22
mengenai bahan hukum primer, seperti: hasil-hasil penelitian dan karya ilmiah dari kalangan hukum, yang berkaitan keabsahan penghibahan yang dilakukan
pemberi hibah dalam keadaan sakit. 3
Bahan tertier adalah bahan pendukung di luar bidang hukum seperti kamus ensiklopedia atau majalah yang terkait dengan keabsahan penghibahan yang
dilakukan pemberi hibah dalam keadaan sakit.
3. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan Library Research, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka untuk memperoleh data sekunder berupa buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun
media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang- undangan.
Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut:
36
a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang
relevan dengan objek penelitian. b.
Melakukan penelusuran kepustakaan melalui, artikel- artikel media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan perundang-
undangan.
36
Ronitijo Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990, hal. 6
Universitas Sumatera Utara
23
c. Mengelompokan data-data yang relevan dengan permasalahan.
d. Menganalisis data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang
menjadi objek penelitian.
4. Teknik Analisis Data
Lexy J. Moloeng mengatakan bahwa proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara,
pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto, dan sebagainya.
37
Dalam penelitian ini, semua data yang diperoleh dikelompokkan sesuai dengan penelitian dan diteliti serta dievaluasi keabsahannya. Setelah itu diseleksi dan
diolah lalu dianalisa sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku untuk melihat kecenderungan
yang ada. Analisa data termasuk penarikan kesimpulan dilakukan secara deduktif, sehingga diharapkan akan memberikan solusi dan jawaban atas
permasalahan dalam penelitian ini.
37
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006, hal. 247.
Universitas Sumatera Utara
24
BAB II KEABSAHAN ATAS HIBAH YANG DITANDATANGANI OLEH
PENGHIBAH DALAM KEADAAN SAKIT
A. Hibah Berdasarkan Hukum Perdata
Dapat diketahui lebih jelas bahwa definisi dan pengertian hibah dalam hukum perdata adalah suatu benda yang diberikan secara cuma-cuma tanpa mengharapkan
imbalan, dan hal tersebut dilakukan ketika si penghibah dan penerima hibah masih hidup.
Menurut kamus ilmiah popular internasional hibah adalah pemberian, sedekah, pemindahan hak.
38
Ada beberapa istilah lain yang dapat dinilai sama dengan hibah yakni “Schenking” dalam Bahasa Belanda dan “gift” dalam bahasa Inggris.
Akan tetapi antara “gift” dengan hibah terdapat perbedaan mendasar terutama di dalam cakupan pengertiannya. Demikian pula antara hibah dengan “Schenking” pun
memiliki perbedaan mendasar, terutama yang menyangkut masalah kewenangan istri, kemudian yang terjadi antara suami dan istri. “Schenking” tidak dapat dilakukan oleh
istri tanpa bantuan suami. Demikian pula “Schenking” tidak boleh antara suami istri. Adapun hibah dapat dilakukan oleh seorang istri tanpa bantuan suami, demikian pula
hibah antara suami istri tetap dibolehkan.
39
Dari beberapa pengertian, hibah dapat disimpulkan suatu persetujuan dalam mana suatu pihak berdasarkan atas kemurahan hati, perjanjian dalam hidupnya
38
Budiono, Kamus Ilmiah Popular Internasional, Surabaya : Alumni, 2005, hal. 217
39
Sudarsono, Sepuluh Aspek Agama Islam, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994, hal. 343 24
Universitas Sumatera Utara
25
memberikan hak milik atas suatu barang kepada pihak kedua secara percuma dan yang tidak dapat ditarik kembali, sedangkan pihak kedua menerima baik penghibahan
ini. Sedangkan akta hibah dalam hukum positif adalah akta yang dibuat oleh si penghibah yang ditandatangani, diperbuat untuk dipakai sebagai bukti hibah dan
untuk keperluan hibah dibuat. Dasar hukum hibah menurut hukum positif diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, hibah diatur dalam Pasal 1666 yaitu: “Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya,
dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Undang-
undang tidak mengakui lain-lain hibah-hibah diantara orang-orang yang masih hidup.”
Prosedur Proses penghibahan harus melalui akta Notaris yang asli disimpan oleh Notaris bersangkutan dengan Pasal 1682, yaitu:
“Tiada suatu hibah, kecuali yang disebutkan dalam pasal 1687, dapat, atas ancaman batal, dilakukan selainnya dengan suatu akta notaris, yang aslinya disimpan oleh
notaris itu”. Dalam pandangan Hukum Islam Indonesia mempunyai berbagai macam suku,
budaya, dan agama. Indonesia merupakan Negara hukum yang menggunakan dasar hukum Islam dan hukum positif juga hukum adat. Ada juga hukum adat menjadi
acuan dasar hukum, yang paling utama adalah hukum Islam dan hukum positif. Menurut hukum Islam, hibah memiliki berbagai definisi yang berbeda-beda. Hal
tersebut dikarenakan perbedaan pendapat antara orang-orang ahli ilmu agama dan ahli hukum Islam.
Universitas Sumatera Utara
26
Sedangkan kata hibah adalah bentuk masdar dari kata wahaba artinya memberi.
40
Dan jika subyeknya Allah berarti memberi karunia, atau menganugrahi Q.S. Ali Imran, 3:8, Maryam, 19:5, 49, 50, 53. Dalam pengertian istilah, hibah
adalah pemilikan sesuatu benda melalui transaksi Aqad tanpa mengharap imbalan yang telah diketahui dengan jelas ketika pemberi masih hidup.
41
Pengertian hibah dalam Ensiklopedi Hukum Islam adalah pemberian yang dilakukan secara sukarela dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT tanpa
mengharapkan balasan apapun.
42
Di dalam syara’, hibah berarti akad yang pokok persoalan pemberian harta milik seseorang kepada orang lain di waktu dia hidup, tanpa adanya imbalan. Apabila
seseorang memberikan hartanya kepada orang lain untuk dimanfaatkan tetapi tidak diberikan kepadanya hak pemilikan, maka hal itu disebut i’aarah pinjaman.
43
Kompilasi Hukum Islam KHI Pasal 171 huruf g, hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang
masih hidup untuk dimiliki.
44
Terdapat beberapa definisi hibah yang dikemukakan oleh para ulama : 1.
Abd al-Rahman al-Jaziri dalam Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah.
45
menghimpun empat definisi hibah dari empat mazhab, yaitu menurut mazhab
40
A. W. Munawir, Kamus Al-Munawir, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997, hal. 1584.
41
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998, hal. 466
42
Abdul Aziz Dahlan, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Van Hoeve, 1996, hal. 540
43
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 14 Terjemah, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 1997, hal. 167
44
Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Fokusmedia, 2007, hal. 56.
45
Abd al-Rahman al-Jaziri dalam Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Beirut: Dar al- Fikr,t.th, Juz 3, hal. 289-292.
Universitas Sumatera Utara
27
Hanafi, hibah adalah memberikan sesuatu benda dengan tanpa menjanjikan imbalan seketika, sedangkan menurut mazhab Maliki yaitu memberikan milik
sesuatu zat dengan tanpa imbalan kepada orang yang diberi, dan juga bisa disebut hadiah. Mazhab Syafi’i dengan singkat menyatakan bahwa hibah menurut
pengertian umum adalah memberikan milik secara sadar sewaktu hidup. 2.
Definisi yang lebih rinci dan komprehensif dikemukakan ulama mazhab Hambali. Ulama mazhab Hambali mendefinisikannya sebagai pemilikan harta
dari seseorang kepada orang lain yang mengakibatkan orang yang diberi boleh melakukan tindakan hukum terhadap harta tersebut, baik harta itu tertentu
maupun tidak, bendanya ada dan bisa diserahkan.
46
3. Menurut Teungku Muhammad Hasbie Ash-Shiddieqy hibah ialah mengalih hak
milik kepada
orang lain secara Cuma-Cuma tanpa adanya bayaran.
47
4. Menurut As Shan’ani dalam kitab Subulussalam yang diterjemahkan oleh Abu Bakar
Muhammad mengatakan bahwa hibah adalah pemilikan harta dengan akad tanpa mengharapkan pengganti tertentu pada masa hidup.
48
5. Definisi dari Syekh Muhammad ibn Qasim al-Ghazzi,
49
hibah adalah memberikan sesuatu yang dilestarikan dan dimutlakkan dalam hubungannya dengan keadaan ketika
masih hidup tanpa ada ganti, meskipun dari jenjang atas. 6.
Menurut M.
Ali Hasan hibah adalah pemberian atau hadiah yaitu suatu pemberian
46
Ibid.
47
Teungku Muhammad Hasbie Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001, hal. 98.
48
Abu Bakar Muhammad, Subulussalam Terjemah, Surabaya: Al-Ikhlas, 1995, hal. 319
49
Syekh Muhammad ibn Qasim al-Ghazzi, Fath al-Qarib al-Mujib, Semarang: Pustaka Alawiyah, t.th, hal. 39
Universitas Sumatera Utara
28
atau hadiah, yaitu suatu pemberian yang dilakukan secara sukarela dalam mendekatkan diri kepada Allah tanpa mengharapkan balasan apa pun.
50
7. Senada dengan Drs. Hamid Farihi, M.A., juga berpendapat bahwa hibah
didefinisikan sebagai akad yang dilakukan dengan maksud memindahkan milik seseorang kepada orang lain ketika masih hidup dan tanpa imbalan.
51
Dalam Al-Qur’an, penggunaan kata hibah digunakan dalam konteks pemberian
anugerah Allah
SWT kepada
utusan-utusan-Nya, doa-doa
yang dipanjatkan oleh hamba-hamba-Nya, terutama para nabi, dan menjelaskan sifat Allah
Yang Maha Memberi Karunia. Namun ayat ini dapat digunakan petunjuk dan anjuran secara umum, agar seseorang memberikan sebagian rezekinya kepada orang lain.
Misalnya, QS. Al-Baqarah ayat 262, dimana terjemahannya:
52
Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah,Kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut
pemberiannya dan dengan tidak menyakiti perasaan si penerima, mereka memperoleh pahala disisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Q.S Al- Baqarah : 262
53
Firman Allah juga: Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang Telah kami berikan kepadamu
sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: Ya Rabb-ku, Mengapa Engkau tidak menangguhkan kematianku
sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan Aku dapat bersedekah dan Aku termasuk orang-orang yang saleh?Al- Munafiqun: 10
54
50
M. Ali Hasan, Berbagai macam transaksi dalam Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, hal. 76.
51
Chuzaimah dan Hafizn Anshary AZ. Editor, Problematika Hukum Islam kontemporer III, Jakarta: Pustaka firdaus, 2004, hal. 105
52
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grasindo Persada,1995, hal. 467
53
Yayasan Penyelenggara PenterjemahPentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemah, Jakarta, 1971, hal. 66
54
Ibid., hal. 938.
Universitas Sumatera Utara
29
Jumhur fuqaha berpegang bahwa ijma’ kesepakatan telah terjadi tentang bolehnya seseorang dalam keadaan sehatnya memberikan seluruh hartanya kepada
orang asing sama sekali di luar anak-anaknya. Jika pemberian seperti ini dapat terjadi untuk orang asing, maka terlebih lagi terhadap anak. Alasan mereka adalah hadits
Abu Bakar yang terkenal, bahwa ia memberi ‘Aisyah pecahan-pecahan seberat 20 wasaq dari harta hutan. Pada saat menjelang wafatnya, Abu Bakar berkata:
“Demi Allah, wahai anakku, tidak seorangpun yang kekayannya lebih menyenangkan aku sesudah aku selain daripada engkau. Dan tidak ada yang
lebih mulia bagiku kefakirannya selain daripada engkau. Sesungguhnya aku dahulu memberimu pecahan emas 20 wasaq. Maka jika engkau memecah-
mecah dan memilikinya, maka itu adalah bagimu. Hanya saja, harta itu sekarang menjadi harta waris.”
55
Mereka berpendapat bahwa maksud hadits tersebut adalah nadb sunnah. Yang jelas al-Qur’an dan hadits banyak sekali menggunakan istilah yang konotasinya
menganjurkan agar manusia yang telah dikarunia rezeki itu mengeluarkan sebagiannya kepada orang lain. Kendati istilah-istilah tersebut memiliki ciri-ciri khas
yang berbeda,
kesamaannya adalah
bahwa manusia
diperintahkan untuk
mengeluarkan sebagian hartanya. Menurut jumhur ulama rukun hibah ada empat:
a. Wahib Pemberi
Wahib adalah pemberi hibah, yang menghibahkan barang miliknya kepada orang lain.
b. Mauhublah Penerima
55
Ibnu Rusyd, Bidayatul-Mujtahid, juz 4 , Semarang: Asy-Syifa’, 1990, hal. 113.
Universitas Sumatera Utara
30
Penerima hibah adalah seluruh manusia dalam arti orang yang menerima hibah. c.
Mauhub Mauhub adalah barang yang di hibahkan.
d. Shighat Ijab dan Qabul
Shighat hibbah adalah segala sesuatu yang dapat dikatakan ijab dan qabul.
56
Sedangkan syarat-syarat hibah. Hibah menghendaki adanya penghibah, orang yang diberi hibah, dan sesuatu yang dihibahkan.
1. Syarat-syarat penghibah
Disyaratkan bagi penghibah syarat-syarat sebagai berikut: a. Penghibah memiliki sesuatu untuk dihibahkan
b. Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya karena suatu alasan. c. Penghibah itu orang dewasa, sebab anak-anak kurang kemampuannya.
d. Penghibah itu tidak dipaksa, sebab hibah itu akad yang mempersyaratkan keridhaan dalam keabsahannya.
2. Syarat-syarat bagi orang yang diberi hibah Orang yang diberi hibah disyaratkan benar-benar ada waktu diberi hibah. Bila
tidak benar-benar ada, atau diperkirakan adanya, misalnya dalam bentuk janin, maka hibah tidak sah. Apabila orang yang diberi hibah itu ada
di waktu pemberian hibah, akan tetapi dia masih atau gila, maka hibah itu diambil oleh
56
Muhamad Salim,
Hibah, Hukum
Dan Syaratnya,
Melalui http:serbamakalah.blogspot.com201305hibah-hukum-dan-syaratnya.html, Diakses tanggal 27 Juni
2014.
Universitas Sumatera Utara
31
walinya, pemeliharaannya atau orang mendidiknya sekalipun dia orang asing. 3. Syarat-syarat bagi yang dihibahkan
Disyaratkan bagi yang dihibahkan: a. Benar-benar ada
b. Harta yang bernilai c. Dapat dimiliki zatnya, yakni bahwa yang dihibahkan itu adalah apa yang bisa
dimiliki, diterima peredarannya, dan pemilikannya dapat berpindah tangan. Maka tidak sah menghibahkan air di sungai, ikan di laut, burung di udara,
masjid-masjid atau pesantren-pesantren. d. Tidak berhubungan dengan tempat pemilik hibah, seperti menghibahkan
tanaman, pohon, atau bangunan tanpa tanahnya. e. Dikhususkan, yakni yang dihibahkan itu bukan untuk umum, sebab
pemegangan dengan
tangan itu
tidak sah
kecuali bila
ditentukaan dikhususkan seperti halnya jaminan.
57
Terdapat dua hal yang hendak dicapai oleh hibah yakni, Pertama, dengan beri memberi akan menimbulkan suasana akrab dan kasih sayang antara sesama manusia.
Sedangkan mempererat hubungan silaturrahmi itu termasuk ajaran dasar agama Islam. Kedua, yang dituju oleh anjuran hibah adalah terbentuknya kerjasama dalam
berbuat baik, baik dalam menanggulangi kesulitan saudaranya, maupun dalam
57
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 14, Terj: Mudzakir, Bandung: PT Al Ma’arif, 1987, hal. 178.
Universitas Sumatera Utara
32
membangun lembaga-lembaga sosial.
58
B. Syarat-Syarat Akta Hibah Dalam Proses Melakukan Hibah Menurut Hukum Perdata
Hibah barulah mengikat dan mempunyai akibat hukum bila pada hari penghibahan itu dengan kata-kata yang tegas telah dinyatakan diterima oleh penerima
hibah, atau dengan suatu akta otentik telah diberi kuasa pada orang lain. Pada Pasal 1683 KUH Perdata menyebutkan :
”Tiada suatu hibah mengikat si penghibah, atau menerbitkan sesuatu akibat yang bagaimanapun, selain mulai hari penghibahan itu dengan kata-kata yang tegas telah
diterima oleh si penerima hibah sendiri atau oleh seorang yang dengan suatu akta autentik oleh si penerima hibah itu telah dikuasakan untuk menerima penghibahan-
penghibahan yang telah diberikan kepada si penerima hibah atau akan diberikan kepadanya di kemudian hari.
Jika penerimaan tersebut tidak telah dilakukan didalam surat hibah sendiri, maka itu akan dapat dilakukan didalam suatu akta autentik kemudian, yang aslinya
harus disimpan, asal yang demikian itu dilakukan di waktu si penghibah masih hidup; dalam hal mana penghibahan, terhadap orang yang belakangan disebut ini, hanya
akan berlaku sejak hari penerimaan itu diberitahukan kepadanya.” Guna mendapatkan suatu keputusan akhir perlu adanya bahan-bahan
mengenai fakta-fakta. Dengan adanya bahan yang mengenai fakta-fakta itu akan dapat diketahui dan diambil kesimpulan tentang adanya bukti. Kita mengetahui
58
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Konteporer, Jakarta: Kencana, 2004, hal. 471-472
Universitas Sumatera Utara
33
bahwa dalam setiap ilmu pengetahuan dikenal tentang adanya pembuktian. Dalam hal ini ada beberapa alat dalam perkara perdata yang bisa digunakan
sebagai bukti, antara lain : a.
Bukti dengan surat b.
Bukti dengan saksi c.
Persangkaan-persangkaan d.
Sumpah Dari beberapa macam alat bukti di atas, sesuai dengan permasalahan akan
meneliti tentang alat bukti tertulis atau surat. Alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi
hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Surat sebagai alat pembuktian tertulis dapat dibedakan dalam akta dan
surat bukan akta, sedangkan pengertian akta adalah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau
perikatan, yang dibuat seja
k semula dengan sengaja untuk membuktikan.
59
Dan dalam hal akta masuk dalam kategori alat bukti dengan surat dalam HIR Pasal 165 disebutkan bahwa: “Surat akta yang sah, ialah suatu surat yang diperbuat demikian oleh
atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa untuk membuatnya, menjadi bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak dari
padanya, tentang segala hal yang disebut didalam surat itu dan juga tentang yang ada dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja, dalam hal terakhir ini hanya jika yang diberitahukan itu
berhubungan langsung dengan perihal pada surat akta itu.
Kemudian akta masih dapat dibedakan lagi dalam akta autentik, akta di bawah tangan dan surat bukan akta. Jadi dalam hukum pembuktian dikenal paling tidak tiga
59
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2006, hal. 149
Universitas Sumatera Utara
34
jenis surat, yaitu: 1.
Akta autentik Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1868 pengertian akta
autentik adalah: “Suatu akta autentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum
yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.” Berdasarkan Pasal 1868 KUH Perdata dapat disimpulkan unsur akta autentik
yakni: a.
Bahwa akta tersebut dibuat dan diresmikan Verleden dalam bentuk menurut hukum;
b. Bahwa akta tersebut dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum;
c. Bahwa akta tersebut dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk
membuatnya di tempat akta tersebut dibuat, jadi akta itu harus ditempat wewenang pejabat yang membuatnya.
Pasal 1869 KUH Perdata: “Suatu akta yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai dimaksud di atas, atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak
dapat diperlakukan sebagai akta autentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan jika ia ditanda tangani oleh para pihak.”
Dapat disimpulkan bahwa akta otentik adalah surat yang dibuat oleh atau dihadapan seseorang pejabat umum yang mempunyai wewenang membuat surat itu,
dengan maksud untuk menjadikan surat itu sebagai alat bukti. Pejabat umum yang dimaksud adalah Notaris, pegawai catatan sipil, juru sita, panitera pengadilan dan
Universitas Sumatera Utara
35
sebagainya. 2.
Akta di bawah tangan Akta dibawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh
para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat.
60
Ada ketentuan khusus mengenai akta di bawah tangan, yaitu akta di bawah tangan yang memuat hutang sepihak, untuk
membayar sejumlah uang tunai atau menyerahkan suatu benda, harus ditulis seluruhnya dengan tangan sendiri oleh yang bertanda tangan, suatu keterangan untuk
menguatkan jumlah atau besarnya atau banyaknya apa yang harus dipenuhi, dengan huruf seluruhnya.
Keterangan ini lebih terkenal dengan “bon pour cent florins”. Bila tidak demikian, maka akta di bawah tangan itu hanya dapat diterima sebagai permulaan
bukti tertulis Ps. 4 S 1867 No. 29, 1871 BW, 291 Rbg. Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada Pasal 1874 yang dalam ayat satu
mengatakan: “Sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan dianggap akta-akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat urusan
rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai umum.”
Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1878 KUH Perdata terdapat kekhususan akta dibawah tangan, yaitu akta harus seluruhnya ditulis tangan si penanda tangan
sendiri, atau setidak-tidaknya, selain tanda tangan, yang harus ditulis dengan
60
Ibid., hal. 105.
Universitas Sumatera Utara
36
tangannya si penanda tangan adalah suatu penyebutan yang memuat jumlah atau besarnya barang atau uang yang terhutang. Apabila ketentuannya tidak dipenuhi,
maka akta tersebut hanya sebagai suatu permulaan pembuktian dengan tulisan.
61
3. Surat bukan akta
Untuk kekuatan pembuktian dari surat yang bukan akta di dalam HIR maupun KUH Perdata tidak ditentukan secara tegas. Walaupun surat-surat yang bukan akta ini
sengaja dibuat oleh yang bersangkutan, tapi pada asasnya tidak dimaksudkan sebagai alat pembuktian di kemudian hari. Oleh karena itu surat-surat yang demikian itu dapat
dianggap sebagai petunjuk ke arah pembuktian. Yang dimaksudkan sebagai petunjuk ke arah pembuktian disini adalah bahwa
surat-surat itu dapat dipakai sebagai bukti
tambahan ataupun
dapat pula dikesampingkan dan bahkan sama sekali tidak dapat dipercaya.
Jadi dengan demikian surat bukan akta untuk supaya dapat mempunyai kekuatan pembuktian, sepenuhnya bergantung pada penilaian hakim sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 1881 2 KUH Perdata. Pasal 1881 ayat satu KUH Perdata menentukan sebagai berikut:
“Register-register dan surat-surat urusan rumah tangga tidak memberikan pembuktian untuk keuntungan si pembuatnya; adalah register-register dan
surat-surat itu merupakan pembuktian terhadap si pembuatnya: 1e. di dalam segala hal di mana surat-surat itu menyebutkan dengan tegas
tentang suatu pembayaran yang telah diterima; 2e. apabila surat-surat itu dengan tegas menyebutkan bahwa catatan yang
telah dibuat adalah untuk memperbaiki suatu kekurangan di dalam
61
Teguh Samudera, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Jakarta:Alumni, 1992, hal. 45.
Universitas Sumatera Utara
37
sesuatu alasan hak bagi seorang untuk keuntungan siapa surat itu menyebutkan suatu perikatan.
Pasal 1883 ayat satu KUH Perdata menentukan sebagai berikut : “Catatan yang oleh seorang berpiutang dibubuhkan pada suatu alas hak yang selamanya
dipegangnya, harus dipercayai, biarpun tidak ditandatangani maupun diberikan tanggal, jika apa yang ditulis itu merupakan suatu pembebasan terhadap si berutang.”
Maka dari itu dapat penulis simpulkan bahwa walaupun surat-surat yang bukan akta merupakan alat pembuktian yang bebas nilai kekuatan buktinya
sebagaimana telah diuraikan diatas, tetapi ada juga surat-surat yang bukan akta yang mempunyai kekuatan bukti yang lengkap, antara lain surat-surat yang ditentukan
dalam Pasal 1881 dan Pasal 1883 KUH Perdata. Sedangkan akta hibah menurut hukum positif dalam hukum perdata alat bukti
tertulis atau surat tercantum dalam Pasal 138,165,167 HIRPasal 164, 285-305 R.bg dan Pasal 1867-1894 BW serta Pasal 138-147 RV. Pada asasnya di dalam persoalan
perdata hibah, alat bukti yang berbentuk tulisan itu merupakan alat bukti yang diutamakan atau merupakan alat bukti yang nomor satu jika dibandingkan dengan
alat-alat bukti lainnya.
62
Dengan demikian, Alat bukti surat merupakan alat bukti pertama dan utama. Dikatakan pertama oleh karena alat bukti surat gradasinya disebut pertama
dibandingkan dengan alat bukti lainnya sedangkan dikatakan utama oleh karena dalam hukum perdata hibah yang dicari adalah kebenaran formal. Maka alat bukti
62
Ibid., hal. 36.
Universitas Sumatera Utara
38
surat memang sengaja dibuat untuk dapat dipergunakan sebagai alat pembuktian utama.
Di dalam hukum, akta mempunyai bermacam-macam fungsi. Fungsi akta termaksud dapat berupa, antara lain:
a. Syarat untuk menyatakan adanya suatu perbuatan hukum. Suatu akta yang dimaksudkan dengan mempunyai fungsi sebagai syarat untuk menyatakan adanya
suatu perbuatan hukum adalah bahwa dengan tidak adanya atau tidak dibuatnya akta, maka berarti perbuatan hukum itu tidak terjadi. Dalam hal ini diambilkan
contoh sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1681, 1682, 1683 tentang cara menghibahkan, 1945 KUH Perdata tentang sumpah di muka hakim untuk akta
autentik; sedangkan untuk akta di bawah tangan seperti halnya dalam Pasal 1610 tentang pemborongan kerja, Pasal 1767 tentang peminjaman uang dengan
bunga, Pasal 1851
KUH Perdata tentang perdamaian. Jadi, akta disini maksudnya digunakan untuk lengkapnya suatu perbuatan hukum.
b. Sebagai alat pembuktian Fungsi suatu akta sebagai alat pembuktian dimaksudkan bahwa dengan tidak adanya atau
tidak dibuatnya akta, maka berarti perbuatan hukum tersebut tidak dapat terbukti adanya.
Dalam hal ini dapat diambilkan contoh dalam pasal 1681, 1682, 1683 tentang cara menghibahkan. Jadi disini akta memang dibuat untuk alat pembuktian di
kemudian hari.
63
Dari definisi yang telah diketengahkan dimuka jelas bahwa akta itu dibuat sejak
63
Ibid, hal. 46-47
Universitas Sumatera Utara
39
semula dengan sengaja untuk pembuktian dikemudian hari. Sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta itu tidak membuat sahnya perjanjian tetapi hanyalah
agar dapat digunakan sebagai alat bukti di kemudian hari.
64
Seperti telah disinggung di atas bahwa fungsi akta yang paling penting di dalam hukum adalah akta sebagai alat pembuktian, maka “daya pembuktian atau
kekuatan pembuktian akta akan dapat dibedakan ke dalam tiga macam”
65
yaitu: a. Kekuatan Pembuktian Lahir pihak ketiga.
Yang dimaksud dengan kekuatan pembuktian lahir ialah kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keadaan lahir, apa yang tampak pada lahirnya: yaitu bahwa
surat yang tampaknya dari lahir seperti akta, dianggap mempunyai kekuatan seperti akta sepanjang tidak terbukti sebaliknya.
66
Jadi surat itu harus diperlakukan seperti akta, kecuali ketidakotentikan akta itu dapat dibuktikan oleh
pihak lain. Misalnya dapat dibuktikan bahwa tanda tangan yang di dalam akta dipalsukan.
Dengan demikian berarti pembuktiannya bersumber pada kenyataan.
67
b. Kekuatan Pembuktian Formil Kekuatan pembuktian formil ini didasarkan atas benar tidaknya ada pertanyaan
oleh yang bertanda tangan di bawah akta itu. Kekuatan pembuktian ini memberi kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak menyatakan dan
64
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hal. 160.
65
A Pitlo, Pembuktian dan Daluwarsa, Jakarta: PT Intermasa,1978, hal. 56-57.
66
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hal. 160
67
Teguh Samudera, Op. Cit, hal. 48
Universitas Sumatera Utara
40
melakukan apa yang dimuat dalam akta. Misalnya antara A dan B yang melakukan hibah, mengakui bahwa tanda tangan
yang tertera dalam akta itu benar jadi pengakuan mengenai isi dari pernyataan itu. Atau dalam hal ini menyangkut pertanyaan, “benarkah bahwa ada pernyataan para
pihak yang
menandatangani“? Dengan
demikian berarti
pembuktiannya bersumber atas kebiasaan dalam masyarakat, bahwa orang menandatangani suatu
surat itu untuk menerangkan bahwa hal-hal yang tercantum di atas tanda tangan tersebut adalah keterangannya.
68
c. Kekuatan Pembuktian Material Kekuatan pembuktian
material yaitu suatu kekuatan pembuktian yang didasarkan atas benar atau tidaknya isi dari pernyataan yang ditandatangani dalam akta, bahwa peristiwa
hukum yang dinyatakan dalam akta itu benar-benar telah terjadi. Jadi memberi kepastian tentang materi akta. Misalnya A dan B mengakui bahwa benar hibah peristiwa hukum
itu telah terjadi. Dengan demikian ber
arti pembuktiannya bersumber pada keinginan agar orang lain menganggap isi keterangannya dan untuk siapa isi keterangan itu berlaku, sebagai
benar dan bertujuan untuk mengadakan bukti buat dirinya sendiri. Maka dari sudut kekuatan pembuktian material, suatu akta hanya memberikan bukti terhadap
si penanda tangan. Seperti halnya surat yang berlaku timbal balik juga membuktikan terhadap dirinya sendiri dari masing-masing si penanda tangan.
Di dalam Pasal 165 HIR Pasal 1870 dan 1871 KUH Perdata dikemukakan
68
Ibid., hal. 48.
Universitas Sumatera Utara
41
bahwa akta autentik itu sebagai alat pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang apa
yang dimuat dalam akta tersebut.
69
Akta otentik yang merupakan bukti yang lengkap mengikat berarti kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta tersebut harus diakui oleh hakim,
yaitu akta tersebut dianggap sebagai benar, selama kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya.
a. Kekuatan pembuktian lahir akta otentik Kekuatan pembuktian lahir dari akta, yaitu bahwa suatu surat yang kelihatannya
seperti akta autentik, diterimadianggap seperti akta dan diperlakukan sebagai akta otentik terhadap setiap orang sepanjang tidak terbukti sebaliknya.
b. Kekuatan pembuktian formal akta otentik Kekuatan
pembuktian lahir
dari akta,
yaitu bahwa
biasanya orang
menandatangani suatu
surat itu untuk menerangkan bahwa hal-hal yang tersebut di atas tanda tangannya adalah benar keterangannya.
Karena bukan menjadi tugas pegawai umum notaris untuk menyelidiki kebenaran dari keterangan para penghadap yang dituliskan dalam akta. Maka dalam akta otentik y
ang berupa akta para piha
k, apabila tanda tangan para penanda tangan telah diakui kebenarannya, berarti bahwa hal-hal yang tertulis dan telah diterangkan di atas tanda
tangan para pihak adalah membuktikan terhadap setiap orang. Dan juga dalam akta otentik ya
ng berupa akta berita acara, bahwa keterangan pegawai umum notaris
69
Ibid., hal. 49.
Universitas Sumatera Utara
42
itu adalah satu-satunya keterangan yang diberikan dan ditandatanganinya. Jadi dalam hal ini yang telah pasti adalah tentang tanggal dan tempat akta dibuat serta
keaslian tanda tangan, yang berlaku terhadap setiap orang. Dengan demikian maka kedua akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian formal.
c. Kekuatan pembuktian material akta autentik Kekuatan pembuktian material dari akta, yaitu keinginan agar orang lain
menganggap bahwa apa yang menjadi isi keterangan dan untuk siapa isi akta itu berlaku sebagai benar dan bertujuan untuk mengadakan bukti buat dirinya sendiri.
Dengan kata lain, keinginan agar orang lain menganggap bahwa peristiwa hukum yang dinyatakan dalam akta adalah benar telah terjadi. Maka dalam akta otentik
yang berupa akta para pihak, isi keterangan yang tercantum dalam akta hanya berlaku benar terhadap orang yang memberikan keterangan itu dan untuk
keuntungan orang, untuk kepentingan siapa akta itu diberikan. Sedangkan terhadap pihak lain keterangan tersebut merupakan daya pembuktian bebas dalam
arti kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim. Sedangkan untuk akta autentik yang berupa akta berita acara, karena akta tersebut berisikan
keterangan yang diberikan dengan pasti oleh pegawai umum saja berdasarkan apa-apa yang terjadi, dilihat, dan didengar, dianggap benar isi keterangan
tersebut, maka berarti berlaku terhadap setiap orang. Dengan demikian maka akta ini mempunyai kekuatan pembuktian material.
Menurut ketentuan Pasal 1875 KUH Perdata, jika akta di bawah tangan tanda tangannya diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, maka akta
Universitas Sumatera Utara
43
tersebut dapat merupakan alat pembuktian yang lengkap seperti kekuatan pembuktian dalam akta autentik terhadap orang-orang yang menandatangani serta
para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak darinya. Tentang pengakuan tanda tangan apabila dikemukakan di muka hakim,
menurut Wirjono Prodjodikoro pengakuan itu berbunyi: “ tanda tangan ini betul tanda tangan saya dan isi tulisan adalah benar”
a. Kekuatan pembuktian lahir akta di bawah tangan Menurut Pasal 1876 KUH Perdata seseorang yang terhadapnya dimajukan akta di
bawah tangan, diwajibkan mengakui atau memungkiri tanda tangannya. Sedangkan terhadap ahli waris cukup dengan menerangkan bahwa ia tidak
mengakui tulisan atau tanda tangan tersebut. Apabila tanda tangan tersebut diingkari atau tidak diakui oleh ahli warisnya, maka menurut Pasal 1877 KUH
Perdata hakim harus memerintahkan agar kebenaran akta tersebut diperiksa di muka pengadilan. Sebaliknya apabila tanda tangan itu hendak dipakai maka akta
tersebut dapat mempunyai alat pembuktian yang lengkap terhadap para pihak yang bersangkutan, akan tetapi terhadap pihak lain, kekuatan pembuktiannya
adalah bebas, dalam arti bergantung kepada penilaian hakim. Dengan adanya pengakuan terhadap tanda tangan berarti bahwa keterangan akta
yang tercantum di atas tanda tangan tersebut diakui pula. Hal ini dapat kita mengerti, karena biasanya seseorang yang menandatangani sesuatu surat itu untuk
menjelaskan bahwa keterangan yang tercantum di atas tanda tangan adalah benar keterangannya.
Universitas Sumatera Utara
44
Karena ada kemungkinan bahwa tanda dalam akta di bawah tangan tidak diakui atau diingkari, maka akta di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan bukti lahir.
b. Kekuatan pembuktian formal akta di bawah tangan Seperti yang telah diterangkan pada kekuatan pembuktian luar akta di bawah
tangan, yaitu apabila tanda tangan pada akta diakui berarti bahwa pernyataan yang tercantum di atas tanda tangan tersebut diakui pula, maka di sini telah pasti
terhadap setiap orang bahwa pernyataan yang ada di atas tanda tangan itu adalah pernyataan si penanda tangan.
Jadi akta di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian formal. c. Kekuatan pembuktian material akta di bawah tangan
Disini juga menyangkut ketentuan Pasal 1875 KUH Perdata yang telah dikemukakan di atas dan secara singkat dapat dikatakan bahwa diakuinya tanda
tangan pada akta di bawah tangan berarti akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian lengkap. Jadi berarti bahwa isi keterangan akta tersebut berlaku pula
sebagai benar terhadap si pembuat dan untuk siapa pernyataan itu dibuat. Dengan demikian akta di bawah tangan hanya memberikan pembuktian material yang
cukup terhadap orang untuk siapa pernyataan itu diberikan kepada siapa si penanda tangan akta hendak memberikan bukti. Sedangkan terhadap pihak
lainnya kekuatan pembuktiannya adalah bergantung kepada penilaian hakim bukti bebas.
Fungsi dari akta hibah adalah sebagai syarat untuk menyatakan adanya suatu perbuatan hukum, sebagai alat pembuktian dan sebagai alat pembuktian satu-satunya.
Universitas Sumatera Utara
45
Suatu akta hibah dapat memenuhi sekaligus lebih dari satu fungsi seperti dikatakan tadi semuanya ada tiga fungsi. Akta di bawah tangan atau akta formalitatis
causa sebagai syarat pokok mempunyai juga daya pembuktian, dan akta hibah yang ditentukan sebagai satu-satunya alat bukti hibah tentu saja mempunyai daya
pembuktian. Dalam perspektif Hukum Islam syarat akta hibah dalam Hukum Islam
dicerminkan dalam rukun dan syarat hibah. Adapun rukun dan syarat hibah, Ibn Rusyd dalam Bidayah al-Mujtahid mengatakan bahwa rukun hibah ada tiga, yaitu:
1. Orang yang menghibahkan al-wahib a. Pemilik sah dari harta benda yang dihibahkan.
b. Dalam keadaan sehat, apabila orang yang menghibahkan dalam keadaan sakit, hibahnya dibatasi 13 saja dari bendanya itu. Riwayat ‘Imran ibn Husain
menjelaskan tindakan Nabi SAW: “Ketika Imran ibn Husain memerdekakan enam orang hamba dalam saat
menjelang kemati
annya, maka
Rasulullah SAW.
Memerintahkan agar
dimerdekakan 13nya, dan menetapkan sebagai hamba yang lainnya”
70
Terhadap hadis ini, memang kontroversial. Mayoritas Ulama menetapkan hadis tersebut sebagai dasar hibah, karena itu jika orang yang menghibahkan dalam
keadaan sakit, maka hibah yang diberikan paling banyak 13 hartanya. Ulama Ahli Zahir
memahami hadis tersebut sebagai dasar hukum wasiat. Karena itu, hibah tidak ada batasan yang tegas. Dalam Kompilasi Hukum
70
Abd. Rasyid As’ad, Op.Cit. hal. 112.
Universitas Sumatera Utara
46
Islam, dijelaskan Pasal 210 ayat 1 berbunyi sebagai berikut: “Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan
tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 13 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk
memiliki”. Lebih jauh dikemu
kakan dalam Pasal 213 KHI bahwa: “Hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematian, maka harus
mendapat persetujuan dari ahli warisnya”. Pembatasan yang dilakukan Kompilasi Hukum Islam, baik dari usia maupun 13 dari
harta pemberi hibah, berdasar pertimbangan bahwa usia 21 tahun telah dianggap cakap untuk memiliki hak untuk menghibahkan benda miliknya itu. Demikian juga
batasan 13 harta kecuali jika ahli warisnya menyetujui.
71
c. Memiliki kebebasan untuk menghibahkan bendanya itu.
2 Orang yang menerima hibah 3 Benda yang dihibahka
n, harus milik si penghibah. Apabila milik orang lain maka tidak sah hukumnya.
Adapun syarat-syarat hibah, selain yang mengikuti rukun-rukun hibah tersebut, para ulama menyebutkan syarat utama adalah penerimaannya yaitu dengan cara memberi hibah
ada dua macam: ucapan dan perbuatan. Ucapan meliputi ijab dan qabul sedangkan perbuata
n dengan memberikan sesuatu yang menunjukkan makna hibah.
Sedangkan pembuktian
dalam hal
hibah, dijelaskan
menurut Sobhi
Mahmasoni, yang
dimaksud dengan
membuktikan suatu
perkara adalah:
“Mengajukan alasan dan memberikan dalil sampai kepada batas yang meyakinkan”. Yang dimaksud meyakinkan ialah apa yang menjadi ketetapan atau keputusan atas
71
Ibid, hal. 471.
Universitas Sumatera Utara
47
dasar penelitian dan dalil-dalil itu.
72
Jadi akta hibah dalam hukum Islam tidak menjelaskan secara tekstual tentang akta hibah. akan tetapi rukun dan syarat sudah dijelaskan secara eksplisit.
C. Keabsahan Atas Hibah Yang Ditandatangani Oleh Penghibah Dalam Keadaan Sakit
Suatu hal yang sering terjadi di tengah masyarakat adalah seseorang melakukan
perbuatan hukum
tatkala orang
tersebut dalam
keadaan sakit.
Pertimbangan yang diberikan pada keadaan ini adalah seseorang sakit dan merasa dekat dengan kematian sehingga orang tersebut berpesan beberapa hal yang harus
dilakukan keluarga yang ditinggalkannya. Salah satu hal yang sering dilakukan seseorang dalam keadaan sakit adalah selain memberi wasiat juga menghibahkan
sebagian hartanya kepada seseorang atau kepada suatu badan hukum. Perbuatan seseorang berupa menghibahkan sejumlah harta kepada suatu objek
hukum tentunya tidak merupakan suatu permasalahan hukum tatkala si penghibah melakukannya dalam keadaan sehat walafiat, tetapi sebaliknya apabila dalam keadaan
sakit tentulah memiliki identifikasi masalah tersendiri tentang layak atau tidaknya perbuatan orang, cakap atau tidaknya orang tersebut berbuat hukum.
Sakit adalah sebagai suatu keadaan yang tidak menyenangkan yang menimpa seseorang sehingga seseorang menimbulkan gangguan aktivitas sehari-hari baik itu
dalam aktivitas jasmani, rohani dan sosial. Sakit juga sebagai suatu keadaan dari badan
atau sebagian
dari organ
badan dimana fungsinya terganggu
atau
72
Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif,
Universitas Sumatera Utara
48
menyimpang
73
Dengan sakitnya seseorang maka dibutuhkan pengobatan sehingga kondisi dari kesehatannya dapat dikembalikan.
Sakit menjelaskan adanya suatu gangguan kesehatan yang menyebabkan aktivitas kerja kegiatan terganggu. Adapun ciri-ciri sakit antara lain: suhu abnormal
yaitu di atas 38°C, tubuhnya lemas, lunglai, letih, dan tidak semangat dalam melakukan segala aktifitas, wajahnya pucat dan tubuh terasa nyeri, adanya gangguan
fisik, psikis, maupun sosial, dan selalu berfikir bahwa dirinya sakit.
74
Sakit memberikan suatu kaitannya dengan tingkat kesadaran seseorang. Oleh sebab itu timbul permasalahan hukum dalam kaitannya dengan peristiwa hukum
dimana seseorang yang sakit melakukan tindakan hukum seperti penghibahan. Maka pada kapasitas ini hal yang mutlak harus diketahui adalah tingkat kesadaran yang
dimiliki seseorang yang sedang sakit akan diketahui dengan adanya diagnosis dokter. Oleh sebab itu ketika suatu pertanyaan muncul tentang tingkat kesadaran seseorang
yang sakit, maka akan diketahui dari jawabannya dokter.
75
Berdasarkan kondisi sakit ini terjadi peristiwa penghibahan. Hal ini disebabkan dengan adanya tanda sakit maka si penghibah menganggap bahwa
sakitnya tersebut adalah sakit yang dapat berakibat kepada kematiannya sehingga ia perlu melakukan hal-hal yang menurut pendapatnya adalah sesuatu perbuatan baik
Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2004, hal. 26
73
Hasil Wawancara Dengan dr. Yan Sitanggang, Sp.An, Rumah Sakit Sari Mutiara Medan Tanggal 3 Maret 2014.
74
Hasil Wawancara Dengan dr. Yan Sitanggang, Sp.An, Rumah Sakit Sari Mutiara Medan Tanggal 3 Maret 2014.
75
Hasil Wawancara Dengan dr. Yan Sitanggang, Sp.An, Rumah Sakit Sari Mutiara Medan Tanggal 4 Maret 2014.
Universitas Sumatera Utara
49
seperti memberikan hibah kepada seseorang, baik itu dari kalangan keluarganya atau dari kalangan pihak lain. Keadaan pemberian hibah yang dilakukan penghibah dalam
keadaan sakit adalah merupakan cerminan bahwa perbuatan hibah tersebut merupakan permintaan terakhir penghibah.
Untuk melihat layak tidaknya perbuatan hukum seseorang dalam keadaan sakit maka dalam ilmu kedokteran dilihat terlebih dahulu tingkat kesadarannya.
Menurut hasil wawancara yang dilakukan maka tingkat kesadaran seseorang yang dalam keadaan sakit dapat dibagi dalam:
1. Komposmentis. Sadar
sepenuhnya, baik
terhadap dirinya
maupun lingkungannya. Pasien dapat menjawab pertanyaan pemeriksa dengan baik.
2. Apatis. Pasien tampak segan dan acuh tak acuh terhadap lingkungannya. 3. Delirium. Penurunan kesadaran disertai kekacauan motorik dan siklus tidur-
bangun yang terganggu. Pasien tampak gaduh, gelisah, kacau, disorientasi, dan meronta-ronta
4. Somnolen letargi
e. Keadaan mengantuk yang masih dapat pulih bila dirangsang, tapi bila rangsang berhenti, pasien akan tertidur kembali.
5. Sopor Stupor. Keadaan mengantuk yang dalam. Bisa dibangunkan dengan rangsang kuat rangsang nyeri, tapi pasien tidak bangun sempurna dan tidak dapat
memberikan jawabab verbal dengan baik. 6. Semi Koma. Penurunan kesadaran yang tidak memberikan respon terhadap rangsang
verbal, dan tidak dapat dibangunkan sama sekali, tapi reflex kornea, pupil masih baik. Respon nyeri tidak adekuat.
7. Koma. Penurunan kesadaran yang sangat dalam, tidak ada gerakan spontan dan tidak ada respo
n terhadap rangsang nyeri.
76
Berdasarkan ciri ke
sadaran pasien sebagaimana hasil wawancara di atas maka dapat level pasien atau seseorang yang dapat dikatakan masih dapat dikatakan memiliki kesadaran
ada pada point 1 dan 2. Sedangkan point 3 sampai dengan 7 tidak memiliki kesadaran. Deng
an sebab tersebut maka seseorang yang dalam keadaan sakit tetapi melakukan
76
Hasil Wawancara Dengan dr. Yan Sitanggang, Sp.An, Rumah Sakit Sari Mutiara Medan Tanggal 5 Maret 2014
Universitas Sumatera Utara
50
perbuatan hukum membuat hibah maka kondisi pasien dalam tingkat kesadaran komposmentis atau apatis. Sedangkan kondisi pasien dalam point 3 sampai point 7
menjelaskan kondisi ketidaksadaran pasien sehingga tidak dapat dan layak dalam berbuat hukum.
77
Suatu hal yang dapat dipahami dalam aktivitas pelayanan kesehatan seperti di rumah sakit atau hasil kunjungan pasien di praktek dokter maupun kunjungan dokter
ke rumah pasien, pemeriksaan laboratorium dan tindakan yang intensive merujuk keadaan pasien kehari-hari mendatang keadaan pasien akan memburuk karena
penyakitnya, biasanya dokter menerangkan keadaan kedepan perkembangan kearah menurunnya keadaan pasien kepada keluarga pasien yang dianggap mampu
menerima keadaan panyakit yang dialami pasien, orangtuapasien yang dekat dengan kematiannya tentu mendapat firasat mengenai kesembuhan penyakitnya dan
mengingat anak-anaknya yang lemah dan sebelum kematiannya akan terpikir untuk menolong hidupnya dengan memberikan hibah. Pasien yang menghibahkan sebagian
harta miliknya kepada seseorang atau suatu badan hukum dilakukan oleh pasien dalam tingkat kesadaran yang baik meskipun berada dalam keadaan sakit. Hibah
tersebut secara jelas diterangkan untuk siapa, harta yang mana dan juga besaran jumlahnya. Kondisi dari pasien yang demikian tentunya harus ditopang oleh tingkat
kesadaran yang baik dan tidak mungkin dilakukan oleh pasien yang mengalami
77
Hasil Wawancara Dengan dr. Yan Sitanggang, Sp.An, Rumah Sakit Sari Mutiara Medan Tanggal 6 Maret 2014.
Universitas Sumatera Utara
51
gangguan kesadaran.
78
Hal ini juga dibenarkan oleh salah seorang notaris dimana wawancara dilakukan.
Menurut Notaris
Muktar, perilaku
seseorang yang
sakit untuk
menghibahkan sejumlah harta kepada pihak tertentu tentunya harus dilakukan dengan kesadaran yang baik, mengenal secara baik pihak-pihak yang akan menerima hibah
serta memiliki komunikasi yang jelas. Hibah tidak akan mampu dilakukan oleh seseorang yang sakit yang mengalami
kehilangan kesadarannya.
79
Pemberian hibah yang dilakukan seseorang dalam keadaan sakit dapat dibenarkan oleh hukum dengan alasan:
1. Bisa berkomunikasi dengan baik, artinya setiap pertanyaan bisa dijawab dengan baik.
2. Pendengaran bagus. 3. Pandangan mata bagus dalam ati bisa mengenal.
4. Mampu mengenal para penghadap. 5. Mampu memberi tanda tangan.
6. Mampu memahami maksud dan tujuan pembuatan hibah. 7. Dilakukan berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
80
Dalam perspektif hukum Islam hibah sebenarnya hanyalah himbauan
78
Hasil Wawancara Dengan dr. Yan Sitanggang, Sp.An, Rumah Sakit Sari Mutiara Medan Tanggal 7 Maret 2014.
79
Hasil Wawancara Dengan Notaris PPAT Muktar, SH., M.Kn, tanggal 5 Maret 2014.
80
Hasil Wawancara Dengan Notaris PPAT Muktar, SH., M.Kn, tanggal 7 Maret 2014.
Universitas Sumatera Utara
52
anjuran untuk saling membantu sesama manusia, karena hibah sebagai bentuk tolong menolong dalam kebajikan antara sesama manusia sangat baik dan bernilai
positif. Ulama fikih telah sepakat, bahwa hukum hibah adalah sunat. Firman Allah: Artinya :“….dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, musafir yang memerlukan pertolongan … Al-Baqarah: 177.
81
Sedangkan anjuran dalam pembuatan akta hibah menurut pendapat penulis merupakan kewajiban. Karena dengan akta autentik menjadikan dasar pembuktian
yang sah dimata hukum ketika terjadi sengketa hibah. R. Subekti dalam bukunya Hukum Pembuktian mengatakan bahwa membuktikan ialah meyakinkan hakim
tentang kebenaran
dalil atau
dalil-dalil yang
dikemukakan dalam
suatu persengketaan.
82
Keadilan sangat memerlukan pembuktian, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya:
Artinya: “ Sekiranya kepada manusia diberikan apa saja yang digugatnya, tentu setiap orang akan menggugat apa yang ia kehendaki, baik jiwa maupun harta, akan tetapi sumpah itu
dibebankan kepada Tergugat.”
83
Cukup beralasan jika akta hibah dijadikan sebagai alat bukti di samping berdasarkan ayat Al-Qur’an tersebut diatas, sampainya Al-Qur’an dan Hadits kepada kita sekarang ini
yang me
rupakan sumber dan pegangan pokok bagi ajaran Islam, tidak lain melalui
81
Yayasan Penyelenggara PenterjemahPentafsir Al-Qur’an, Op.Cit, Al-Baqarah: 177.
82
R. Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2007, hal. 7
83
Muslim, Shahih Muslim ,Juz II, Bandung: Ma’arif, tt, hal. 59.
Universitas Sumatera Utara
53
tulisan. Adapun korelasinya apabila hibah tidak diaktakan, bisa menggunakan alat
bukti yang lain, macam alat bukti dalam hukum Islam, yaitu : Menurut Samir ‘Aaliyah, alat-alat bukti itu ada enam dengan urutan sebagai
berikut: a. Pengakuan
b. Saksi c. Sumpah
d. Qorinah
e. Bukti berdasarkan indikasi-indikasi yang tampak f. Pengakuan hakim.
84
Menurut ‘Abdul Karim Zaidan, alat-alat bukti itu ada Sembilan dengan urutan sebagai berikut:
a. Pengakuan b. Saksi
c. Sumpah d. Penolakan sumpah
e. Pengetahuan hakim
f. Qorinah
g. Qosamah h. Qiyafah
i. Dan Qur’ah.
85
Menurut Sayyid Sabiq, alat-alat bukti itu ada empat, dengan urutan sebagai berikut: a. Pengakuan
b. Saksi c. Sumpah
d. Surat resmi.
86
84
Ibid., hal. 60.
85
Ibid., hal. 57.
86
Ibid., hal. 58.
Universitas Sumatera Utara
54
Selain itu mengenai batasan umur akta hibah dalam Kompilasi Hukum Islam, dijelaskan Pasal 210 ayat 1 berbunyi sebagai berikut: “Orang yang telah berumur
sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 13 harta bendanya kepada orang lain atau
lembaga di hadapan dua orang saksi untuk memiliki”. Lebih jauh dikemukakan dalam Pasal 213 KHI bahwa:
“Hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematian,
maka harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya”. Pembatasan yang dilakukan Kompilasi Hukum Islam, baik dari usia maupun
13 dari harta pemberi hibah, berdasar pertimbangan bahwa usia 21 tahun telah dianggap cakap untuk memiliki hak untuk menghibahkan benda miliknya itu.
Demikian juga batasan 13 harta kecuali jika ahli warisnya menyetujui.
87
Batasan memberi hibah 13 harta merupakan sifat penolong untuk dirinya sendiri yaitu si penghibah untuk mengurangi kemungkinan terburuk menimpa
dirinya, akan tetapi jika
ahli warisnya setuju dengan pemberian semua harta si pemberi hibah maka tidak ada masalah dilakukan.
Sedangkan analisis tentang penarikan kembali hibah yaitu apabila semua perhubungan atas dasar suka rela dapat dicabut kembali harta yang dihibahkan maka jatuhlah
penarikan kembali hibah tersebut. Akan tetapi tidak semua pemberian dapat dicabut kembali suatu pemberian yang telah disempurnakan hanyalah dengan campur tangan orang yang
diberi.
Suatu pernyataan belaka dari pihak si pemberi tidaklah mencukupi.
87
Ibid., hal. 471.
Universitas Sumatera Utara
55
Apabila ditelaah dari keabsahan akta hibah menurut hukum positif Undang- undang tidak mengakui bentuk-bentuk pemberian atau hibah selain hibah yang
dilakukan diantara orang-orang masih hidup. Tentang kewajiban berakta hibah dalam kebijakan undang-undang sudah
terpenuhinya kebutuhan hukum masyarakat karena dimulai dari prosedur Proses pembuatan akta hibah, penghibahan harus melalui akta Notaris yang asli disimpan
oleh Notaris bersangkutan dengan Pasal 1682, yaitu: “Tiada suatu hibah, kecuali yang disebutkan dalam pasal 1687, dapat, atas ancaman batal, dilakukan selainnya dengan
suatu akta notaris, yang aslinya disimpan oleh notaries itu”.
88
Hibah barulah mengikat dan mempunyai akibat hukum bila pada hari penghibahan itu dengan kata-kata yang tegas telah dinyatakan diterima oleh penerima
hibah, atau dengan suatu akta otentik telah diberi kuasa pada orang lain. Dapat disimpulkan bahwa akta otentik adalah surat yang dibuat oleh atau
dihadapan seseorang pejabat umum yang mempunyai wewenang membuat surat itu, dengan maksud untuk me
njadikan surat itu sebagai alat bukti. Pejabat umum yang dimaksud adalah Notaris, pegawai catatan sipil, juru sita, panitera pengadilan dan sebagainya.
Ketika Kompilasi Hukum Islam mengatur batasan umur dalam hibah, sama halnya di dalam pasal 1676-1677 Hukum Perdata BW menjelaskan bahwa:
“Setiap orang diperbolehkan memberi dan menerima sesuatu sebagai hibah kecuali mereka yang oleh undang-u
ndang dinyatakan tak cakap untuk itu.” “ Orang-orang yang belum dewasa tidak diperbolehkan member hibah, kecuali dalam
88
Ibid., hal. 438.
Universitas Sumatera Utara
56
hal yang ditetapkan dalam bab ke tujuh dari buku ke satu Kitab Undang-undang ini.”
89
Ukuran dewasa dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah, dijelaskan dalam pasal 424. Orang dikatakan sudah dewasa ketika berumur 21 tahun,
sebelumnya belum dikatakan dewasa. Artinya umur 21 tahun dikatakan sudah cakap di dalam Undang-undang.
Berbeda dengan analisis tersebut, dalam hukum positif perbedaan pembagian akta hibah terbagi menjadi dua yakni untuk benda bergerak bertransaksi dengan
Notaris, sedangkan untuk benda tidak bergerak bertransaksi dengan PPAT. Ketika dicermati adanya perbedaan karakter yuridis antara Notaris dan Pejabat Pembuat
Akta Tanah PPAT, maka suatu hal yang sangat tidak mungkin dua karakter berbeda dijadikan satu. Menyatukan dua karakter yuridis yang berbeda hanya merupakan
upaya pemaksaan yang tidak dilandasi dasar hukum yang jelas. Tegasnya ditinjau dari segi kekuatan pembuktiannya, adalah:
a. Akta hibah mempunyai kekuatan pembuktian yang mutlak. apabila timbul sengketa antara pihak, maka apa yang termuat dalam akta hibah merupakan bukti
yang sempurna, sehingga tidak perlu lagi dibuktikan dengan alat-alat pembuktian lain.
b. Arti penting suatu akta hibah dalam praktek hukum memudahkan pembuktian dan memberikan kepastian hukum yang lebih kuat.
89
Ibid., hal. 438.
Universitas Sumatera Utara
57
BAB III KEDUDUKAN AHLI WARIS LAIN DARI HIBAH YANG DIBERIKAN
KETIKA PEMBERI HIBAH DALAM KEADAAN SAKIT
A. Pengertian dan Prinsip Perlindungan Hukum
Secara umum, perlindungan berarti mengayomi sesuatu dari hal-hal yang berbahaya, sesuatu itu bisa saja berupa kepentingan maupun benda atau barang.
Selain itu perlindungan juga mengandung makna pengayoman yang diberikan oleh seseorang terhadap orang yang lebih lemah.
Hukum adalah Peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang di buat oleh badan-badan
resmi yang berwajib. Hukum adalah himpunan peraturan yang di buat oleh yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang
mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggarnya.
Ada beberapa pengertian tentang perlindungan hukum menurut para ahli yaitu:
1. Perlindungan Hukum adalah
memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada
masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.
90
90
Satjipto Raharjo. Penyelenggaraan Keadilan dalam Masyarakat yang Sedang Berubah. Jurnal Masalah Hukum. Jakarta, 1993. hal. 9.
57
Universitas Sumatera Utara
58
2. Perlindungan Hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta
pengakuan terhadap
hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek
hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan.
91
3. Perlindungan Hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh
aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun.
4. Perlindungan Hukum adalah Sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan
dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya. Berkaitan dengan konsumen, berarti hukum memberikan perlindungan terhadap hak-hak pelanggan dari sesuatu yang
mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak tersebut. 5.
Perlindungan Hukum adalah penyempitan arti dari perlindungan, dalam hal ini hanya perlindungan oleh hukum saja. Perlindungan yang diberikan oleh hukum,
terkait pula dengan adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek hukum dalam interaksinya dengan sesama manusia serta
lingkungannya. Sebagai subyek hukum manusia memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan suatu tindakan hukum.
92
Dengan demikian, perlindungan hukum dapat diartikan dengan segala upaya pemerintah untuk menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan
kepada warganya agar hak-haknya sebagai seorang warganegara tidak dilanggar, dan
91
Philipus M. Hadjon. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. Bina Ilmu. Surabaya, 1987, hal. 23.
92
CST Kansil. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1987, hal. 93.
Universitas Sumatera Utara
59
bagi yang melanggarnya akan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan yang berlaku. Suatu
perlindungan dapat
dikatakan sebagai
perlindungan hukum
apabila mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
1. Adanya pengayoman dari pemerintah terhadap warganya. 2. Jaminan kepastian hukum.
3. Berkaitan dengan hak-hak warganegara. 4. Adanya sanksi hukuman bagi pihak yang melanggarnya.
93
Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia karena menurut sejarah dari barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada
pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah.
94
Aspek dominan dalam konsep barat tertang hak asasi manusia menekankan eksistensi hak dan kebebasan yang melekat pada kodrat manusia dan statusnya
sebagai individu, hak tersebut berada di atas negara dan di atas semua organisasi politik dan bersifat mutlak sehingga tidak dapat diganggu gugat. Karena konsep ini,
maka sering kali dilontarkan kritik bahwa konsep Barat tentang hak-hak asasi manusia adalah konsep yang individualistik. Kemudian dengan masuknya hak-hak
sosial dan hak-hak ekonomi serta hak kultural, terdapat kecenderungan mulai
93
Fitri Hidayats Blog, Perlindungan Hukum Unsur Esensial Dalam Suatu Negara Hukum, Melalui
http:fitrihidayat-ub.blogspot.com201307perlindungan-hukum-unsur-esensial-dalam.html, Diakses tanggal 2 Mei 2014.
94
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
60
melunturnya sifat indivudualistik dari konsep Barat. Dalam merumuskan prinsip-prinsip perlindungan hukum di Indonesia,
landasannya adalah Pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara. Konsepsi perlindungan hukum bagi rakyat di Barat bersumber pada konsep-konsep Rechtstaat
dan ”Rule of The Law”. Dengan menggunakan konsepsi Barat sebagai kerangka berfikir dengan landasan pada Pancasila, prinsip perlindungan hukum di Indonesia
adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila. Prinsip perlindungan hukum terhadap tindak
pemerintah bertumpu
dan bersumber
dari konsep
tentang pengakuan
dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarahnya di Barat,
lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan
perlindungan terhadap hak-hak asasi menusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan
pemerintah.
95
Dalam merumuskan prinsip perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia, landasan berpijaknya adalah Pancasila sebagai dasar ideologi dan dasar falsafah negara. Pengakuan
dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dikatakan bersumber pada Pancasila, karena pengakuan dan perlindungan terhadapnya secara intrinsik melekat pada Pancasila.
Selain bersumber pada Pancasila prinsip perlindungan hukum juga bersumber pada prinsip negara hukum. Ada beberapa pengertian negara hukum yang dikemukakan oleh para ahli.
Negara hukum adalah negara yang
bertujuan untuk menyelenggarakan ketertiban hukum, yakni tata tertib yang umumnya berdasarkan hukum yang terdapat pada
95
Philipus M. Hadjon. Op.Cit. hal. 38
Universitas Sumatera Utara
61
rakyat. Negara hukum menjaga ketertiban hukum supaya jangan terganggu agar semuanya berjalan menurut hukum.
96
Negara Hukum adalah negara yang tunduk pada hukum, peraturan-peraturan hukum berlaku pula bagi segala badan dan alat-alat perlengkapan negara.
Negara hukum
menjamin adanya tertib hukum dalam masyarakat yang artinya memberi perlindungan hukum pada masyarakat, antara hukum dan kekuasaan ada hubungan
timbal balik.
B. Ahli Waris 1.
Pengertian Warisan
Warisan berasal dari kata waris, yang berasal dari bahasa Arab, yaitu : warits, yang dalam bahasa Indonesia berarti ahli waris, yaitu orang yang berhak mewaris;
dan pihak lain ada yang menamakannya Hukum Waris, Hukum Pusaka dan lain- lain.
97
Para fuqaha mendefinisikan hukum kewarisan Islam sebagai suatu ilmu yang dengan dialah dapat diketahui orang yang menerima pusaka, orang yang tidak
menerima pusaka, serta kadar yang diterima, tiap-tiap ahli waris dan cara membaginya.
98
Definisi tersebut menekankan segi , orang yang mewaris, orang yang tidak mewaris, besarnya bagian yang diterima oleh masing-masing ahli waris, serta cara
96
Muktie, A. Fadjar. Tipe Negara Hukum. Malang: Bayumedia Publishing, 2005, hal. 71.
97
Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, Jakarta: Tinta Mas, 1982, hal. 29.
98
Rachmad Budiono, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999, hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
62
membagikan warisan kepada para ahli waris. Definisi lain yang berkaitan dengan hukum kewarisan Islam disampaikan oleh
Muhammad asy-Syarbini, yakni: Ilmu fiqhi yang berpautan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada
pembagian harta pusaka dan pengetahuan mengenai bagian-bagian wajib dari harta peninggalan untuk setiap pemilik hak pusaka.
99
Definisi di atas menekankan bahwa pembagian warisan, cara penghitungan dan ahli waris. Karenanya adalah ahli waris dzul faraid, sehingga penghitungan
bagian masing-masing ahli waris dalam hukum kewarisan Islam mempunyai tingkat kerumitan tersendiri, maka definsi di atas menekankan cara penghitungan warisan
tersebut. Kutipan-kutipan di atas merupakan rumusan-rumusan yang diberikan oleh
para ahli agama tentang pengertian warisan, sebenarnya masih banyak
lagi pendapat - pendapat para ahli agama mengenai warisan ini, walaupun berbeda-beda
bunyinya, namun mempunyai maksud yang sa
ma, yaitu: tentang cara peralihan atau penguasaan suatu harta benda pusaka yang ditinggalkan.
Menurut sistem hukum Islam yang dimaksud dengan warisan atau harta peninggalan adalah sejumlah harta benda kekayaan pewaris dalam keadaan bersih, artinya setelah
dikurangi dengan pembayaran hutang pewaris dan pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh meninggalnya pewaris. Karenanya harta yang diterima oleh para ahli waris
menurut sistem h
ukum Islam dan sistem hukum adat itu benar-benar hak mereka yang
99
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Bandung: PT. Alma’arief, Jakarta, 1981, hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
63
bebas dari tuntutan kreditur pewaris. Sistem kewarisan Islam adalah sistem individual bilateral. Hal tersebut
dikemukakannya atas dasar ayat-ayat kewarisan dalam Al-Qur’an antara lain seperti yang tercantum masing-masing dalam ayat 7,8,11, 12, 33 dan ayat 176 surat An-Nisa
Q.S.IV, serta setelah sistem kewarisan atau sistem hukum waris menurut Al’Quran yang individual bilateral itu dibandingkan dengan sistem hukum waris individual
bilateral dalam masyarakat yang bilateral, beliau menemukan beberapa hal yang baru yang merupakan ciri atau spesifikasi sistem hukum waris Islam menurut Al-Quran,
yaitu : 1. Anak-anak si pewaris bersama-sama dengan orang tua si pewaris serentak sebagai
ahli waris. Sedangkan dalam sistem hukum waris di luar Al-Qur’an hal itu tidak mungkin sebab orang baru mungkin menjadi ahli waris jika pewaris meninggal
dunia tanpa keturunan mati punah, 2. Jika pewaris meninggal dunia tanpa keturunan maka ada kemungkinan saudara-
saudara pewaris bertindak bersama-sama sebagai ahli waris dengan orang tuanya, setidaknya-tidaknya dengan ibunya. Prinsip di atas maksudnya ialah jika orang
tua pewaris, dapat berkonkurensi dengan anak-anak pewaris, apabila dengan saudara-saudaranya yang sederajat lebih jauh dari anak-anaknya. Menurut sistem
hukum waris di luar Al-Qur’an hal tersebut tidak mungkin sebab saudara si pewaris tertutup haknya oleh orang tuanya.
3. Bahwa suami isteri saling mewarisi, artinya pihak yang hidup paling lama menjadi ahli waris dari pihak lainnya.
Universitas Sumatera Utara
64
Sistem kewarisan Islam menurut Al-Qur’an sesungguhnya merupakan perbaikan dan perubahan dari prinsip-prinsip hukum waris yang berlaku di negeri
Arab sebelum Islam, dengan sistem kekeluargaannya yang patrilineal. Pada dasarnya sebelum Islam dikenal tiga prinsip pokok dalam hukum waris, yaitu:
1. Anggota keluarga yang berhak mewaris pertama adalah kaum kerabat laki-laki dari pihak bapak yang terdekat atau disebut asobah,
2. Pihak perempuan dan anggota keluarga dari garis ibu, tidak mempunyai hak waris.
3. Keturunan, yaitu anak, cucu, canggah, pada dasarnya lebih berhak mewaris dari pada leluhur pewaris, yaitu ayah, kakak, maupun buyutnya.
Setelah Islam datang maka Al-Qur’an membawa perubahan dan perbaikan terhadap ketiga prinsip di atas sehingga pokok-pokok hukum waris Islam dalam Al-
Qur’an sebagaimana ditentukan dalam surat An
-Nisa ayat-ayat tersebut di atas.
2. Terbukanya Warisan