Perlindungan konsumen perspektif hukum islam : analisa terhadap uu no.8 th.1999

(1)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (SSY)

Oleh :

RIDWAN

NIM : 102043124930

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQIH

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

i

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah menganugerahkan nikmat yang tidak terhingga kepada segenap umat-Nya, Salawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, beserta keluarganya, para sahabatnya dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

Berkat rahmat dan hidayah dari Allah SWT., akhirnya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dengan judul PERLINDUNGAN KONSUMEN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Analisis Terhadap UU No. 8 Tahun 1999)

Betapapun hambatan dan kesulitan seakan terasa ringan, berkat dukungan dan bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada :

1. Bapak. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, Dekan Fakultas

Syari’ah dan Hukum beserta Pembantu Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak. Dr. KH. Ahmad Mukri Aji, MA, MM, Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum beserta Bapak. Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag, Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas


(3)

ii

karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik.

4. Majelis Ulama Indonesia yang telah memberikan data-data dan literatur-literatur yang berhubungan dengan kebutuhan penulis untuk menyelesaikan tulisan ini.

5. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan di lingkungan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Ayah dan bunda yang tercinta H. Lukman Hakim dan Hj. Romlah yang senantiasa mendoakan, mendukung dan membantu ananda (penulis), baik moril maupun materil.

8. Kakanda Ardiamsyah yang selalu menemani dan memberikan dukungan, semangat dan motifasi kepada adinda (penulis).

9. Para rekan-rekan mahasiswa/i Konsentrasi Perbandingan Mazhab Fiqh Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2002, yang telah menkontribusikan dukungannya kepada penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.

10.Segenap sahabat terdekat di lingkungan Rumah (rayap-rayap) Abu, Yuyu, Baba, Andi, Gendut, Qway.


(4)

iii

materil. Mudah-mudahan ini bukanlah karya ilmiah terakhir, yang dipersembahkan oleh penulis, semoga skripsi ini bermanfaat, Amien.

Jakarta, 13 Syawal 1431 H 22 September 2010 M

Penulis


(5)

iv

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Review Kepustakaan ... 9

E. Metode Penulisan Skripsi ... 10

F. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II KONSEP HUKUM ISLAM TENTANG MAKANAN HALAL DAN HAK-HAK KONSUMEN A. Pengertian Makanan Halal ... 15

B. Dasar Hukum Makanan Halal ... 18

C. Syarat-syarat dan Kriteria Makanan Halal Dalam Islam ... 22

D. Sistem dan Prosedur Penetapan Produk Halal ... 23

E. Hakikat dan Hak-hak Konsumen dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen ... 31


(6)

v

A. Sejarah Lahirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen di Indonesia ... 34 B. Asas dan Tujuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen ... 39 C. Bentuk-Bentuk Perlindungan Konsumen Muslim dalam

Undang-Undang No.8 Tahun 1999 ... 47

BAB IV ANALISIS TERHADAP UU NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG

PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PERSPEKTIF

ISLAM

A. Analisis Terhadap Bentuk-bentuk Perlindungan Ponsumen Dalam Undang-undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen... 60 B. Analisis Relevansi UU No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen Terhadap Jaminan Kehalalan Produk Bagi Konsumen Muslim ... 77

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 91 B. Saran ... 92

DAFTAR PUSTAKA ... 95


(7)

1

A. Latar Belakang

Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini kedudukan konsumen sangat lemah, antara lain disebabkan oleh tingkat kesadaran dan tingkat pendidikan konsumen yang relatif masih rendah, hal ini diperburuk dengan anggapan sebagian pengusaha yang rela melakukan apapun demi produk mereka, tanpa memperhitungkan kerugian-kerugian yang akan dialami oleh konsumen, juga pemahaman mereka tentang etos-etos bisnis yang tidak benar, seperti anggapan bahwa bisnis harus memperoleh keuntungan semata-mata, bisnis tidak bernurani, ada juga yang beranggapan bahwa bisnis itu memerlukan banyak biaya maka akan merugikan apabila dibebani dengan biaya-biaya sosial, dan sebagainya.

Perhatian terhadap perlindungan konsumen sangat diperlukan mengingat setiap orang pada suatu waktu, apakah sendiri atau berkelompok bersama orang lain, dalam keadaan apapun pasti menjadi konsumen untuk suatu barang atau jasa tertentu. Oleh karena itu diperlukan pemberdayaan konsumen.

Patut disyukuri kini di Indonesia telah memiliki undang-undang yang mengatur tentang perlindungan konsumen, yaitu dikeluarkannya undang-undang No 8 Tahun 1999 tentang perlindungan terhadap konsumen. UU ini disahkan oleh BJ Habibie Presiden peralihan pada saat itu.1

1

Yusuf Shofie, Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi, ( Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002 ), h. 13


(8)

Dalam undang-undang tersebut, disebutkan bahwa hak konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang atau jasa. Undang-undang ini menunjukkan bahwa setiap konsumen, termasuk konsumen muslim yang merupakan mayoritas konsumen di Indonesia, berhak untuk mendapatkan barang dan jasa yang nyaman dikonsumsi olehnya, salah satu pengertian nyaman bagi konsumen muslim adalah bahwa barang tersebut tidak bertentangan dengan kaidah agamanya, yaitu halal. Selanjutnya dalam undang-undang ini juga disebutkan bahwa konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa. Hal ini memberikan pengertian kepada kita bahwa keterangan halal yang diberikan oleh perusahaan haruslah benar atau telah teruji terlebih dahulu. Dengan demikian perusahaan tidak dapat dan serta merta mengklaim bahwa produknya halal, sebelum melalui pengujian kehalalan yang telah ditentukan.

Dengan adanya undang-undang tersebut diharapkan akan terwujud suatu tatanan masyarakat dan hukum yang baik, dan terjadi keseimbangan antara produsen dan konsumen yang baik, sehingga tercipta suatu perekonomian yang sehat dan dinamis sehingga tercapai kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Sehubungan dengan uraian di atas Islam telah mangajarkan bahwa setiap perbuatan yang merugikan pihak lain itu dilarang, terutama dalam pemakaian barang atau jasa. Sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an Surat An-nisa :


(9)

Allah berfirman:

Artinya : “Hai Orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah membunuh dirimu, sesungguhnva Allah adalah maha penyayang kepadamu”. (Q.S. An-Nisa/ 4: 29)

Dalam ayat tersebut secara jelas Allah telah mensyariatkan bahwa transaksi ekonomi dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia harus dengan cara yang baik dan benar, yaitu harus saling merelakan, dan cara-cara yang batil dilarang oleh Agama.

Pembeli atau konsumen seharusnya menerima barang dalam kondisi baik dan dengan harga yang wajar. Mereka juga harus diberitahu apabila terdapat kekurangan-kekurangan pada suatu barang.2

Islam melarang produk-produk di bawah ini ketika berhubungan dengan konsumen atau pembeli3 :

1. Penggunaan alat ukur atau timbangan yang tidak tepat. 2. Penimbunan dan pemanipulasian harga.

3. Penjualan barang palsu atau rusak

4. Bersumpah untuk mendukung sebuah penjualan. 5. Membeli barang-barang curian

2

Rafik Isa Beekum, Etika Bisnis Islami, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004 ), h. 72.

3


(10)

6. Larangan mengambil bunga atau riba.

Dengan demikian ini membuktikan, bahwa Islam adalah agama yang universal. Karena mengatur segala kebutuhan dan kegiatan manusia, tak terkecuali dalam hal muamalah, misalnya perekonomian dan bisnis dengan berdasarkan al-Quran dan al-Sunnah.

Al-Quran merupakan wahyu yang diturunkan dengan berbagai tujuan. Diantara tujuan tersebut adalah membasmi kemiskinan materiil dan spiritual, kebodohan, penyakit dan penderitaan hidup serta pemerasan manusia atas manusia dalam bidang agama, sosial, ekonomi, dan juga politik.4 Selain itu Al-Quran juga merupakan sumber ajaran agama Islam yang menyangkut semua dimensi kehidupan manusia. Dengan tujuan eksistensinya, Al-Quran merupakan sumber ajaran yang memuat nilai-nilai dan norma-norma yang mengatur aktifitas-aktifitas manusia termasuk aktifitas-aktifitas ekonomi dan bisnis.5

Kalau kita bicara tentang konsumen, pada mulanya memang tidak mengenal suku bangsa. Namun kita sebagai umat Islam hendaklah dapat memilih produk-produk mana yang aman dikonsumsi oleh muslim. Dengan kata lain, ada legalitas. Misalnya hak konsumen dalam kebersihan, kesehatan, keamanan, juga kehalalan. Karena dalam Islam mengkomsumsi yang halal, suci dan baik

4

Quraish Shihab. Wawasan al-Quran. (Bandung : Mizan, 1996), h. 12 5

Mohammad R. Lukman Fauroni. Vlsi al-Quran Tentang Etika Dan Bisnis, ( Jakarta : Salemba Diniyah ), h. 4.


(11)

merupakan perintah agama dan hukumnya adalah wajib, sebagai mana dalam firman Allah SWT :

Artinya : ”Hai sekalian manusia! makanlah yang halal lagi baik dan apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagimu” (Q.S Al-Baqarah 2: 168 )

Ayat di atas juga menunjukkan bahwa hal tersebut merupakan salah satu perwujudan dan rasa syukur dan keimanan kepada Allah, sebaliknya, mengkonsumsi yang tidak halal di pandang sebagai mengikuti ajaran setan, karena mengkonsumsi yang tidak halal (haram) menyebabkan segala amal ibadah yang dilakukan tidak akan diterima oleh Allah SWT.6

Sebagai konsumen yang menduduki peringkat mayoritas, umat Islam harus melindungi bahan-bahan makanannya dan bahan pencemaran bahan-bahan haram, baik bahan utamanya maupun bahan aditif dalam proses pengolahannya. Karena bagaimanapun masalah halal lebih terfokus pada hubungan langsung antara manusia dengan Tuhannya, yang tidak boleh ditutupi hanya untuk kepentingan praktis, misalnya kepentingan ekonomi, bisnis, politik, stabilitas, dan lain-lain yang belum jelas kecenderungannya.

Oleh karena itu maka pemerintah bersama dengan ulama atau pemuda agama Islam berkewajiban untuk melakukan pengawasan dan hal-hal yang dapat

6

Departemen Agama RI, Sistem dan Prosedur Penetapan Fatwa Produk Halal Majlis Ulama Indonesia, 2003, h. 2


(12)

mempengaruhi kehalalan dan bahan pokok, bahan tambahan, produksi dan pengedaran makanan serta minuman.7

Kasus-kasus makanan halal yang dapat meragukan masyarakat akan mempunyai dampak negatif tidak hanya berpengaruh bagi perusahaan itu sendiri, tetapi juga bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat dan bangsa pada umumnya. Yang paling penting bagi seorang muslim dalam hal makanan dan minuman adalah suatu yang erat sekali kaitannya dengan ibadah.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang merupakan wadah musyawarah para ulama zu’ama, dan cendekiawan muslim dipandang sebagai lembaga paling berkompeten dalam pemberian jawaban masalah sosial keagamaan (ifta) yang senantiasa timbul dihadapi masyarakat Indonesia. Hal ini mengingat bahwa lembaga ini merupakan wadah bagi semua umat Islam Indonesia yang beraneka ragam kecenderungan dan madzhabnya, oleh karena itu fatwa yang dikeluarkan oleh MUI diharapkan dapat diterima oleh seluruh kalangan dan lapisan masyarakat, serta diharapkan pula dapat menjadi acuan pemerintah dalam pengambilan kebijaksanaan.

Salah satu wujud nyata dan upaya MUI adalah dengan dibentuknya lembaga pengkajian pangan, obat-obatan, dan kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LP. POM MUI). Fungsi dan lembaga ini adalah melakukan penelitian, audit dan pengkajian secara seksama dan menyeluruh terhadap produk-produk

7

Departeman Agama RI, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal, ( Jakarta : 2003), h. 2


(13)

olahan. Hasil penelitiannya kemudian dibawa ke komisi fatwa untuk membahas dalam sidang komisi dan kemudian difatwakan hukumnya, yakni fatwa halal, jika sudah diyakini bahwa produk bersangkutan tidak mengandung unsur-unsur benda-benda haram atau najis.8

Dengan adanya kejelasan label halal ini diharapkan konsumen muslim menjadi tenang ketika menkonsumsi makanan. sebagaimana dalam undang-undang no 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen telah dicantumkan dalam pasal 8 UUPK, disamping itu pemerintah juga telah mengeluarkan UU no. 76 /1996 tentang pangan dan (PP) no. 69 I 1999 pasal 10 ayat 1, juga dipertegas oleh SK Menteri Agama RI no. 518 tentang labe1isasi halal.9

Meski demikian masih banyak para produsen yang tidak memperdulikan tentang kehalalan produk mereka. Sedangkan mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, jadi sejauh manakah UU no. 8 tahun 1999 ini merespon kepentingan hukum Islam perlu diteliti lebih lanjut.

Berdasarkan latar belakang inilah penulis bermaksud melakukan penelitian dengan judul : “PERLINDUNGAN KONSUMEN PERSPEKTIF

HUKUM ISLAM ”. (Analisa Terhadap UU No. 8 Th. 1999)

8

Departeman Agama, Sistem dan ProsedurPenetapan Fatwa Produk Halal, h. 6 9

Wiwid Prast, “Bread Talk Dan Masalah Serti/Ikasi Halal’, Dalam Furqon, IV, 18, Mei 2006. hlm.47


(14)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Untuk menghindari luasnya permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, maka penulis merasa perlu membatasi permasalahan yang akan dibahas. Untuk itu, penulis hanya akan membahas tentang UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dan setelah melihat pembatasan masalah, maka penulis dapat merumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap UU No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen ?

2. Bagaimana hakikat UU perlindungan konsumen dan nilai Islam

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Skripsi

Penulisan skripsi ini disusun dengan tujuan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bagaimanakah pandangan hukum Islam terhadap UU no.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.

2. Untuk mengetahui bagaimanakah hakikat UU perlindungan konsumen Adapun manfaat dan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian ini diharapkan bisa menjadi salah satu sumber informasi bagi akademisi, praktisi dan penelitian selanjutnya.

2. Penelitian ini diharapkan bisa menjadi salah satu pedoman kehalalan produk yang bisa dikonsumsi konsumen muslim


(15)

D. Review Kepustakaan

1. Muhammad Ihsan (102046225379)

Judul : Efektifitas Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Polis Asuransi

Syari’ah Ditinjau Dari Hukum Islam Dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. (Studi Kasus AJB Bumi Putera 1912

cabang Syari’ah)

Membahas tentang : Klausula baku yang dikeluarkan oleh perusahaan

Asuransi Syari’ah serta akibat hukumnya ditinjau dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang perlindungan Konsumen.

Hubungan antara akad Asuransi Syari’ah dan ketentuan pasal 18 UU No. 8 Tahun 1999 dalam perjanjian Asuransi Syari’ah.

2. Siti Nurseha (103046128321)

Judul : Hubungan Antara Persepsi Konsumen Terhadap Loss Leader Princing Dengan Keputusan Pembelian Konsumen Pada Alfa Mart.

Membahas tentang :Bagaimana persepsi konsumen terhadap leader pricing yang dilakukan alfa mart & adakah hubungan antara persepsi konsumen terhadap loss leader pricing dengan keputusan pembelian konsumen.

3. Muhammad Fauzi Rahula (101046122355)

Judul : Sikap Konsumen Terhadap Promosi Product Fast Food Dalam Perspektif Islam.


(16)

Membahas tentang : Gambaran umum responden KFC M.T Haryono jakarta Selatan Serta karakteristik konsumen berdasarkan pada pengetahuan dan status ekonomi.

4. Siti Rohmah (101046122319)

Membahas Tentang :Bagaimana proses sertifikasi halal pada product Papa

Ron’s Pizza dan apakah label halal sebagai suatu upaya perlindungan konsumen muslim, berpengaruh penjualan produk dan dapat memenuhi

prefensi dikalalngan konsumen Papa Ron’s Pizza.

E. Metode Penulisan skripsi

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yang mendasarkan kajiannya pada kajian literatur murni atau penelitian kepustakaan. Karena kajian ini adalah analisis UU maka untuk mendapatkan hasil yang diharapkan dan untuk memperoleh data yang obyektif serta otentik, dalam penelitian ini penulis menggunakan metode-metode sebagai berikut:

1. Pendekatan perundang-undangan

Dalam metode ini peneliti perlu memahami hirarki, dan asas-asas dalam perundang–undangan. Menurut pasal 1 angka 2 UU No. 10 Tahun 2004, peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Selanjutnya, Pasal 7 (1) UU No. 10 Tahun 2004 menetapkan jenis dan


(17)

hirarki perundang-undangan Republik Indonesia. Menurut ketentuan tersebut, Jenis dan hirarki peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945. b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. c. Peraturan Pemerintah.

d. Peraturan Presiden. e. Peraturan Daerah.10

Oleh karena dalam pendekatan perundang-undangan peneliti bukan saja melihat kepada bentuk peraturan perundang-undangan saja, melainkan juga menelaah materi muatannya, perlu kiranya peneliti mempelajari dasar ontologis lahirnya undang-undang Perlindungan Konsumen. Dalam penerapan sebuah undang-undang harus mencerminkan gagasan yang ada dibelakangnya, yaitu keadilan. Undang-Undang bukan sekedar produk tawar-menawar politik.11

2. Pengumpulan Data

Penelitian ini termasuk penelitian dokumentasi yang dikuatkan dalam jenis penelitian kepustakaan atau libray research.12 Maka pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian perundang-undangan, sehingga diharapkan penulis dapat berkonsentrasi dalam penelusuran dan

10

Peter Mahmud, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2007) h. 96 11

Ibid, h. 102 12


(18)

pengumpulan bahan-bahan pustaka dan data-data literatur yang relevan dengan penelitian dalam skripsi ini.

Adapun sumber-sumber pengumpulan data ini diambil: a. Sumber Data Primer

Sumber data primer yaitu informasi yang langsung mempunyai wewenang dan bertanggungjawab terhadap pengumpulan data sumber.13 Sumber data primer yang digunakan adalah UU RI NO 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder yaitu informasi yang tidak secara langsung mempunyai wewenang dan tanggungjawab terhadap informasi yang ada padanya.14 Sumber data sekunder yang digunakan adalah kitab-kitab (Tafsir, Hadits, Fiqih) yang menerangkan tentang cara bermuamalah dalam Islam serta sumber-sumber lain seperti Buku-Buku, Artikel llmiah, dan referensi lain yang berkaitan dengan pembahasan ini.

3. Analisis Data

Sebagai tindak lanjut pengumpulan data, maka analisis data menjadi sangat signifikan untuk menuju penelitian ini dan dalam menganalisa data penulis menggunakan analisis deskriptif yaitu prosedur pemecahan masalah

13

Muhammad Ali, Penelitian Pendidikan; Prosedur dan Strategi, ( Bandung : Angkasa, 1993), h. 42

14


(19)

yang diselidiki dengan cara menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek atau obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.15

F. Sistematika Penulisan Skripsi

Untuk memperoleh gambaran yang bersifat utuh dan menyeluruh serta ada keterkaitan antar bab yang satu dengan yang lain dan untuk lebih mempermudah dalam proses penulisan skripsi ini, perlu adanya sistematika penulisan. Adapun sistematika pada penulisan skripsi ini akan melalui beberapa tahap bahasan yaitu:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini merupakan gambaran secara keseluruhan skripsi yang meliputi: Latar belakang masalah, Perumusan masalah, Tujuan penulisan skripsi, Metode penulisan skripsi, Analisis data, Sistematika penulisan skripsi.

BAB II KONSEP ISLAM TENTANG MAKANAN HALAL DAN HAK-HAK KONSUMEN (VERSI MUI)

Pada bab ini pembahasannya meliputi: Pengertian dan Dasar hukum makanan halal, Syarat-syarat dan kriteria makanan halal. dan Sistem dan Prosedur Penetapan Produk Halal. Serta hakikat Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

15

Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, ( Yogyakarta : Gajahmada University Press, 1991 ), h. 63


(20)

BAB III KETENTUAN UNDANG-UNDANG NO.8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

Bab tiga merupakan hal-hal yang menyangkut: Latar belakang lahirnya UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, azas dan tujuan UU No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, Bentuk-bentuk perlindungan konsumen dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.

BAB IV ANALISA TERHADAP UU NO 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Analisis yang dibahas meliputi: Analisis terhadap bentuk-bentuk perlindungan konsumen dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, Analisis terhadap UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen perspektif hukum Islam.

BABV PENUTUP

Bab ini merupakan rangkaian akhir dan penulisan skripsi yang meliputi: Kesimpulan, Saran-saran, Sedangkan pada bagian akhir skripsi ini berisi daftar pustaka, lampiran-lampiran.


(21)

15

DAN HAK-HAK KONSUMEN

A. Pengertian Makanan Halal

Secara etimologi makan adalah memasukan sesuatu melalui mulut.1 Dalam bahasa Arab makanan berasal dari kata at’tha’âm dan jamaknya al-at’imah yang artinya makanan-makanan.2 Sedangkan dalam ensiklopedi hukum Islam yaitu segala sesuatu yang dimakan oleh manusia, sesuatu yang menghilangkan lapar.3

Halal berasal dari bahasa arab yang artinya membebaskan, memecahkan, membubarkan dan membolehkan. Sedangkan dalam ensiklopedi hukum Islam yaitu segala sesuatu yang menyebabkan seseorang tidak dihukum jika

menggunakan, atau mengerjakan sesuatu yang boleh dikerjakan menurut Syara‟4

Sedangkan menurut buku petunjuk teknis sistem produksi halal yang diterbitkan oleh Departemen Agama menyebutkan bahwa makanan adalah : barang yang dimaksudkan untuk dimakan dan diminum oleh manusia, serta bahan

1

W.J.S. Peorwadarminta, Kamus Bahasa Indonesia, Cet. V, (Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1976), h.662

2

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), h.853

3

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam. h.25 4


(22)

yang digunakan dalam produksi makanan dan minuman. Sedangkan halal adalah : sesuatu yang boleh menurut Islam.5

Jadi pada intinya, makanan halal adalah makanan yang baik yang dibolehkan memakannya menurut ajaran Islam, yaitu sesuai dengan tuntunan

Al-Qur‟an dan Al-Hadits. Sedangkan pengertian makanan yang baik yaitu segala makanan yang dapat membawa kesehatan bagi tubuh, dapat menimbulkan nafsu makan dan tidak ada larangan dalam Al-Qur‟an maupun Al-Hadits. Tetapi dalam hal yang lain diperlukan keterangan yang lebih jelas berdasarkan ijma' dan qiyas terhadap sesuatu nash yang sifatnya umum yang harus digali oleh ulama agar kemudian tidak menimbulkan hukum yang syubhat (menimbulkan keragu-raguan). Dan para ulama telah sepakat (ijma') tentang halalnya binatang-binatang ternak seperti unta, sapi, kerbau, dan kambing serta diharamkannya segala sesuatu yang bisa menimbulkan bahaya dalam bentuk keracunan, timbulnya penyakit atau adanya efek samping, dengan demikian para ulama memberikan keterangan tentang hukum-hukum makanan dan minuman.

Banyak ulama mengungkapkan pendapatnya tentang "halal" diantaranya sebagai berikut6 :

Kata "halâl" berasal dari bahasa Arab. Menurut Ibn Manzhur, halal itu berasal dari kata "al hillu yang berarti tidak terikat (al-thalâq). Lafazh halal

5

Bagian proyek sarana dan prasarana produk halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Petunjuk teknis pedoman sistem produksi halal,

Departemen Agama RI, Jakarta: 2003. hlm. 3. 6


(23)

merupakan lawan dari kata "haram", sedangkan lafazh "haram" itu pada asalnya berarti mencegah atau merintangi (al-man’u). Oleh karena itu, setiap yang mengharamkan itu menjadi tercegah atau terlarang.

Ibn Manzhur menjelaskan bahwa haram itu berarti segala sesuatu yang diharamkan Allah.7 Atas dasar itu, al-Munawi memberikan definisi halal "sesuatu yang tidak diharamkan". Maka, di dalamnya terkandung sesuatu yang dimakruhkan atau diperbolehkan.8 Definisi ini masih kabur karena belum memberikan batasan yang jelas dan spesifik.

Al-Jurjani memberikan definisi halal sebagai “sesuatu yang jika digunakan tidak mengakibatkan mendapat siksa”.9

Menurut Qal'aji dan Qunaibi, lafazh halal itu berasal dari halla al-syai'i apabila sesuatu itu telah menjadi mubah. Oleh karena itu, pengertian halal identik dengan "mubah",10 maka wajar apabila Al-Qardlawi secara eksplisit mengidentikkan keduanya seperti tercermin dalam definisi halal yang

diberikannya yaitu “sesuatu yang mubah yang diizinkan oleh Syar'i untuk

dikerjakan”.11

7

Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, Juz XV. h.9 8

Muhammad Abd Al-Rauf al-Munawi, Al-Taufîq „ala Muhimmât al-Ta’rif Mu’jam Lughowi Mutshalahi, ( Beirut : Dar al-Fikr al-Mu‟ashir, 1990 ), cet ke-1, h.20.

9

Al-Jurjani, Al-Ta’rifat, (Mesir : Maktabah wa Mathba‟ah Mushtafa al-Halabi wa Auladuh, 1936), h.82

10

Wahbah al-Zuhaily, Al-Tafsir al-Munîr, Juz II, h.72. 11

M. Yusuf al-Qardlawi, Al-Halâl wa al-Haram Fi al-Islâm, (t.t.: Dar al-Ma‟rifah, 1985), h.14


(24)

Dalam definisi yang diungkapkan al-Qardlawi tersebut terdapat dua unsur. Pertama, sesuatu yang mubah yang terdapat dalam dzat. Dengan demikian, secara substantif benda tersebut dzatnya adalah mubah. Kedua, "yang diizinkan oleh Syar'i” jadi makanan halal adalah berkaitan dengan perbuatan mukallaf yang diperbolehkan untuk dingerjakan.

B. Dasar Hukum Makanan Halal.

Pada asalnya : segala sesuatu yang diciptakan Allah itu halal, tidak ada yang haram, kecuali jika ada nash (dalil) yang mengharamkannya.12 Sebagaimana dalam sebuah kaidah fikih :

13

Artinya : Pada asalnya segala sesuatu itu mubah (boleh) sebelum ada dalil yang mengharamkannya.

Para ulama, dalam menetapkan prinsip bahwa segala sesuatu asal hukumnya boleh, , merujuk kepada ayat al Qur'an :

...

Artinya : Dialah yang menciptakan untuk kalian segala sesuatu di bumi... (QS. Al-Baqarah/ 2 : 29)

Dari ayat di atas dapat dikatakan bahwasanya makanan yang diharamkan oleh Islam sangatlah sedikit, sebaliknya makanan yang dibolehkan oleh Islam

12

Yusuf Qardhâwi, Halal Haram Dalam Islam, (Solo: Era Intermedia, 2003), h.36. 13


(25)

sangatlah banyak, jadi selama belum ada nash yang melarang atau mengharamkannya, akan kembali pada asalnya, yaitu boleh.

Dalam hal makanan, ada yang berasal dari binatang ada pula yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Ada binatang darat dan ada pula binatag laut. Ada binatang yang boleh dimakan dan ada pula binatang yang najis dan dilarang memakannya. Demikian juga makanan yang berasal dari bahan tumbuh-tumbuhan. Marilah kita mempelajari keterangan dari Al-Qur'an dan Hadits yang menyatakan makanan dan minuman yang halal dan yang haram dan kesimpulan hukum yang diambil dari pada keduanya.

Kepedulian Allah SWT sangat besar terhadap soal makanan dan aktifitas makan untuk makhluknya. Hal ini tercermin dari firman-Nya dalam al-Qur'an mengenai kata tha'am yang berarti "makanan" yang terulang sebanyak 48 kali dalam berbagai bentuknya. Ditambah pula dengan kata akala yang berarti "makan" sebagai kata kerja yang tertulis sebanyak 109 kali dalam berbagai derivasinya, termasuk perintah "makanlah" sebanyak 27 kali. Sedangkan kegiatan yang berhubungan dengan makan yaitu "minum" yang dalam bahasa Al-Qur'an disebut syariba terulang 39 kali.14

14

Tiench Tirta Winata, Makanan Dalam Perspektif Al-Qur’an Dan Ilmu Gizi, (Jakarta : Balai


(26)

Pada dasarnya semua makanan dan minuman yang berasal dari tumbuh-tumbuhan sayur-sayuran, buah-buahan dan hewan adalah halal kecuali yang beracun dan membahayakan nyawa manusia.15

Dasar hukum Al-Qur'an tentang makanan halal diantaranya yaitu

Artinya : "dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rizkikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepadaNYA". (QS. Al-Mâ'idah/ 5 : 88)

Juga dalam surat Al-Nahl

Artinya : Makanlah yang halal lagi baik dari rizki yang telah diberikan Allah kepadamu dan syukurilah nikmat Allah jika kamu hanya kepada-NYA menyembah. (QS. Al-Nahl/ 16 : 114).

Ayat-ayat di atas bukan saja menyatakan bahwa mengkonsumsi yang halal hukumnya wajib karena merupakan perintah agama, tetapi menunjukkan juga hal tersebut merupakan salah satu bentuk perwujudan rasa syukur dan keimanan kita kepada Allah. Sebaliknya, mengkonsumsi yang tidak halal dipandang sebagai mengikuti ajaran syaitan.

Sebenarnya dalam Al-Qur'an makanan yang diharamkan pada pokoknya hanya ada empat yaitu dalam surat Al-Baqarah :

15

Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal, h.7


(27)

Artinya : "Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang ketika disembelih disebut (nama) selain Allah. Tetapi, barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya, tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”. (QS. Al-Baqarah/ 2 : 173)

Dalam ayat ini telah dijelaskan bahwa makanan yang diharamkan diantaranya :

1. Bangkai, yang termasuk kategori bangkai adalah hewan yang mati dengan tidak disembelih ; termasuk didalamnya hewan yang mati tercekik, dipukul, jatuh, ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat disembelih, hanya bangkai ikan dan belalang saja yang boleh kita makan.

2. Darah, sering pula diistilahkan dengan darah yang mengalir, maksudnya adalah darah yang keluar pada waktu penyembelihan sedangkan darah yang tersisa setelah penyembelihan yang ada pada daging setelah dibersihkan dibolehkan. Ada dua macam darah yang dibolehkan untuk kita mengkonsumsinya yaitu jantung dan limpa.

3. Babi, apapun yang berasal dari babi hukumnya haram, darahnya, dagingnya, maupun tulangnya.


(28)

Jadi dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat produk pangan halal menurut syari'at Islam adalah :

1. Halal dzatnya;

2. Halal cara memperolehnya; 3. Halal dalam memperosesnya; 4. Halal dalam penyimpanannya; 5. Halal dalam pengangkutannya; 6. Halal dalam penyajiannya;

C. Syarat-syarat dan Kriteria Makanan Halal Menurut Islam.

Dalam hal makanan sebenarnya ada dua pengertian yang bisa kita kategorikan kehalalannya yaitu halal dalam mendapatkannya dan halal dzat atau substansi barangnya. Halal dalam mendapatkannya maksudnya adalah benar dalam mencari dan memperolehnya. Tidak dengan cara yang batil. Jadi, makanan yang pada dasar dzatnya halal namun cara memperolehnya dengan cara yang batil seperti : mencuri, hasil korupsi dan perbuatan batil lainnya, maka secara otomatis berubah stasus hukumnya menjadi haram.

Makanan halal secara dzatiyah (substansi barangnya), menurut Sayyid Sabiq dibagi dalam dua kategori, yaitu jamad (benda mati) dan hayawan (binatang).16

16

Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal, Direkorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Tanya Jawab Seputar Produk Halal, (Jakarta, 2003), h.7


(29)

Yang termasuk makanan dan minuman yang halal adalah :

1. Bukan berarti dari atau mengandung bagian atau benda dari binatang yang dilarang oleh ajaran Islam untuk memakannya atau yang tidak disembelih menurut ajaran Islam.

2. Tidak mengandung sesuatu yang digolongkan sebagai najis menurut ajaran Islam.

3. Dalam proses, menyimpan dan menghidangkan tidak bersentuhan atau berdekatan dengan makanan yang tidak memenuhi persyaratan sebagai mana huruf a, b, c, dan d di atas atau benda yang dihukumkan sebagai najis menurut ajaran Islam.

D. Sistem dan Prosedur Penetapan Produk Halal.

Produk-produk olahan, baik makanan, minuman, obat-obatan, maupun kosmetika, kiranya dapat dikategorikan dalam kelompok mutasyabihat (syubhat), apalagi jika produk tersebut berasal dari negeri yang penduduknya mayoritas non muslim, sekalipun bahan bakunya berupa barang suci dan halal. Sebab, tidak tertutup kemungkinan dalam proses pembuatannya tercampur atau menggunakan bahan-bahan yang haram atau tidak suci. Dengan demikian, produk-produk olahan tersebut bagi umat Islam jelas bukan merupakan persoalan sepele, tetapi merupakan persoalan besar. Maka wajarlah jika umat Islam sangat berkepentingan untuk mendapatkan ketegasan tentang status hukum


(30)

produk-produk tersebut, sehingga apa yang akan mereka konsumsi tidak menimbulkan keresahan dan keraguan.

Semua persoalan-persoalan tersebut harus segera mendapat jawabannya. Membiarkan persoalan tanpa jawaban dan membiarkan umat dalam kebingungan atau ketidakpastian tidak dapat dibenarkan, baik secara Syar‟i maupun secara

i‟tiqodi. Atas dasar itulah, para ulama dituntut untuk segera mampu memberikan

jawaban dan berupaya memberikan kehausan umat akan kepastian ajaran Islam berkenaan dengan persoalan yang mereka hadapi itu, terutama mengenai produk-produk yang akan dikonsumsi.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang merupakan wadah musyawarah para ulama zu‟ama, dan cendekiawan muslim dipandang sebagai lembaga paling berkompeten dalam pemberian jawaban masalah sosial keagamaan (ifta) yang senantiasa timbul dihadapi masyarakat Indonesia. Hal ini mengingat bahwa lembaga ini merupakan wadah bagi semua umat Islam Indonesia yang beraneka ragam kecenderungan dan madzhabnya, oleh karena itu fatwa yang dikeluarkan oleh MUI diharapkan dapat diterima oleh seluruh kalangan dan lapisan masyarakat, serta diharapkan pula dapat menjadi acuan pemerintah dalam pengambilan kebijaksanaan.

Salah satu wujud nyata dari upaya MUI adalah dengan dibentuknya lembaga pengkajian pangan, obat-obatan, dan kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LP. POM MUI). Fungsi dari lembaga ini adalah melakukan penelitian, audit dan pengkajian secara seksama dan menyeluruh terhadap produk-produk


(31)

olahan. Hasil penelitiannya kemudian dibawa ke komisi fatwa untuk membahas dalam sidang komisi dan kemudian difatwakan hukumnya, yakni fatwa halal, jika sudah diyakini bahwa produk bersangkutan tidak mengandung unsur-unsur benda-benda haram atau najis.17

Artinya : “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Akan tetapi, barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya, tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang” (QS. Al-Baqarah/ 2 : 173)

Menurut ayat di atas, benda yang termasuk kelompok haram li-zatih sangat terbatas, yaitu darah yang mengalir dan daging babi ; sedang sisanya termasuk kedalam kelompok haram li-ghoirih yang karena cara penanganannya

tidak sejalan dengan syari‟at Islam. Selain kedua benda yang dijelaskan al-Qur‟an itu, benda haram li-zatih juga dijelaskan dalam sejumlah hadits Nabi ; misalnya binatang buas dan binatang bertaring, dan sebagainya. Demikian juga alkohol (khamar). Untuk kepentingan penetapan fatwa halal, MUI hanya memperhatikan apakah suatu produk mengandung unsur-unsur benda haram li-zatih atau haram li-ghairih yang karena cara penanganannya tidak sejalan dengan syari‟at Islam, atau tidak. Dengan arti kata, MUI tidak sampai mempersoalkan dan meneliti

17

Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal, Direkorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Sistem dan Prosedur Penetapan Fatwa Produk Halal Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta : Departemen Agama RI, 2003), h.7


(32)

keharamannya dari sudut haram li-ghairih, sebab masalah ini sulit dideteksi, dan persoalannya diserahkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

Prosedur dan penetapan mekanisme penetapan fatwa, sama dengan penetapan fatwa secara umum. Hanya saja, sebelum masalah tersebut (produk yang dimintakan fatwa halal) dibawa ke Sidang Komisi, LP.POM MUI terlebih dahulu melakukan penelitian dan audit ke pabrik bersangkutan.

Untuk lebih jelasnya, prosedur dan mekanisme penetapan fatwa halal, secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. MUI memberikan pembekalan pengetahuan kepada para auditor LP.POM tentang benda-benda haram menurut syari‟at Islam. Dalam hal ini benda haram li-zatih dan haram li-ghairih yang karena cara penanganannya tidak

sejalan dengan syari‟at Islam. Dengan arti kata, para auditor harus mempunyai

pengetahuan memadai tentang bendabenda haram tersebut.

2. Para auditor melakukan penelitian dan audit ke pabrik-pabrik (perusahaan) yang meminta sertifikasi halal, pemeriksaan yang dilakukan meliputi :

a. Pemeriksaan secara seksama terhadap bahan-bahan produk, baik bahan baku maupun bahan tambahan (penolong)

b. Pemeriksaan terhadap bukti-bukti pembelian bahan produk.

3. Bahan-bahan tersebut kemudian diperiksa di laboratorium, terutama bahan-bahan yang dicurigai sebagai benda haram atau mengandung benda haram (najis), untuk mendapat kepastian


(33)

4. Pemeriksaan terhadap suatu perusahaan tidak jarang dilakukan lebih dari satu kali, dan tidak jarang pula auditor (LP.POM) menyarankan bahkan mengharuskan agar mengganti suatu bahan yang dicurigai atau diduga mengandung bahan yang haram (najis) dengan bahan yang diyakini kehalalannya atau sudah bersertifikat halal dari MUI atau dari lembaga lain yang dipandang berkompeten, jika perusahaan tersebut tetap menginginkan mendapat sertifikat halal dari MUI

5. Hasil pemeriksaan dan audit LP.POM tersebut kemudian dituangkan dalam sebuah Berita Acara, dan kemudian Berita Acara itu diajukan ke Komisi Fatwa MUI untuk disidangkan

6. Dalam Sidang Komisi Fatwa, LP.POM menyampaikan dan menjelaskan isi Berita Acara, dan kemudian dibahas secara teliti dan mendalam oleh sidang komisi

7. Suatu produk yang masih mengandung bahan yang diragukan kehalalannya, atau terdapat bukti-bukti pembelian bahan produk yang dipandang tidak transparan oleh Sidang Komisi, dikembalikan kepada LP.POM untuk dilakukan penelitian atau auditing ulang ke perusahaan bersangkutan

8. Sedangkan produk yang telah diyakini kehalalannya oleh Sidang Komisi, diputuskan fatwa halalnya oleh Sidang Komisi.

9. Hasil Sidang Komisi yang berupa fatwa halal kemudian dilaporkan kepada Dewan Pimpinan MUI untuk di-tanfz-kan dan keluarkan Surat Keputusan Fatwa Halal dalam bentuk Sertifikat Halal.


(34)

Untuk menjamin kehalalan suatu produk yang telah mendapat Sertifikat Halal, MUI menetapkan dan menekankan bahwa jika sewaktu-waktu ternyata diketahui produk tersebut mengandung unsur-unsur bahan haram (najis), MUI berhak mencabut Sertifikat Halal produk bersangkutan. Disamping itu, setiap produk yang telah mendapat Sertifikat Halal diharuskan pula memperhatikan atau memperpanjang Sertifikat halalnya setiap dua tahun, dengan prosedur dan mekanisme yang sama. Jika, setelah dua tahun terhitung sejak berlakunya Sertifikat Halal, perusahaan bersangkutan tidak mengajukan permohonan (perpanjangan) Sertifikat Halal perusahaan itu dipandang tidak lagi berhak atas sertifikat Halal, dan kehalalan produk-produknya diluar tanggung jawab MUI. Bagi masyarakat yang ingin mendapat informasi tentang produk (perusahaan) yang telah mendapat Sertifikat Halal MUI dan masa keberlakuannya, LP.POM MUI telah menerbitkan Jurnal Halal.18

Hasil kajian yang memerlukan fatwa MUI disampaikan kepada MUI untuk mendapat fatwa halal. Hasil kajian yang memerlukan fatwa MUI dan yang telah mendapat fatwa halal dari MUI diterbitkan sertifikat halalnya dan dikukuhkan oleh Menteri Agama. Adapun prosedurnya sebagai berikut :

1. Sistem Sertifikasi Halal

Menteri Agama melalui lembaga pemeriksa halal menyerahkan sertifikat halal kepada pemohon dengan tembusan kepada badan pengawas obat dan makanan. Sertifikat halal berlaku selama dua tahun dan dapat

18


(35)

diperbarui untuk jangka waktu yang sama sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menteri Keuangan atas usul Menteri Agama menetapkan struktur biaya sertifikasi halal yang sama terhadap pemohon.

Sertifikat halal dapat dicabut apabila pelaku usaha pemegang sertifikat yang bersangkutan melakukan pelanggaran dibidang halal setelah diadakan pemeriksaan oleh lembaga pemeriksa halal dan mendapat rekomendasi dari KHI untuk pencabutan sertifikat halal. Setiap pelaku usaha yang telah mendapatkan sertifikat halal terhadap produknya mencantumkan keterangan atau tulisan halal dan nomor sertifikat pada label setiap kemasan produk dimaksud.

Bentuk, warna dan ukuran tentang keterangan atau tulisan halal dan nomor registrasi halal ditetapkan oleh Menteri Agama. Produk pangan, obat, kosmetika dan produk lain berasal dari luar negeri yang dimasukkan ke Indonesia berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam keputusan ini.

Sertifikat halal yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi luar negeri dapat diakui setelah melakukan perjanjian saling pengakuan yang berlaku timbal balik (re-ciprocal), penilaian terhadap lembaga sertifikasi, dan tempat proses produksi. Perjanjian tersebut dilaksanakan oleh Menteri Agama dan badan yang berwenang di luar negeri sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

2. Biaya

Biaya pemeriksaan, sertifikat halal, dan survailen ditanggung oleh pelaku usaha yang mengajukan permohonan. Besar biaya pemerikasaan dan


(36)

biaya sulvailen ditetapkan oleh lembaga pemeriksa halal, sedangkan biaya sertifikasi ditetapkan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Biaya sertifikasi disetorkan ke kas negara.

3. Pembinaan, Pengawasan Dan Pelaporan

Pembinaan pelaku usaha di bidang penerapan sistem jaminan halal dilaksanakan oleh Departemen Agama. Pengawasan terhadapproduksi, impor dan peredaran produk halal dilaksanakan oleh instansiyang berwenang.

4. Landasan Hukum

a) UU No. 7/1996 tentang Pangan

Didalam UU No. 7 tahun 1996 beberapa pasal berkaitan dengan masalah kehalalan produk pangan, yaitu dalam Bab label dan iklan pangan pasal 30, 34, dan 35.

b) PP No. 69/1999 tentang Label dan Iklan Pangan

Ada dua pasal yang berkaitan dengan sertifikasi halal dalam PP No.69 ini yaitu pasal 3, ayat (2), pasal 10 dan 11.

c) Kepmenkes No. 924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang perubahan atas Kepmenkes No. 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan

“Halal” pada Label Makanan.

Demikianlah sistem dan prosedur produk halal yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka melindungi konsumen muslim agar hanya mengkonsumsi makanan halal. Karena masalah kehalalan barang yang mereka konsumsi menyangkut diterima tidaknya ibadah seorang muslim.


(37)

E. Hakikat Undang-Undang Perlindungan Konsumen Dan Hak-Hak konsumen

Telah disebutkan dalam undang-undang perlndungan konsumen bahwa tujuannya adalah unuk melindungi para konmsumen dari produsen yang tidak bertanggung jawab atau mengenyampingkan kepentingan konsumen.

Dibawah ini adalah Hak-hak konsumen yang harus dipenuhi oleh produsen, ada 9 Hak-hak konsumen, yaitu :

1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan\atau jasa;

2. Hak untuk memilih barang dan\atau jasa serta mendapatkan barang dan\atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan\ atau jasa;

4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan\atau jasa yang digunakan;

5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani srecara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;


(38)

8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan\atau penggantian, apabila barang dan\jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak

sebagai mestinya;

9. Hak-hak yang diatur dalam dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Republik Indonesia menganut falsafah Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan dasar Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, UU tentang Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999) sebagai produk dari Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, terikat pada pandangan hidup dan dasar negara itu. Falsafah hukum perlindungan konsumen juga adalah Pancasila. Guna memenuhi butir-butir falsafah tersebut, UU No. 8 Tahun 1999 menegaskan, bahwa perlindungan konsumen Indonesia berdasarkan "manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan, serta kepastian hukum" (pasal 2 dan penjelasan pasal)

1. Tujuan UU Perlindungan konsumen :

a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.

b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara

menghindarkannya dari akses negatif pemakai barang dan/atau jasa. c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan

menuntut hak-haknya sebagai konsumen.

d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsure kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.


(39)

e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan usaha.

f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

2. Fungsi UU Perlindungan Konsumen

a. Menyeimbangkan daya tawar konsumen terhadap pelaku usaha; dan b. Mendorong pelaku usaha untuk bersikap jujur dan bertanggung jawab

dalam menjalankan kegiatannya.

3. Keberadaan Undang-Undang Konsumen semata-mata untuk memberikan kepastian hukum terhadap segala yang diperoleh konsumen.

Kepastian hukum itu meliputi segala upaya berdasarkan hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa, untuk membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen tersebut. Pemberdayaan konsumen itu adalah dengan meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandiriannya melindungi diri sendiri hingga mampu mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan menghindari berbagai akses negatif pemakaian, penggunaan dan pemanfaatan barang dan/atau jasa kebutuhannya. Disamping itu, juga kemudahan dalam proses menjalankan sengketa

konsumen yang timbul karena kerugian harta bendanya,

keselamatan/kesehatan tubuhnya, penggunaan dan/atau pemanfaatan produk konsumen.


(40)

34

TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Sejarah Lahirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen di Indonesia.

Pada dasarnya kalau berbicara mengenai perlindungan konsumen maka tidak terlepas dari gerakan perlindungan konsumen diseluruh dunia. Sebab konsumen bukanlah masalah nasional saja, melainkan juga sudah menjadi permasalahan di seluruh dunia. Sebagaimana diketahui perkembangan perekonomian yang sangat pesat telah menghasilkan berbagai jenis barang atau jasa yang dapat dikonsumsi. Dengan berbagai produk yang sedemikian luasnya dan dengan dukungan kemajuan teknologi komunikasi dan informatika, telah menyebabkan perluasan ruang gerak arus transaksi barang atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu Negara.1

Az. Nasution menggambarkan fenomena ini dengan “dunia yang secara teknis dan psikologis makin mengecil menyebabkan denting garpu disalah satu

ujung dunia terdengar jelas di ujung lainnya”.2

Konsumen pada akhirnya dihadapkan pada berbagai jenis barang atau jasa yang ditawarkan secara variatif, baik yang berasal dari produksi domestik maupun

1

Gunawan Wijaya, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, ( Jakarta : Gramedia, 2000 ), h. 11.

2


(41)

yang berasal dari luar negeri. Kondisi yang demikian disatu sisi sangat bermanfaat bagi konsumen, karena kebutuhan yang diinginkan dapat dipenuhi dengan disertai kebebasan untuk memilih variasi barang atau jasa tersebut. Tetapi disisi yang lain dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen tidak seimbang, dimana konsumen pada posisi yang lemah. Konsumen hanya dijadikan objec aktivitas bisnis untuk meraup laba sebeser-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.

Fenomena di atas kemudian mengilhami gerakan perlindungan konsumen diseluruh dunia. Oleh karena itu lahirlah gerakan konsumen diseluruh dunia yang merupakan bukti bahwa hak-hak masyarakat (konsumen) dijunjung tinggi dan dihargai. Adapun gerakan perlindungan konsumen secara teroganisir diawali pada tahun 1891, yaitu dengan terbentuknya Liga Konsumen yang untuk pertama kali di New York, pada tahun 1898 di tingkat Nasional Amerika Serikat terbentuk

Liga Konsumen Nasional (The Nasional Consumer‟s League). Organisasi ini

tumbuh dan berkembang dengan pesat sehingga pada tahun 1903 telah berkembang menjadi 64 cabang yang meliputi 20 negara bagian.3

Pada tahun 1962 Presiden AS John F. Kennedy menyampaikan Consumer Message kepada konggres, dan ini dianggap sebagai era baru gejolak konsumen. Setelah itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan resolusi nomor 39/248

3


(42)

Tahun 1985 tentang perlindungan konsumen (guidelenis for consumerprotecton), juga merumuskan hak-hak konsumen yang perlu dilindungi, yang meliputi:4

1. Perlindungan Konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya;

2. Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen.

3. Tersedianya informasi yang menandai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kepentingan pribadi.

4. Pendidikan konsumen.

5. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif.

6. kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen.

Sampai dengan tahun 1995, CI telah mempunyai 203 anggota yang berasal dari 80 negara termasuk Indonesia. Di Indonesia ditandai dengan terbentuknya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada tanggal 11 mei 1973. Dalam perkembangannya di Indonesa telah terbentuk kurang lebih 19 organisasi konsumen termasuk Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) semarang.

Sejak YLKI didirikan muncul panca hak konsumen yang terdiri atas :5 1. Hak atas keamanan dan keselamatan.

2. Hak informasi.

4

Ibid,h. 27-28. 5


(43)

3. Hak untuk memilih. 4. Hak untuk didengar.

5. Hak atas lingkungan hidup yang baik.

Secara konseptual hak-hak konsumen tersebut dalam bentuk konsep rancangan UUPK hukum yang disampaikan pada pemerintah dan semua pihak yang bertanggung jawab agar dimasukan dalam jaringan hukum Indonesia sehingga dapat menjadi salah satu instrument hukum.6

Pada tahun 1981 untu pertama kalinya YLKI mengusulkan kepada pemerintah Indonesia untuk mengeluarkan Undang-undang perlindungan konsumen, karena banyaknya keluhan konsumen yang disampaikan kepada lembaga ini. Tetapi usulan ini ditolak dengan alasan di Indonesia telah ada aturan yang membahas tentang konsumen. Kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan masalah konsumen itu termuat dalam lingkungan hukum perdata (KUH Perdata, KUHD, dan lain-lain) maupun hukum publik (Hukum Pidana, hukum administrasi, hukum internasional, hukum acara perdata, hukum acara pidana, dan lain-lain). Disamping itu bentuk lain dari hubungan dan masalah konsumen terdapat pula penanggulangnnya dalam etika bisnis yang lazim disebut regulasi sendiri (Self regulation) dari kalangan pengusaha atau profesi ( antara lain : kode etik, kode pemasaran, kode praktek pengusaha atau profesi)7 Oleh karena itu

6

Ibid, h. 80. 7


(44)

pemerintah beranggapan belum perlu adanya peraturan perundang-undangan yang baru.

Tetapi pada kenyataannya “Hukum Konsumen” yang dimaksud oleh

pemerintah Indonesia, menurut Az.Nasution, SH, banyak yang mengalami kendala dalam pemanfaatannya, yaitu8:

1. Peraturan perundang-undangan tersebut diterbitkan bukan untuk tujuan khusus untuk menghatur dan atau melindungi.

2. Dalam peraturan tersebut tidak menyebutkan dengan jelas apa yang dimaksud dengan kepentingan konsumen.

3. Kebebasan kalangan pelaku usaha dalam bisnis telah banyak merugikan konsumen, hal ini membuktikan bahwa perundang-undangan tersebut sudah tidak memadai lagi.

4. Hukum acara yang berlaku tidak mudah dimanfaatkan oleh konsumen yang dirugikan.

5. Berbagai kepentingan konsumen sebagaimana yang telah disepakati oleh PBB dalam resolusi tentang pedoman perlindungan konsumen memerlukan sarana dan prasarana hukum untuk dapat diwujudkan bagi kepentingan masyarakat.

Oleh karena itu masyarakat Indonesia melalui organisasi konsumen terus berusaha agar undang-undang perlindungan konsumen di Indonesia dapat segera terbentuk. Dan akhirnya perjuangan selama bertahun-tahun itu membuahkan hasil, yaitu pada tanggal 20 April 1999 pemerintah telah bersedia mengeluarkan

8


(45)

UU No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang disahkan oleh presiden B.J Habibie (Presiden Indonesia pada waktu itu).

Dengan munculnya UUPK ini diharapkan akan dapat mendidik masyarakat Indonesia untuk lebih menyadari akan segala hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dimiliki konsumen dan pelaku usaha. Dalam konsiderans Undang-Undang ini dikatakan bahwa untuk meningkatkan kesadaran, kepedulian, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya, serta menumbuh kembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab. Agar tercipta suatu kegiatan perekonomian yang baik dan sah menurut hukum Islam serta tidak merugikan bagi konsumen.

B. Asas dan Tujuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Sedangkan yang dimaksud sebagai konsumen di sini adalah setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Jadi yang dimaksud konsumen dalam Undang-undang ini adalah konsumen akhir, bukan untuk diperjual belikan kembali.

Dalam pasal 2 disebutkan bahwa Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, Keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Sedangkan maksud dari pasal ini yaitu perlindungan konsumen


(46)

diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu :

1. Asas Manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memmberikan manfaat sebesar-besesarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. 3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara

kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.

Memperhatikan substansi pasal 2 UU Perlindungan Konsumen demikian penjelasannya, tampak bahwa perumusannya mengacu pada filosofi


(47)

pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah Negara Republik Indonesia.

Sebagai asas hukum, dengan sendirinya menempatkan asas ini yang menjadi rujukan pertama baik dalam pengaturan perundang-undangan maupun dalam berbagai aktivitas yang berhubungan dengan gerakan perlindungan konsumen oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya.

Keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum juga oleh banyak jurist menyebut sebagai tujuan hukum. Persoalannya, sebagai tujuan hukum hal ini masih terdapat kesulitan dalam mewujudkan secara bersamaan, dan sering antara tujuan yang satu dengan yang lainnya terjadi benturan.

Asas keamanan dan keselamatan konsumen yang dikelompokan ke dalam asas manfaat oleh karena keamanan dan keselamatan konsumen itu sendiri merupakan bagian dari manfaat penyelenggaraan perlindungan yang diberikan kepada konsumen di samping kepentingan pelaku usaha secara keseluruhan.

Menyangkut asas keseimbangan yang dikelompokan ke dalam asas keadilan, mengingat hakikat keseimbangan yang dimaksud adalah juga keadilan bagi kepentingan masing-masing pihak, yaitu konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah. Kepentingan pemerintah dalam hubungan ini tidak dapat dilihat dalam hubungan transaksi dagang secara langsung menyertai pelaku usaha dan konsumen. Kepentingan pemerintah dalam rangka mewakili kepentingan publik yang kehadirannya tidak secara lansung di antara para pihak tetapi melalui


(48)

berbagai pembatasan dalam bentuk kebijakan yang dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

Keseimbangan perlindungan antara pelaku usaha dan konsumen menampakan fungsi hukum sebagai sarana pengendalian hidup bermasyarakat dengan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat atau dengan kata lain sebagai sarana kontrol sosial.

Dalam konsep efisiensi, suatu proses dikatakan telah mencapai efisiensi apabila proses yang bersangkutan menghasilkan output maksimal dengan input minimum. Di bidang ekonomi konsep tersebut menjelma dalam bentuk; efficient production, efficient exchange, dan utilitarian efficiency. Dalam hubungan ini,

maka pranata hukum juga perlu dilihat sebagai “faktor produksi”, yang baru

menjadi efisien apabila nilai ekonomi barang dan jasa telah dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh pranata hukum bersangkutan.

Asas-asas Hukum Perlindungan Konsumen yang dikelompokan dalam 3 (tiga) kelompok di atas yaitu asas keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Dalam hukum ekonomi keadilan disejajarkan dengan asas keseimbangan, kemanfaatan disejajarkan dengan asas maksimalisasi, dan kepastian hukum disejajarkan dengan asas efisiensi.9

Dalam Pasal 3 UU No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen menyebutkan bahwa, perlindungan konsumen bertujuan :

9

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007 ), h.35.


(49)

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.

2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakai barang atau jasa.

3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.

4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.

5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.

6. Meningkatkan kwalitas barang dan atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamtan konsumen.

Pasal 3 UUPK ini merupakan isi pembangunan nasional sebagaimana disebutkan dalam pasal 2, karena tujuan perlindungan konsumen yang ada itu merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindungan konsumen.

hal itu juga tampak dari pengaturan Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang mengatur tujuan khusus perlindungan konsumen, sekaligus


(50)

membedakan dengan tujuan umum sebagaimana dikemukakan berkenaan dengan ketentuan Pasal 2 di atas.

Keenam tujuan khusus perlindungan konsumen yang disebutkan di atas bila dikelompokan ke dalam tiga tujuan hukum secara umum, maka tujuan hukum untuk mendapatkan keadilan terlihat dalam rumusan angka 3, dan angka 5. sementara tujuan untuk memberikan kemanfaatan dapat terlihat dalam rumusan angka 1, angka 2, termasuk angka 3, dan 4, serta angka 6. Terakhir tujuan khusus yang diarahkan untuk tujuan kepastian hukum terlihat dalam rumusan angka 4. pengelompokan ini tidak berlaku mutlak, oleh karena seperti yang dapat kita lihat dalam rumusan pada angka 1 sampai dengan angka 6 terdapat tujuan yang dapat dikualifikasikan sebagai tujuan ganda.

Kesulitan memenuhi ketiga tujuan hukum (umum) sekaligus sebagaimana dikemukakan sebelumnya, menjadikan sejumlah tujuan khusus dalam angka 1 sampai dengan angka 6 dari Pasal 3 tersebut hanya dapat tercapai secara maksimal, apabila didukung oleh keseluruhan subsistem perlindungan yang diatur dalam undang-undang ini, tanpa mengabaikan fasilitas penunjang dan kondisi masyarakat. Termasuk dalam hal ini substansi ketentuan pasal demi pasal yang akan diuraikan dalam bab selanjutnya. Unsur masyarakat sebagaimana dikemukakan berhubungan dengan persoalan kesadaran hukum dan ketaatan hukum, yang seterusnya menentukan efektifitas Undang-Undang Perlindungan Konsumen, karena kesadaran hukum, ketaatan hukum, dan efektivitas undang-undang adalah tiga unsur yang saling berkaitan.


(51)

Bila mencermati susunan hak-hak konsumen dalam UUPK ini kenyamanan, keamanan,dan keselamatan barang dan jasa merupakan prioritas hak yang utama.ketentuan ini memang sangat tepat mengingat kebutuhan barang dan atau jasa yang harus dipenuhi oleh setiap konsumen terutama yang berkaitan dengan kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, kesehatan dan pendidikan. Islam memandang bahwa kebutuhan semacam ini merupakan sesuatu yang bersifat dloruri (primer).10 Oleh karena itu para ahli hukum Islam telah

sepakat bahwa memelihara kebutuhan ini merupakan kebutuhan syari‟ah

(maqosid al-syariah) yang utama.11 Namun agar pemenuhan kebutuhan tersebut tetap selaras dengan ajaran Islam, pelaksanaannya harus senantiasa memperhatikan ketetapan-ketetapan hukum Islam itu sendiri. Sehingga konsumen akan dapat merasakan kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa.

Konsumen juga mempunyai hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa. Untuk memilih dan mengetahui kondisi dan jaminan barang dan jasa tertentu, informasi dari barang dan atau jasa yang sah untuk dikonsumsi. Semua transaksi yang dilakukan antara konsumen dan pelaku usaha akan sempurna bila transaksi tersebut jelas, terang, jauh dari praktek-praktek penipuan, pemalsuan, dan menutupi cacat atau aib. Jika

10

Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, ( Bandung : LPPM UNISBA, 1995 ), h.101. 11

Zainuddin Ahmad, Al-qur’an Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan, ( Yogyakarta : Dana Bakti wakaf, 1995 ), h.21


(52)

yang demikian dilakukan maka sebagaiman dikatakan oleh Rasulallah SAW dalam sabdanya :

:

12

Artinya : “Diceritakan Badal bin Mahrab, diceritakan Syu’bah dari Qatadah berkata saya mendengar Abi Khulail pembicaraan dari Abdullah bin Harist dari Hakim bin Hizam RA. Bahwa Rasulallah berkata : “dalam jual beli dengan cara khiyar selagi belum terpisa ataupun sudah terpisa jarak, jika terdapat kejujuran dan kejelasan diantara mereka maka terdapat berkah dalam transaksinya dan Jika mereka menyembunyikan dan berdusta, maka Allah akan menghapus berkah dari transaksi tersebut” (HR. Al Bukhârî)

Jika Allah telah menghapus berkah dari transaksi ini, maka syari‟at tidak bisa

membiarkan transaksi tersebut berlaku ataupun meluluskannya. Dengan kata lain hukum Islam melarang adanya informasi yang tidak jelas apalagi tidak benar dari pelaku usaha. Oleh karena itu Islam memberikan kepastian bahwa hak mendapatkan informasi yang jujur, jelas dan harus mendapat jaminan hukum.

Hal ini senada dengan pasal 7 dan pasal 8 bahwa, pelaku usaha tidak boleh tidak harus mengikuti ketentuan produks secara halal, sebagaimana pernyataan

“halal” yang dicantumkan dalam label. Dengan pelabelan ini konsumen dapat

mengetahui apakah barang tersebut boleh dikonsumsi bagi konsumen muslim

12

Al-Maktabah al-Syamilah, Muhammad bin Ismaîl Abu Abdullah al-Bukhârî, Sahîh al- Bukhârî, ( Yaman: Ridwana, 2008 ), Juz.2, h.733., no.1976.


(53)

atau tidak. Dan pelabelan halal ini dilakukan atas pengawasan dan sertifikasi dari Badan LPPOM MUI.

C. Bentuk-Bentuk Perlindungan Konsumen Muslim dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1999.

Dalam Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dijelaskan bahwa setiap konsumen, termasuk konsumen muslim yang merupakan mayoritas konsumen di Indonesia, berhak untuk mendapatkan barang dan jasa yang nyaman dikonsumsi olehnya, salah satu pengertian nyaman bagi konsumen muslim adalah bahwa barang tersebut tidak bertentangan dengan kaidah agama Islam, yaitu halal.

Kehalalan suatu makanan atau produk bukan hanya terletak pada adanya unsur babi atau tidak. Banyak unsur lainnya yang menyebabkan suatu makanan atau minuman menjadi haram. Misalnya unsuf fermentasi atau unsur lainnya seperti alkohol. Sup ikan belum halal karena dalam memasak ikan menggunakan ang cui atau arak, adahal ikan itu adalah makanan yang halal. Demikian juga anggur, buah anggur itu halal, tapi setelah menjadi minuman maka nggur tersebut menjadi haramg.13

Contoh yang lain, Majelis Ulama Indonesia (MUI) tetap bersikukuh bahwa vaksin maningitis (radang selaput otak) yang disuntikan peda jemaah haji

13

Minuman cap badak kok tak ada label halalnya pak?, artikel diakses pada 24 Juni 2009 dari http://ariesaja.wordpress.com/2009/06/24/minuman-cap-badak-kok-tak-ada-label-halalnya-pak/# more-386.


(54)

Indonesia tetap haram. MUI menolak fakta yang disodorkan Depkes, bahwa

vaksin itu bebas dari DNA babi. “Hasil uji Badan Obat dan Makanan (POM)

membuktikan hasil akhir vaksin bebas dari DNA babi. Akan tetapi, dalam proses pembuatan terjadi persinggungan dengan unsur babi, yaitu trypsin (enzim) yaang berasal dari porcine yang bersumber dari enzim babi.14

Contoh lainnya adalah apa yng telah dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), bahwa BPOM mengingatkan kepada masyarakat agar tidak menggunakan peralatan makan melamin. Pasalnya menurut data

BPOM, peralatan makan „melamin‟ yang bila digunakan untuk mewadahi

makanan berair, asam atau panas akan melepaskan formalin. Akibatnya penggunaan berbagai produk yang mengandung melamin tersebut dalam jangka panjang beresiko menimbulkan gangguan ginjal dan kandung kemih, gagal ginjal, kerusakan organ tubuh, kanker, hingga kematian.15

Selain contoh di atas terdapat juga kasus yang baru-baru ini kita dengar dan menjadi pembicaraan umum, yaitu kasus pidana pencemaran nama baik dengan tersangka Prita Mulyasari (32) dengan penuntut rumah sakit Omni adalah salah kaprah. Seharusnya pihak rumah sakit memberikan penjelasan kepada pasien dalam hal ini konsumen tentang kondisi kesehatan dan pemeriksaannya.

14

Mediakonsumen, Majelis Ulama Indonesia (MUI) tetap bersikukuh, artikel diakses pada 24 Juni 2009 dari http://www.mediakonsumen.com/artikel931.html.

15


(55)

“ini malah konsumennya dikenakan pencemaran nama baik dengan alat UU Informasi dan Traksaksi Elektronik (ITE)”.

Dalam Pasal 4 UU PK disebutkan hak konsumen adalah hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.

“Dan tulisan Prita dalam email merupakan bentuk meminta penjelasan bukan

pencemaran nama baik”.16

Adapun salah satu pasal yang menjelaskan tentang hal tersebut dapat ditemukan pada pasal 4 mengenai hak dan kewajiban konsumen. Pada pasal ini disebutkan bahwa hak konsumen adalah :

1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa.

2. Hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.

3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa.

4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan atau jasa yang digunakan.

5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

16

Mediakonsumen, Kasus pidana pencemaran nama baik, artikel diakses pada 24 Juni 2009 dari http://www.mediakonsumen.com/artikel931.html.


(56)

6. Hak untuk mendapat permintaan dan pendidikan konsumen.

7. Hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

8. Hak untuk mendapatkan Kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Dari sembilan butir hak-hak konsumen yang diuraikan di atas, terlihat bahwa kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen.

Barang dan atau jasa yang penggunaannya tidak memberikan kenyamanan terlebih lagi yang tidak aman atau membahayakan keselamatan konsumen hal ini jelas tidak layak untuk diedarkan dalam masyarakat. Kelayakan produk tersebut merupakan "standar minimum" yang harus dimiliki atau dipenuhi oleh suatu barang dan atau jasa tertentu sebelum barang dan atau jasa tersebut dapat diperdagangkan untuk dikonsumsi oleh masyarakat luas.17

Dengan demikian, jaminan keamanan, keselamatan, dan kenyamanan dalam menggunakan barang dan atau jasa, terutama yang dibutuhkan konsumen untuk mempertahankan hidupnya seperti sandang, pangan, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan dan sanitasi (kebutuhan pokok) sangat dibutuhkan bagi konsumen. Untuk menjamin bahwa suatu barang dan atau jasa dalam

17


(57)

penggunaannya akan nyaman, aman maupun tidak membahayakan penggunanya, maka konsumen mempunyai hak untuk memilih barang dan atau jasa yang dibutuhkan secara bebas, atas dasar keyakinan diri sendiri dan bukan karena pengaruh lingkungan luar (Iklan, lingkungan dan sebagainya). Konsumen berhak menentukan pilihannnya, disinilah ungkapan konsumen adalah raja sudah saatnya diwujudkan, sehingga tidak hanya sekedar slogan semata. Untuk menjamin hak pilihan konsumen ini, menurut LP2K (Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen) sekarang harus diciptakan iklim usaha yang tidak monopolis.

Dengan demikian, produsen tidak bisa seenaknya memaksa konsumen untuk membeli atau menggunakan produk tertentu tanpa informasi yang jelas tentang produk tersebut. Sedangkan pasal yang menjelaskan tentang hak dan kewajiban pelaku usaha diterangkan pada pasal 7 UUPK. Di sini disebutkan bahwa kewajiban pelaku usaha adalah :

1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha.

2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.

3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benda dan jujur serta tidak diskriminatif.

4. Menjamin mutu barang dan atau jasa yang diproduksi dan atau jasa diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan atau jasa yang berlaku.


(58)

5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan atau mencoba barang dan atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan atau garansi atas barang yang dibuat dan atau yang diperdagangkan.

6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan atau jasa yang diperdagangkan.

7. Memberikan Kompensasai, ganti rugi dan atau penggantian apabila barang dan atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Sementara dalam pasal 8 UUPK desebutkan ;

1. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan atau jasa yang :

a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.

b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto dan jumlah dalam hitungan yang sebagaimana dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut.

c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya.

d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan atau jasa tersebut.


(59)

e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan komposisi proses pengolahan, gaya, mode atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan atau jasa tersebut.

f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan atau jasa tersebut.

g. Tidak mencantumkan kadar kadaluarasa atau jangka waktu penggunaan atau pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu.

h. Tidak mengikuti ketentuan berfroduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "Halal" yang dicantumkan dalam label.

i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal poembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat.

j. Tidak mencantumkan informasi dan atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

2. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang yang dimaksud.


(1)

2. Terobosan terhadap kebijakan harus lebih kuat lagi untuk melindungi para konsumen di Indonesia yang kini dengan mendapatkan barang yang diimporkan dari berbagai Negara.

3. Mengingat mayoritas konsumen Indonesia adalah orang Islam, pemerintah harus senantiasa mengawasi barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan hukum Islam. Dalam hal ini pemerintah dapat berkerjasama dengan organisasi keIslaman yang berkompeten, seperti Majelis Ulama Indonesia.

4. Pemerintah seharusnya lebih giat lagi dalam mengkampanyekan dan mensosialisasikan hak-hak konsumen dalam rangka perlindungan konsumen serta memberdayakan aparat-aparatnya di seluruh daerah di Indonesian, sehingga para konsumen lebih mengetahui secara umum tentang hak-haknya. 5. Bagi cendekiawan muslim, diharapkan untuk senantiasa melakukan kajian dan

diskusi mengenai masalah konsumen dalam perspektif hukum Islam yang memadai mengenai konsumen.

6. Terselenggaranya peraturan mengenai hak-hak konsumen dengan semestinya tergantung bagaimana konsumen itu sendiri dalam menyikapinya. Oleh karena itu konsumen diharapkan untuk dapat memahami, kemudian melaksanakan peraturan tersebut.

C. Penutup

Demikian sekilas pembahasan tentang perlindungan konsumen dalam Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen yang ditinjau


(2)

94

dalam perspektif hukum Islam, penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, mengingat kemampuan penulis yang sangat terbatas. Oleh karena itu segala kritik yang konstruktif sangat penulis harapkan demi kesempurnaan penulisan ini. Namun demikian penulis tetap berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat, khususnya bagi diri penulis. Amin.


(3)

95 Depag RI. Al-Qur‟an dan Terjemahnya. 2006.

Departemen Penerangan R.I. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahub 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Bandung : Nuansa Aulia, 2006. Departemen Agama RI. Sistem dan Prosedur Penetapan Fatwa Produk Halal Majlis

Ulama Indonesia, 2003.

Departeman Agama RI. Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal. Jakarta : 2003.

Departemen Agama RI. Bagian proyek sarana dan prasarana produk halal direktorat Jenderal bimbingan masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji. Petunjuk teknis pedoman sistem produksi halal. Jakarta : 2003.

Departemen Agama RI. Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal, Direkorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Tanya Jawab Seputar Produk Halal. Jakarta : 2003.

Departemen Agama RI. Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal, Direkorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji. Sistem dan Prosedur Penetapan Fatwa Produk Halal Majelis Ulama Indonesia. Jakarta : 2003

Ahmad, Zainuddin. Al-qur‟an Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan. Yogyakarta : Dana Bakti wakaf, 1995.

Ali, Achmad. Menguak Tabir Hukum. Jakarta : Chandra Pratama, 1996.

Ali, Muhammad. Penelitian Pendidikan; Prosedur dan Strategi. Bandung : Angkasa, 1993.

Alie, Imam Masykur. Bunga Rampai Jaminan Produk Halal Di negara Anggota Mabims, Bagian Proyek Sarana dan Pra Sarana Produk halal Direktoat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji. Jakarta : Departemen Agama RI, 2003.

Apriyantono, Anton dan Bowo, Nur. Panduan Belanja Dan Sertifikasi Halal. Jakarta : Khoirul Bayan, 2003.


(4)

96

Ash Shiddieqy, T.M. Hasbi. Peradilan dan Hukum Acara Islam. Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1997.

Bahresy, Hussein. Pedoman Fiqh Islam. Surabaya : Al-Ikhlas, 1981.

Beekum, Rafik Isa. Etika Bisnis Islami. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004.

Bukhârî, al, Muhammad bin Ismaîl Abu Abdullah. Sahîh al- Bukhârî, Yaman: Ridwana, 2008.

Dahlan, Abdul aziz. Ensiklopedi Hukum Islam.

Engel, James F, dkk. Periaku Konsumen. Jakarta : Bina Rupa Aksara, 1994.

Fauroni, Mohammad R. Lukman. Vlsi al-Quran Tentang Etika Dan Bisnis. Jakarta : Salemba Diniyah, T.th.

Idhami, Dahlan. Karakteristik Hukum Islam. Jakarta : Media Sarana Press, 1987. Jurjani, Al. Al-Ta‟rifat. Mesir : Maktabah wa Mathba’ah Mushtafa al-Halabi wa

Auladuh, 1936.

Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Balai Pustaka, 1992. Khaf, Monzer. Ekonomi Islam. Yogyakarta : Putaka Pelajar, 1995.

Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang : Dina Utama, 1994. Cet.I. Mahmud, Peter. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2007. Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir : Kamus Arab-Indonesia. Surabaya :

Pustaka Progresif, 2002.

Manan, M. Abdul. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Yogyakarta : Dana Bakti Wakaf,1995.

Manzhur, Ibn. Lisan al-Arab, Juz XV.

Mediakonsumen, Kasus pidana pencemaran nama baik, artikel diakses pada 24 Juni 2009 dari http://www.mediakonsumen.com/artikel931.html.


(5)

Mediakonsumen, Majelis Ulama Indonesia (MUI) tetap bersikukuh, artikel diakses pada 24 Juni 2009 dari http://www.mediakonsumen.com/artikel931.html. Miru, Ahmadi dan Yodo, Sutarman. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta, PT.

Raja Grafindo, 2004. Cet.1.

Munawi, al, Muhammad Abd Al-Rauf. Al-Taufiq „ala Muhimmat al-Ta‟rif Mu‟jam Lughowi Mutshalahi. Beirut : Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1990. Cet.I.

Nasution, Az. Konsumen Dan Hukum. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1995.

Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : Gajahmada University Press, 1991.

Praja, Juhaiyya S. Filsafat Hukum Islam. Bandung : LPPM UNISBA, 1995.

Prast, Wiwid. “Bread Talk Dan Masalah Serti/Ikasi Halal‟, Dalam Furqon, IV, 18, Mei 2006.

Peorwadarminta, W.J.S. Kamus Bahasa Indonesia, Cet. V. Jakarta : PN. Balai Pustaka, 1976.

Qardlawi, al, M. Yusuf. Al-Halal wa al-Haram Fi al-Islam. t.t.: Dar al-Ma’rifah, 1985.

---. Halal Haram Dalam Islam. Solo: Era Intermedia, 2003.

---. Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Penerjemah Didin Hafidudin. Jakarta : Robbani Press, 1997.

Rahman, Afzalur. Doktrin Ekonomi Islam. Yogyakarta : Dana Bakti Wakaf, 1995. Rusyd, Ibnu. Bidayah al-Mujtahid. Semarang : Wahana Keluarga, tth.

Sabiq, Sayid. Fiqh Sunnah, Penerjemah : Mauludin. Bandung : Al Maarif, 1987. Saefudin, Imam. Sistem Dan Tujuan Ekonomi Islam. Bandung : Pustaka Setia, 1999. Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Quran. Bandung : Mizan, 1996.


(6)

98

Shofie, Yusuf. Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi. Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002.

Soekanto, Soejono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press, 1986.

Wijaya, Gunawan. Hukum Tentang Perlindungan Konsumen. Jakarta : Gramedia, 2000.

Winata, Tiench Tirta. Makanan Dalam Perspektif Al-Qur‟an Dan Ilmu Gizi. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2006.

Wordpress. “Minuman cap badak kok tak ada label halalnya pak?”. artikel diakses pada 24 Juni 2009 dari http://ariesaja.wordpress.com/2009/06/24/minuman-cap-badak-kok-tak-ada-label-halalnya-pak/#more-386