60
BAB IV ANALISIS TERHADAP UU NO 8 TAHUN 1999 TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PERSPEKTIF ISLAM
A. Analisis Terhadap Bentuk-bentuk Perlindungan Konsumen dalam Undang-
undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Dalam ketentuan Undang-undang perlindungan konsumen, penulis hanya akan membahas beberapa poin tentang perlindungan konumen secara global saja.
dengan alasan peraturan ini diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan lainnya. Bila mengingat banyaknya peraturan perundangan di
Indonesia, rasanya mustahil untuk membahasnya satu persatu dalam kesempatan yang relatif singkat ini.
Sebagaimana telah diuraikan dalam bab III bahwa, Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberi perlindungan kepada konsumen. Sedangkan yang dimaksud sebagai konsumen di sini adalah setiap orang pemakai barang danatau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Jadi yang dimaksud
konsumen dalam Undang-undang ini adalah konsumen akhir, bukan untuk diperjual belikan kembali.
Memperhatikan substansi pasal 2 Undang-undang Perlindungan Konsumen demikian penjelasannya, tampak bahwa perumusannya mengacu pada
61
filosofi pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah negara Republik Indonesia.
Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan substansinya dapat dibagi menjadi tiga asas, yaitu
1
: 1.
Asas kemanfaatan, yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen.
2. Asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan
3. Asas kepastian hukum.
Dari ketiga asas ini, asas yang paling menonjol adalah asas keadilan, demikian pula hubungannya dengan substansi pasal 1 angka 1 dalam bab
sebelumnya, dapat dikatakan hukum ini dalam lingkup kajian hukum ekonomi. Hukum ekonomi yang dimaksud yaitu, mengakomodasi dua aspek hukum
sekaligus diantaranya aspek hukum publik dan aspek hukum privat perdata. Sebagai asas hukum, dengan sendirinya menempatkan asas ini yang menjadi
rujukan pertama baik dalam pengaturan perundang-undangan maupun dalam berbagai aktifitas yang berhubungan dengan perlindungan konsumen oleh semua
pihak yang terlibat di dalamnya. Asas-asas hukum perlindungan konsumen yang dikelompokkan dalam
tiga kelompok di atas, dalam hukum ekonomi keadilan disejajarkan dengan asas
1
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta, PT. Raja Grafindo, 2004 , cet.1, hlm.26.
62
keseimbangan, kemanfaatan disejajarkan dengan memaksimalisasi, dan asas kepastian hukum disejajarkan dengan asas efisiensi.
Dalam Pasal 3 UU No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen menyebutkan bahwa Perlindungan konsumen bertujuan :
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri; 2.
Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakai barang danatau jasa;
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen; 4.
Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan
informasi; 5.
Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam
berusaha; 6.
Meningkatkan kualitas barang danatau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang danatau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan konsumen”. Keenam tujuan khusus perlindungan konsumen yang disebutkan di atas
bila dikelompokkan ke dalam tiga tujuan hukum secara umum, maka tujuan hukum untuk mendapatkan keadilan terlihat dalam rumusan huruf c dan huruf e.
63
Sementara tujuan untuk memberikan kemanfaatan dapat terlihat dalam rumusan huruf a dan huruf b termasuk huruf c dan d serta huruf f. Terakhir tujuan khusus
yang diarahkan untuk kepastian hukum terlihat dalam rumusan huruf d. Pengelompokan ini tidak berlaku mutlak, karena dalam rumusan pada huruf a
sampai huruf f terdapat tujuan yang dapat dikualifikasi sebagai tujuan ganda. Kesulitan memenuhi ketiga tujuan hukum umum sebagaimana
dikemukakan sebelumnya, menjadikan tujuan khusus dalam huruf a sampai f akan dapat tercapai maksimal, apabila didukung oleh keseluruhan sub sistem
perlindungan yang diatur dalam undang-undang ini, tanpa mengabaikan fasilitas penunjang dan kondisi masyarakat. Unsur masyarakat sebagaimana dikemukakan
berhubungan dengan persoalan kesadaran hukum dan ketaatan hukum, yang seterusnya menentukan efektifitas undang-undang perlindungan konsumen,
kesadaran hukum, ketaatan hukum, dan efekifitas perundangundangan adalah tiga unsur yang saling berhubungan.
Pasal 3 Undang-Undang perlindungan konsumen ini, merupakan isi pembangunan nasional sebagaimana disebutkan dalam pasal 2, karena tujuan
perlindungan konsumen yang ada itu merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindungan konsumen.
Untuk mewujudkan tujuan UUPK, pemerintah bertujuan atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen pasal 29 ayat 4 UUPK sebagaimana
berikut :
64
1. Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku
usaha dan konsumen. 2.
Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. 3.
Meningkatnya kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan dibidang perlindungan konsumen.
Menurut penulis inti dari UU No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen ini bertitik beratkan pada hak dan kewajiban saja, sedangkan
pasalpasal berikutnya adalah penunjang dan kelanjutan dari hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha, seperti sangsi, klausa baku, pidana, dan lain
sebagainya. Bila mencermati susunan hak-hak konsumen dalam UUPK ini,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan barang dan jasa merupakan prioritas hak yang utama. Ketentuan ini memang sangat tepat mengingat kebutuhan barang
dan atau jasa yang harus dipenuhi oleh setiap konsumen terutama yang berkaitan dengan kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, kesehatan dan
pendidikan. Islam memandang bahwa kebutuhan semacam ini merupakan sesuatu yang bersifat dzoruri primer.
2
Oleh karena itu para ahli hukum Islam telah sepakat bahwa memelihara kebutuhan ini merupakan kebutuhan syari’ah
maqosid syari‟ yang utama.
3
Namun agar pemenuhan kebutuhan tersebut tetap
2
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, Bandung : LPPM UNISBA, 1995 , h.101.
3
Ziauddin Ahmad, Al Qur‟an Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan, Yogyakarta : Dana
Bakti Wakaf, 1995 , h.21.
65
selaras dengan ajaran Islam, pelaksanaanya harus senantiasa memperhatikan ketetapan-ketetapan hukum Islam itu sendiri. Sehingga konsumen itu sendiri akan
dapat merasakan kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang danatau jasa. Bahkan dengan aspek kenyamanan, Islam memandang
bahwa hal ini merupakan kebutuhan pokok dan tepat guna, karena memberikan kesenangan dan kenyamanan kepada konsumen.
4
Dalam Islam juga mengajarkan tentang etika tidak boleh berlebihlebihan atau bersifat boros. Sifat yang diistilahkan dalam Al Qur’an dengan ishrof dan
tabdzir ini, sangat dilarang dalam Islam. Allah SWT. Berfirman dalam surat Al- A’râf :
Artinya : “Hai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap memasuki
masjid, makan dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah sangat tidak menyukai orang yang berlebih-
lebiha n”. QS. Al-A’râf 7 : 31
Menurut Afzlur Rahman sifat berlebih-lebihan berpotensi untuk menumbuh kembangkan in dustri-industri yang tidak kondusif dan tidak bermoral
serta kejahatan dan kekacauan dalam masyarakat yang akhirnya dapat menghancurkan kesatuan dan integritas d alam masyarakat. Dalam kontek ini
perilaku yang demikian jelas sangat bertentangan dengan kepentingan kenyamanan, keselamatan dan keamanan konsumen. Berkaitan dengan hal ini
4
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid 2, Yogyakarta : Dana Bakti Wakaf, 1995 , h.42.
66
Monzer kahf mengatakan, pola konsumsi berlebih-lebihan merupakan ciri khas masyarakat yang tidak mengenal Tuhan dan dikutuk oleh Islam.
5
Sementara itu M. Abdul manan mengatakan, bahwa pada hakekatnya perilaku konsumsi umat islam itu dikendalikan oleh lima prinsip, yaitu prinsip
keadilan, kebersihan, kesederhanaan, kemurah hati dam moralitas.
6
Dengan demikian barang danatau jasa yang boleh dikonsumsi adalah yang berguna dan
baik yang manfaatnya menimbulkan perbaikan secara material, moral, maupun spiritual pada konsumennya.
Berdasarkan uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa kenyamanan, keamanan keselamatan untuk mengkonsumsi barang danatau jasa
dalam perspektif hukum Islam, tidak hanya bersifat duniawi semata, melainkan juga akhirat. Atau dengan kata lain hak kenyamanan, keamanan, keselamatan,
untuk mengkonsumsi barang dan atau jasa harus selalu mengindahkan aspek- aspek tersebut. Sebagai konsekwensinya, pelaku usaha yang tidak mengindahkan
ketentuan di atas hendaknya tidak diberi izin oleh pemerintah untuk mengoperasikan usahanya. dan apabila sudah mendapat izin maka izinnya harus
dicabut. Konsumen memiliki hak untuk memilih barang dan atau jasa yang
dibutuhkan baik kualitas maupun kuantitasnya secara bebas atas keyakinan diri
5
Monzer Khaf, Ekonomi Islam., Yogyakarta : Putaka Pelajar, 1995 , h.28.
6
M. Abdul Manan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta : Dana Bakti Wakaf,1995 , h.45.
67
sendiri. Ia tidak boleh dibujuk atau dipaksa untuk memilih atau membeli suatu barang atau jasa tertentu. James F Angel mengatakan, konsumen adalah raja. Ia
bukan bidak yang tidak dapat berfikir, yang dapat dimanipulasi semuanya semuanya oleh pembujuk komersial.
7
Atas dasar inilah produk sutu barang dan atau jasa yang ditawarkan pelaku usaha dapat diterima atau ditolak berdasarkan
sejauh mana keduanya dipandang relevan dengan kebutuhan dan gaya hidup. Dalam Islam hak untuk memilih barang dan atau jasa ini disebut dengan
hak khiyar. Menurut Sayyid Sabiq, hak khiyar berarti mencari kebaikan dari perkara melangsungkan atau membatalkan transaksi. Adapun mengenai
kesesuaian nilai tukar Sayyid Sabiq berpendapat bahwa ini harus dilaksanakan secara wajar, pelaku usaha dilarang untuk menjerumuskan konsumen. Akan
halnya dengan kesesuaian kondisi barang danatau jasa serta jaminan yang dijanjikan menurut hukum Islam telah jelas adanya.
Maksudnya bahwa setiap manfaat yang diperoleh dari barang danatau jasa yang diperjualbelikan adalah milikhak konsumen. Oleh karena itu jika
dikemudian hari terdapat ketidaksesuaian kondisi barang danatau jasa yang dijanjikan maka ia berhak mendapatkan gantinya. Konsumen berhak memilih
barang danatau jasa yang dimiliki konsumen, maka sangat tidak etis jika masih terdapat usaha-usaha yang sifatnya monopolistis. Sebab secara tidak langsung
pola usaha semacam ini akan menghambat kepentingan diatas.
7
James F Angel, dkk, Periaku Konsumen, Jakarta : Bina Rupa Aksara, 1994 , h.9.
68
Konsumen juga mempunyai hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang danatau jasa. Untuk memilih dan
mengetahui kondisi suatu barang dan jasa tertentu, informasi dari barang danatau jasa yang sah untuk dikonsumsi. Semua transaksi yang dilakukan antara
konsumen dan pelaku usaha akan sempurna bila transaksi tersebut jelas, terang, jauh dari praktek-praktek penipuan, pemalsuan, dan menutupi cacat atau aib.
8
Jika yang demikian dilakukan maka sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah dalam
sabdanya:
:
9 Artinya :
“Diceritakan Badal bin Mahrab, diceritakan Syu‟bah dari Qatadah berkata saya mendengar Abi Khulail pembicaraan dari Abdullah bin
Harist dari Hakim bin Hizam RA. Bahwa Rasulallah berkata : “dalam jual beli dengan cara khiyar selagi belum terpisa ataupun sudah
terpisa jarak, jika terdapat kejujuran dan kejelasan diantara mereka maka terdapat berkah dalam transaksinya dan Jika mereka
menyembunyikan dan berdusta, maka Allah akan menghapus berkah
dari transaksi tersebut” HR. Al Bukhârî
Dr. ahmad Muhammad al Assad dan Dr. Ahmad Abdul Karim mengatakan, jika Allah telah menghapuskan berkah dari transaksi ini, maka
8
Drs. Imam Saefudin, Sistem Dan Tujuan Ekonomi Islam, Bandung : Pustaka Setia, 1999 , h.208.
9
Muhammad Bin Ismail Abu Abdullah Al-Bukhârî, Sahih Al-Bukhârî, Yaman : Ridwana, 2008 , Juz.2, h.733., no.1976.
69
syari’at tidak bisa membiarkan transaksi tersebut berlaku atau pun meluluskannya.
10
Dengan kata lain hukum Islam melarang adanya informasi yang tidak jelas apalagi tidak benar dari pelaku usaha. Oleh karena itu Islam memberikan
kepastian bahwa hak mendapatkan informasi yang jujur, jelas dan benar harus mendapat jaminan hukum. Hal ini juga sesuai dengan pasal 7 dan 8 bahwa, pelaku
usaha tidak boleh tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label. Dengan
pelabelan ini konsumen dapat mengetahui apakah barang tersebut boleh dikonsumsi bagi konsumen muslim maupun tidak. Dan pelabelan halal ini
dilakukan atas pengawasan dan sertifikasi dari Badan LPPOM MUI. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang danatau jasa yang digunakan.
Disadari atau tidak semua masyarakat adalah konsumen, bahkan pelaku usaha sekalipun. Berkaitan dengan ketentuan ini, konsumen secara kolektif atau
individu memiliki hak untuk didengar keluhan dan pendapatnya menyangkut barang danatau jasa yang dikonsumsinya.
Menurut Ibn Rusyd bila terdapat ketidaksesuaian antara kondisi barang dan juga harga yang diterima dengan yang dijanjikan konsumen diperbolehkan
untuk mengadukannya kepada pelaku usaha. Hal ini menurutnya masih dalam rangka khiar.
11
Senada dalam hal ini Sayid Sabiq mengatakan, jika penjual dan
10
Saefudin, Sistem Dan Tujuan Ekonomi Islam, h.209.
11
Ibnu Rusyd, Bidâyah al-Mujtahîd, Semarang : Wahana Keluarga, tth , h. 105.
70
pembeli berselisih tentang kondisi barang danatau jasa, dan masing-masing beralternatif, tetapi tidak ada kejelasan diantara keduanya, maka yang dipegang
adalah ucapan penjual dengan sumpah seperti yang dilakukan Ustman. Ada pula yang mengatakan adalah pembeli dengan sumpah.
12
Berdasarkan pendapat para ulama di atas, dalam konteks transaksi bisnis sekarang ini maka konsumen jelas memiliki hak untuk didengar keluhan dan
pendapatnya baik kepada pelaku usaha sendiri maupun penentu kebijakan yang lain semisal pemerintah. Sebab dalam prakteknya dewasa ini pembuat kebijakan
mengenai ketentuan barang danjasa termasuk dalam hal harga, tidak sepenuhnya hak pelaku usaha. Atau dengan kata lain kebijakan mengenai harga dan barang
danatau jasa itu sendiri dibuat bersama antara pelaku usaha dan pemerintah. Dengan demikian konsumen tidak hanya menerima keputusan secara sepihak
melainkan melibatkan secara bersamasama. Menurut Juhaya S. Praja, terdapat lima prinsip dalam melaksanakan
kegiatan mu’amalah yaitu taba‟dulul manafi‟ memberikan keuntungan dan manfaat bersama, pemerataan,
„an taradhin suka sama suka, „adâmul ghurûr tidak boleh terdapat tipu daya, kebaikan dan takwa, dan musyawarah
kerjasama.
13
Dengan adanya prinsip-prinsip tersebut secara tidak langsung konsumen secara sah dan meyakinkan mempunyai hak untuk didengar pendapat
12
Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Penerjemah : Mauludin, Bandung : Al Maarif, 1987 , h. 101.
13
Praja, Filsafat Hukum Islam, h. 113 –114.
71
dan keluhannya agar setiap kebijakan yang dibuat dapat sesuai dengan prinsip di atas.
Hal ini sesuai dengan pasal 34 ayat 1 bahwa badan perlindungan konsumen nasional mempunyai tugas “menerima pengaduan tentang
perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha”.
Sering terjadi konsumen menderita kerugian akibat mengkonsumsi suatu barang danatau jasa. Pada saat demikian kemungkinan besar yang akan muncul
adalah sengketa antara para pihak yang terlibat, yang diistilahkan disini dengan sengketa konsumen. Dalam kondisi seperti ini konsumen memerlukan bantuan
hukum advokasi dalam rangka untuk menyelesaikan sengketa tersebut secara hukum. Sebab sebagaimana di atur dalam pasal 48 dan 49 UUPK ini,
penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Untuk kepentingan ini tidak semua konsumen memiliki keahlian di
bidang tersebut. Oleh karena itu suatu keharusan bilamana konsumen mempunyai hak untuk mendapatkan advokasi dalam upaya penyelesaian sengketa konsumen.
Dalam Islam dikenal adanya lembaga peradilan yang disebut al qadla. Disamping itu ada lagi yang disebut dengan Lembaga Tahkim, Wilayah
Madzalim, Wilayah Hisbah dan Lembaga Ifta‟.
14
Disamping lembaga-lembaga
14
T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1997 , h. 48.
72
tersebut juga dikenal satu lagi yaitu as Shulhu.
15
Lembaga-lembaga inilah yang akan menyelesaikan setiap persoalan hukum yang timbul dalam masyarakat
Islam. Secara historis, telah banyak sengketa konsumen yang dapat diselesaikan melalui lembaga-lembaga tersebut.
Namun bila dicermati maka secara etimologis lembaga-lembaga di atas memang jelas berbeda dengan lembaga peradilan di Indonesia, demikian juga
dalam hal pelaksanaannya, sebab lembaga tersebut harus mendasarkan keputusannya dengan hukum Islam. Sedangkan lembaga peradilan Indonesia
mendasarkan keputusannya kepada hukum positif yang berlaku. Tetapi secara substansial lembaga tersebut sama-sama bertujuan untuk menyelesaikan sengketa
yang ada dalam masyarakat. Sehingga ditemukan satu keputusan yang adil. Berdasarkan hal di atas, dapat disimpulkan bahwa penyelesaian sengketa
konsumen baik melalui pengadilan ataupun di luar pengadilan tidak ada masalah, termasuk dalam hal kewenangannya sejauh hal ini untuk melindungi semua pihak
terutama yang teraniaya. Hasbi ash Shiddieqi mengatakan, bahwa suatu keharusan untuk melindungi kepentingan orang-orang yang teraniaya dan untuk
menghilangkan sengketa-sengketa yang timbul dalam masyarakat.
16
Oleh karena itu sangat tepat kiranya jika dewasa ini banyak Lembaga Swadaya Masyarakat LSM seperti YKLI dan LP2K yang didirikan untuk
memperjuangkan hak konsumen yang merasa dirugikan. Demikian pula perlu
15
Ibid, h. 49.
16
Ibid, h. 38.
73
disambut langkah pemerintah yang akan mendirikan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK di setiap daerah.
Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen Untuk melaksanakan hak-hak yang disebutkan di atas diperlukan adanya satu
pemahaman yang cukup mengenai masalah konsumen. Oleh karena itu pembinaan dan pendidikan konsumen merupakan suatu hal yang sangat
diperlukan oleh konsumen. Melalui pembinaan dan pendidikan konsumen akan timbul dalam masyarakat wawasan yang luas mengenai apa, mengapa, dan
bagaimana mengkonsumsi barang dan jasa.
17
Dengan demikian konsumen akan dapat merasakan kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang danatau jasa. Hal ini sesuai dengan pasal 29 UUPK bahwa “Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen
yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta di laksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku
usaha”. Dalam rangka inilah menurut Qardhawi, Islam mengarahkan pola
konsumsi umat Islam ke dalam lima hal, yaitu pendidikan moral, pendidikan masyarakat, pendidikan ekonomi, pendidikan kesehatan, dan pendidikan politik.
18
Pendidikan moral mengandung maksud bahwa setiap pembatasan terhadap pemanfaatan dan penggunaan barang danatau jasa merupakan sarana
untuk mendidik masyarakat hidup sederhana. Pendidikan masyarakat
17
James F. Angel, Periaku Konsumen, hlm. 5 –6.
18
Yusuf Qardhâwi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Penerjemah Didin Hafidudin, Jakarta : Robbani Press, 1997 , h. 262
–271.
74
mengandung maksud bahwa pembatasan pemanfaatan dan penggunaan barang danatau jasa merupakan sarana untuk mengatasi kesenjangan sosial yang terlalu
lebar. Pendidikan ekonomi bertujuan agar masyarakat selalu bersikap produktif dan tidak konsumtif. Pendidikan kesehatan mengandung maksud bahwa
pembatasan pemanfaatan dan penggunaan barang danatau jasa bertujuan untuk menjaga kesehatan sebagai unsur terpenting dalam kehidupan.
Tersirat dalam uraian di atas bahwa ajaran Islam tidak hanya membuka wacana perilaku konsumen yang berorientasi pada kepuasan materiil, tetapi juga
kepuasan spirituil. Dengan demikian pendidikan konsumen tidak hanya bermanfaat bagi
konsumen secara individu, tetapi juga konsumen secara kolektif bahkan seluruh bangsa. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif. Secara faktual sepertinya tidak dapat ditemukan di muka bumi ini suatu komunitas masyarakat tanpa adanya suatu perbedaan. Baik ras, suku,
maupun agama. Apalagi di bumi nusantara ini yang serba majemuk. Dalam suatu kondisi masyarakat yang demikian seringkali dalam beberapa hal muncul sikap
diskriminatif antara suatu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Tak terkecuali dalam pelayanan konsumsi.
Oleh karena itu, dalam rangka melindungi setiap kepentingan konsumen hak untuk diperlakukan tanpa diskriminatif harus diwujudkan dengan sebenar-
benarnya tidak hanya sebagai slogan semata. Hukum Islam sangat mendukung terselenggaranya ketentuan ini. Sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Hujurât :
75
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang bertaqwa. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. ” QS. Al-Hujurât 49 :
13 Ayat di atas menghendaki bahwa sesama manusia itu tidak ada perbedaan
dengan alasan apapun. Berkaitan dengan konteks inilah Juhaya S. Praja mengatakan, Islam memiliki prinsip-prinsip umum sebagai berikut :
Prinsip tauhid, al „adl keadilan, amar ma‟ruf nahi munkar, al huriyah
kebebasan, al musa‟wah persamaan, at Ta‟awun tolong menolong, dan
Tasa‟muh toleransi.
19
Semua prinsip ini diharapkan dapat dijadikan pedoman umat Islam bahwa tidak ada kebenaran sama sekali untuk memperlakukan orang
lain secara tidak benar dan tidak jujur apalagi bertindak diskriminatif, termasuk dalam masalah konsumsi.
Hak untuk mendapatkan konpensasi ganti rugi danatau penggantian, apabila barang danatau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau
tidak sebagaimana mestinya. Sudah merupakan suatu keharusan, bila barang danatau jasa yang diterima oleh konsumen tidak sesuai dengan perjanjian untuk
19
Praja, Filsafat Hukum Islam, h. 78.
76
mendapatkan konpensasi ganti rugi. Dalam epistemologi hukum Islam hal ini disebut dengan tadlmin atau iwadl.
M. Daud Ali mengatakan, hukum Islam memiliki azas perlindungan hak yang berarti bahwa semua hak yang diperoleh seseorang dengan jalan yang halal
dan sah, harus dilindungi. Bila hal itu dilanggar maka pihak yang dirugikan berhak untuk menutut. Hal ini sesuai dengan pasal 19 UUPK yaitu “Pelaku usaha
bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan kerugian konsumen akibat menkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan
atau diperdagangkan”. Juga pada pasal 24 UUPK bahwa “Pelaku usaha yang menjual barang danatau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas
tuntutan ganti rugi danatau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain tanpa melakukan perubahan atas barang danatau usaha tersebut, pelaku usaha lain
dalam sebuah transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha apabila tidak sesuai dengan contoh,
mutu, dan komposisi”. Adapun ganti rugi yang dapat dilakukan adalah bisa dengan diganti
dengan barang danatau jasa seperti pada saat perjanjian, atau dengan membayar harganya. Pembayaran ganti rugi ini selanjutnya akan menjadi hak milik
konsumen. Sebab dalam hukum Islam dinyatakan bahwa radlmin dan ta‟widl
merupakan salah sebab dari kepemilikan.
77
Demikianlah uraian tentang bentuk-bentuk perlindungan konsumen dalam Undang-undang No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen di tinjau dari
perspektif hukum Islam.
B. Analisis Relevansi UU No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen