Keabsahan Akta Hibah yang Ditandatangani dalam Keadaan Sakit Fisik

(1)

TESIS

Oleh

TIROMSI SITANGGANG

127011063/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

TIROMSI SITANGGANG

127011063/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Runtung, SH, MHum) (Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN

Anggota : 1. Prof. Dr. Runtung, SH, MHum

2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 3. Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn


(5)

Nama : TIROMSI SITANGGANG

Nim : 127011063

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : KEABSAHAN AKTA HIBAH YANG

DITANDATANGANI DALAM KEADAAN SAKIT FISIK Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama :TIROMSI SITANGGANG Nim :127011063


(6)

kelemahan fisik dan psikis di pemberi hibah. Sehingga dikhawatirkan hal-hal yang lahir dari perbuatan seseorang yang lemah fisik dan psikisnya seperti pasien dalam keadaan sakit memberikan pengaruh terhadap perbuatan hukum termasuk dalam pelaksanaan pemberian hibah.

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif analitis. Teknik pengumpulan data menggunakan penelitian kepustakaan untuk mendapatkan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan tertier. Analisis data yang dipergunaan adalah analisis kualitatif dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan logika berfikir deduktif.

Hasil dari pembahasan yang dilakukan menjelaskan keabsahan atas hibah yang ditandatangani oleh penghibah dalam keadaan sakit dalam hukum perdata dapat dibenarkan oleh hukum dengan alasan bahwa pada waktu pelaksanaan hibah tersebut si pemberi hibah dapat berkomunikasi dengan baik, memiliki pendengaran yang bagus, dapat mengenal para penghadap, mampu memberikan tanda tangan, mampu memahami maksud dan tujuan pembuatan hibah serta dilakukan berdasarkan ketentuan perundang-undangan, seperti dilakukan di depan notaris dan harta yang dihibahkan merupakan harta milik pribadi penghibah dan jumlah harta yang dihibahkan tidka melebihi 1/3 harta yang dimiliki si penghibah. Kedudukan ahli waris lain dari hibah yang diberikan ketika pemberi hibah dalam keadaan sakit menurut hukum perdata tetap berkedudukan sebagai ahli waris si pemberi hibah sepanjang tidak ada keadaan yang membatalkan kewarisan tersebut. Dan Pelaksanaan pemberian hibah tetap dapat dilakukan sesuai dengan prosedur dan ketentuan hukum yang berlaku. Pembatalan akta hibah yang diberikan ketika pemberi hibah dalam keadaan sakit menurut hukum perdata dilakukan karena tidak dipenuhinya syarat-syarat pemberian hibah, adanya kesalahan penerima hibah yang melakukan kejahatan yang bertujuan untuk mengambil jiwa si penghibah, serta penerima hibah menolak memberikan tunjangan nafkah kepada si pemberi hibah setelah penghibah jatuh miskin.

Penelitian juga menyarankan pemberi hibah yang dalam keadaan sakit dalam memberikan hibah atas harta yang dimilikinya kepada penerima baik dari kalangan keluarga atau di luar keluarga harus tetap berlaku adil yang memperhatikan hak ahli waris, sehingga di kemudian hari tidak terjadi gugatan atas hibah tersebut. Para pihak yang akan melakukan hibah, walaupun di dalam KHI tidak diharuskan dengan akta Notaris, tetapi sebaiknya dibuat secara akta Notaris, karena akta notaris adalah akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna di depan pengadilan. Kata Kunci: Akta Hibah, Ditandatangani, Sakit


(7)

and psychological weakness. This condition brings out the problems since a man who is physically and psychologically weak will influence a legal act, including in giving a hibah.

The research was judicial normative with descriptive analytic approach. The data were gathered by conducting library research in order to obtain secondary data which consisted of primary, secondary, and tertiary legal materials. The gathered data were analyzed qualitatively, and the conclusion was drawn by deductive logic thinking.

The result of the research shows that the validity of hibah signed by the giver who is sick, in the civil law, can be validated by law because at the time of the implementation of hibah, the giver can communicate well, has good sense of hearing, can recognize the person appearing, can sign, can understand the intention of giving the hibah and is done according to legal provisions, such as it is done before a Notary and the given wealth belongs to the giver personally, and it is not more than 1/3 of his wealth. The position of an heir when the giver is sick, according the civil law, is legitimate as far as there is nothing which cancels the inheritance. The implementation of giving the hibah can be done according to the procedure and the prevailing rules. The cancelation of giving a hibah occurs when the giver is sick , according to the civil law, the requirements of giving a hibah are not fulfilled, the receiver of the hibah intends to kill the giver, and the receiver of the hibah refuses to financially support the giver when the latter becomes impoverished.

It is recommended that the giver of hibah, who is sick, in giving hibah or his own wealth to someone from his own relatives or not, should be fair; he should pay attention to the heir’s rights so that there will be no claim on the hibah in the future. Those who want to give hibah, although in the KHI (Compilation of the Islamic Law) does not require Notarial certificate, should make Notarial certificates because they are authentic certificates which have complete evidence before the Court.


(8)

dan rahmat hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “KEABSAHAN AKTA HIBAH YANG DITANDATANGANI DALAM KEADAAN SAKIT FISIK”, yang disusun sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam menyelesaikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Pada penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan moril berupa bimbingan dan arahan sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Oleh karena itu dalam kesempatan ini Penulis mengucapkan terimakasih yang mendalam kepada komisi pembimbing, yang terhormat Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH., MS., CN, selaku pembimbing utama, Bapak Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum, selaku pembimbing kedua dan ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH., CN., M.Hum, selaku pembimbing ketiga yang telah meluangkan waktu untuk membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan keikhlasan dari awal penyusunan proposal sampai selesainya penulisan tesis ini.

Kemudian juga, kepada Dosen Penguji yang terhormat Bapak Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH., MKn., dan ibu Notaris Chairani Bustami, SH., SpN., MKn., yang telah berkenan memberi masukan dan arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.

Dalam kesempatan ini penulis juga dengan tulus mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:


(9)

kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan (MKn) pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan (MKn) pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang memberikan kesempatan dan dorongan juga membuka cakrawala berpikir penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

5. Seluruh Guru Besar beserta Dosen dan Para staf pengajar pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu pengetahuan, pengalaman dan membuka cakrawala berpikir penulis yang sangat bermanfaat dikemudian hari.

6. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang selalu membantu kelancaran dalam hal manajemen administrasi dan informasi yang dibutuhkan.

7. Rekan-rekan mahasiswa pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang selalu berbagi informasi dan membangun motivasi.


(10)

9. Suami Rusman Maralen Situngkir serta anak-anakku Pahala Tiroi Putra Situngkir (calon Pendeta HKBP) dan Angel Surya Nauli boru Situngkir yang tercinta, terimakasih atas doa, support, perhatian dan pengertian yang luar biasa.

10. Kepada keluarga besar Situngkir, Sitanggang dan Yayasan Sari Mutiara, terimakasih atas doa dan restunya hingga segala sesuatunya dapat berjalan dengan baik.

11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis berharap semoga perhatian dan bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan yang sebaik-baiknya dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

Akhir kata semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca khsusnya bagi almamater yang tercinta.

Medan, Agustus 2014 Penulis


(11)

TempatTanggalLahir : Asahan, 08 April 1967

Alamat Rumah : Jalan, Gaperta Nomor 137-138 Medan. Status Keluarga : Nikah, 24 Maret 1994

Nama Suami : RUSMAN MARALEN SITUNGKIR.

Anak : 1. PAHALA TIROI PUTRA SITUNGKIR.

2. ANGEL SURYA NAULI SITUNGKIR.

Nama Ayah : PADANG SITANGGANG.

NamaIbu : KEBERIA SITUMORANG (alm)

II. PENDIDIKAN

- SD Swasta Advent Sei-Lebah, Asahan Tamat Tahun 1980 - SMP Advent Sei-Lebah, Asahan Tamat Tahun 1983 - SMAN 1 Tanjungbalai, Tanjungbalai Tamat Tahun 1986 - S-1 Fakultas Hukum Universitas Pembangunan

Panca Budi Medan Tamat Tahun 2012

- S-2 Fakultas Hukum UNPAB Tamat Tahun 2013 - Sedang Mengikuti Pendidikan Program

Doktor ( S.3) Bidang Studi Hukum Kesehatan UNISBA 2013/ 2014- sampai sekarang III. RIWAYAT PEKERJAAN

1986 - 2014 : Rumah Sakit Umum SITANGGANG/SARI

MUTIARA

1992 - 1997 : Kantor Yayasan SITANGGANG PURBA, SARI MUTIARA

1997 – 2013 : Stikes SARI MUTIARA INDONESIA.

2012 – 2014 : Dosen UNIVERSITAS SARI MUTIARA (USM). 2013- 2014 : Kantor YAYASAN SARI MUTIARA.

IV. ORGANISASI 1. FORMIKI- SUMUT

2. KOMNAS PENDIDIKAN – SUMUT 3. SITABOR – KODYA MEDAN

4. SILAHISABUNGAN – KODYA MEDAN 5. SITUNGKIR – KODYA MEDAN


(12)

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian... 14

E. Keaslian Penelitian ... 14

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 15

G. Metode Penelitian... 20

BAB II KEABSAHAN ATAS HIBAH YANG DITANDATANGANI OLEH PENGHIBAH DALAM KEADAAN SAKIT... 24

A. Hibah Berdasarkan Peraturan ... 24

B. Syarat-Syarat Akta Hibah Dalam Proses Melakukan Hibah Menurut Hukum Perdata ... 32

C. Keabsahan Atas Hibah Yang Ditandatangani Oleh Penghibah Dalam Keadaan Sakit ... 47

BAB III KEDUDUKAN AHLI WARIS LAIN DARI HIBAH YANG DIBERIKAN KETIKA PEMBERI HIBAH DALAM KEADAAN SAKIT... 57

A. Pengertian dan Prinsip Perlindungan Hukum ... 57

B. Ahli Waris ... 61


(13)

A. Akta Hibah ... 88

B. Membedakan Jumlah Hibah Antara Ahli Waris ... 90

C. Pembatalan Akta Hibah Yang Diberikan Ketika Pemberi Hibah Dalam Keadaan Sakit Menurut Hukum Perdata... 95

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 100

A. Kesimpulan... 100

B. Saran ... 101


(14)

kelemahan fisik dan psikis di pemberi hibah. Sehingga dikhawatirkan hal-hal yang lahir dari perbuatan seseorang yang lemah fisik dan psikisnya seperti pasien dalam keadaan sakit memberikan pengaruh terhadap perbuatan hukum termasuk dalam pelaksanaan pemberian hibah.

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif analitis. Teknik pengumpulan data menggunakan penelitian kepustakaan untuk mendapatkan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan tertier. Analisis data yang dipergunaan adalah analisis kualitatif dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan logika berfikir deduktif.

Hasil dari pembahasan yang dilakukan menjelaskan keabsahan atas hibah yang ditandatangani oleh penghibah dalam keadaan sakit dalam hukum perdata dapat dibenarkan oleh hukum dengan alasan bahwa pada waktu pelaksanaan hibah tersebut si pemberi hibah dapat berkomunikasi dengan baik, memiliki pendengaran yang bagus, dapat mengenal para penghadap, mampu memberikan tanda tangan, mampu memahami maksud dan tujuan pembuatan hibah serta dilakukan berdasarkan ketentuan perundang-undangan, seperti dilakukan di depan notaris dan harta yang dihibahkan merupakan harta milik pribadi penghibah dan jumlah harta yang dihibahkan tidka melebihi 1/3 harta yang dimiliki si penghibah. Kedudukan ahli waris lain dari hibah yang diberikan ketika pemberi hibah dalam keadaan sakit menurut hukum perdata tetap berkedudukan sebagai ahli waris si pemberi hibah sepanjang tidak ada keadaan yang membatalkan kewarisan tersebut. Dan Pelaksanaan pemberian hibah tetap dapat dilakukan sesuai dengan prosedur dan ketentuan hukum yang berlaku. Pembatalan akta hibah yang diberikan ketika pemberi hibah dalam keadaan sakit menurut hukum perdata dilakukan karena tidak dipenuhinya syarat-syarat pemberian hibah, adanya kesalahan penerima hibah yang melakukan kejahatan yang bertujuan untuk mengambil jiwa si penghibah, serta penerima hibah menolak memberikan tunjangan nafkah kepada si pemberi hibah setelah penghibah jatuh miskin.

Penelitian juga menyarankan pemberi hibah yang dalam keadaan sakit dalam memberikan hibah atas harta yang dimilikinya kepada penerima baik dari kalangan keluarga atau di luar keluarga harus tetap berlaku adil yang memperhatikan hak ahli waris, sehingga di kemudian hari tidak terjadi gugatan atas hibah tersebut. Para pihak yang akan melakukan hibah, walaupun di dalam KHI tidak diharuskan dengan akta Notaris, tetapi sebaiknya dibuat secara akta Notaris, karena akta notaris adalah akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna di depan pengadilan. Kata Kunci: Akta Hibah, Ditandatangani, Sakit


(15)

and psychological weakness. This condition brings out the problems since a man who is physically and psychologically weak will influence a legal act, including in giving a hibah.

The research was judicial normative with descriptive analytic approach. The data were gathered by conducting library research in order to obtain secondary data which consisted of primary, secondary, and tertiary legal materials. The gathered data were analyzed qualitatively, and the conclusion was drawn by deductive logic thinking.

The result of the research shows that the validity of hibah signed by the giver who is sick, in the civil law, can be validated by law because at the time of the implementation of hibah, the giver can communicate well, has good sense of hearing, can recognize the person appearing, can sign, can understand the intention of giving the hibah and is done according to legal provisions, such as it is done before a Notary and the given wealth belongs to the giver personally, and it is not more than 1/3 of his wealth. The position of an heir when the giver is sick, according the civil law, is legitimate as far as there is nothing which cancels the inheritance. The implementation of giving the hibah can be done according to the procedure and the prevailing rules. The cancelation of giving a hibah occurs when the giver is sick , according to the civil law, the requirements of giving a hibah are not fulfilled, the receiver of the hibah intends to kill the giver, and the receiver of the hibah refuses to financially support the giver when the latter becomes impoverished.

It is recommended that the giver of hibah, who is sick, in giving hibah or his own wealth to someone from his own relatives or not, should be fair; he should pay attention to the heir’s rights so that there will be no claim on the hibah in the future. Those who want to give hibah, although in the KHI (Compilation of the Islamic Law) does not require Notarial certificate, should make Notarial certificates because they are authentic certificates which have complete evidence before the Court.


(16)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Hibah dalam bahasa Belanda adalah schenking, sedangkan menurut istilah yang dimaksud hibah, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1666 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, adalah: Sesuatu persetujuan dengan mana si penghibah di waktu hidupnya, dengan Cuma-Cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan suatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.1

Penghibah adalah digolongkannya pada apa yang dinamakan perjanjian cuma-cuma dalam bahasa Belanda Omniet. Maksudnya, hanya ada pada adanya prestasi pada satu pihak saja, sedangkan pihak yang lain tidak perlu memberikan kontra prestasi sebagai imbalan. Perkataan di waktu hidupnya si Penghibah adalah untuk membedakan penghibahan ini dengan pemberian-pemberian yang lain yang dilakukan dalamtestament (surat wasiat), yang baru akan mempunyai kekuatan dan berlaku sesudah pemberi itu meninggal, dapat diubah atau ditarik kembali olehnya.2

Pemberi dalam testament menurut BW (Burgerlijk Wetboek) dinamakan legaat (hibah wasiat), yang diatur dalam Hukum Waris, sedangkan penghibah ini adalah suatu perjanjian, maka dengan sendirinya tidak dapat ditarik kembali secara sepihak oleh si penghibah. Dengan demikian Hibah menurut BW (Burgerlijk

1Hukum Zone, “Hibah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”,

http://hukumzone.blogspot.com/2011/05/hibah-menurut-kitab-undang-undang-hukum.html, Diakses tanggal 3 November 2013.


(17)

Wetboek) ada 2 (dua) macam, yaitu: hibah dan hibah wasiat yang ketentuan hibah wasiat sering berlaku pula dalam ketentuan penghibah.3

Dari rumusan tersebut di atas, dapat diketahui unsur–unsur hibah sebagai berikut:

1. Hibah merupakan perjanjian sepihak yang dilakukan dengan cuma–cuma, artinya tidak ada kontra prestasi dari pihak penerima hibah.

2. Dalam hibah selalu diisyaratkan bahwa penghibah mempunyai maksud untuk menguntungkan pihak yang diberi hibah.

3. Yang menjadi objek perjanjian hibah adalah segala macam harta milik penghibah, baik benda berwujud maupun tidak berwujud, benda tetap maupun benda bergerak, termasuk juga segala macam piutang penghibah.

4. Hibah tidak dapat ditarik kembali.

7. Hibah harus dilakukan dengan akta notaris.

Hibah diatur oleh Pasal 1666 KUH Perdata, dan merupakan tindakan persetujuan dari si pemberi hibah pada waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan tidak dapat ditarik kembali untuk menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah. Akta hibah berdasarkan, Pasal 1682 KUH Perdata harus dibuat di muka Notaris.4

Suatu hibah harus dibuat dengan akta notaris karena Notaris dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana

3Ibid.

4Dunia Anggara, “Hibah”,http://anggara.org/2007/09/18/tentang-hibah/,Diakses tanggal 12


(18)

dimaksud dalam undang-undang. Setiap hibah yang dibuat dihadapan Notaris berbentuk Akta. Yang disebut dengan Akta Notaris dalam pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris pengertian tentang Akta Notaris adalah akta autentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-undang. Pertimbangan tersebut sangat penting karena menyangkut harta kekayaan seseorang. Kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh Notaris, maka akta hibah tersebut mempunyai kekuatan hukum yang pasti.

Akta yang dibuat Notaris harus mengandung syarat-syarat yang diperlukan agar tercapai sifat otentik dari akta itu sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat-syarat sahnya perjanjian yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak, kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, adanya objek, dan adanya kausa yang halal, misalnya mencantumkan identitas para pihak, membuat isi perjanjian yang dikehendaki para pihak, menandatangani akta dan segalanya. Sebelum ditandatangani, akta terlebih dahulu dibacakan kepada penghadap dan saksi-saksi yang dilakukan oleh Notaris yang membuat akta tersebut. Pembacaan akta tidak dapat diwakili oleh orang lain atau didelegasikan pembacaan akta tersebut kepada pegawai kantor Notaris melainkan harus dilakukan oleh Notaris sendiri. Tujuan pembacaan akta ini adalah agar para pihak saling mengetahui isi dari akta tersebut yang mana isi dari akta itu merupakan kehendak para pihak yang membuat perjanjian, pembacaan akta ini juga dilakukan agar pihak yang satu tidak merasa dirugikan apabila terdapat keterangan serta bunyi akta yang memberatkan atau merugikan pihak


(19)

lain.5

Berkaitan dengan persoalan hibah tersebut, Asaf A.A. Fayzee memberikan rumusan hibah adalah penyerahan langsung dan tidak bersyarat tanpa pemberian balasan.6 Di dalam KUH Perdata, hibah diatur dalam titel X Buku III yang dimulai dari Pasal 1666 sampai dengan Pasal 1693.

Mengenai hal tersebut, Anisitus Amanat, dalam bukunya yang berjudul Membagi Warisan Berdasarkan Pasal–Pasal Hukum Perdata menjelaskan bahwa pemberi hibah menyerahkan hak miliknya atas sebagian atau seluruh harta kekayaannya kepada pihak lain tanpa imbalan apa-apa dari penerima hibah. Barangkali karena tidak adanya kontra prestasi dalam hibah semacam itu, maka pembentuk undang–undang membuat aturan yang mewajibkan penerima hibah untuk memasukkan kembali semua harta yang telah diterimanya itu ke dalam harta warisan pemberi hibah guna diperhitungkan kembali.7

Sebenarnya hibah tidak termasuk materi hukum waris melainkan termasuk hukum perikatan yang diatur di dalam Buku Ketiga Bab kesepuluh Kitab Undang– Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Di samping itu salah satu syarat dalam hukum waris untuk proses pewarisan adalah adanya seseorang yang meninggal dunia dengan meninggalkan sejumlah harta kekayaan. Sedangkan dalam hibah, seseorang pemberi hibah itu masih hidup pada waktu pelaksanaan pemberian hibah.

5G.H.S. Lumban Tobing,Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Erlangga, 1999), hal. 201. 6Asaf A.A. Fayzee,Pokok-Pokok Hukum Islam II,(Jakarta: Tintamas, 1961),hal. 2.

7Anisitus Amanat. Membagi Warisan Berdasarkan Pasal–Pasal Hukum Perdata BW.


(20)

Hibah diatur oleh Pasal 1666 KUH Perdata, dan merupakan tindakan persetujuan dari si pemberi hibah pada waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan tidak dapat ditarik kembali untuk menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah. Undang-undang mengakui hibah yang terjadi diantara orang-orang yang masih hidup. Akta hibah berdasarkan Pasal 1682 KUH Perdata harus dibuat di muka Notaris.

Pasal 1667 KUH Perdata, menyebutkan penghibahan hanya boleh dilakukan terhadap barang-barang yang sudah ada pada saat penghibahan itu terjadi. Jika hibah itu mencakup barang-barang yang belum ada, maka penghibahan batal sekedar mengenai barang-barang yang belum ada. Selanjutnya Pasal 1668 KUH Perdata, menyatakan penghibah tidak boleh menjanjikan bahwa ia tetap berkuasa untuk menggunakan hak miliknya atas barang yang dihibahkan itu; penghibahan demikian, sekedar mengenai barang itu, dipandang sebagai tidak sah. Namun demikian menurut Pasal 1669 KUH Perdata, penghibah boleh memperjanjikan, bahwa ia tetap berhak menikmati atau memungut hasil barang bergerak atau barang tak bergerak yang dihibahkan, atau menggunakan hak itu untuk keperluan orang lain; dalam hal demikian, harus diperhatikan ketentuan-ketentuan Bab X Buku Kedua KUH Perdata.

Bagi perjanjian yang digolongkan dalam perjanjian formil termasuk didalamnya perjanjian hibah, mensyaratkan adanya bentuk tertentu, yaitu akta notaris atau akta otentik, sehingga disini berfungsi sebagai salah satu unsur perjanjian yaitu syarat mutlak


(21)

untuk adanya perjanjian tersebut.8

Perjanjian dapat dikatakan sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila telah memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian yang telah ditentukan oleh undang-undang. Perlu diperhatikan bahwa perjanjian yang memenuhi syarat yang ada dalam undang-undang diakui oleh hukum, sebaiknya perjanjian yang tidak memenuhi syarat tidak diakui oleh hukum walaupun diakui oleh pihak yang bersangkutan. Ketika para pihak mengakui dan mematuhi perjanjian yang mereka buat walaupun tidak memenuhi syarat, perjanjian itu berlaku diantara mereka, dan apabila suatu ketika para pihak yang tidak mengakuinya lagi, maka hakim dapat membatalkan perjanjian itu atau perjanjian itu menjadi batal melalui proses pembuktian di persidangan.

Terkait dengan akta hibah, adapun syarat yang harus di penuhi dalam perjanjian hibah adalah syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan terdapat pasal yang secara spesifik mengatur tentang syarat-syarat perjanjian hibah sebagai pelengkap dari ketentuan perjanjian secara umum yang telah disebutkan diatas, yaitu sebagai berikut:

a. Hibah dilakukan terhadap barang yang sudah ada pada saat penghibahan. Dalam Pasal 1667 KUH Perdata telah dijelaskan bahwa suatu hibah hanya bolehdilakukan terhadap barang-barang yang sudah ada pada saat penghibahann itu terjadi. Jika hibah itu mencakup barang-barang yang belum ada, maka penghibahan batal sekedar mengenai barang-barang yang belum ada.

b. Hibah diberikan secara cuma-cuma. Penghibahan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu hak atas barang secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang


(22)

menerima penyerahan barang itu. Undang-undang hanya mengakui penghibahan-penghibahan antara orang-orang yang masih hidup. Dalam hal hibah ini kata cuma-cuma berarti tanpa kontraprestasi, tanpa mengaharapkan balasan, dan tanpa pamrih. Maksudnya, pemberi hibah harus murah hati.9

Oleh sebab itu bila dalam suatu hibah ditetapkan syarat-syarat tertentu, seperti pembatasan penggunaan barang hibah, maka syarat-syarat yang demikian adalah syarat yang tidak sah. Syarat yang demikian mengakibatkan hibah itu adalah hibah yang cacat (tidak sah). Karena itu kesahan hibah itu ditangguhkan sampai ada kejernihan syarat-syarat tersebut.

Terkait dengan hal ini telah dijelaskaan pula dalam pasal 1670 KUH Perdata bahwa suatu penghibahan adalah batal jika dilakukan dengan membuat syarat bahwa penerima hibah akan melunasi utang atau beban-beban lain disamping apa yang dinyatakan dalam akta hibah itu sendiri atau dalam daftar lampiran.

c. Hibah dilakukan dengan akta Notaris

Salah satu syarat pemberian hibah adalah dibuat dengan akta notaris. Ketentuan tersebut tertuang dalam pasal 1682 KUH Perdata:

Tiada suatu penghibahan pun kecuali termaksud dalam pasal 1687 KUH Perdata dapat dilakukan tanpa akta notaris, yang minute (naskah aslinya) harus disimpan pada notaris dan bila tidak dilakukan demikian maka penghibahan itu tidak sah secara autentik. Meskipun demikian terhadap Pasal 1678 KUH Perdata

Citra Aditya, 2008), hal. 375.


(23)

menjelaskan, Hadiah dari tangan ke tangan berupa barang bergerak yang berwujud atau surat piutang yang akan dibayar atas tunjuk, tidak memerlukan akta notaris dan adalah sah, bila hadiah demikian diserahkan begitu saja kepada orang yang diberi hibah sendiri atau kepada orang lain yang menerima hadiah itu untuk diteruskan kepada yang diberi hibah. (KUHPerd. 613, 1354 dst., 1682, 1792). Sehingga dengan demikian terhadap objek tertentu tidak dibutuhkan penghibahan dengan akta notaris.10

d. Pemberian hibah dilakukan antara orang-orang yang masih hidup.

Sudah tentu suatu persetujuan seperti suatu hibah harus dibuat sewaktu hidup. Kata-kata ”di waktu hidupnya” adalah untuk menekankan dan membedakan antara Hibah dan Hibah Wasiat. Bahwa hibah adalah suatu persetujuan yang dibuat atau dilakukan sewaktu hidup, sedangkan hibah wasiat adalah suatu ketentuan yang berlaku sesudah orang yang membuatnya meninggal dunia. Penerima hibah harus ”ada” saat menerima hibah. Dalam pasal 1679 KUH Perdata dikatakan bahwa suatu hibah tidak boleh diberikan kepada orang-orang yang sudah meninggal atau kepada anak-anak yang belum lahir. Hibah kepada seseorang dalam kandungan diperbolehkan, namun dilihat apakah anak yang berkenaan benar-benar ada didalam kandungan dapat dilihat dari kelahirannya kemudian, yang harus terjadi kurang lebih 9 bulan setelah tanggal hibah.11

e. Penghibahan harus diterima dengan kata-kata tegas oleh orang yang diberi hibah.

10Dunia Anggara,Op.Cit.


(24)

Terkait dengan penerimaan hibah ini telah dijelaskan pula dalam Pasal 1683 KUH Perdata, yang berbunyi “tiada suatu penghibahan pun mengikat penghibah atau mengakibatkan sesuatu sebelum penghibahan diterima dengan kata-kata tegas oleh orang yang diberi hibah atau oleh wakilnya yang telah diberi kuasa olehnya untuk menerima hibah yang telah atau akan dihibahkannya itu. Jika penerimaan itu tidak dilakukan dengan akta hibah itu maka penerimaan itu dapat dilakukan dengan suatu akta autentik kemudian, yang naskah aslinya harus disimpan oleh pejabat umum yang berwenang untuk itu asal saja hal itu terjadi waktu penghibah masih hidup; dalam hal demikian maka bagi penghibah, hibah tersebut hanya sah sejak penerimaan hibah itu diberitahukan dengan resmi kepadanya dan penerima hibah menerimanya.”

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), hibah diatur dalam Bab VI Pasal 210 sampai dengan Pasal 214.

Dalam Pasal 210 Kompilasi Hukum Islam (KHI) ditentukan:

(1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun berakal sehat tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki.

(2) Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah. Pasal 213 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya. Pasal 214 Kompilasi Hukum Islam juga menerangkan selain itu bagi warga negara Indonesia yang berada di negara asing juga dapat membuat surat hibah di hadapan Konsulat atau Kedutaan Republik Indonesia


(25)

setempat sepanjang isinya tidak bertentangan dengan ketentuan pasal-pasal dalam KHI tersebut. Dalam hal hibah yang akan dibuat di luar negeri ternyata negara tersebut tidak ada hubungan diplomatik dengan negara Indonesia, maka si penghibah harus ke negara tetangga tempat domisili yang ada konsulat jenderal atau kedutaan Indonesia.

Pasal 211 Kompilasi Hukum Islam menentukan hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan dan juga hibah tersebut tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orangtua kepada anaknya. Dengan terjadinya penarikan atau penghapusan hibah ini, maka segala macam barang yang telah dihibahkan harus segera dikembalikan kepada penghibah dalam keadaan bersih dari beban-beban yang melekat di atas barang tersebut. Misalnya saja, barang tersebut sedang dijadikan jaminan hutang, maka harus segera dilunasi oleh penerima hibah sebelum barang tersebut dikembalikan kepada pemberi hibah.12 Kemudian juga dalam hal pewaris menghibahkan hartanya kepada bukan ahliwaris, penghibahan dibatasi sepanjang tidak merugikan hak para ahli waris.13

Pembahasan persoalan hibah semakin menarik tatkala hibah tersebut dilakukan oleh seseorang yang dalam keadaan sakit. Suatu hal yang terbit dari pelaksanaan hibah dalam keadaan sakit adalah ditemukannya hal-hal yang memberikan kondisi pada kelemahan fisik dan psikis di pemberi hibah. Sehingga dikhawatirkan hal-hal yang lahir dari perbuatan seseorang yang lemah fisik dan psikisnya seperti pasien dalam keadaan sakit memberikan pengaruh terhadap perbuatan hukum termasuk dalam pelaksanaan pemberian hibah.

Sakit bukan hanya keadaan di mana terjadi suatu proses penyakit. Tetapi sakit

12Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, Dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW,

(Bandung: Rafika Aditama, 2005), hal. 95.


(26)

adalah suatu keadaan di mana fungsi fisik, emosional, intelektual, sosial perkembangan, atau spiritual seseorang berkurang atau terganggu bila dibandingkan dengan kondisi sebelumnya.14

Kanker merupakan sebuah proses penyakit, tetapi seseorang dengan penyakit leukimia yang sedang menjalani pengobatan mungkin akan mampu berfungsi seperti biasanya, sedangkan seseorang lainnya dengan kanker payudara yang sedang mempersiapkan diri untuk menjalani operasi mungkin akan merasakan akibatnya pada dimensi lain selain dimensi fisik.15

Seseorang yang sedang sakit pada umumnya mempunyai perilaku yang menurut istilah sosiologi kedokteran disebut perilaku sakit. Perilaku sakit mencakup cara seseorang memantau tubuhnya, mendefinisikan dan menginterprestasikan gejala yang dialaminya, melakukan upaya penyembuhan dan menggunakan sistem pelayanan kesehatan.16

Sakit berdasarkan uraian di atas dengan berbagai penyebabnya memberikan suatu keadaan lemahnya tubuhnya seseorang, dimana lemahnya tubuh seseorang tersebut akan berakibat pula kepada tingkat kesadarannya. Tetapi yang perlu diketahui pada kapasitas ini seseorang tersebut mengetahui bahwa kelemahannya yang dialami tersebut disebabkan ia sedang menjadi sakit. Pada suatu kondisi seseorang yang sedang sakit ini dapat pula dimasukkan ke ruang intensif care unit

14Patricia A. Potter dan Anne Griffin Perry,Buku Ajar Fundamental Keperawatan, Konsep,

Proses dan Praktik, Terjemahan Yasmin Asih dkk, (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC), hal. 18

15Ibid. 16Ibid., hal. 18.


(27)

(ICU).

Seseorang yang dalam keadaan sakit dalam kaitannya dengan suatu perbuatan hukum tentunya amat sangat dihubungkan dengan tingkat kesadarannya. Kesadaran adalah pengetahuan penuh atas diri, lokasi dan waktu. Penurunan kesadaran adalah keadaan dimana penderita tidak sadar dalam arti tidak terjaga/tidak terbangun secara utuh sehingga tidak mampu memberikan respons yang normal terhadap stimulus. Kesadaran secara sederhana dapat dikatakan sebagai keadaan dimana seseorang mengenal/mengetahui tentang dirinya maupun lingkungannya.17

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dipahami apapun jenis dan status orang yang dalam keadaan sakit maka hal tersebut berhubungan dengan tingkat kesadarannya. Sehingga apabila seseorang yang sedang sakit dan kemudian ingin membuat pernyataan yang berhubungan dengan hukum seperti pemberian hibah, maka kondisi yang pertama yang akan menjadi pertanyaan adalah tingkat kesadarannya. Apabila menurut dokter si sakit mempunyai tingkat kesadaran yang baik dalam membuat keputusan maka biarpun seseorang dalam suatu perawatan yang intensif di rumah sakit, pernyataan tetap saja dapat diterima dimata hukum.

Suatu hal yang menjadi suatu permasalahan mendasar dalam penelitian ini adalah bahwa ditemukan adanya pertentangan antara syarat sah membuat/melakukan suatu hibah (yang harus dengan akta) pada keadaan si penghibah yang berada dalam keadaan sakit. Keadaan-keadaan yang ditimbulkan dari suatu penyakit khususnya

17Harsono, Buku Ajar Neurologi Klinis, (Yokyakarta, Gajah Mada University Press, 1996),


(28)

pesakitan tentunya memberikan akibat kepada kondisi fisik dan kejiwaan yang lemah dari si pemberi hibah sehingga secara rasional dapat ditafsirkan si pemberi hibah dapat melakukan kesalahan dalam membuat akta hibah.

Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini mengambil judul tentang “Keabsahan Akta Hibah Yang ditanda Tangani Dalam Keadaan Sakit Menurut Hukum Perdata”.

B. Perumusan Masalah

Bertitik tolak dari identifikasi masalah di atas, maka yang menjadi permasalahan penelitian ini adalah :

1. Bagaimana keabsahan atas hibah yang ditandatangani oleh penghibah dalam keadaan sakit?

2. Bagaimana kedudukan ahli waris lain dari hibah yang diberikan ketika pemberi hibah dalam keadaan sakit?

3. Bagaimana pembatalan akta hibah yang diberikan ketika pemberi hibah dalam keadaan sakit?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada permasalahan di atas maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui keabsahan atas hibah yang ditandatangani oleh penghibah

dalam keadaan sakit.


(29)

pemberi hibah dalam keadaan sakit.

3. Untuk mengetahui pembatalan akta hibah yang diberikan ketika pemberi hibah dalam keadaan sakit.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari hasil penelitian dapat dilihat secara teoritis dan secara praktis, yaitu:

1. Secara teoritis, penelitian dapat bermanfaat untuk mengembangkan ilmu hukum khususnya ketentuan hukum atas keabsahan penghibahan dimana penghibah dalam keadaan sakit.

2. Secara praktis, dari hasil penelitian ini dapat sebagai bahan pegangan dan rujukan dalam melakukan penghibahan yang dilakukan di rumah sakit.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara khusus pada Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana USU, penelitian dengan judul “Keabsahan Akta Hibah Yang Ditandatangani Dalam Keadaan Sakit Menurut Hukum Perdata”, belum pernah dilakukan. Memang pernah ada penelitian tentang hibah yang dilakukan:

1. Lila Triana, Nomor Induk: 027011035, mahasiswa Magister Kenotariatan Program Pascasarjana USU, Tahun 2004 dengan judul “Hibah Kepada Anak Angkat Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Adat (Studi di Kota


(30)

Medan)”, dengan permasalahan yang dibahas:

a. Apa yang menjadi motif terjadinya pengangkatan anak secara adat yang dapat diakui oleh Islam?

b. Bagaimana pelaksanaan hibah terhadap anak angkat pada Pengadilan Agama Medan?

c. Apakah suatu hibah yang telah diberikan dapat dibatalkan menurut hukum Islam dan hukum adat?

2. Agustina Darmawati, Nomor Induk: 077011003, mahasiswa Magister Kenotariatan Program Pascasarjana USU, Tahun 2009 dengan judul “Analisis Yuridis Atas Harta Gono-Gini Yang Dihibahkan Ayah Kepada Anak: Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No. 691/Pdt.G/2007/PA.Medan”, dengan permasalahan yang dibahas:

a. Bagaimana akibat hukum terhadap harta gono-gini yang telah dihibahkan orang tua kepada anak?

b. Bagaimana bila orang tua yang menghibahkan menarik kembali harta gono-gini tersebut?

c. Bagaimana kekuatan hukum bila harta hibah tersebut tidak diaktakan di hadapan Notaris?

Jika diperhadapkan penelitian yang pernah dilakukan dengan penelitian ini, baik permasalahan maupun pembahasan adalah berbeda. Oleh karena itu penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori


(31)

spesifik atau proses tertentu terjadi.18 Sedangkan kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis. Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat teori, tesis sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui.19

Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk serta menjelaskan gejala yang diamati.20 Dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian hukum, maka kerangka teori diarahkan secara ilmu hukum dan mengarahkan diri kepada unsur hukum.

Penelitian ini sendiri menggunakan teori tujuan hukum untuk menganalisis permasalahan yang akan dibahas nantinya. Dalam ilmu hukum, ada empat unsur yang merupakan fondasi penting, yaitu: moral, hukum, kebenaran, dan keadilan. Akan tetapi menurut filosof besar bangsa Yunani, yaitu Plato, keadilan merupakan nilai kebajikan yang tertinggi. Menurut Plato, “Justice is the supreme virtue which harmonize all other virtues.”21

Membicarakan tujuan dari pada hukum maka akan sangat banyak defenisi yang didapati, karena setiap ahli hukum akan memberikan defenisinya sendiri, sesuai situasi dan kondisi zamannya serta kepentingan-kepentingan saat itu. Namun demikian tidak berarti bahwa tidak mempunyai pegangan dalam menelusuri hutan rimba dari pada hukum. Sama seperti halnya orang berpakaian, walaupun ada banyak jenis-jenis pakaian dengan berbagai model, tapi orang harus memakai salah satu

18JJ. M. Wuisman,Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-Asas,Penyunting M. Hisyam, (Jakarta:

Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996), hal. 203.

19M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Madju, 1994), hal. 80. 20Lexy J. Moleong,Metodologi Penelitian Kualitatif,(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006),

hal. 35.

21Roscoe Pound,Justice According To the Law,(New Haven USA: Yale University Press,


(32)

pakaian yang dianggap cocok atau sesuai dengan tubuhnya. Walaupun banyak pendapat para ahli hukum tentang tujuan hukum, namun hanya akan menggunakan beberapa pendapat tentang teori tujuan dari hukum, sesuai dengan tujuan penelitian ini dan sebagai landasan bagi penulisan selanjutnya.

Menurut Soedjono Dirdjosisworo dalam pergaulan hidup manusia, kepentingan-kepentingan manusia bisa senantiasa bertentangan satu dengan yang lain, maka tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan itu.22 Kepentingan-kepentingan manusia

itu bermacam-macam, seperti kepentingan untuk menikmati apa yang menjadi haknya, kepentingan untuk mendapatkan perlindungan hukum, kepentingan untuk mendapatkan kebahagian hidup lahir dan batin, dan sebagainya.

Menurut Muchsin sebenarnya hukum bukanlah sebagai tujuan tetapi dia hanyalah sebagai alat, yang mempunyai tujuan adalah manusia, maka yang dimaksud dengan tujuan hukum adalah manusia dengan hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan itu.23 Secara umum, Van Apeldoorn mengatakan bahwa tujuan hukum ialah mengatur pergaulan hidup secara damai. Maksudnya hukum menghendaki perdamaian, yang semuanya bermuara kepada suasana damai. Rudolf Von Jhering mengatakan bahwa tujuan hukum ialah untuk memelihara keseimbangan antara berbagai kepentingan. Aristoteles mengatakan tujuan hukum itu ialah untuk memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi anggota masyarakat sebanyak-banyaknya, sedangkan Roscoe Pound mengatakan tujuan hukum ialah sebagai alat untuk membangun masyarakat (law is tool of social engineering).24

Pada dasarnya teori yang berkenaan dengan judul di atas adalah teori yang berkenaan dengan kepastian hukum. Kepastian Hukum berarti bahwa dengan adanya hukum setiap orang mengetahui yang mana dan seberapa haknya dan kewajibannya serta teori “kemanfaatan hukum”,yaitu terciptanya ketertiban dan ketentraman dalam

22Soedjono Dirjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1983),

hal. 11.

23Muchsin,Ikhtisar Ilmu Hukum,(Jakarta: Badan Penerbit Iblam, 2006), hal. 11 24Ibid, hal. 11.


(33)

kehidupan masyarakat, karena adanya hukum tertib (rechtsorde).

Teori Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibabankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah diputuskan.25

Teori kepastian hukum menegaskan bahwa tugas hukum itu menjamin kepastian hukum dalam hubungan-hubungan pergaulan kemasyarakatan. Terjadi kepastian yang dicapai “oleh karena hukum”. Dalam tugas itu tersimpul dua tugas lain yakni hukum harus menjamin keadilan maupun hukum harus tetap berguna. Akibatnya kadang-kadang yang adil terpaksa dikorbankan untuk yang berguna. Ada 2 (dua) macam pengertian “kepastian hukum” yaitu kepastian oleh karena hukum dan kepastian dalam atau dari hukum. Kepastian dalam hukum tercapai kalau hukum itu sebanyak-banyaknya hukum undang-undang dan bahwa dalam undang-undang itu tidak ada ketentuan-ketentuan yang bertentangan, undang-undang itu dibuat berdasarkan “rechtswerkelijkheid” (kenyataan hukum) dan dalam undang-undang

25Peter Mahmud Marzuki,Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana Pranada Media Group,


(34)

tersebut tidak dapat istilah-istilah yang dapat di tafsirkan berlain-lainan.26

Menurut Satjipto Raharjo dalam bukunya “Ilmu Hukum” mengatakan bahwa: teori kemanfaatan (kegunaan) hukum bisa dilihat sebagai perlengkapan masyarakat untuk menciptakan ketertiban dan keteraturan. Oleh karena itu ia bekerja dengan memberikan petunjuk tentang tingkah laku dan berupa norma (aturan-aturan hukum).27 Pada dasarnya peraturan hukum yang mendatangkan kemanfaatan atau kegunaan hukum ialah untuk terciptanya ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan masyarakat, karena adanya hukum tertib (rechtsorde).

2. Konsepsi

Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut denganoperational definition.28Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.29 Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, sebagai berikut:

a. Keabsahan adalah kekuatan mengikat menurut hukum.

b. Akta hibah adalah akta yang dibuat oleh seseorang yang bertujuan memberikan kepada orang lain sebagian atau seluruhnya harta kekayaannya melalui hibah

26

M. Solly Lubis,Diktat Teori Hukum,disampaikan pada Rangkaian Sari Kuliah Semester II, Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum, USU Medan, 2007, hal. 43

27Satjipto Rahardjo,Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, Cet. ke-3, 1991), hal.13 28

Sutan Remy Sjahdeini,Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), hal. 10.

29Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia: Suatu Tinjauan Putusan


(35)

baik dibuat di bawah tangan maupun dengan akta notaris.

c. Keadaan sakit adalah suatu keadaan dimana seseorang yang menurut detail diagnosa doktor menderita penyakit yang membuat yang bersangkutan tidak mampu menggunakan fikiran atau akal sehatnya.

G. Metode Penelitian

Metode ilmiah dari suatu ilmu pengetahuan adalah segala cara dalam rangka ilmu tersebut, untuk sampai kepada kesatuan pengetahuan. Tanpa metode ilmiah, suatu ilmu pengetahuan itu sebenarnya bukan suatu ilmu tetapi suatu himpunan pengetahuan saja tentang berbagai gejala yang satu dengan gejala lainnya.30

Sedangkan penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi,31selain itu, penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala bersangkutan.32

1. Jenis Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang

30Koentjaraningrat,Pengantar Antropologi, (Jakarta: Aksara Baru, 1991), hal. 37. 31Peter Mahmud Marzuki,Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 35.

32Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,


(36)

disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process).33Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.34

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian normatif yang merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.35 Logika keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang obyeknya hukum itu sendiri. Dengan demikian penelitian ini meliputi penelitian terhadap sumber-sumber hukum, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen terkait dan beberapa buku mengenai akibat hukum terhadap keabsahan penghibahan yang dilakukan pemberi hibah dalam keadaan sakit.

2. Sumber Data

Materi dalam tesis ini diambil dari data sekunder, yaitu:

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni: a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

b) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. 2) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan

33Amiruddin dan Zainal Asikin,Pengantar Metode Penelitian Hukum,(Bandung: PT. Citra

Aditya Bakti, 2006), hal. 118.

34J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik,(Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada,

2003), hal. 3.

35Johnny Ibrahim,Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: UMM Press,


(37)

mengenai bahan hukum primer, seperti: hasil-hasil penelitian dan karya ilmiah dari kalangan hukum, yang berkaitan keabsahan penghibahan yang dilakukan pemberi hibah dalam keadaan sakit.

3) Bahan tertier adalah bahan pendukung di luar bidang hukum seperti kamus ensiklopedia atau majalah yang terkait dengan keabsahan penghibahan yang dilakukan pemberi hibah dalam keadaan sakit.

3. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka untuk memperoleh data sekunder berupa buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan.

Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut:36

a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan objek penelitian.

b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui, artikel- artikel media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan perundang-undangan.

36Ronitijo Hanitijo Soemitro,Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia


(38)

c. Mengelompokan data-data yang relevan dengan permasalahan.

d. Menganalisis data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.

4. Teknik Analisis Data

Lexy J. Moloeng mengatakan bahwa proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto, dan sebagainya.37

Dalam penelitian ini, semua data yang diperoleh dikelompokkan sesuai dengan penelitian dan diteliti serta dievaluasi keabsahannya. Setelah itu diseleksi dan diolah lalu dianalisa sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku untuk melihat kecenderungan yang ada. Analisa data termasuk penarikan kesimpulan dilakukan secara deduktif, sehingga diharapkan akan memberikan solusi dan jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini.

37Lexy J. Moleong,Metodologi Penelitian Kualitatif,(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006),


(39)

BAB II

KEABSAHAN ATAS HIBAH YANG DITANDATANGANI OLEH PENGHIBAH DALAM KEADAAN SAKIT

A. Hibah Berdasarkan Hukum Perdata

Dapat diketahui lebih jelas bahwa definisi dan pengertian hibah dalam hukum perdata adalah suatu benda yang diberikan secara cuma-cuma tanpa mengharapkan imbalan, dan hal tersebut dilakukan ketika si penghibah dan penerima hibah masih hidup.

Menurut kamus ilmiah popular internasional hibah adalah pemberian, sedekah, pemindahan hak.38Ada beberapa istilah lain yang dapat dinilai sama dengan hibah yakni “Schenking” dalam Bahasa Belanda dan “gift” dalam bahasa Inggris. Akan tetapi antara “gift” dengan hibah terdapat perbedaan mendasar terutama di dalam cakupan pengertiannya. Demikian pula antara hibah dengan “Schenking” pun memiliki perbedaan mendasar, terutama yang menyangkut masalah kewenangan istri, kemudian yang terjadi antara suami dan istri. “Schenking” tidak dapat dilakukan oleh istri tanpa bantuan suami. Demikian pula “Schenking” tidak boleh antara suami istri. Adapun hibah dapat dilakukan oleh seorang istri tanpa bantuan suami, demikian pula hibah antara suami istri tetap dibolehkan.39

Dari beberapa pengertian, hibah dapat disimpulkan suatu persetujuan dalam mana suatu pihak berdasarkan atas kemurahan hati, perjanjian dalam hidupnya

38Budiono,Kamus Ilmiah Popular Internasional,(Surabaya : Alumni, 2005), hal. 217 39Sudarsono,Sepuluh Aspek Agama Islam, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994), hal. 343


(40)

memberikan hak milik atas suatu barang kepada pihak kedua secara percuma dan yang tidak dapat ditarik kembali, sedangkan pihak kedua menerima baik penghibahan ini. Sedangkan akta hibah dalam hukum positif adalah akta yang dibuat oleh si penghibah yang ditandatangani, diperbuat untuk dipakai sebagai bukti hibah dan untuk keperluan hibah dibuat.

Dasar hukum hibah menurut hukum positif diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hibah diatur dalam Pasal 1666 yaitu:

“Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Undang-undang tidak mengakui lain-lain hibah-hibah diantara orang-orang yang masih hidup.”

Prosedur (Proses) penghibahan harus melalui akta Notaris yang asli disimpan oleh Notaris bersangkutan dengan Pasal 1682, yaitu:

“Tiada suatu hibah, kecuali yang disebutkan dalam pasal 1687, dapat, atas ancaman batal, dilakukan selainnya dengan suatu akta notaris, yang aslinya disimpan oleh notaris itu”.

Dalam pandangan Hukum Islam Indonesia mempunyai berbagai macam suku, budaya, dan agama. Indonesia merupakan Negara hukum yang menggunakan dasar hukum Islam dan hukum positif juga hukum adat. Ada juga hukum adat menjadi acuan dasar hukum, yang paling utama adalah hukum Islam dan hukum positif. Menurut hukum Islam, hibah memiliki berbagai definisi yang berbeda-beda. Hal tersebut dikarenakan perbedaan pendapat antara orang-orang ahli ilmu agama dan ahli hukum Islam.


(41)

Sedangkan kata hibah adalah bentuk masdar dari kata wahaba artinya memberi.40 Dan jika subyeknya Allah berarti memberi karunia, atau menganugrahi (Q.S. Ali Imran, 3:8, Maryam, 19:5, 49, 50, 53). Dalam pengertian istilah, hibah adalah pemilikan sesuatu benda melalui transaksi (Aqad) tanpa mengharap imbalan yang telah diketahui dengan jelas ketika pemberi masih hidup.41

Pengertian hibah dalam Ensiklopedi Hukum Islam adalah pemberian yang dilakukan secara sukarela dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT tanpa mengharapkan balasan apapun.42

Di dalam syara’, hibah berarti akad yang pokok persoalan pemberian harta milik seseorang kepada orang lain di waktu dia hidup, tanpa adanya imbalan. Apabila seseorang memberikan hartanya kepada orang lain untuk dimanfaatkan tetapi tidak diberikan kepadanya hak pemilikan, maka hal itu disebut i’aarah (pinjaman).43

Kompilasi Hukum Islam (KHI Pasal 171 huruf g), hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.44

Terdapat beberapa definisi hibah yang dikemukakan oleh para ulama :

1. Abd al-Rahman al-Jaziri dalam Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah.45 menghimpun empat definisi hibah dari empat mazhab, yaitu menurut mazhab

40

A. W. Munawir,Kamus Al-Munawir,(Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hal. 1584. 41

Ahmad Rofiq,Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 466 42

Abdul Aziz Dahlan, et.al.,Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Van Hoeve, 1996), hal. 540 43

Sayyid Sabiq,Fikih Sunnah, Jilid 14 (Terjemah), (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 1997), hal. 167 44

Tim Redaksi Fokusmedia,Kompilasi Hukum Islam,(Bandung: Fokusmedia, 2007), hal. 56.

45Abd al-Rahman al-Jaziri dalam Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah,(Beirut: Dar


(42)

Hanafi, hibah adalah memberikan sesuatu benda dengan tanpa menjanjikan imbalan seketika, sedangkan menurut mazhab Maliki yaitu memberikan milik sesuatu zat dengan tanpa imbalan kepada orang yang diberi, dan juga bisa disebut hadiah. Mazhab Syafi’i dengan singkat menyatakan bahwa hibah menurut pengertian umum adalah memberikan milik secara sadar sewaktu hidup.

2. Definisi yang lebih rinci dan komprehensif dikemukakan ulama mazhab Hambali. Ulama mazhab Hambali mendefinisikannya sebagai pemilikan harta dari seseorang kepada orang lain yang mengakibatkan orang yang diberi boleh melakukan tindakan hukum terhadap harta tersebut, baik harta itu tertentu maupun tidak, bendanya ada dan bisa diserahkan.46

3. Menurut Teungku Muhammad Hasbie Ash-Shiddieqy hibah ialah mengalih hak milik kepadaorang lain secara Cuma-Cuma tanpa adanya bayaran.47

4. Menurut As Shan’ani dalam kitab Subulussalam yang diterjemahkan oleh Abu Bakar Muhammad mengatakan bahwa hibah adalah pemilikan harta dengan akad tanpa mengharapkan pengganti tertentu pada masa hidup.48

5. Definisi dari Syekh Muhammad ibn Qasim al-Ghazzi,49 hibah adalah memberikan

sesuatu yang dilestarikan dan dimutlakkan dalam hubungannya dengan keadaan ketika masih hidup tanpa ada ganti, meskipun dari jenjang atas.

6. Menurut M.Ali Hasan hibah adalah pemberian atau hadiah yaitu suatu pemberian

46Ibid.

47Teungku Muhammad Hasbie Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah,(Semarang: PT

Pustaka Rizki Putra, 2001), hal. 98.

48Abu Bakar Muhammad,Subulussalam (Terjemah),(Surabaya: Al-Ikhlas, 1995), hal. 319 49

Syekh Muhammad ibn Qasim al-Ghazzi,Fath al-Qarib al-Mujib,(Semarang: Pustaka Alawiyah, t.th), hal. 39


(43)

atau hadiah, yaitu suatu pemberian yang dilakukan secara sukarela dalam mendekatkan diri kepada Allah tanpa mengharapkan balasan apa pun.50

7. Senada dengan Drs. Hamid Farihi, M.A., juga berpendapat bahwa hibah didefinisikan sebagai akad yang dilakukan dengan maksud memindahkan milik seseorang kepada orang lain ketika masih hidup dan tanpa imbalan.51

Dalam Al-Qur’an, penggunaan kata hibah digunakan dalam konteks pemberian anugerah Allah SWT kepada utusan-utusan-Nya, doa-doa yang dipanjatkan oleh hamba-hamba-Nya, terutama para nabi, dan menjelaskan sifat Allah Yang Maha Memberi Karunia. Namun ayat ini dapat digunakan petunjuk dan anjuran secara umum, agar seseorang memberikan sebagian rezekinya kepada orang lain. Misalnya, QS. Al-Baqarah ayat 262, dimana terjemahannya:52

Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah,Kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala disisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

(Q.S Al- Baqarah : 262)53 Firman Allah juga:

Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang Telah kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku, Mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan Aku dapat bersedekah dan Aku termasuk orang-orang yang saleh?"(Al- Munafiqun: 10)54

50M. Ali Hasan,Berbagai macam transaksi dalam Islam,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 76.

51Chuzaimah dan Hafizn Anshary AZ. (Editor),Problematika Hukum Islam kontemporer III, (Jakarta: Pustaka firdaus, 2004), hal. 105

52

Ahmad Rofiq,Hukum Islam di Indonesia,(Jakarta: PT Raja Grasindo Persada,1995), hal. 467 53

Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an,Al-Qur’an dan Terjemah,Jakarta, 1971, hal. 66


(44)

Jumhur fuqaha berpegang bahwa ijma’ (kesepakatan) telah terjadi tentang bolehnya seseorang dalam keadaan sehatnya memberikan seluruh hartanya kepada orang asing sama sekali di luar anak-anaknya. Jika pemberian seperti ini dapat terjadi untuk orang asing, maka terlebih lagi terhadap anak. Alasan mereka adalah hadits Abu Bakar yang terkenal, bahwa ia memberi ‘Aisyah pecahan-pecahan seberat 20 wasaqdari harta hutan. Pada saat menjelang wafatnya, Abu Bakar berkata:

“Demi Allah, wahai anakku, tidak seorangpun yang kekayannya lebih menyenangkan aku sesudah aku selain daripada engkau. Dan tidak ada yang lebih mulia bagiku kefakirannya selain daripada engkau. Sesungguhnya aku dahulu memberimu pecahan (emas) 20 wasaq. Maka jika engkau memecah-mecah dan memilikinya, maka itu adalah bagimu. Hanya saja, harta itu sekarang menjadi harta waris.”55

Mereka berpendapat bahwa maksud hadits tersebut adalah nadb (sunnah). Yang jelas al-Qur’an dan hadits banyak sekali menggunakan istilah yang konotasinya menganjurkan agar manusia yang telah dikarunia rezeki itu mengeluarkan sebagiannya kepada orang lain. Kendati istilah-istilah tersebut memiliki ciri-ciri khas yang berbeda, kesamaannya adalah bahwa manusia diperintahkan untuk mengeluarkan sebagian hartanya.

Menurut jumhur ulama rukun hibah ada empat: a. Wahib(Pemberi)

Wahib adalah pemberi hibah, yang menghibahkan barang miliknya kepada orang lain.

b. Mauhublah(Penerima)


(45)

Penerima hibah adalah seluruh manusia dalam arti orang yang menerima hibah.

c. Mauhub

Mauhub adalah barang yang di hibahkan. d. Shighat(Ijab dan Qabul)

Shighat hibbah adalah segala sesuatu yang dapat dikatakan ijab dan qabul.56 Sedangkan syarat-syarat hibah. Hibah menghendaki adanya penghibah, orang yang diberi hibah, dan sesuatu yang dihibahkan.

1. Syarat-syarat penghibah

Disyaratkan bagi penghibah syarat-syarat sebagai berikut: a. Penghibah memiliki sesuatu untuk dihibahkan

b. Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya karena suatu alasan. c. Penghibah itu orang dewasa, sebab anak-anak kurang kemampuannya.

d. Penghibah itu tidak dipaksa, sebab hibah itu akad yang mempersyaratkan keridhaan dalam keabsahannya.

2. Syarat-syarat bagi orang yang diberi hibah

Orang yang diberi hibah disyaratkan benar-benar ada waktu diberi hibah. Bila tidak benar-benar ada, atau diperkirakan adanya, misalnya dalam bentuk janin, maka hibah tidak sah. Apabila orang yang diberi hibah itu ada di waktu pemberian hibah, akan tetapi dia masih atau gila, maka hibah itu diambil oleh

56Muhamad Salim, "Hibah, Hukum Dan Syaratnya", Melalui

http://serbamakalah.blogspot.com/2013/05/hibah-hukum-dan-syaratnya.html, Diakses tanggal 27 Juni 2014.


(46)

walinya, pemeliharaannya atau orang mendidiknya sekalipun dia orang asing. 3. Syarat-syarat bagi yang dihibahkan

Disyaratkan bagi yang dihibahkan: a. Benar-benar ada

b. Harta yang bernilai

c. Dapat dimiliki zatnya, yakni bahwa yang dihibahkan itu adalah apa yang bisa dimiliki, diterima peredarannya, dan pemilikannya dapat berpindah tangan. Maka tidak sah menghibahkan air di sungai, ikan di laut, burung di udara, masjid-masjid atau pesantren-pesantren.

d. Tidak berhubungan dengan tempat pemilik hibah, seperti menghibahkan tanaman, pohon, atau bangunan tanpa tanahnya.

e. Dikhususkan, yakni yang dihibahkan itu bukan untuk umum, sebab pemegangan dengan tangan itu tidak sah kecuali bila ditentukaan (dikhususkan) seperti halnya jaminan.57

Terdapat dua hal yang hendak dicapai oleh hibah yakni, Pertama, dengan beri memberi akan menimbulkan suasana akrab dan kasih sayang antara sesama manusia. Sedangkan mempererat hubungan silaturrahmi itu termasuk ajaran dasar agama Islam. Kedua, yang dituju oleh anjuran hibah adalah terbentuknya kerjasama dalam berbuat baik, baik dalam menanggulangi kesulitan saudaranya, maupun dalam


(47)

membangun lembaga-lembaga sosial.58

B. Syarat-Syarat Akta Hibah Dalam Proses Melakukan Hibah Menurut Hukum Perdata

Hibah barulah mengikat dan mempunyai akibat hukum bila pada hari penghibahan itu dengan kata-kata yang tegas telah dinyatakan diterima oleh penerima hibah, atau dengan suatu akta otentik telah diberi kuasa pada orang lain. Pada Pasal 1683 KUH Perdata menyebutkan :

”Tiada suatu hibah mengikat si penghibah, atau menerbitkan sesuatu akibat yang bagaimanapun, selain mulai hari penghibahan itu dengan kata-kata yang tegas telah diterima oleh si penerima hibah sendiri atau oleh seorang yang dengan suatu akta autentik oleh si penerima hibah itu telah dikuasakan untuk menerima penghibahan-penghibahan yang telah diberikan kepada si penerima hibah atau akan diberikan kepadanya di kemudian hari.

Jika penerimaan tersebut tidak telah dilakukan didalam surat hibah sendiri, maka itu akan dapat dilakukan didalam suatu akta autentik kemudian, yang aslinya harus disimpan, asal yang demikian itu dilakukan di waktu si penghibah masih hidup; dalam hal mana penghibahan, terhadap orang yang belakangan disebut ini, hanya akan berlaku sejak hari penerimaan itu diberitahukan kepadanya.”

Guna mendapatkan suatu keputusan akhir perlu adanya bahan-bahan mengenai fakta-fakta. Dengan adanya bahan yang mengenai fakta-fakta itu akan dapat diketahui dan diambil kesimpulan tentang adanya bukti. Kita mengetahui

58 Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Konteporer, (Jakarta:


(48)

bahwa dalam setiap ilmu pengetahuan dikenal tentang adanya pembuktian.

Dalam hal ini ada beberapa alat dalam perkara perdata yang bisa digunakan sebagai bukti, antara lain :

a. Bukti dengan surat b. Bukti dengan saksi c. Persangkaan-persangkaan d. Sumpah

Dari beberapa macam alat bukti di atas, sesuai dengan permasalahan akan meneliti tentang alat bukti tertulis atau surat. Alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Surat sebagai alat pembuktian tertulis dapat dibedakan dalam akta dan surat bukan akta, sedangkan pengertian akta adalah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk membuktikan.59

Dan dalam hal akta masuk dalam kategori alat bukti dengan surat dalam HIR Pasal 165 disebutkan bahwa: “Surat (akta) yang sah, ialah suatu surat yang diperbuat demikian oleh atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa untuk membuatnya, menjadi bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak dari padanya, tentang segala hal yang disebut didalam surat itu dan juga tentang yang ada dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja, dalam hal terakhir ini hanya jika yang diberitahukan itu berhubungan langsung dengan perihal pada surat (akta) itu.

Kemudian akta masih dapat dibedakan lagi dalam akta autentik, akta di bawah tangan dan surat bukan akta. Jadi dalam hukum pembuktian dikenal paling tidak tiga

59 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty


(49)

jenis surat, yaitu: 1. Akta autentik

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1868 pengertian akta autentik adalah: “Suatu akta autentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.”

Berdasarkan Pasal 1868 KUH Perdata dapat disimpulkan unsur akta autentik yakni:

a. Bahwa akta tersebut dibuat dan diresmikan (Verleden) dalam bentuk menurut hukum;

b. Bahwa akta tersebut dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum;

c. Bahwa akta tersebut dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk membuatnya di tempat akta tersebut dibuat, jadi akta itu harus ditempat wewenang pejabat yang membuatnya.

Pasal 1869 KUH Perdata: “Suatu akta yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai dimaksud di atas, atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta autentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan jika ia ditanda tangani oleh para pihak.”

Dapat disimpulkan bahwa akta otentik adalah surat yang dibuat oleh atau dihadapan seseorang pejabat umum yang mempunyai wewenang membuat surat itu, dengan maksud untuk menjadikan surat itu sebagai alat bukti. Pejabat umum yang dimaksud adalah Notaris, pegawai catatan sipil, juru sita, panitera pengadilan dan


(50)

sebagainya.

2. Akta di bawah tangan

Akta dibawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat.60Ada ketentuan khusus mengenai akta di bawah tangan, yaitu akta di bawah tangan yang memuat hutang sepihak, untuk membayar sejumlah uang tunai atau menyerahkan suatu benda, harus ditulis seluruhnya dengan tangan sendiri oleh yang bertanda tangan, suatu keterangan untuk menguatkan jumlah atau besarnya atau banyaknya apa yang harus dipenuhi, dengan huruf seluruhnya.

Keterangan ini lebih terkenal dengan “bon pour cent florins”. Bila tidak demikian, maka akta di bawah tangan itu hanya dapat diterima sebagai permulaan bukti tertulis(Ps. 4 S 1867 No. 29, 1871 BW, 291 Rbg).

Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada Pasal 1874 yang dalam ayat satu mengatakan: “Sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan dianggap akta-akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai umum.”

Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1878 KUH Perdata terdapat kekhususan akta dibawah tangan, yaitu akta harus seluruhnya ditulis tangan si penanda tangan sendiri, atau setidak-tidaknya, selain tanda tangan, yang harus ditulis dengan


(51)

tangannya si penanda tangan adalah suatu penyebutan yang memuat jumlah atau besarnya barang atau uang yang terhutang. Apabila ketentuannya tidak dipenuhi, maka akta tersebut hanya sebagai suatu permulaan pembuktian dengan tulisan.61 3. Surat bukan akta

Untuk kekuatan pembuktian dari surat yang bukan akta di dalam HIR maupun KUH Perdata tidak ditentukan secara tegas. Walaupun surat-surat yang bukan akta ini sengaja dibuat oleh yang bersangkutan, tapi pada asasnya tidak dimaksudkan sebagai alat pembuktian di kemudian hari. Oleh karena itu surat-surat yang demikian itu dapat dianggap sebagai petunjuk ke arah pembuktian.

Yang dimaksudkan sebagai petunjuk ke arah pembuktian disini adalah bahwa surat-surat itu dapat dipakai sebagai bukti tambahan ataupun dapat pula dikesampingkan dan bahkan sama sekali tidak dapat dipercaya.

Jadi dengan demikian surat bukan akta untuk supaya dapat mempunyai kekuatan pembuktian, sepenuhnya bergantung pada penilaian hakim sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1881 (2) KUH Perdata.

Pasal 1881 ayat satu KUH Perdata menentukan sebagai berikut:

“Register-register dan surat-surat urusan rumah tangga tidak memberikan pembuktian untuk keuntungan si pembuatnya; adalah register-register dan surat-surat itu merupakan pembuktian terhadap si pembuatnya:

1e. di dalam segala hal di mana surat-surat itu menyebutkan dengan tegas tentang suatu pembayaran yang telah diterima;

2e. apabila surat-surat itu dengan tegas menyebutkan bahwa catatan yang telah dibuat adalah untuk memperbaiki suatu kekurangan di dalam

61


(52)

sesuatu alasan hak bagi seorang untuk keuntungan siapa surat itu menyebutkan suatu perikatan.

Pasal 1883 ayat satu KUH Perdata menentukan sebagai berikut : “Catatan yang oleh seorang berpiutang dibubuhkan pada suatu alas hak yang selamanya dipegangnya, harus dipercayai, biarpun tidak ditandatangani maupun diberikan tanggal, jika apa yang ditulis itu merupakan suatu pembebasan terhadap si berutang.”

Maka dari itu dapat penulis simpulkan bahwa walaupun surat-surat yang bukan akta merupakan alat pembuktian yang bebas nilai kekuatan buktinya sebagaimana telah diuraikan diatas, tetapi ada juga surat-surat yang bukan akta yang mempunyai kekuatan bukti yang lengkap, antara lain surat-surat yang ditentukan dalam Pasal 1881 dan Pasal 1883 KUH Perdata.

Sedangkan akta hibah menurut hukum positif dalam hukum perdata alat bukti tertulis atau surat tercantum dalam Pasal 138,165,167 HIR/Pasal 164, 285-305 R.bg dan Pasal 1867-1894 BW serta Pasal 138-147 RV. Pada asasnya di dalam persoalan perdata (hibah), alat bukti yang berbentuk tulisan itu merupakan alat bukti yang diutamakan atau merupakan alat bukti yang nomor satu jika dibandingkan dengan alat-alat bukti lainnya.62

Dengan demikian, Alat bukti surat merupakan alat bukti pertama dan utama. Dikatakan pertama oleh karena alat bukti surat gradasinya disebut pertama dibandingkan dengan alat bukti lainnya sedangkan dikatakan utama oleh karena dalam hukum perdata (hibah) yang dicari adalah kebenaran formal. Maka alat bukti


(53)

surat memang sengaja dibuat untuk dapat dipergunakan sebagai alat pembuktian utama.

Di dalam hukum, akta mempunyai bermacam-macam fungsi. Fungsi akta termaksud dapat berupa, antara lain:

a. Syarat untuk menyatakan adanya suatu perbuatan hukum. Suatu akta yang dimaksudkan dengan mempunyai fungsi sebagai syarat untuk menyatakan adanya suatu perbuatan hukum adalah bahwa dengan tidak adanya atau tidak dibuatnya akta, maka berarti perbuatan hukum itu tidak terjadi. Dalam hal ini diambilkan contoh sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1681, 1682, 1683 (tentang cara menghibahkan), 1945 KUH Perdata (tentang sumpah di muka hakim) untuk akta autentik; sedangkan untuk akta di bawah tangan seperti halnya dalam Pasal 1610 (tentang pemborongan kerja), Pasal 1767 (tentang peminjaman uang dengan bunga), Pasal 1851 KUH Perdata (tentang perdamaian). Jadi, akta disini maksudnya digunakan untuk lengkapnya suatu perbuatan hukum.

b. Sebagai alat pembuktian

Fungsi suatu akta sebagai alat pembuktian dimaksudkan bahwa dengan tidak adanya atau tidak dibuatnya akta, maka berarti perbuatan hukum tersebut tidak dapat terbukti adanya. Dalam hal ini dapat diambilkan contoh dalam pasal 1681, 1682, 1683 (tentang cara menghibahkan). Jadi disini akta memang dibuat untuk alat pembuktian di kemudian hari.63

Dari definisi yang telah diketengahkan dimuka jelas bahwa akta itu dibuat sejak


(54)

semula dengan sengaja untuk pembuktian dikemudian hari. Sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta itu tidak membuat sahnya perjanjian tetapi hanyalah agar dapat digunakan sebagai alat bukti di kemudian hari.64

Seperti telah disinggung di atas bahwa fungsi akta yang paling penting di dalam hukum adalah akta sebagai alat pembuktian, maka “daya pembuktian atau kekuatan pembuktian akta akan dapat dibedakan ke dalam tiga macam”65yaitu: a. Kekuatan Pembuktian Lahir (pihak ketiga).

Yang dimaksud dengan kekuatan pembuktian lahir ialah kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keadaan lahir, apa yang tampak pada lahirnya: yaitu bahwa surat yang tampaknya (dari lahir) seperti akta, dianggap (mempunyai kekuatan) seperti akta sepanjang tidak terbukti sebaliknya.66 Jadi surat itu harus diperlakukan seperti akta, kecuali ketidakotentikan akta itu dapat dibuktikan oleh pihak lain. Misalnya dapat dibuktikan bahwa tanda tangan yang di dalam akta dipalsukan.

Dengan demikian berarti pembuktiannya bersumber pada kenyataan.67 b. Kekuatan Pembuktian Formil

Kekuatan pembuktian formil ini didasarkan atas benar tidaknya ada pertanyaan oleh yang bertanda tangan di bawah akta itu. Kekuatan pembuktian ini memberi kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak menyatakan dan

64Sudikno Mertokusumo,Op. Cit, hal. 160.

65A Pitlo,Pembuktian dan Daluwarsa,(Jakarta: PT Intermasa,1978), hal. 56-57. 66Sudikno Mertokusumo,Op. Cit,hal. 160


(55)

melakukan apa yang dimuat dalam akta.

Misalnya antara A dan B yang melakukan hibah, mengakui bahwa tanda tangan yang tertera dalam akta itu benar jadi pengakuan mengenai isi dari pernyataan itu. Atau dalam hal ini menyangkut pertanyaan, “benarkah bahwa ada pernyataan para pihak yang menandatangani“? Dengan demikian berarti pembuktiannya bersumber atas kebiasaan dalam masyarakat, bahwa orang menandatangani suatu surat itu untuk menerangkan bahwa hal-hal yang tercantum di atas tanda tangan tersebut adalah keterangannya.68

c. Kekuatan Pembuktian Material

Kekuatan pembuktian material yaitu suatu kekuatan pembuktian yang didasarkan atas benar atau tidaknya isi dari pernyataan yang ditandatangani dalam akta, bahwa peristiwa hukum yang dinyatakan dalam akta itu benar-benar telah terjadi. Jadi memberi kepastian tentang materi akta. Misalnya A dan B mengakui bahwa benar hibah (peristiwa hukum) itu telah terjadi.

Dengan demikian berarti pembuktiannya bersumber pada keinginan agar orang lain menganggap isi keterangannya dan untuk siapa isi keterangan itu berlaku, sebagai benar dan bertujuan untuk mengadakan bukti buat dirinya sendiri. Maka dari sudut kekuatan pembuktian material, suatu akta hanya memberikan bukti terhadap si penanda tangan. Seperti halnya surat yang berlaku timbal balik juga membuktikan terhadap dirinya sendiri dari masing-masing si penanda tangan.

Di dalam Pasal 165 HIR (Pasal 1870 dan 1871 KUH Perdata) dikemukakan


(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku:

Ali, Zainuddin,HukumPerdata Islam di Indonesia,Jakarta: Sinar Grafika, 2006. Al-Jaziri, Abd al-Rahman dalam Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah,

Terjemahan M. Isa Daud, Beirut: Dar al-Fikr,t.th, Juz 3.

Amanat, Anisitus,Membagi Warisan Berdasarkan Pasal–Pasal Hukum Perdata BW. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2001.

Amiruddin dan Asikin, Zainal,Pengantar Metode Penelitian Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006.

Anshoruddin,Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2004.

Basyir. Ahmad Azhar,Hukum Waris Islam. Yogyakarta : UII Press. 1995.

Budiono, Herlien, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Bandung: Citra Aditya, 2008.

_______,Kamus Ilmiah Popular Internasional,Surabaya : Alumni, 2005.

_______, Rachmad, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999.

Chuzaimah dan Hafizn Anshary AZ. (Editor), Problematika Hukum Islam kontemporer III, Jakarta: Pustaka firdaus, 2004.

Dahlan, Abdul Aziz, et.al.,Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Van Hoeve, 1996.

Dirjosisworo, Soedjono, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1983.

Fadjar. Muktie, A.Tipe Negara Hukum. Malang: Bayumedia Publishing, 2005. Fayzee, Asaf A.A.Pokok-Pokok Hukum Islam II,Jakarta: Tintamas, 1961.


(2)

Ghazzi, Syekh Muhammad ibn Qasim Al, Fath al-Qarib al-Mujib, Semarang: Pustaka Alawiyah, t.th.

Hadjon. Philipus M. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. Bina Ilmu. Surabaya, 1987.

Hamid, Andi TahirPeradilan Agama dan Bidangnya, Jakarta: Sinar Grafika, 1994. Hasan, M. Ali, Berbagai macam transaksi dalam Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2003.

Harsono, Buku Ajar Neurologi Klinis, Yokyakarta, Gajah Mada University Press, 1996.

Hazairin,Hukum Kekeluargaan Nasional, Jakarta: Tinta Mas, 1982.

Hoesein, Ibrahim,Problematika Wasiat Menurut Pandangan Islam,Jakarta: Makalah pada seminar FHUI 15 April 1985.

Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: UMM Press, 2007.

Indonesia, Departemen Kesehatan Republik, Standar Pelayanan ICU. Jakarta : Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. 2003.

___________, Standar Pelayanan Rumah Sakit. Jakarta : Direktorat Rumah Sakit Umum dan Pendidikan, Jakarta: Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. 1996. J, Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Jakarta, PT. RajaGrafindo

Persada, 2003.

Jassin, H.B.Bacaan Mulia, Jakarta: Djambatan, 1991.

Kamelo, Tan, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia: Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, PPs-USU, Medan, 2002.

Kansil. CST Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1987.

Karim, Helmi,Fiqh Muamalah,Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997. Karim,HelmiFiqh Muamalah,Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997.


(3)

Koenjtaraningrat,Pengantar Antropologi, Jakarta: Aksara Baru, 1991. Lubis, M. Solly Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: Mandar Madju, 1994.

___________, Diktat Teori Hukum, disampaikan pada Rangkaian Sari Kuliah Semester II, Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum, USU Medan, 2007.

Lubis, Suhrawardi K. dan Simanjuntak, Komis, Hukum Waris Islam (Lengkap dan Praktis),Jakarta: Sinar Grafika, 1999.

Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islamdi Indonesia,Jakarta: Prenada Media Group, 2006.

Maraghi, Ahmad Musthafa Al,Tafsir Al-Maraghi,Semarang: CV Toha Putra, 1985. Marzuki, Peter Mahmud,Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2006.

___________, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2008.

Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2006.

Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006.

Muchsin,Ikhtisar Ilmu Hukum,Jakarta: Badan Penerbit Iblam, 2006.

Muhammad, Abu Bakar,Subulussalam (Terjemah),Surabaya: Al-Ikhlas, 1995. Munawir, A. W.Kamus Al-Munawir,Surabaya: Pustaka Progresif, 1997. Muslim,Shahih Muslim,Juz II, Bandung: Ma’arif, tt.

Nasional, Departemen Pendidikan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Patricia A. Potter dan Anne Griffin Perry, Buku Ajar Fundamental Keperawatan, Konsep, Proses dan Praktik, Terjemahan Yasmin Asih dkk, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.


(4)

Pound, Roscoe, Justice According To the Law, New Haven USA: Yale University Press, 1952.

Rahardjo, SatjiptoIlmu Hukum, Bandung: Alumni, Cet. ke-3, 1991.

___________,Penyelenggaraan Keadilan dalam Masyarakat yang Sedang Berubah. Jurnal Masalah Hukum. Jakarta, 1993.

Rahman, FatchurIlmu Waris, Bandung: PT. Alma’arief, Jakarta, 1981.

Ramulyo. M. Idris, Beberapa Masalah Pelaksanaan Hukum Kewarisan Perdata Barat (Burgerlijk Wetboek). Jakarta: Sinar Grafika. 1993.

Rofiq, AhmadHukum Islam di Indonesia,Jakarta: Rajawali Pers, 1995. Rusyd, IbnuBidayatul-Mujtahid,juz 4 , Semarang: Asy-Syifa’, 1990. Sabiq, SayyidFikih Sunnah, (Terjemah), Jakarta: Pena Pundi Aksara, 1997. ___________,FiqhSunnah 5,Jakarta: Cakrawala Publishing, 2009.

Samudera, Teguh,Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata,Jakarta:Alumni, 1992. Sarmadi, Sukris Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, Jakarta:

Raja Grafindo persada, 1997.

Shiddieqy, Muhammad Hasbi Ash,Fiqh Mawaris. Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1997.

_______, Teungku Muhammad Hasbie Ash, Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang:PT Pustaka Rizki Putra, 2001.

Sjahdeini, Sutan Remy, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993.

Soemitro, Ronitijo Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.

Subekti, R.Hukum Pembuktian, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2007. Sudarsono,Pokok-Pokok Hukum Islam,Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992.


(5)

________,Sepuluh Aspek Agama Islam, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994.

Sunggono, Bambang Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1997.

Suparman, Eman, Hukum Waris Indonesia, Dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, Bandung: Rafika Aditama, 2005.

Suparman. Eman Intisari Hukum Waris Indonesia. Bandung: Mandar Maju. Bandung. 1995.

Syafe’i, Rachmat,Fiqh Muamalah,Bandung: Pustaka Setia, 2001.

Thaib, M. Hasballah Hukum Benda Menurut Islam, Medan: Universitas Dharmawangsa, Medan, 1992.

Tobing, G.H.S. LumbanPeraturan Jabatan Notaris, Jakarta: Erlangga, 1999.

Wuisman, JJ. M. Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-Asas, Penyunting M. Hisyam, Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996.

Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemah, Jakarta, 1971.

B. Perundang-Undangan:

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.


(6)

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.

C. Internet:

Dunia Anggara, “Hibah”,http://anggara.org/2007/09/18/tentang-hibah/.

Fitri Hidayat's Blog, " Perlindungan Hukum Unsur Esensial Dalam Suatu Negara Hukum", Melalui http://fitrihidayat-ub.blogspot.com/2013/07/perlindu ngan-hukum-unsur-esensial-dalam.html.

Hukum Zone, “Hibah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”,

http://hukumzone.blogspot.com/2011/05/hibah-menurut-kitab-undang-undang-hukum.html.

Tri Sulistiyani, “Bilamana Pasien Masuk ICU”, http://joglosemar.co/2013/05/ bilamana-pasien-masuk-icu.html.

Yulianto, “Ruang ICU (Intensive Care Unit)”, http://yulianto14.wordpress. com/2011/ 11/12/definisi-ruang-icu/.