60
BAB IV ANALISIS TERHADAP UU NO 8 TAHUN 1999 TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PERSPEKTIF ISLAM
A. Analisis Terhadap Bentuk-bentuk Perlindungan Konsumen dalam Undang-
undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Dalam ketentuan Undang-undang perlindungan konsumen, penulis  hanya akan membahas beberapa poin tentang perlindungan konumen secara global saja.
dengan  alasan  peraturan  ini  diatur  dalam  ketentuan  peraturan  perundang- undangan  lainnya.  Bila  mengingat  banyaknya  peraturan  perundangan  di
Indonesia, rasanya  mustahil untuk membahasnya  satu persatu dalam kesempatan yang relatif singkat ini.
Sebagaimana  telah  diuraikan  dalam  bab  III  bahwa,  Perlindungan konsumen  adalah  segala  upaya  yang  menjamin  adanya  kepastian  hukum  untuk
memberi  perlindungan  kepada  konsumen.  Sedangkan  yang  dimaksud  sebagai konsumen di sini adalah setiap orang pemakai barang danatau jasa yang tersedia
dalam  masyarakat,  baik  bagi  kepentingan  diri  sendiri,  keluarga,  orang  lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Jadi yang dimaksud
konsumen  dalam  Undang-undang  ini  adalah  konsumen  akhir,  bukan  untuk diperjual belikan kembali.
Memperhatikan  substansi  pasal  2  Undang-undang  Perlindungan Konsumen demikian penjelasannya, tampak bahwa perumusannya mengacu pada
61
filosofi pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah negara Republik Indonesia.
Kelima  asas  yang  disebutkan  dalam  pasal  tersebut,  bila  diperhatikan substansinya dapat dibagi menjadi tiga asas, yaitu
1
: 1.
Asas  kemanfaatan,  yang  di  dalamnya  meliputi  asas  keamanan  dan keselamatan konsumen.
2. Asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan
3. Asas kepastian hukum.
Dari  ketiga  asas  ini,  asas  yang  paling  menonjol  adalah  asas  keadilan, demikian  pula  hubungannya  dengan  substansi  pasal  1  angka  1  dalam  bab
sebelumnya,  dapat  dikatakan  hukum  ini  dalam  lingkup  kajian  hukum  ekonomi. Hukum  ekonomi  yang  dimaksud  yaitu,  mengakomodasi  dua  aspek  hukum
sekaligus  diantaranya  aspek  hukum  publik  dan  aspek  hukum  privat  perdata. Sebagai  asas  hukum,  dengan  sendirinya  menempatkan  asas  ini  yang  menjadi
rujukan  pertama  baik  dalam  pengaturan  perundang-undangan  maupun  dalam berbagai aktifitas yang berhubungan dengan perlindungan konsumen oleh semua
pihak yang terlibat di dalamnya. Asas-asas  hukum  perlindungan  konsumen  yang  dikelompokkan  dalam
tiga kelompok di atas, dalam  hukum ekonomi keadilan disejajarkan dengan asas
1
Ahmadi  Miru  dan  Sutarman  Yodo,  Hukum  Perlindungan  Konsumen,    Jakarta,  PT.  Raja Grafindo, 2004 , cet.1, hlm.26.
62
keseimbangan,  kemanfaatan  disejajarkan  dengan  memaksimalisasi,  dan  asas kepastian hukum disejajarkan dengan asas efisiensi.
Dalam  Pasal  3  UU  No.8  tahun  1999  tentang  perlindungan  konsumen menyebutkan bahwa Perlindungan konsumen bertujuan :
1. Meningkatkan  kesadaran,  kemampuan,  dan  kemandirian  konsumen  untuk
melindungi diri; 2.
Mengangkat harkat dan  martabat konsumen dengan  cara  menghindarkannya dari akses negatif pemakai barang danatau jasa;
3. Meningkatkan  pemberdayaan  konsumen  dalam  memilih,  menentukan,  dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen; 4.
Menciptakan  sistem  perlindungan  konsumen  yang  mengandung  unsur kepastian  hukum  dan  keterbukaan  informasi  serta  akses  untuk  mendapatkan
informasi; 5.
Menumbuhkan  kesadaran  pelaku  usaha  mengenai  pentingnya  perlindungan konsumen  sehingga  tumbuh  sikap  yang  jujur  dan  bertanggung  jawab  dalam
berusaha; 6.
Meningkatkan  kualitas  barang  danatau  jasa  yang  menjamin  kelangsungan usaha produksi barang danatau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan konsumen”. Keenam  tujuan  khusus  perlindungan  konsumen  yang  disebutkan  di  atas
bila  dikelompokkan  ke  dalam  tiga  tujuan  hukum  secara  umum,  maka  tujuan hukum untuk mendapatkan keadilan terlihat dalam rumusan huruf c dan huruf e.
63
Sementara  tujuan  untuk  memberikan  kemanfaatan  dapat  terlihat  dalam  rumusan huruf a dan huruf b termasuk huruf c dan d serta huruf f. Terakhir tujuan khusus
yang  diarahkan  untuk  kepastian  hukum  terlihat  dalam  rumusan  huruf  d. Pengelompokan  ini  tidak  berlaku  mutlak,  karena  dalam  rumusan  pada  huruf  a
sampai huruf f terdapat tujuan yang dapat dikualifikasi sebagai tujuan ganda. Kesulitan  memenuhi  ketiga  tujuan  hukum  umum  sebagaimana
dikemukakan  sebelumnya,  menjadikan  tujuan  khusus  dalam  huruf  a  sampai  f akan  dapat  tercapai  maksimal,  apabila  didukung  oleh  keseluruhan  sub  sistem
perlindungan  yang  diatur  dalam  undang-undang  ini,  tanpa  mengabaikan  fasilitas penunjang dan kondisi masyarakat. Unsur masyarakat sebagaimana dikemukakan
berhubungan  dengan  persoalan  kesadaran  hukum  dan  ketaatan  hukum,  yang seterusnya  menentukan  efektifitas  undang-undang  perlindungan  konsumen,
kesadaran hukum, ketaatan hukum, dan efekifitas perundangundangan adalah tiga unsur yang saling berhubungan.
Pasal  3  Undang-Undang  perlindungan  konsumen  ini,  merupakan  isi pembangunan  nasional  sebagaimana  disebutkan  dalam  pasal  2,  karena  tujuan
perlindungan konsumen yang ada itu merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindungan konsumen.
Untuk  mewujudkan  tujuan  UUPK,  pemerintah  bertujuan  atas  pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen pasal 29 ayat 4 UUPK sebagaimana
berikut :
64
1. Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan  yang sehat antara pelaku
usaha dan konsumen. 2.
Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. 3.
Meningkatnya  kualitas  sumber  daya  manusia  serta  meningkatnya  kegiatan penelitian dan pengembangan dibidang perlindungan konsumen.
Menurut  penulis  inti  dari  UU  No.8  Tahun  1999  tentang  perlindungan konsumen  ini  bertitik  beratkan  pada  hak  dan  kewajiban  saja,  sedangkan
pasalpasal  berikutnya  adalah  penunjang  dan  kelanjutan  dari  hak  dan  kewajiban konsumen  dan  pelaku  usaha,  seperti  sangsi,  klausa  baku,  pidana,  dan  lain
sebagainya. Bila  mencermati  susunan  hak-hak  konsumen  dalam  UUPK  ini,
kenyamanan,  keamanan,  dan  keselamatan  barang  dan  jasa  merupakan  prioritas hak yang utama. Ketentuan ini memang sangat tepat mengingat kebutuhan barang
dan atau jasa yang harus dipenuhi oleh setiap konsumen terutama yang berkaitan dengan kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, kesehatan dan
pendidikan. Islam memandang bahwa kebutuhan semacam ini merupakan sesuatu yang  bersifat  dzoruri  primer.
2
Oleh  karena  itu  para  ahli  hukum  Islam  telah sepakat  bahwa  memelihara  kebutuhan  ini  merupakan  kebutuhan  syari’ah
maqosid syari‟ yang utama.
3
Namun agar pemenuhan kebutuhan tersebut tetap
2
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam,  Bandung : LPPM UNISBA, 1995 , h.101.
3
Ziauddin Ahmad, Al Qur‟an Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan,  Yogyakarta : Dana
Bakti Wakaf, 1995 , h.21.
65
selaras  dengan  ajaran  Islam,  pelaksanaanya  harus  senantiasa  memperhatikan ketetapan-ketetapan hukum Islam itu sendiri. Sehingga konsumen itu sendiri akan
dapat merasakan kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang  danatau  jasa.  Bahkan  dengan  aspek  kenyamanan,  Islam  memandang
bahwa  hal  ini  merupakan  kebutuhan  pokok  dan  tepat  guna,  karena  memberikan kesenangan dan kenyamanan kepada konsumen.
4
Dalam  Islam  juga  mengajarkan  tentang  etika  tidak  boleh  berlebihlebihan atau  bersifat  boros. Sifat  yang  diistilahkan  dalam  Al  Qur’an  dengan  ishrof  dan
tabdzir  ini, sangat dilarang  dalam Islam.  Allah SWT. Berfirman  dalam surat Al- A’râf :
Artinya : “Hai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap memasuki
masjid,  makan  dan  minumlah  dan  janganlah  berlebih-lebihan. Sesungguhnya  Allah  sangat  tidak  menyukai  orang  yang  berlebih-
lebiha n”. QS. Al-A’râf  7 : 31
Menurut  Afzlur  Rahman  sifat  berlebih-lebihan  berpotensi  untuk menumbuh kembangkan in dustri-industri yang tidak kondusif dan tidak bermoral
serta  kejahatan  dan  kekacauan  dalam  masyarakat  yang  akhirnya  dapat menghancurkan  kesatuan  dan  integritas  d  alam  masyarakat.  Dalam  kontek  ini
perilaku  yang  demikian  jelas  sangat  bertentangan  dengan  kepentingan kenyamanan,  keselamatan  dan  keamanan  konsumen.  Berkaitan  dengan  hal  ini
4
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid 2,  Yogyakarta : Dana Bakti Wakaf, 1995 , h.42.
66
Monzer  kahf  mengatakan,  pola  konsumsi  berlebih-lebihan  merupakan  ciri  khas masyarakat yang tidak mengenal Tuhan dan dikutuk oleh Islam.
5
Sementara  itu  M.  Abdul  manan  mengatakan,  bahwa  pada  hakekatnya perilaku  konsumsi  umat  islam  itu  dikendalikan  oleh  lima  prinsip,  yaitu  prinsip
keadilan,  kebersihan,  kesederhanaan,  kemurah  hati  dam  moralitas.
6
Dengan demikian  barang  danatau  jasa  yang  boleh  dikonsumsi  adalah  yang  berguna  dan
baik  yang  manfaatnya  menimbulkan  perbaikan  secara  material,  moral,  maupun spiritual pada konsumennya.
Berdasarkan  uraian  di  atas,  penulis  dapat  menyimpulkan  bahwa kenyamanan,  keamanan  keselamatan  untuk  mengkonsumsi  barang  danatau  jasa
dalam  perspektif  hukum  Islam,  tidak  hanya  bersifat  duniawi  semata,  melainkan juga  akhirat.  Atau  dengan  kata  lain  hak  kenyamanan,  keamanan,  keselamatan,
untuk  mengkonsumsi  barang  dan  atau  jasa  harus  selalu  mengindahkan  aspek- aspek tersebut. Sebagai konsekwensinya, pelaku usaha yang tidak mengindahkan
ketentuan  di  atas  hendaknya  tidak  diberi  izin  oleh  pemerintah  untuk mengoperasikan usahanya. dan apabila sudah  mendapat  izin  maka  izinnya  harus
dicabut. Konsumen  memiliki  hak  untuk  memilih  barang  dan  atau  jasa  yang
dibutuhkan  baik  kualitas  maupun  kuantitasnya  secara  bebas  atas  keyakinan  diri
5
Monzer Khaf, Ekonomi Islam.,  Yogyakarta : Putaka Pelajar, 1995 , h.28.
6
M.  Abdul  Manan,  Teori  dan  Praktek  Ekonomi  Islam,    Yogyakarta  :  Dana  Bakti Wakaf,1995 , h.45.
67
sendiri.  Ia  tidak  boleh  dibujuk  atau  dipaksa  untuk  memilih  atau  membeli  suatu barang  atau  jasa  tertentu.  James  F  Angel  mengatakan,  konsumen  adalah  raja.  Ia
bukan  bidak  yang  tidak  dapat  berfikir,  yang  dapat  dimanipulasi  semuanya semuanya  oleh  pembujuk  komersial.
7
Atas  dasar  inilah  produk  sutu  barang  dan atau  jasa  yang  ditawarkan  pelaku  usaha  dapat  diterima  atau  ditolak  berdasarkan
sejauh mana keduanya dipandang relevan dengan kebutuhan dan gaya hidup. Dalam Islam  hak untuk  memilih  barang  dan atau  jasa  ini disebut dengan
hak  khiyar.  Menurut  Sayyid  Sabiq,  hak  khiyar  berarti  mencari  kebaikan  dari perkara  melangsungkan  atau  membatalkan  transaksi.  Adapun  mengenai
kesesuaian  nilai  tukar  Sayyid  Sabiq  berpendapat  bahwa  ini  harus  dilaksanakan secara  wajar,  pelaku  usaha  dilarang  untuk  menjerumuskan  konsumen.  Akan
halnya  dengan  kesesuaian  kondisi  barang  danatau  jasa  serta  jaminan  yang dijanjikan menurut hukum Islam telah jelas adanya.
Maksudnya  bahwa  setiap  manfaat  yang  diperoleh  dari  barang  danatau jasa  yang  diperjualbelikan  adalah  milikhak  konsumen.  Oleh  karena  itu  jika
dikemudian  hari  terdapat  ketidaksesuaian  kondisi  barang  danatau  jasa  yang dijanjikan  maka  ia  berhak  mendapatkan  gantinya.  Konsumen  berhak  memilih
barang danatau  jasa  yang dimiliki  konsumen,  maka sangat tidak etis  jika  masih terdapat  usaha-usaha  yang  sifatnya  monopolistis.  Sebab  secara  tidak  langsung
pola usaha semacam ini akan menghambat kepentingan diatas.
7
James F Angel, dkk, Periaku Konsumen,  Jakarta : Bina Rupa Aksara, 1994 , h.9.
68
Konsumen juga mempunyai hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai  kondisi  dan  jaminan  barang  danatau  jasa.  Untuk  memilih  dan
mengetahui kondisi suatu barang dan jasa tertentu, informasi dari barang danatau jasa  yang  sah  untuk  dikonsumsi.  Semua  transaksi  yang  dilakukan  antara
konsumen  dan  pelaku  usaha  akan  sempurna  bila  transaksi  tersebut  jelas,  terang, jauh dari praktek-praktek penipuan, pemalsuan, dan menutupi cacat atau aib.
8
Jika yang  demikian  dilakukan  maka  sebagaimana  dikatakan  oleh  Rasulullah  dalam
sabdanya:
:
9 Artinya  :
“Diceritakan  Badal  bin  Mahrab,  diceritakan  Syu‟bah  dari  Qatadah berkata saya mendengar Abi Khulail pembicaraan dari  Abdullah bin
Harist dari Hakim bin Hizam RA. Bahwa Rasulallah berkata : “dalam jual  beli  dengan  cara  khiyar  selagi  belum  terpisa  ataupun  sudah
terpisa  jarak,  jika  terdapat  kejujuran  dan  kejelasan  diantara  mereka maka  terdapat  berkah  dalam  transaksinya  dan  Jika  mereka
menyembunyikan  dan  berdusta,  maka  Allah  akan  menghapus  berkah
dari transaksi tersebut” HR. Al Bukhârî
Dr.  ahmad  Muhammad  al  Assad  dan  Dr.  Ahmad  Abdul  Karim mengatakan,  jika  Allah  telah  menghapuskan  berkah  dari  transaksi  ini,  maka
8
Drs. Imam Saefudin, Sistem Dan Tujuan Ekonomi Islam, Bandung  :  Pustaka Setia, 1999 , h.208.
9
Muhammad  Bin  Ismail  Abu  Abdullah  Al-Bukhârî,  Sahih  Al-Bukhârî,  Yaman  :  Ridwana, 2008 , Juz.2, h.733., no.1976.
69
syari’at  tidak  bisa  membiarkan  transaksi  tersebut  berlaku  atau  pun meluluskannya.
10
Dengan kata lain hukum Islam melarang adanya informasi yang tidak jelas apalagi  tidak  benar  dari  pelaku  usaha.  Oleh  karena  itu  Islam  memberikan
kepastian  bahwa  hak  mendapatkan  informasi  yang  jujur,  jelas  dan  benar  harus mendapat jaminan hukum. Hal ini juga sesuai dengan pasal 7 dan 8 bahwa, pelaku
usaha  tidak  boleh  tidak  mengikuti  ketentuan  berproduksi  secara  halal, sebagaimana  pernyataan  “halal”  yang  dicantumkan  dalam  label.  Dengan
pelabelan  ini  konsumen  dapat  mengetahui  apakah  barang  tersebut  boleh dikonsumsi  bagi  konsumen  muslim  maupun  tidak.  Dan  pelabelan  halal  ini
dilakukan  atas  pengawasan  dan  sertifikasi  dari  Badan  LPPOM  MUI.  Hak  untuk didengar  pendapat  dan  keluhannya  atas  barang  danatau  jasa  yang  digunakan.
Disadari  atau  tidak  semua  masyarakat  adalah  konsumen,  bahkan  pelaku  usaha sekalipun.  Berkaitan  dengan  ketentuan  ini,  konsumen  secara  kolektif  atau
individu  memiliki  hak  untuk  didengar  keluhan  dan  pendapatnya  menyangkut barang danatau jasa yang dikonsumsinya.
Menurut  Ibn  Rusyd  bila  terdapat  ketidaksesuaian  antara  kondisi  barang dan  juga  harga  yang  diterima  dengan  yang  dijanjikan  konsumen  diperbolehkan
untuk  mengadukannya  kepada  pelaku  usaha.  Hal  ini  menurutnya  masih  dalam rangka  khiar.
11
Senada  dalam  hal  ini  Sayid  Sabiq  mengatakan,  jika  penjual  dan
10
Saefudin, Sistem Dan Tujuan Ekonomi Islam, h.209.
11
Ibnu Rusyd, Bidâyah al-Mujtahîd,  Semarang : Wahana Keluarga, tth , h. 105.
70
pembeli  berselisih  tentang  kondisi  barang  danatau  jasa,  dan  masing-masing beralternatif,  tetapi  tidak  ada  kejelasan  diantara  keduanya,  maka  yang  dipegang
adalah ucapan penjual dengan sumpah seperti yang dilakukan Ustman. Ada pula yang mengatakan adalah pembeli dengan sumpah.
12
Berdasarkan  pendapat  para  ulama  di  atas,  dalam  konteks transaksi  bisnis sekarang  ini  maka  konsumen  jelas  memiliki  hak  untuk  didengar  keluhan  dan
pendapatnya  baik  kepada  pelaku  usaha  sendiri  maupun  penentu  kebijakan  yang lain semisal pemerintah. Sebab dalam prakteknya dewasa  ini pembuat kebijakan
mengenai ketentuan barang danjasa termasuk dalam hal harga, tidak sepenuhnya hak  pelaku  usaha.  Atau  dengan  kata  lain  kebijakan  mengenai  harga  dan  barang
danatau  jasa  itu  sendiri  dibuat  bersama  antara  pelaku  usaha  dan  pemerintah. Dengan  demikian  konsumen  tidak  hanya  menerima  keputusan  secara  sepihak
melainkan melibatkan secara bersamasama. Menurut  Juhaya  S.  Praja,  terdapat  lima  prinsip  dalam  melaksanakan
kegiatan  mu’amalah  yaitu  taba‟dulul  manafi‟  memberikan  keuntungan  dan manfaat  bersama,  pemerataan,
„an taradhin  suka sama  suka,  „adâmul ghurûr tidak  boleh  terdapat  tipu  daya,  kebaikan  dan  takwa,  dan  musyawarah
kerjasama.
13
Dengan  adanya  prinsip-prinsip  tersebut  secara  tidak  langsung konsumen secara  sah dan  meyakinkan  mempunyai  hak untuk didengar pendapat
12
Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Penerjemah : Mauludin,   Bandung : Al Maarif, 1987 , h. 101.
13
Praja, Filsafat Hukum Islam, h. 113 –114.
71
dan keluhannya agar setiap kebijakan yang dibuat dapat sesuai dengan prinsip di atas.
Hal  ini  sesuai  dengan  pasal  34  ayat  1  bahwa  badan  perlindungan konsumen  nasional  mempunyai  tugas  “menerima  pengaduan  tentang
perlindungan  konsumen  dari  masyarakat,  lembaga  perlindungan  konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha”.
Sering  terjadi  konsumen  menderita  kerugian  akibat  mengkonsumsi  suatu barang danatau  jasa. Pada saat demikian kemungkinan  besar  yang  akan  muncul
adalah  sengketa  antara  para  pihak  yang  terlibat,  yang  diistilahkan  disini  dengan sengketa  konsumen.  Dalam  kondisi  seperti  ini  konsumen  memerlukan  bantuan
hukum  advokasi  dalam  rangka  untuk  menyelesaikan  sengketa  tersebut  secara hukum.  Sebab  sebagaimana  di  atur  dalam  pasal  48  dan  49  UUPK  ini,
penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melalui pengadilan atau di luar pengadilan.  Untuk  kepentingan  ini  tidak  semua  konsumen  memiliki  keahlian  di
bidang tersebut. Oleh karena itu suatu keharusan bilamana konsumen mempunyai hak untuk mendapatkan advokasi dalam upaya penyelesaian sengketa konsumen.
Dalam  Islam  dikenal  adanya  lembaga  peradilan  yang  disebut  al  qadla. Disamping  itu  ada  lagi  yang  disebut  dengan  Lembaga  Tahkim,  Wilayah
Madzalim,  Wilayah  Hisbah  dan Lembaga  Ifta‟.
14
Disamping  lembaga-lembaga
14
T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam,  Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1997 , h. 48.
72
tersebut  juga  dikenal  satu  lagi  yaitu  as  Shulhu.
15
Lembaga-lembaga  inilah  yang akan  menyelesaikan  setiap  persoalan  hukum  yang  timbul  dalam  masyarakat
Islam.  Secara  historis,  telah  banyak  sengketa  konsumen  yang  dapat  diselesaikan melalui lembaga-lembaga tersebut.
Namun  bila  dicermati  maka  secara  etimologis  lembaga-lembaga  di  atas memang  jelas  berbeda  dengan  lembaga  peradilan  di  Indonesia,  demikian  juga
dalam  hal  pelaksanaannya,  sebab  lembaga  tersebut  harus  mendasarkan keputusannya  dengan  hukum  Islam.  Sedangkan  lembaga  peradilan  Indonesia
mendasarkan  keputusannya  kepada  hukum  positif  yang  berlaku.  Tetapi  secara substansial lembaga tersebut sama-sama bertujuan untuk menyelesaikan sengketa
yang ada dalam masyarakat. Sehingga ditemukan satu keputusan yang adil. Berdasarkan  hal  di atas, dapat disimpulkan  bahwa penyelesaian  sengketa
konsumen baik melalui pengadilan ataupun di luar pengadilan tidak ada masalah, termasuk dalam hal kewenangannya sejauh hal ini untuk melindungi semua pihak
terutama yang teraniaya. Hasbi ash Shiddieqi mengatakan, bahwa suatu keharusan untuk  melindungi  kepentingan  orang-orang  yang  teraniaya  dan  untuk
menghilangkan sengketa-sengketa yang timbul dalam masyarakat.
16
Oleh  karena  itu  sangat  tepat  kiranya  jika  dewasa  ini  banyak  Lembaga Swadaya  Masyarakat  LSM  seperti  YKLI  dan  LP2K  yang  didirikan  untuk
memperjuangkan  hak  konsumen  yang  merasa  dirugikan.  Demikian  pula  perlu
15
Ibid, h. 49.
16
Ibid, h. 38.
73
disambut  langkah  pemerintah  yang  akan  mendirikan  Badan  Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK di setiap daerah.
Hak  untuk  mendapat  pembinaan  dan  pendidikan  konsumen  Untuk melaksanakan  hak-hak  yang  disebutkan  di  atas  diperlukan  adanya  satu
pemahaman  yang  cukup  mengenai  masalah  konsumen.  Oleh  karena  itu pembinaan  dan  pendidikan  konsumen  merupakan  suatu  hal  yang  sangat
diperlukan  oleh  konsumen.  Melalui  pembinaan  dan  pendidikan  konsumen  akan timbul  dalam  masyarakat  wawasan  yang  luas  mengenai  apa,  mengapa,  dan
bagaimana  mengkonsumsi  barang  dan  jasa.
17
Dengan  demikian  konsumen  akan dapat merasakan kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang danatau jasa. Hal ini sesuai dengan pasal 29 UUPK bahwa “Pemerintah bertanggung  jawab  atas  pembinaan  penyelenggaraan  perlindungan  konsumen
yang  menjamin  diperolehnya  hak  konsumen  dan  pelaku  usaha  serta  di laksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku
usaha”. Dalam  rangka  inilah  menurut  Qardhawi,  Islam  mengarahkan  pola
konsumsi  umat  Islam  ke  dalam  lima  hal,  yaitu  pendidikan  moral,  pendidikan masyarakat, pendidikan ekonomi, pendidikan kesehatan, dan pendidikan politik.
18
Pendidikan  moral  mengandung  maksud  bahwa  setiap  pembatasan terhadap  pemanfaatan  dan  penggunaan  barang  danatau  jasa  merupakan  sarana
untuk  mendidik  masyarakat  hidup  sederhana.  Pendidikan  masyarakat
17
James F. Angel, Periaku Konsumen, hlm. 5 –6.
18
Yusuf  Qardhâwi,  Peran  Nilai  dan  Moral  dalam  Perekonomian  Islam,  Penerjemah  Didin Hafidudin,  Jakarta : Robbani Press, 1997 , h. 262
–271.
74
mengandung  maksud  bahwa  pembatasan  pemanfaatan  dan  penggunaan  barang danatau  jasa  merupakan sarana untuk mengatasi kesenjangan sosial  yang terlalu
lebar.  Pendidikan  ekonomi  bertujuan  agar  masyarakat  selalu  bersikap  produktif dan  tidak  konsumtif.  Pendidikan  kesehatan  mengandung  maksud  bahwa
pembatasan  pemanfaatan  dan  penggunaan  barang  danatau  jasa  bertujuan  untuk menjaga kesehatan sebagai unsur terpenting dalam kehidupan.
Tersirat  dalam  uraian  di  atas  bahwa  ajaran  Islam  tidak  hanya  membuka wacana perilaku konsumen  yang  berorientasi pada kepuasan  materiil, tetapi  juga
kepuasan spirituil. Dengan  demikian  pendidikan  konsumen  tidak  hanya  bermanfaat  bagi
konsumen  secara  individu,  tetapi  juga  konsumen  secara  kolektif  bahkan  seluruh bangsa.  Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif. Secara  faktual  sepertinya tidak dapat ditemukan di  muka  bumi  ini suatu  komunitas  masyarakat  tanpa  adanya  suatu  perbedaan.  Baik  ras,  suku,
maupun agama. Apalagi di bumi nusantara ini yang serba majemuk. Dalam suatu kondisi  masyarakat  yang  demikian  seringkali  dalam  beberapa  hal  muncul  sikap
diskriminatif  antara  suatu  masyarakat  dengan  masyarakat  yang  lain.  Tak terkecuali dalam pelayanan konsumsi.
Oleh  karena  itu,  dalam  rangka  melindungi  setiap  kepentingan  konsumen hak  untuk  diperlakukan  tanpa  diskriminatif  harus  diwujudkan  dengan  sebenar-
benarnya  tidak  hanya  sebagai  slogan  semata.  Hukum  Islam  sangat  mendukung terselenggaranya ketentuan ini. Sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Hujurât :
75
Artinya:  “Hai  manusia,  sesungguhnya  Kami  ciptakan  kamu  laki-laki  dan perempuan  dan  menjadikan  kamu  berbangsa-bangsa  dan  bersuku-suku
supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang bertaqwa. Sesungguhnya
Allah  Maha  Mengetahui  lagi  Maha  Mengenal. ” QS.  Al-Hujurât  49  :
13 Ayat di atas menghendaki bahwa sesama manusia itu tidak ada perbedaan
dengan  alasan  apapun.  Berkaitan  dengan  konteks  inilah  Juhaya  S.  Praja mengatakan, Islam memiliki prinsip-prinsip umum sebagai berikut :
Prinsip tauhid, al „adl  keadilan,  amar ma‟ruf nahi munkar, al huriyah
kebebasan, al  musa‟wah  persamaan,  at  Ta‟awun  tolong  menolong,  dan
Tasa‟muh  toleransi.
19
Semua  prinsip  ini  diharapkan  dapat  dijadikan  pedoman umat Islam bahwa tidak ada kebenaran sama sekali untuk memperlakukan orang
lain  secara  tidak  benar  dan  tidak  jujur  apalagi  bertindak  diskriminatif,  termasuk dalam masalah konsumsi.
Hak  untuk  mendapatkan  konpensasi  ganti  rugi  danatau  penggantian, apabila  barang  danatau  jasa  yang  diterima  tidak  sesuai  dengan  perjanjian  atau
tidak  sebagaimana  mestinya.  Sudah  merupakan  suatu  keharusan,  bila  barang danatau  jasa  yang diterima oleh konsumen tidak  sesuai dengan perjanjian untuk
19
Praja, Filsafat Hukum Islam, h. 78.
76
mendapatkan  konpensasi  ganti  rugi.  Dalam  epistemologi  hukum  Islam  hal  ini disebut dengan tadlmin atau iwadl.
M.  Daud  Ali  mengatakan,  hukum  Islam  memiliki  azas  perlindungan  hak yang berarti bahwa semua hak yang diperoleh seseorang dengan jalan yang halal
dan  sah,  harus  dilindungi.  Bila  hal  itu  dilanggar  maka  pihak  yang  dirugikan berhak untuk menutut. Hal ini sesuai dengan pasal 19 UUPK yaitu “Pelaku usaha
bertanggung  jawab  memberikan  ganti  rugi  atas  kerusakan,  pencemaran,  dan kerugian  konsumen  akibat  menkonsumsi  barang  dan  atau  jasa  yang  dihasilkan
atau  diperdagangkan”.  Juga  pada  pasal  24  UUPK  bahwa  “Pelaku  usaha  yang menjual  barang  danatau  jasa  kepada  pelaku  usaha  lain  bertanggung  jawab  atas
tuntutan  ganti  rugi  danatau  gugatan  konsumen  apabila  pelaku  usaha  lain  tanpa melakukan  perubahan  atas  barang  danatau  usaha  tersebut,  pelaku  usaha  lain
dalam sebuah transaksi  jual  beli tidak  mengetahui  adanya perubahan  barang dan atau  jasa  yang  dilakukan  oleh  pelaku  usaha  apabila  tidak  sesuai  dengan  contoh,
mutu, dan komposisi”. Adapun  ganti  rugi  yang  dapat  dilakukan  adalah  bisa  dengan  diganti
dengan barang danatau jasa seperti pada saat perjanjian, atau dengan membayar harganya.  Pembayaran  ganti  rugi  ini  selanjutnya  akan  menjadi  hak  milik
konsumen.  Sebab  dalam  hukum  Islam  dinyatakan  bahwa  radlmin  dan ta‟widl
merupakan salah sebab dari kepemilikan.
77
Demikianlah uraian tentang bentuk-bentuk perlindungan konsumen dalam Undang-undang  No.8  tahun  1999  tentang  perlindungan  konsumen  di  tinjau  dari
perspektif hukum Islam.
B. Analisis  Relevansi  UU  No.8  Tahun  1999  Tentang  Perlindungan Konsumen