Bentuk-Bentuk Perlindungan Konsumen Muslim dalam Undang-Undang

47 atau tidak. Dan pelabelan halal ini dilakukan atas pengawasan dan sertifikasi dari Badan LPPOM MUI.

C. Bentuk-Bentuk Perlindungan Konsumen Muslim dalam Undang-Undang

No.8 Tahun 1999. Dalam Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dijelaskan bahwa setiap konsumen, termasuk konsumen muslim yang merupakan mayoritas konsumen di Indonesia, berhak untuk mendapatkan barang dan jasa yang nyaman dikonsumsi olehnya, salah satu pengertian nyaman bagi konsumen muslim adalah bahwa barang tersebut tidak bertentangan dengan kaidah agama Islam, yaitu halal. Kehalalan suatu makanan atau produk bukan hanya terletak pada adanya unsur babi atau tidak. Banyak unsur lainnya yang menyebabkan suatu makanan atau minuman menjadi haram. Misalnya unsuf fermentasi atau unsur lainnya seperti alkohol. Sup ikan belum halal karena dalam memasak ikan menggunakan ang cui atau arak, adahal ikan itu adalah makanan yang halal. Demikian juga anggur, buah anggur itu halal, tapi setelah menjadi minuman maka nggur tersebut menjadi haramg. 13 Contoh yang lain, Majelis Ulama Indonesia MUI tetap bersikukuh bahwa vaksin maningitis radang selaput otak yang disuntikan peda jemaah haji 13 Minuman cap badak kok tak ada label halalnya pak?, artikel diakses pada 24 Juni 2009 dari http:ariesaja.wordpress.com20090624minuman-cap-badak-kok-tak-ada-label-halalnya-pak more-386. 48 Indonesia tetap haram. MUI menolak fakta yang disodorkan Depkes, bahwa vaksin itu bebas dari DNA babi. “Hasil uji Badan Obat dan Makanan POM membuktikan hasil akhir vaksin bebas dari DNA babi. Akan tetapi, dalam proses pembuatan terjadi persinggungan dengan unsur babi, yaitu trypsin enzim yaang berasal dari porcine yang bersumber dari enzim babi. 14 Contoh lainnya adalah apa yng telah dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan BPOM, bahwa BPOM mengingatkan kepada masyarakat agar tidak menggunakan peralatan makan melamin. Pasalnya menurut data BPOM, peralatan makan „melamin‟ yang bila digunakan untuk mewadahi makanan berair, asam atau panas akan melepaskan formalin. Akibatnya penggunaan berbagai produk yang mengandung melamin tersebut dalam jangka panjang beresiko menimbulkan gangguan ginjal dan kandung kemih, gagal ginjal, kerusakan organ tubuh, kanker, hingga kematian. 15 Selain contoh di atas terdapat juga kasus yang baru-baru ini kita dengar dan menjadi pembicaraan umum, yaitu kasus pidana pencemaran nama baik dengan tersangka Prita Mulyasari 32 dengan penuntut rumah sakit Omni adalah salah kaprah. Seharusnya pihak rumah sakit memberikan penjelasan kepada pasien dalam hal ini konsumen tentang kondisi kesehatan dan pemeriksaannya. 14 Mediakonsumen, Majelis Ulama Indonesia MUI tetap bersikukuh, artikel diakses pada 24 Juni 2009 dari http:www.mediakonsumen.comartikel931.html. 15 Ibid. 49 “ini malah konsumennya dikenakan pencemaran nama baik dengan alat UU Informasi dan Traksaksi Elektronik ITE”. Dalam Pasal 4 UU PK disebutkan hak konsumen adalah hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang danatau jasa yang digunakan. “Dan tulisan Prita dalam email merupakan bentuk meminta penjelasan bukan pencemaran nama baik ”. 16 Adapun salah satu pasal yang menjelaskan tentang hal tersebut dapat ditemukan pada pasal 4 mengenai hak dan kewajiban konsumen. Pada pasal ini disebutkan bahwa hak konsumen adalah : 1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa. 2. Hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. 3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa. 4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan atau jasa yang digunakan. 5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. 16 Mediakonsumen, Kasus pidana pencemaran nama baik, artikel diakses pada 24 Juni 2009 dari http:www.mediakonsumen.comartikel931.html. 50 6. Hak untuk mendapat permintaan dan pendidikan konsumen. 7. Hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. 8. Hak untuk mendapatkan Kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. 9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Dari sembilan butir hak-hak konsumen yang diuraikan di atas, terlihat bahwa kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen. Barang dan atau jasa yang penggunaannya tidak memberikan kenyamanan terlebih lagi yang tidak aman atau membahayakan keselamatan konsumen hal ini jelas tidak layak untuk diedarkan dalam masyarakat. Kelayakan produk tersebut merupakan standar minimum yang harus dimiliki atau dipenuhi oleh suatu barang dan atau jasa tertentu sebelum barang dan atau jasa tersebut dapat diperdagangkan untuk dikonsumsi oleh masyarakat luas. 17 Dengan demikian, jaminan keamanan, keselamatan, dan kenyamanan dalam menggunakan barang dan atau jasa, terutama yang dibutuhkan konsumen untuk mempertahankan hidupnya seperti sandang, pangan, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan dan sanitasi kebutuhan pokok sangat dibutuhkan bagi konsumen. Untuk menjamin bahwa suatu barang dan atau jasa dalam 17 Widjaya, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, h.39. 51 penggunaannya akan nyaman, aman maupun tidak membahayakan penggunanya, maka konsumen mempunyai hak untuk memilih barang dan atau jasa yang dibutuhkan secara bebas, atas dasar keyakinan diri sendiri dan bukan karena pengaruh lingkungan luar Iklan, lingkungan dan sebagainya. Konsumen berhak menentukan pilihannnya, disinilah ungkapan konsumen adalah raja sudah saatnya diwujudkan, sehingga tidak hanya sekedar slogan semata. Untuk menjamin hak pilihan konsumen ini, menurut LP2K Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen sekarang harus diciptakan iklim usaha yang tidak monopolis. Dengan demikian, produsen tidak bisa seenaknya memaksa konsumen untuk membeli atau menggunakan produk tertentu tanpa informasi yang jelas tentang produk tersebut. Sedangkan pasal yang menjelaskan tentang hak dan kewajiban pelaku usaha diterangkan pada pasal 7 UUPK. Di sini disebutkan bahwa kewajiban pelaku usaha adalah : 1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha. 2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. 3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benda dan jujur serta tidak diskriminatif. 4. Menjamin mutu barang dan atau jasa yang diproduksi dan atau jasa diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan atau jasa yang berlaku. 52 5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan atau mencoba barang dan atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan atau garansi atas barang yang dibuat dan atau yang diperdagangkan. 6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan atau jasa yang diperdagangkan. 7. Memberikan Kompensasai, ganti rugi dan atau penggantian apabila barang dan atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Sementara dalam pasal 8 UUPK desebutkan ; 1. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan atau jasa yang : a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan. b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto dan jumlah dalam hitungan yang sebagaimana dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut. c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya. d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan atau jasa tersebut. 53 e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan komposisi proses pengolahan, gaya, mode atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan atau jasa tersebut. f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan atau jasa tersebut. g. Tidak mencantumkan kadar kadaluarasa atau jangka waktu penggunaan atau pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu. h. Tidak mengikuti ketentuan berfroduksi secara halal, sebagaimana pernyataan Halal yang dicantumkan dalam label. i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, beratisi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal poembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasangdibuat. j. Tidak mencantumkan informasi dan atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 2. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang yang dimaksud. 54 3. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan-pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar. Dari uraian diatas dapatlah disimpulkan bahwa informasi tersebut meliputi: 1. Manfaat atau kegunaan barang. 2. Efek samping yang dapat timbul dari pemakaian barang dan atau jasa tersebut. 3. Tanggal kadaluarsa. 4. Nama dan alamat perusahaan dan nomor pendaftaran registration. Adapun informasi di atas dapat diperoleh dengan cara : 1. Secara langsung dari pedagang. 2. Keterangan yang tercantum dalam table kemasan. 3. Melalui promosi media cetak dan media elektronik. Dengan ketentuan di atas maka konsumen memiliki hak untuk dilindungi dari berbagai merek atau iklan-iklan yang menipu dan mengelabui yang tidak benar. Konsumen secara kolektif atau individu memiliki hak untuk didengar keluhan dan pendapatnya menyangkut hal-hal yang berkaitan erat dengan keputusan atau kebijakasanaan yang akan berakibat pada dirinya yang dibuat oleh pelaku usaha. Disamping itu konsumen juga memiliki hak untuk menyuarakan kepentingannya sebagai konsumen dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah. Hak untuk di dengar ini dapat diaktualisasikan dengan 55 cara mengadu baik kepada produsen pelaku usaha apabila konsumen dirugikan atau dikecewakan, maupun kepada pemerintah untuk meminta bantuan peraturan yang telah ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Selanjutnya dalam pasal 34 ayat 1 hurup f UUPK ini disebutkan bahwa Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai tugas menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha. Adapun mengenai proses pengajuan keluhan atau bahkan gugatan sengketa konsumen akan dibahas dalam sub bahasan berikutnya. Sebagaimana disebutkan dalam UUPK pasal 31, bahwa dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen dibentuk BPKN. Selanjutnya dalam pasal 33 ayat 1 UU tersebut dijelaskan bahwa BPKN bertugas : 1. Memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen. 2. Melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen. 3. Melakukan penelitian terhadap barang dan atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen. 4. Mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. 5. Menyebrluaskan informasi melalui media mempunyai perlindungan konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen. 56 6. Menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyrakat, lembaga perlindungan konsumen dari masyarakat atau pelaku usaha. 7. Melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen. Selanjutnya dalam pasal 45 UUPK tersebut diatas dikatakan : 1. Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. 2. Penyelesain sengketa konsumen dapat di tempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Adapun yang dimaksud denda sengketa konsumen dalam ketentuan tersebut adalah sengketa antara konsumen sebagai penggugat yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi, menggunakan, memanfaatkan barang dan atau jasa terhadap pelaku usaha sebagai tergugat yang memproduksi, menyediakan, menjual, mengiklankan barang dan atau jasa. Mengenai mekanisme gugatan atas pelanggaran pelaku usaha sebagaiamana dinyatakan dalam pasal 46 ayat 1 UUPK dapat dilakukan oleh : 1. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan. 2. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama. 3. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu yang berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi 57 tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya. 4. Pemerintah dan atau instansi terkait apabila barang dan atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian meteri yang besar dan atau korban yang tidak sedikit. Kemudian sebagaimana disebutkan di atas bahwa penyelesaian konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 48 UUPK : Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam pasal 45. Adapun proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 49 ayat 1 UUPK : Pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di daerah tingkat II untuk menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan. Sementara itu dalam pasal 52 huruf a UUPK dinyatakan bahwa salah satu tugas dan wewenang BPKS adalah : Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dapat dilakukan dengan cara melakukan mediasi, arbritase atau konsilidasi. Dengan adanya ketentuan di atas maka kepentingan konsumen yang selama ini dirugikan oleh pelaku usaha di harapkan akan dapat diselesaikan secara adil. 58 Pentingnya pemberian informasi yang jelas bagi konsumen bukanlah tugas dari pelaku usaha semata-mata, melainkan juga tugas konsumen untuk mencari apa dan bagaimana informasi yang dianggap relevan yang dapat dipergunakan untuk membuat suatu keputusan tentang penggunaan, pemanfaatan maupun pemakaian dan atau jasa tertentu. Untuk itu, pendidikan tentang perlindungan konsumen menjadi suatu hal yang signifikan, tidak hanya memberikan bargaining position yang lebih kuat pada konsumen untuk menegakan hak- haknya, melainkan juga agar dapat tercipta aturan main yang lebih fair bagi semua pihak. Dalam pasal 29 UUPK ini disebutkan bahwa : 1. Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha. 2. Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagimana dimaksud dalam ayat 1 dilaksanakan oleh menteri dan atau menteri teknis terkait. 3. Menteri sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 2 melakukan koordinasi atas penyelenggaraan perlindungan konsumen. 4. Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana di maksud dalam ayat 2 meliputi upaya untuk : a Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen. 59 b Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. c Meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen. 5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen diatur oleh peraturan pemerintah. 60

BAB IV ANALISIS TERHADAP UU NO 8 TAHUN 1999 TENTANG