas kebiasaan dalam masyarakat, bahwa orang menandatangani suatu surat itu untuk menerangkan bahwa hal-hal yang tercantum di atas tanda tangan tersebut adalah keterangannya. 68 c. Kekuatan Pembuktian Material Kekuatan pembuktian material yaitu suatu kekuatan pembuktian yang didasarkan atas benar atau tidaknya isi dari pernyataan yang ditandatangani dalam akta, bahwa peristiwa hukum yang dinyatakan dalam akta itu benar-benar telah terjadi. Jadi memberi kepastian tentang materi akta. Misalnya A dan B mengakui bahwa benar hibah peristiwa hukum itu telah terjadi. Dengan demikian ber arti pembuktiannya bersumber pada keinginan agar orang lain menganggap isi keterangannya dan untuk siapa isi keterangan itu berlaku, sebagai benar dan bertujuan untuk mengadakan bukti buat dirinya sendiri. Maka dari sudut kekuatan pembuktian material, suatu akta hanya memberikan bukti terhadap si penanda tangan. Seperti halnya surat yang berlaku timbal balik juga membuktikan terhadap dirinya sendiri dari masing-masing si penanda tangan. Di dalam Pasal 165 HIR Pasal 1870 dan 1871 KUH Perdata dikemukakan 68 Ibid., hal. 48. Universitas Sumatera Utara 41 bahwa akta autentik itu sebagai alat pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut. 69 Akta otentik yang merupakan bukti yang lengkap mengikat berarti kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta tersebut harus diakui oleh hakim, yaitu akta tersebut dianggap sebagai benar, selama kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya. a. Kekuatan pembuktian lahir akta otentik Kekuatan pembuktian lahir dari akta, yaitu bahwa suatu surat yang kelihatannya seperti akta autentik, diterimadianggap seperti akta dan diperlakukan sebagai akta otentik terhadap setiap orang sepanjang tidak terbukti sebaliknya. b. Kekuatan pembuktian formal akta otentik Kekuatan pembuktian lahir dari akta, yaitu bahwa biasanya orang menandatangani suatu surat itu untuk menerangkan bahwa hal-hal yang tersebut di atas tanda tangannya adalah benar keterangannya. Karena bukan menjadi tugas pegawai umum notaris untuk menyelidiki kebenaran dari keterangan para penghadap yang dituliskan dalam akta. Maka dalam akta otentik y ang berupa akta para piha k, apabila tanda tangan para penanda tangan telah diakui kebenarannya, berarti bahwa hal-hal yang tertulis dan telah diterangkan di atas tanda tangan para pihak adalah membuktikan terhadap setiap orang. Dan juga dalam akta otentik ya ng berupa akta berita acara, bahwa keterangan pegawai umum notaris 69 Ibid., hal. 49. Universitas Sumatera Utara 42 itu adalah satu-satunya keterangan yang diberikan dan ditandatanganinya. Jadi dalam hal ini yang telah pasti adalah tentang tanggal dan tempat akta dibuat serta keaslian tanda tangan, yang berlaku terhadap setiap orang. Dengan demikian maka kedua akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian formal. c. Kekuatan pembuktian material akta autentik Kekuatan pembuktian material dari akta, yaitu keinginan agar orang lain menganggap bahwa apa yang menjadi isi keterangan dan untuk siapa isi akta itu berlaku sebagai benar dan bertujuan untuk mengadakan bukti buat dirinya sendiri. Dengan kata lain, keinginan agar orang lain menganggap bahwa peristiwa hukum yang dinyatakan dalam akta adalah benar telah terjadi. Maka dalam akta otentik yang berupa akta para pihak, isi keterangan yang tercantum dalam akta hanya berlaku benar terhadap orang yang memberikan keterangan itu dan untuk keuntungan orang, untuk kepentingan siapa akta itu diberikan. Sedangkan terhadap pihak lain keterangan tersebut merupakan daya pembuktian bebas dalam arti kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim. Sedangkan untuk akta autentik yang berupa akta berita acara, karena akta tersebut berisikan keterangan yang diberikan dengan pasti oleh pegawai umum saja berdasarkan apa-apa yang terjadi, dilihat, dan didengar, dianggap benar isi keterangan tersebut, maka berarti berlaku terhadap setiap orang. Dengan demikian maka akta ini mempunyai kekuatan pembuktian material. Menurut ketentuan Pasal 1875 KUH Perdata, jika akta di bawah tangan tanda tangannya diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, maka akta Universitas Sumatera Utara 43 tersebut dapat merupakan alat pembuktian yang lengkap seperti kekuatan pembuktian dalam akta autentik terhadap orang-orang yang menandatangani serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak darinya. Tentang pengakuan tanda tangan apabila dikemukakan di muka hakim, menurut Wirjono Prodjodikoro pengakuan itu berbunyi: “ tanda tangan ini betul tanda tangan saya dan isi tulisan adalah benar” a. Kekuatan pembuktian lahir akta di bawah tangan Menurut Pasal 1876 KUH Perdata seseorang yang terhadapnya dimajukan akta di bawah tangan, diwajibkan mengakui atau memungkiri tanda tangannya. Sedangkan terhadap ahli waris cukup dengan menerangkan bahwa ia tidak mengakui tulisan atau tanda tangan tersebut. Apabila tanda tangan tersebut diingkari atau tidak diakui oleh ahli warisnya, maka menurut Pasal 1877 KUH Perdata hakim harus memerintahkan agar kebenaran akta tersebut diperiksa di muka pengadilan. Sebaliknya apabila tanda tangan itu hendak dipakai maka akta tersebut dapat mempunyai alat pembuktian yang lengkap terhadap para pihak yang bersangkutan, akan tetapi terhadap pihak lain, kekuatan pembuktiannya adalah bebas, dalam arti bergantung kepada penilaian hakim. Dengan adanya pengakuan terhadap tanda tangan berarti bahwa keterangan akta yang tercantum di atas tanda tangan tersebut diakui pula. Hal ini dapat kita mengerti, karena biasanya seseorang yang menandatangani sesuatu surat itu untuk menjelaskan bahwa keterangan yang tercantum di atas tanda tangan adalah benar keterangannya. Universitas Sumatera Utara 44 Karena ada kemungkinan bahwa tanda dalam akta di bawah tangan tidak diakui atau diingkari, maka akta di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan bukti lahir. b. Kekuatan pembuktian formal akta di bawah tangan Seperti yang telah diterangkan pada kekuatan pembuktian luar akta di bawah tangan, yaitu apabila tanda tangan pada akta diakui berarti bahwa pernyataan yang tercantum di atas tanda tangan tersebut diakui pula, maka di sini telah pasti terhadap setiap orang bahwa pernyataan yang ada di atas tanda tangan itu adalah pernyataan si penanda tangan. Jadi akta di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian formal. c. Kekuatan pembuktian material akta di bawah tangan Disini juga menyangkut ketentuan Pasal 1875 KUH Perdata yang telah dikemukakan di atas dan secara singkat dapat dikatakan bahwa diakuinya tanda tangan pada akta di bawah tangan berarti akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian lengkap. Jadi berarti bahwa isi keterangan akta tersebut berlaku pula sebagai benar terhadap si pembuat dan untuk siapa pernyataan itu dibuat. Dengan demikian akta di bawah tangan hanya memberikan pembuktian material yang cukup terhadap orang untuk siapa pernyataan itu diberikan kepada siapa si penanda tangan akta hendak memberikan bukti. Sedangkan terhadap pihak lainnya kekuatan pembuktiannya adalah bergantung kepada penilaian hakim bukti bebas. Fungsi dari akta hibah adalah sebagai syarat untuk menyatakan adanya suatu perbuatan hukum, sebagai alat pembuktian dan sebagai alat pembuktian satu-satunya. Universitas Sumatera Utara 45 Suatu akta hibah dapat memenuhi sekaligus lebih dari satu fungsi seperti dikatakan tadi semuanya ada tiga fungsi. Akta di bawah tangan atau akta formalitatis causa sebagai syarat pokok mempunyai juga daya pembuktian, dan akta hibah yang ditentukan sebagai satu-satunya alat bukti hibah tentu saja mempunyai daya pembuktian. Dalam perspektif Hukum Islam syarat akta hibah dalam Hukum Islam dicerminkan dalam rukun dan syarat hibah. Adapun rukun dan syarat hibah, Ibn Rusyd dalam Bidayah al-Mujtahid mengatakan bahwa rukun hibah ada tiga, yaitu: 1. Orang yang menghibahkan al-wahib a. Pemilik sah dari harta benda yang dihibahkan. b. Dalam keadaan sehat, apabila orang yang menghibahkan dalam keadaan sakit, hibahnya dibatasi 13 saja dari bendanya itu. Riwayat ‘Imran ibn Husain menjelaskan tindakan Nabi SAW: “Ketika Imran ibn Husain memerdekakan enam orang hamba dalam saat menjelang kemati annya, maka Rasulullah SAW. Memerintahkan agar dimerdekakan 13nya, dan menetapkan sebagai hamba yang lainnya” 70 Terhadap hadis ini, memang kontroversial. Mayoritas Ulama menetapkan hadis tersebut sebagai dasar hibah, karena itu jika orang yang menghibahkan dalam keadaan sakit, maka hibah yang diberikan paling banyak 13 hartanya. Ulama Ahli Zahir memahami hadis tersebut sebagai dasar hukum wasiat. Karena itu, hibah tidak ada batasan yang tegas. Dalam Kompilasi Hukum 70 Abd. Rasyid As’ad, Op.Cit. hal. 112. Universitas Sumatera Utara 46 Islam, dijelaskan Pasal 210 ayat 1 berbunyi sebagai berikut: “Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 13 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk memiliki”. Lebih jauh dikemu kakan dalam Pasal 213 KHI bahwa: “Hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya”. Pembatasan yang dilakukan Kompilasi Hukum Islam, baik dari usia maupun 13 dari harta pemberi hibah, berdasar pertimbangan bahwa usia 21 tahun telah dianggap cakap untuk memiliki hak untuk menghibahkan benda miliknya itu. Demikian juga batasan 13 harta kecuali jika ahli warisnya menyetujui. 71 c. Memiliki kebebasan untuk menghibahkan bendanya itu. 2 Orang yang menerima hibah 3 Benda yang dihibahka n, harus milik si penghibah. Apabila milik orang lain maka tidak sah hukumnya. Adapun syarat-syarat hibah, selain yang mengikuti rukun-rukun hibah tersebut, para ulama menyebutkan syarat utama adalah penerimaannya yaitu dengan cara memberi hibah ada dua macam: ucapan dan perbuatan. Ucapan meliputi ijab dan qabul sedangkan perbuata n dengan memberikan sesuatu yang menunjukkan makna hibah. Sedangkan pembuktian dalam hal hibah, dijelaskan menurut Sobhi Mahmasoni, yang dimaksud dengan membuktikan suatu perkara adalah: “Mengajukan alasan dan memberikan dalil sampai kepada batas yang meyakinkan”. Yang dimaksud meyakinkan ialah apa yang menjadi ketetapan atau keputusan atas 71 Ibid, hal. 471. Universitas Sumatera Utara 47 dasar penelitian dan dalil-dalil itu. 72 Jadi akta hibah dalam hukum Islam tidak menjelaskan secara tekstual tentang akta hibah. akan tetapi rukun dan syarat sudah dijelaskan secara eksplisit.

C. Keabsahan Atas Hibah Yang Ditandatangani Oleh Penghibah Dalam Keadaan Sakit

Suatu hal yang sering terjadi di tengah masyarakat adalah seseorang melakukan perbuatan hukum tatkala orang tersebut dalam keadaan sakit. Pertimbangan yang diberikan pada keadaan ini adalah seseorang sakit dan merasa dekat dengan kematian sehingga orang tersebut berpesan beberapa hal yang harus dilakukan keluarga yang ditinggalkannya. Salah satu hal yang sering dilakukan seseorang dalam keadaan sakit adalah selain memberi wasiat juga menghibahkan sebagian hartanya kepada seseorang atau kepada suatu badan hukum. Perbuatan seseorang berupa menghibahkan sejumlah harta kepada suatu objek hukum tentunya tidak merupakan suatu permasalahan hukum tatkala si penghibah melakukannya dalam keadaan sehat walafiat, tetapi sebaliknya apabila dalam keadaan sakit tentulah memiliki identifikasi masalah tersendiri tentang layak atau tidaknya perbuatan orang, cakap atau tidaknya orang tersebut berbuat hukum. Sakit adalah sebagai suatu keadaan yang tidak menyenangkan yang menimpa seseorang sehingga seseorang menimbulkan gangguan aktivitas sehari-hari baik itu dalam aktivitas jasmani, rohani dan sosial. Sakit juga sebagai suatu keadaan dari badan atau sebagian dari organ badan dimana fungsinya terganggu atau 72 Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif, Universitas Sumatera Utara 48 menyimpang 73 Dengan sakitnya seseorang maka dibutuhkan pengobatan sehingga kondisi dari kesehatannya dapat dikembalikan. Sakit menjelaskan adanya suatu gangguan kesehatan yang menyebabkan aktivitas kerja kegiatan terganggu. Adapun ciri-ciri sakit antara lain: suhu abnormal yaitu di atas 38°C, tubuhnya lemas, lunglai, letih, dan tidak semangat dalam melakukan segala aktifitas, wajahnya pucat dan tubuh terasa nyeri, adanya gangguan fisik, psikis, maupun sosial, dan selalu berfikir bahwa dirinya sakit. 74 Sakit memberikan suatu kaitannya dengan tingkat kesadaran seseorang. Oleh sebab itu timbul permasalahan hukum dalam kaitannya dengan peristiwa hukum dimana seseorang yang sakit melakukan tindakan hukum seperti penghibahan. Maka pada kapasitas ini hal yang mutlak harus diketahui adalah tingkat kesadaran yang dimiliki seseorang yang sedang sakit akan diketahui dengan adanya diagnosis dokter. Oleh sebab itu ketika suatu pertanyaan muncul tentang tingkat kesadaran seseorang yang sakit, maka akan diketahui dari jawabannya dokter. 75 Berdasarkan kondisi sakit ini terjadi peristiwa penghibahan. Hal ini disebabkan dengan adanya tanda sakit maka si penghibah menganggap bahwa sakitnya tersebut adalah sakit yang dapat berakibat kepada kematiannya sehingga ia perlu melakukan hal-hal yang menurut pendapatnya adalah sesuatu perbuatan baik Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2004, hal. 26 73 Hasil Wawancara Dengan dr. Yan Sitanggang, Sp.An, Rumah Sakit Sari Mutiara Medan Tanggal 3 Maret 2014. 74 Hasil Wawancara Dengan dr. Yan Sitanggang, Sp.An, Rumah Sakit Sari Mutiara Medan Tanggal 3 Maret 2014. 75 Hasil Wawancara Dengan dr. Yan Sitanggang, Sp.An, Rumah Sakit Sari Mutiara Medan Tanggal 4 Maret 2014. Universitas Sumatera Utara 49 seperti memberikan hibah kepada seseorang, baik itu dari kalangan keluarganya atau dari kalangan pihak lain. Keadaan pemberian hibah yang dilakukan penghibah dalam keadaan sakit adalah merupakan cerminan bahwa perbuatan hibah tersebut merupakan permintaan terakhir penghibah. Untuk melihat layak tidaknya perbuatan hukum seseorang dalam keadaan sakit maka dalam ilmu kedokteran dilihat terlebih dahulu tingkat kesadarannya. Menurut hasil wawancara yang dilakukan maka tingkat kesadaran seseorang yang dalam keadaan sakit dapat dibagi dalam: 1. Komposmentis. Sadar sepenuhnya, baik terhadap dirinya maupun lingkungannya. Pasien dapat menjawab pertanyaan pemeriksa dengan baik. 2. Apatis. Pasien tampak segan dan acuh tak acuh terhadap lingkungannya. 3. Delirium. Penurunan kesadaran disertai kekacauan motorik dan siklus tidur- bangun yang terganggu. Pasien tampak gaduh, gelisah, kacau, disorientasi, dan meronta-ronta 4. Somnolen letargi e. Keadaan mengantuk yang masih dapat pulih bila dirangsang, tapi bila rangsang berhenti, pasien akan tertidur kembali. 5. Sopor Stupor. Keadaan mengantuk yang dalam. Bisa dibangunkan dengan rangsang kuat rangsang nyeri, tapi pasien tidak bangun sempurna dan tidak dapat memberikan jawabab verbal dengan baik. 6. Semi Koma. Penurunan kesadaran yang tidak memberikan respon terhadap rangsang verbal, dan tidak dapat dibangunkan sama sekali, tapi reflex kornea, pupil masih baik. Respon nyeri tidak adekuat. 7. Koma. Penurunan kesadaran yang sangat dalam, tidak ada gerakan spontan dan tidak ada respo n terhadap rangsang nyeri. 76 Berdasarkan ciri ke sadaran pasien sebagaimana hasil wawancara di atas maka dapat level pasien atau seseorang yang dapat dikatakan masih dapat dikatakan memiliki kesadaran ada pada point 1 dan 2. Sedangkan point 3 sampai dengan 7 tidak memiliki kesadaran. Deng an sebab tersebut maka seseorang yang dalam keadaan sakit tetapi melakukan 76 Hasil Wawancara Dengan dr. Yan Sitanggang, Sp.An, Rumah Sakit Sari Mutiara Medan Tanggal 5 Maret 2014 Universitas Sumatera Utara 50 perbuatan hukum membuat hibah maka kondisi pasien dalam tingkat kesadaran komposmentis atau apatis. Sedangkan kondisi pasien dalam point 3 sampai point 7 menjelaskan kondisi ketidaksadaran pasien sehingga tidak dapat dan layak dalam berbuat hukum. 77 Suatu hal yang dapat dipahami dalam aktivitas pelayanan kesehatan seperti di rumah sakit atau hasil kunjungan pasien di praktek dokter maupun kunjungan dokter ke rumah pasien, pemeriksaan laboratorium dan tindakan yang intensive merujuk keadaan pasien kehari-hari mendatang keadaan pasien akan memburuk karena penyakitnya, biasanya dokter menerangkan keadaan kedepan perkembangan kearah menurunnya keadaan pasien kepada keluarga pasien yang dianggap mampu menerima keadaan panyakit yang dialami pasien, orangtuapasien yang dekat dengan kematiannya tentu mendapat firasat mengenai kesembuhan penyakitnya dan mengingat anak-anaknya yang lemah dan sebelum kematiannya akan terpikir untuk menolong hidupnya dengan memberikan hibah. Pasien yang menghibahkan sebagian harta miliknya kepada seseorang atau suatu badan hukum dilakukan oleh pasien dalam tingkat kesadaran yang baik meskipun berada dalam keadaan sakit. Hibah tersebut secara jelas diterangkan untuk siapa, harta yang mana dan juga besaran jumlahnya. Kondisi dari pasien yang demikian tentunya harus ditopang oleh tingkat kesadaran yang baik dan tidak mungkin dilakukan oleh pasien yang mengalami 77 Hasil Wawancara Dengan dr. Yan Sitanggang, Sp.An, Rumah Sakit Sari Mutiara Medan Tanggal 6 Maret 2014. Universitas Sumatera Utara 51 gangguan kesadaran. 78 Hal ini juga dibenarkan oleh salah seorang notaris dimana wawancara dilakukan. Menurut Notaris Muktar, perilaku seseorang yang sakit untuk menghibahkan sejumlah harta kepada pihak tertentu tentunya harus dilakukan dengan kesadaran yang baik, mengenal secara baik pihak-pihak yang akan menerima hibah serta memiliki komunikasi yang jelas. Hibah tidak akan mampu dilakukan oleh seseorang yang sakit yang mengalami kehilangan kesadarannya. 79 Pemberian hibah yang dilakukan seseorang dalam keadaan sakit dapat dibenarkan oleh hukum dengan alasan: 1. Bisa berkomunikasi dengan baik, artinya setiap pertanyaan bisa dijawab dengan baik. 2. Pendengaran bagus. 3. Pandangan mata bagus dalam ati bisa mengenal. 4. Mampu mengenal para penghadap. 5. Mampu memberi tanda tangan. 6. Mampu memahami maksud dan tujuan pembuatan hibah. 7. Dilakukan berdasarkan ketentuan perundang-undangan. 80 Dalam perspektif hukum Islam hibah sebenarnya hanyalah himbauan 78 Hasil Wawancara Dengan dr. Yan Sitanggang, Sp.An, Rumah Sakit Sari Mutiara Medan Tanggal 7 Maret 2014. 79 Hasil Wawancara Dengan Notaris PPAT Muktar, SH., M.Kn, tanggal 5 Maret 2014. 80 Hasil Wawancara Dengan Notaris PPAT Muktar, SH., M.Kn, tanggal 7 Maret 2014. Universitas Sumatera Utara 52 anjuran untuk saling membantu sesama manusia, karena hibah sebagai bentuk tolong menolong dalam kebajikan antara sesama manusia sangat baik dan bernilai positif. Ulama fikih telah sepakat, bahwa hukum hibah adalah sunat. Firman Allah: Artinya :“….dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir yang memerlukan pertolongan … Al-Baqarah: 177. 81 Sedangkan anjuran dalam pembuatan akta hibah menurut pendapat penulis merupakan kewajiban. Karena dengan akta autentik menjadikan dasar pembuktian yang sah dimata hukum ketika terjadi sengketa hibah. R. Subekti dalam bukunya Hukum Pembuktian mengatakan bahwa membuktikan ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. 82 Keadilan sangat memerlukan pembuktian, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya: Artinya: “ Sekiranya kepada manusia diberikan apa saja yang digugatnya, tentu setiap orang akan menggugat apa yang ia kehendaki, baik jiwa maupun harta, akan tetapi sumpah itu dibebankan kepada Tergugat.” 83 Cukup beralasan jika akta hibah dijadikan sebagai alat bukti di samping berdasarkan ayat Al-Qur’an tersebut diatas, sampainya Al-Qur’an dan Hadits kepada kita sekarang ini yang me rupakan sumber dan pegangan pokok bagi ajaran Islam, tidak lain melalui 81 Yayasan Penyelenggara PenterjemahPentafsir Al-Qur’an, Op.Cit, Al-Baqarah: 177. 82 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2007, hal. 7 83 Muslim, Shahih Muslim ,Juz II, Bandung: Ma’arif, tt, hal. 59. Universitas Sumatera Utara 53 tulisan. Adapun korelasinya apabila hibah tidak diaktakan, bisa menggunakan alat bukti yang lain, macam alat bukti dalam hukum Islam, yaitu : Menurut Samir ‘Aaliyah, alat-alat bukti itu ada enam dengan urutan sebagai berikut: a. Pengakuan b. Saksi c. Sumpah d. Qorinah e. Bukti berdasarkan indikasi-indikasi yang tampak f. Pengakuan hakim. 84 Menurut ‘Abdul Karim Zaidan, alat-alat bukti itu ada Sembilan dengan urutan sebagai berikut: a. Pengakuan b. Saksi c. Sumpah d. Penolakan sumpah e. Pengetahuan hakim f. Qorinah g. Qosamah h. Qiyafah i. Dan Qur’ah. 85 Menurut Sayyid Sabiq, alat-alat bukti itu ada empat, dengan urutan sebagai berikut: a. Pengakuan b. Saksi c. Sumpah d. Surat resmi. 86 84 Ibid., hal. 60. 85 Ibid., hal. 57. 86 Ibid., hal. 58. Universitas Sumatera Utara 54 Selain itu mengenai batasan umur akta hibah dalam Kompilasi Hukum Islam, dijelaskan Pasal 210 ayat 1 berbunyi sebagai berikut: “Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 13 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk memiliki”. Lebih jauh dikemukakan dalam Pasal 213 KHI bahwa: “Hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya”. Pembatasan yang dilakukan Kompilasi Hukum Islam, baik dari usia maupun 13 dari harta pemberi hibah, berdasar pertimbangan bahwa usia 21 tahun telah dianggap cakap untuk memiliki hak untuk menghibahkan benda miliknya itu. Demikian juga batasan 13 harta kecuali jika ahli warisnya menyetujui. 87 Batasan memberi hibah 13 harta merupakan sifat penolong untuk dirinya sendiri yaitu si penghibah untuk mengurangi kemungkinan terburuk menimpa dirinya, akan tetapi jika ahli warisnya setuju dengan pemberian semua harta si pemberi hibah maka tidak ada masalah dilakukan. Sedangkan analisis tentang penarikan kembali hibah yaitu apabila semua perhubungan atas dasar suka rela dapat dicabut kembali harta yang dihibahkan maka jatuhlah penarikan kembali hibah tersebut. Akan tetapi tidak semua pemberian dapat dicabut kembali suatu pemberian yang telah disempurnakan hanyalah dengan campur tangan orang yang diberi. Suatu pernyataan belaka dari pihak si pemberi tidaklah mencukupi. 87 Ibid., hal. 471. Universitas Sumatera Utara 55 Apabila ditelaah dari keabsahan akta hibah menurut hukum positif Undang- undang tidak mengakui bentuk-bentuk pemberian atau hibah selain hibah yang dilakukan diantara orang-orang masih hidup. Tentang kewajiban berakta hibah dalam kebijakan undang-undang sudah terpenuhinya kebutuhan hukum masyarakat karena dimulai dari prosedur Proses pembuatan akta hibah, penghibahan harus melalui akta Notaris yang asli disimpan oleh Notaris bersangkutan dengan Pasal 1682, yaitu: “Tiada suatu hibah, kecuali yang disebutkan dalam pasal 1687, dapat, atas ancaman batal, dilakukan selainnya dengan suatu akta notaris, yang aslinya disimpan oleh notaries itu”. 88 Hibah barulah mengikat dan mempunyai akibat hukum bila pada hari penghibahan itu dengan kata-kata yang tegas telah dinyatakan diterima oleh penerima hibah, atau dengan suatu akta otentik telah diberi kuasa pada orang lain. Dapat disimpulkan bahwa akta otentik adalah surat yang dibuat oleh atau dihadapan seseorang pejabat umum yang mempunyai wewenang membuat surat itu, dengan maksud untuk me njadikan surat itu sebagai alat bukti. Pejabat umum yang dimaksud adalah Notaris, pegawai catatan sipil, juru sita, panitera pengadilan dan sebagainya. Ketika Kompilasi Hukum Islam mengatur batasan umur dalam hibah, sama halnya di dalam pasal 1676-1677 Hukum Perdata BW menjelaskan bahwa: “Setiap orang diperbolehkan memberi dan menerima sesuatu sebagai hibah kecuali mereka yang oleh undang-u ndang dinyatakan tak cakap untuk itu.” “ Orang-orang yang belum dewasa tidak diperbolehkan member hibah, kecuali dalam 88 Ibid., hal. 438. Universitas Sumatera Utara 56 hal yang ditetapkan dalam bab ke tujuh dari buku ke satu Kitab Undang-undang ini.” 89 Ukuran dewasa dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah, dijelaskan dalam pasal 424. Orang dikatakan sudah dewasa ketika berumur 21 tahun, sebelumnya belum dikatakan dewasa. Artinya umur 21 tahun dikatakan sudah cakap di dalam Undang-undang. Berbeda dengan analisis tersebut, dalam hukum positif perbedaan pembagian akta hibah terbagi menjadi dua yakni untuk benda bergerak bertransaksi dengan Notaris, sedangkan untuk benda tidak bergerak bertransaksi dengan PPAT. Ketika dicermati adanya perbedaan karakter yuridis antara Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT, maka suatu hal yang sangat tidak mungkin dua karakter berbeda dijadikan satu. Menyatukan dua karakter yuridis yang berbeda hanya merupakan upaya pemaksaan yang tidak dilandasi dasar hukum yang jelas. Tegasnya ditinjau dari segi kekuatan pembuktiannya, adalah: a. Akta hibah mempunyai kekuatan pembuktian yang mutlak. apabila timbul sengketa antara pihak, maka apa yang termuat dalam akta hibah merupakan bukti yang sempurna, sehingga tidak perlu lagi dibuktikan dengan alat-alat pembuktian lain. b. Arti penting suatu akta hibah dalam praktek hukum memudahkan pembuktian dan memberikan kepastian hukum yang lebih kuat. 89 Ibid., hal. 438. Universitas Sumatera Utara 57

BAB III KEDUDUKAN AHLI WARIS LAIN DARI HIBAH YANG DIBERIKAN

KETIKA PEMBERI HIBAH DALAM KEADAAN SAKIT

A. Pengertian dan Prinsip Perlindungan Hukum

Secara umum, perlindungan berarti mengayomi sesuatu dari hal-hal yang berbahaya, sesuatu itu bisa saja berupa kepentingan maupun benda atau barang. Selain itu perlindungan juga mengandung makna pengayoman yang diberikan oleh seseorang terhadap orang yang lebih lemah. Hukum adalah Peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang di buat oleh badan-badan resmi yang berwajib. Hukum adalah himpunan peraturan yang di buat oleh yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggarnya. Ada beberapa pengertian tentang perlindungan hukum menurut para ahli yaitu: 1. Perlindungan Hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. 90 90 Satjipto Raharjo. Penyelenggaraan Keadilan dalam Masyarakat yang Sedang Berubah. Jurnal Masalah Hukum. Jakarta, 1993. hal. 9. 57 Universitas Sumatera Utara 58 2. Perlindungan Hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan. 91 3. Perlindungan Hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun. 4. Perlindungan Hukum adalah Sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya. Berkaitan dengan konsumen, berarti hukum memberikan perlindungan terhadap hak-hak pelanggan dari sesuatu yang mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak tersebut. 5. Perlindungan Hukum adalah penyempitan arti dari perlindungan, dalam hal ini hanya perlindungan oleh hukum saja. Perlindungan yang diberikan oleh hukum, terkait pula dengan adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek hukum dalam interaksinya dengan sesama manusia serta lingkungannya. Sebagai subyek hukum manusia memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan suatu tindakan hukum. 92 Dengan demikian, perlindungan hukum dapat diartikan dengan segala upaya pemerintah untuk menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada warganya agar hak-haknya sebagai seorang warganegara tidak dilanggar, dan 91 Philipus M. Hadjon. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. Bina Ilmu. Surabaya, 1987, hal. 23. 92 CST Kansil. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1987, hal. 93. Universitas Sumatera Utara 59 bagi yang melanggarnya akan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan yang berlaku. Suatu perlindungan dapat dikatakan sebagai perlindungan hukum apabila mengandung unsur-unsur sebagai berikut : 1. Adanya pengayoman dari pemerintah terhadap warganya. 2. Jaminan kepastian hukum. 3. Berkaitan dengan hak-hak warganegara. 4. Adanya sanksi hukuman bagi pihak yang melanggarnya. 93 Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarah dari barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah. 94 Aspek dominan dalam konsep barat tertang hak asasi manusia menekankan eksistensi hak dan kebebasan yang melekat pada kodrat manusia dan statusnya sebagai individu, hak tersebut berada di atas negara dan di atas semua organisasi politik dan bersifat mutlak sehingga tidak dapat diganggu gugat. Karena konsep ini, maka sering kali dilontarkan kritik bahwa konsep Barat tentang hak-hak asasi manusia adalah konsep yang individualistik. Kemudian dengan masuknya hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi serta hak kultural, terdapat kecenderungan mulai 93 Fitri Hidayats Blog, Perlindungan Hukum Unsur Esensial Dalam Suatu Negara Hukum, Melalui http:fitrihidayat-ub.blogspot.com201307perlindungan-hukum-unsur-esensial-dalam.html, Diakses tanggal 2 Mei 2014. 94 Ibid. Universitas Sumatera Utara 60 melunturnya sifat indivudualistik dari konsep Barat. Dalam merumuskan prinsip-prinsip perlindungan hukum di Indonesia, landasannya adalah Pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara. Konsepsi perlindungan hukum bagi rakyat di Barat bersumber pada konsep-konsep Rechtstaat dan ”Rule of The Law”. Dengan menggunakan konsepsi Barat sebagai kerangka berfikir dengan landasan pada Pancasila, prinsip perlindungan hukum di Indonesia adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila. Prinsip perlindungan hukum terhadap tindak pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarahnya di Barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi menusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah. 95 Dalam merumuskan prinsip perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia, landasan berpijaknya adalah Pancasila sebagai dasar ideologi dan dasar falsafah negara. Pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dikatakan bersumber pada Pancasila, karena pengakuan dan perlindungan terhadapnya secara intrinsik melekat pada Pancasila. Selain bersumber pada Pancasila prinsip perlindungan hukum juga bersumber pada prinsip negara hukum. Ada beberapa pengertian negara hukum yang dikemukakan oleh para ahli. Negara hukum adalah negara yang bertujuan untuk menyelenggarakan ketertiban hukum, yakni tata tertib yang umumnya berdasarkan hukum yang terdapat pada 95 Philipus M. Hadjon. Op.Cit. hal. 38 Universitas Sumatera Utara 61 rakyat. Negara hukum menjaga ketertiban hukum supaya jangan terganggu agar semuanya berjalan menurut hukum. 96 Negara Hukum adalah negara yang tunduk pada hukum, peraturan-peraturan hukum berlaku pula bagi segala badan dan alat-alat perlengkapan negara. Negara hukum menjamin adanya tertib hukum dalam masyarakat yang artinya memberi perlindungan hukum pada masyarakat, antara hukum dan kekuasaan ada hubungan timbal balik.

B. Ahli Waris 1.

Pengertian Warisan Warisan berasal dari kata waris, yang berasal dari bahasa Arab, yaitu : warits, yang dalam bahasa Indonesia berarti ahli waris, yaitu orang yang berhak mewaris; dan pihak lain ada yang menamakannya Hukum Waris, Hukum Pusaka dan lain- lain. 97 Para fuqaha mendefinisikan hukum kewarisan Islam sebagai suatu ilmu yang dengan dialah dapat diketahui orang yang menerima pusaka, orang yang tidak menerima pusaka, serta kadar yang diterima, tiap-tiap ahli waris dan cara membaginya. 98 Definisi tersebut menekankan segi , orang yang mewaris, orang yang tidak mewaris, besarnya bagian yang diterima oleh masing-masing ahli waris, serta cara 96 Muktie, A. Fadjar. Tipe Negara Hukum. Malang: Bayumedia Publishing, 2005, hal. 71. 97 Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, Jakarta: Tinta Mas, 1982, hal. 29. 98 Rachmad Budiono, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999, hal. 1. Universitas Sumatera Utara 62 membagikan warisan kepada para ahli waris. Definisi lain yang berkaitan dengan hukum kewarisan Islam disampaikan oleh Muhammad asy-Syarbini, yakni: Ilmu fiqhi yang berpautan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta pusaka dan pengetahuan mengenai bagian-bagian wajib dari harta peninggalan untuk setiap pemilik hak pusaka. 99 Definisi di atas menekankan bahwa pembagian warisan, cara penghitungan dan ahli waris. Karenanya adalah ahli waris dzul faraid, sehingga penghitungan bagian masing-masing ahli waris dalam hukum kewarisan Islam mempunyai tingkat kerumitan tersendiri, maka definsi di atas menekankan cara penghitungan warisan tersebut. Kutipan-kutipan di atas merupakan rumusan-rumusan yang diberikan oleh para ahli agama tentang pengertian warisan, sebenarnya masih banyak lagi pendapat - pendapat para ahli agama mengenai warisan ini, walaupun berbeda-beda bunyinya, namun mempunyai maksud yang sa ma, yaitu: tentang cara peralihan atau penguasaan suatu harta benda pusaka yang ditinggalkan. Menurut sistem hukum Islam yang dimaksud dengan warisan atau harta peninggalan adalah sejumlah harta benda kekayaan pewaris dalam keadaan bersih, artinya setelah dikurangi dengan pembayaran hutang pewaris dan pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh meninggalnya pewaris. Karenanya harta yang diterima oleh para ahli waris menurut sistem h ukum Islam dan sistem hukum adat itu benar-benar hak mereka yang 99 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Bandung: PT. Alma’arief, Jakarta, 1981, hal. 3. Universitas Sumatera Utara 63 bebas dari tuntutan kreditur pewaris. Sistem kewarisan Islam adalah sistem individual bilateral. Hal tersebut dikemukakannya atas dasar ayat-ayat kewarisan dalam Al-Qur’an antara lain seperti yang tercantum masing-masing dalam ayat 7,8,11, 12, 33 dan ayat 176 surat An-Nisa Q.S.IV, serta setelah sistem kewarisan atau sistem hukum waris menurut Al’Quran yang individual bilateral itu dibandingkan dengan sistem hukum waris individual bilateral dalam masyarakat yang bilateral, beliau menemukan beberapa hal yang baru yang merupakan ciri atau spesifikasi sistem hukum waris Islam menurut Al-Quran, yaitu : 1. Anak-anak si pewaris bersama-sama dengan orang tua si pewaris serentak sebagai ahli waris. Sedangkan dalam sistem hukum waris di luar Al-Qur’an hal itu tidak mungkin sebab orang baru mungkin menjadi ahli waris jika pewaris meninggal dunia tanpa keturunan mati punah, 2. Jika pewaris meninggal dunia tanpa keturunan maka ada kemungkinan saudara- saudara pewaris bertindak bersama-sama sebagai ahli waris dengan orang tuanya, setidaknya-tidaknya dengan ibunya. Prinsip di atas maksudnya ialah jika orang tua pewaris, dapat berkonkurensi dengan anak-anak pewaris, apabila dengan saudara-saudaranya yang sederajat lebih jauh dari anak-anaknya. Menurut sistem hukum waris di luar Al-Qur’an hal tersebut tidak mungkin sebab saudara si pewaris tertutup haknya oleh orang tuanya. 3. Bahwa suami isteri saling mewarisi, artinya pihak yang hidup paling lama menjadi ahli waris dari pihak lainnya. Universitas Sumatera Utara 64 Sistem kewarisan Islam menurut Al-Qur’an sesungguhnya merupakan perbaikan dan perubahan dari prinsip-prinsip hukum waris yang berlaku di negeri Arab sebelum Islam, dengan sistem kekeluargaannya yang patrilineal. Pada dasarnya sebelum Islam dikenal tiga prinsip pokok dalam hukum waris, yaitu: 1. Anggota keluarga yang berhak mewaris pertama adalah kaum kerabat laki-laki dari pihak bapak yang terdekat atau disebut asobah, 2. Pihak perempuan dan anggota keluarga dari garis ibu, tidak mempunyai hak waris. 3. Keturunan, yaitu anak, cucu, canggah, pada dasarnya lebih berhak mewaris dari pada leluhur pewaris, yaitu ayah, kakak, maupun buyutnya. Setelah Islam datang maka Al-Qur’an membawa perubahan dan perbaikan terhadap ketiga prinsip di atas sehingga pokok-pokok hukum waris Islam dalam Al- Qur’an sebagaimana ditentukan dalam surat An -Nisa ayat-ayat tersebut di atas.

2. Terbukanya Warisan