Peran pidana kisas dalam upaya pencegahan kejahatan

(1)

PERAN PIDANA KISAS

DALAM UPAYA PENCEGAHAN KEJAHATAN

Oleh:

RIZQI FARAHYONA 102045125140

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM

JURUSAN JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1429 H / 2008 M


(2)

PERAN PIDANA KISAS

DALAM UPAYA PENCEGAHAN KEJAHATAN

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar

Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh:

Rizqi Farahyona 102045125140

Di Bawah Bimbingan:

Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 150 210 422

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1429 H / 2008 M


(3)

Skripsi yang berjudul “PERAN PIDANA KISAS DALAM UPAYA PENCEGAHAN KEJAHATAN” setelah diujikan dalam sidang munaqosah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 10 Juni 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Jurusan Jinayah Siyasah. Jakarta, 10 Juni 2006

Mengesahkan

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma SH., MA., M.M., NIP: 150 210 422

PANITIA SIDANG MUNAQOSAH

Ketua : Asmawi, M.Ag

(………...…) NIP: 150 282 394

Sekretaris : Sri Hidayati, M.Ag (………...…) NIP: 150 282 403

Pembimbing : Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma SH., MA., M.M., (………...…)

NIP: 150 210 422

Penguji I : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA (………...…)

NIP: 150 169 102

Penguji II : Sri Hidayati, M.Ag (………...…) NIP: 150 282 403


(4)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “PERAN PIDANA KISAS DALAM UPAYA PENCEGAHAN

KEJAHATAN” setelah diujikan dalam sidang munaqosah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 10 Juni 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Jurusan Jinayah Siyasah. Jakarta, 10 Juni 2006

Mengesahkan

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma SH., MA., M.M., NIP: 150 210 422

PANITIA SIDANG MUNAQOSAH

Ketua : Asmawi, M.Ag

(………...…) NIP: 150 282 394

Sekretaris : Sri Hidayati, M.Ag (………...…) NIP: 150 282 403

Pembimbing : Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma SH., MA., M.M., (………...…)

NIP: 150 210 422

Penguji I : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA (………...…)


(5)

Penguji II : Sri Hidayati, M.Ag (………...…) NIP: 150 282 403


(6)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Salah satu keindahan di dunia ini yang akan selalu dikenang adalah ketika kita bisa melihat atau merasakan sebuah impian menjadi kenyataan, bagi penulis skripsi ini adalah salah satu keindahan itu.

Terima kasih dan rasa syukur yang tak terhingga terucapkan kepada Allah SWT sang Maha Pemurah dan Maha Penyayang, yang telah memberikan cinta yang tak terhingga, nikmat yang tak berujung. Shalawat serta salam penulis persembahkan kepada baginda Nabi Muhammad Saw. atas segala perjuangan dan amanah yang tak pernah padam sampai akhir zaman.

Terima kasih kepada yang tercinta kedua orang tua Ayahanda Drs. H. Teungku Anwar Abbas, Ibunda Dra. Cut Rahmani dan Adinda Putri Lubna Tari, S.S, Nenek tercinta Cut Cahya Khairani dan Ce’ Nurjannah Abbas, S.Pd. dan semua Cece’ juga seluruh keluarga besar di Aceh dengan rasa kasih sayang dari semuanya yang terus mendo’akan, menasehati, membimbing dan memberikan dukungan moral, dan materil. Tanpa mereka penulis tidak dapat merampungkan skripsi ini. Semoga Allah mengampuni dan membukakan pintu rahmat dan kelak menjadikan mereka

penghuni surga firdaus-Nya… Amin yaa rabbal ‘alamin…

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., M.M., selaku Pembimbing

Penulis dalam penyusunan skripsi ini sekaligus Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


(7)

2. Bapak Asmawi, M.Ag, selaku Ketua Jurusan Jinayah Siyasah dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag, selaku sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah.

3. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah yang telah mencurahkan ilmunya kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.

4. Seluruh Karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum dan

Perpustakaan Umum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Semua teman-teman Pidana Islam ’02 Eva, Sari, Dian, Irma, Opah, Ulva,

Wava, Sensen, Ari, Edi, Mamak, Cecep, Ewok, Ableh, Oman, Hafidz, dan lainnya yang tak bisa disebut satu persatu..(jangan marah ya…)

6. Sahabat-sahabat sejati dimanapun berada, Ana, Tante, Nora, Yayan, kostan RR

thank you, para Balance cheer (jangan gossip mulu tar masuk neraka…), buat PSM slendro, rampak, reff, ce jazz, ka’ toleng, kromong, sarba juga deh, Sanggar TARI imapa Acut, Nada, D’nong, Inong, Linda, Ka’ Dina, Pooja, Rina (tetep kompak ya..), dan semua pihak yang tidak bisa disebut satu persatu. 7. Especially to my one and only brother in the world Mr. Abdel Salam every

where you are, thank you for the support, thank you to take me to the place I’ve never been before, the exhibition is great and that’s amazing and unforgettable! Thank you for your kindness and your attention…


(8)

Akhirnya penulis berharap skripsi ini menjadi salah satu pengabdian penulis kepada Allah SWT, kontribusi penulis terhadap bangsa Indonesia dan pelayanan penulis kepada sesama manusia.

Jakarta, 30 Mei 2008


(9)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 7

D. Tinjauan Pustaka... 8

E. Metode Penelitian ... 9

F. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II DESKRIPSI PIDANA KISAS DAN HAL-HAL YANG BERKAITAN A. Pengertian Tindak Pidana dan Pidana Kisas ... 13

B. Bentuk-bentuk Hukuman Pidana Kisas ... 27

C. Tindak Pidana Yang Dapat Dikenakan Pidana Kisas ... 35

D. Pendapat Imam Syafi’i Tentang Kisas... 42

BAB III PERIHAL PENCEGAHAN KEJAHATAN DAN PERMASALAHANNYA A. Pengertian Pencegahan Kejahatan ... 50

B. Permasahalan Sekitar Pencegahan Kejahatan ... 53


(10)

BAB IV TINJAUAN PERAN PIDANA KISAS DALAM HAL UPAYA MENCEGAH KEJAHATAN

A. Penerapan Kisas Sebagai Hukuman Dalam Hukum Islam ... 64

B. Peran Pidana Kisas Sebagai Pencegah Kejahatan ... 72 C. Upaya Hukum Islam Mencegah Kejahatan... 77

BAB V PENUTUP

A....Kesimpula n ... 84 B.... Saran-saran ... 85


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam adalah agama yang diturunkan dengan tujuan menciptakan rahmatan lil

‘alamin yang fungsinya sebagai agama adalah sebuah pedoman dalam menjalankan

roda kehidupan. Islam mengatur sisi kehidupan bahkan lebih sempurna dari sistem yang telah ada bukan hanya perkara muamalah dan ibadah dan tetapi juga mengatur masalah kehidupan pendidikan, ekonomi, politik, sosial, budaya, ataupun tentang pertahanan dan keamanan tetapi juga masalah hukum terutama pidana, dikatakan lebih sempurna di sini adalah karena bersumber dari sang pencipta Allah SWT.

Hukum yang berlaku haruslah selaras dengan kondisi sosial masyarakat melalui beberapa pertimbangan, artinya hukum tidak boleh bersifat kaku meskipun dari satu sisi harus tegas. Kebutuhan manusia terhadap suatu peraturan atau hukum itu adalah bagaimana seorang harus bertindak dalam masyarakat serta perbuatan-perbuatan mana pula yang harus dihindari. Allah SWT dalam mensyariatkan agama Islam sebagai rahmat bagi alam semesta ini dengan kemaslahatan umum.

Melalui ketentuan yang dikaruniai yang berarti ketentuan hukum yang dapat memelihara kemaslahatan umum. Ketentuan dharuriyat ini secara umum bermuara pada upaya memelihara lima pokok kebutuhan yang bersifat esensial bagi kehidupan manusia, lima pokok kebutuhan tersebut adalah memelihara agama( ), kedua

memelihara akal ( ), ketiga, memelihara jiwa ( ), keempat, memelihara

keturunan ( ), dan kelima, memelihara harta benda ( ).1

1


(12)

Memelihara jiwa mendapat kedudukan kedua dalam peringkat yang wajib dipelihara, hal-hal tersebut adalah gambaran utuh tentang teori Maqashid al-Syari’ah2 atau tujuan dari syariah agama yang artinya juga menjaga jiwa dan segala macam yang berhubungan dengan kehidupan manusia, di sini jelas terbaca bahwa agama Islam adalah agama yang benar-benar menjaga jiwa dan juga kehidupan manusianya secara menyeluruh yang tergambarkan jelas di atas.

Guna terciptanya tatanan kehidupan masyarakat yang utuh tentram serta nyaman dan jauh dari ketidakteraturnya kehidupan maka diciptakanlah peraturan yang mana isinya adalah mengatur tata cara berkehidupan yang baik agar cita-cita untuk mewujudkan tatanan hidup masyarakat tentram dan damai akan terealisasi, permasalahan yang timbul di tengah-tengah masyarakat beraneka ragam baik yang menyangkut masalah sosial, pendidikan, kultur, ekonomi, kriminal juga merupakan salah satu problem yang harus diperhatikan karena akhir-akhir ini kriminalitas meningkat terutama di Indonesia, maka dari itu peraturan memiliki peran penting terutama dalam berbagai masalah apalagi untuk masalah kriminal.

Peraturan dibuat untuk dipatuhi dan jika ada peraturan pastilah ada sanksi, sanksi adalah kata lain dari hukuman, jika seorang melanggar sebuah peraturan maka wajib baginya untuk dikenakan sanksi atau hukuman, yang mana hukuman atau sanksi tersebut adalah bertujuan untuk membuat jera dan agar pelaku tidak mengulangi lagi perbuatan yang melanggar hukum tersebut. Dari penjelasan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa secara tidak langsung hukuman juga dibutuhkan untuk menjaga stabilitas keamanan bagi kehidupan, dan secara tidak langsung juga merupakan cara efektif untuk mencegah kejahatan.

2


(13)

Setiap negara atau daerah tentu memiliki sistem hukum yang berbeda-beda, salah satu bidang hukum itu adalah hukum pidana. Salah satu contoh di Indonesia sendiri terlihat adanya beberapa perbedaan sistem hukum. Misalnya di Indonesia saat ini ada hukum yang berlaku secara formal serta ada hukum adat dan hukum Islam. Mayoritas agama penduduk Indonesia sendiri adalah Islam. Islam bukan saja merupakan agama resmi bahkan hukum yang berlaku di daerah tersebut adalah hukum Islam sehingga dari sini dapat dilihat bahwa ada keinginan dari kalangan umat Islam yang secara riil mayoritas untuk dapat hidup sesuai dengan agamanya dan salah satu dari ketentuan hukum Islam adalah hukum pidana Islam yang sayangnya selama ini banyak kalangan yang menganggap bahwa Hukum Pidana Islam adalah hukum yang kejam, tidak manusiawi dan tidak menghormati hak-hak asasi manusia, mungkin hal ini terjadi karena mereka hanya mempelajari Hukum Pidana Islam secara parsial belum menyeluruh. Sikap pembelajaran yang demikian sudah saatnya ditinjau kembali dengan menempatkan semua sistem hukum yang ada sebagai sistem hukum yang sejajar dan sebanding untuk kemudian dipelajari dan ditelaah sepenuhnya sampai diperoleh norma hukum yang sejalan dengan nilai kebenaran dan keadilan yang akan dapat memberikan sumbangan positif bagi pembinaan hukum pidana nasional yang akan datang.

Dalam hukum positif di negara kita ini peraturan bermacam-macam mulai dari UUD 1945, KUHP, Kompilasi Hukum Islam, Peraturan Daerah, Qanun di Nanggore Aceh Darussalam, Peraturan Lalu Lintas, serta peraturan-peraturan yang lainnya, maka sanksi bagi pelanggaran peraturan-peraturan tersebut juga bermacam-macam di antaranya sanksi denda, penjara, pengasingan bahkan mati dan hukuman-hukuman yang lainnya.


(14)

Sedangkan dalam Hukum Pidana Islam (Jina’ al-Islam) peraturan-peraturannya bersumber langsung dari al-Qur’an, al-Hadits, Ijma’, Qiyas, dan beberapa ijtihad ulama lainnya, dalam Islam pelanggaran hukuman dikelompokkan pada dua istilah yaitu jinayah dan hudud. Jinayah yaitu pelanggaran yang dilakukan mengancam jiwa keselamatan jiwa manusia, seperti pemukulan, pembunuhan, perampokkan, dan sejenisnya, H.M Arsjad Thalib Lubis memasukan juga di dalamnya mengenai yang berkaitan dengan kenegaraan, misalnya hukum pengangkatan kepala negara, hukum kehakiman, hukum perang dan sejenisnya.3 Pelanggaran yang dilakukan oleh seorang dapat diberikan hukuman had (dera atau cambuk), ta’zir (penjara), atau hukuman kisas (balas). Hukuman itu tergantung tingkat pelanggaran yang dilakukan, sedangkan hudud adalah pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang dilarang oleh syara’ seperti zina,

qadzaf (menuduh orang berzina tanpa empat orang saksi), judi, minuman keras,

menyamun, murtad, dan sejenisnya. Dalam hal ini kisas merupakan salah satu dari sekian sanksi (uqubah) yang dijatuhkan kepada pelanggaran peraturan kriminalitas (jarimah) dari tindak pidana atau jarimah yang dilakukan seseorang. Jarimah atau juga jinayat diidentifikasikan sebagai balasan berbentuk ancaman yang jenisnya ditetapkan oleh syara’ untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap peraturan-peraturan demi terwujudnya kemaslahatan,4 macam-macam hukuman jarimah kisas serta uqubah-uqubah kisassebagian besar telah ditetapkan di dalam al-Qur’an dan Hadits.

Berlakunya hukuman adalah untuk membenahi kehidupan agar manusia lebih teratur, kemaslahatan terjaga, hidup lebih terjamin, dan stabilitas umat manusia dapat terwujud dengan baik. Kisas merupakan salah satu bentuk hukuman yang membuktikan bahwa agama Islam dengan syariatnya menjaga hak-hak manusia.

3

http//www.artikelparamadina.ac.id

4


(15)

Dapat diyakini bahwa semakin tinggi peradaban umat manusia, setan semakin memainkan perannya, orang menjadi aniaya (zhalim) dan bodoh (jahl), 5 bukannya mengikuti petunjuk yang dianugerahi Allah sang pencipta melalui Rasul dan Nabi-Nya sepanjang masa, tidak ada masalah betapapun murni dan barunya suatu masyarakat, tindak pidana tetap dilakukan karena itu pemutusan hukuman-hukuman yang sesuai perlu dilakukan guna mencegah meningkatnya rata-rata jarimah atau kriminalitas di masa yang akan datang. Di manapun masyarakat perlu disahkan juga struktur lembaga kemasyarakatan, pemimpin serta anggota masyarakat yang membantu dan merangsang timbulnya tindak pidana tertentu. Ibnu Hasan ketika membahas tentang seorang laki-laki tak berdaya karena lapar lalu makan bangkai atau daging babi yang diharamkan dalam Islam, beliau berkata:

Haram hukumnya bagi seorang muslim makan makanan yang diharamkan

sekalipun dalam keadaan tak berdaya, tetangganya yang muslim atau dzalimi atau anggota masyarakat yang memiliki lebih makanan dan minuman diwajibkan memberi makan orang yang lapar tadi. Dalam keadaan demikian dia mempunyai hak untuk memperoleh makanan dari tetangga-tetangganya yang kaya. Bila dia harus berjuang untuk memperoleh makan kemudian

terbunuh, pembunuhnya akan mendapatkan kisas”.6

Maka dari itu hukuman kisas secara tidak langsung juga memegang peranan penting dalam upaya menekan jumlah kriminal, karena kriminal tidak akan mungkin lenyap dari muka bumi dan hukuman kisas mungkin akan dianggap efektif dan benar-benar urgen, contohnya saja masyarakat yang bersalah dihukum secara tidak langsung masyarakat akan takut untuk melakukan kesalahan.

Dalam hukum pidana Islam sanksi kisas dan kaitannya dengan upaya pencegahan kejahatan perlu dibahas guna mendapat kejelasan lagi. Maka dari itu

5

A. Rahman I Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002, h. 285.

6


(16)

penulis merasa perlu untuk mengangkat masalah upaya pencegahan kejahatan dengan kisas sebagai salah satu hukuman yang mungkin bermanfaat dan seberapa penting dan urgen perannya dalam hal pencegahan kejahatan. Melihat permasalahan di atas penulis

memberi judul skripsi ini: “PERAN PIDANA KISAS DALAM UPAYA

PENCEGAHAN KEJAHATAN”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Kisas merupakan permasalahan yang cukup luas dan kompleks yang hingga saat ini juga masih diperbincangkan apakah hukuman kisas ini layak dipakai sebagai hukuman atau tidak dan sejauh mana hukuman ini berperan sebagai sebuah bentuk usaha pencegahan kejahatan. Agar pembahasan masalah dalam skripsi ini tidak melebar dan meluas maka pembahasan dalam skripsi ini dibatasi kepada pengertian pidana kisas dan hukuman-hukumannya serta apa perannya dalam upaya pencegahan kejahatan.

Dari pembahasan masalah tersebut dapat dirumuskan pokok-pokok bahasan skripsi ini sebagai masalah kisas yang seharusnya berlaku di negara Islam tetapi kisas ini tidak semua negara Islam menerapkan hukuman kisas.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memberikan suatu kajian tentang kisas lebih luas lagi dan dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang apa itu kisas dan apa peranannya dalam mencegah perbuatan kejahatan, faktor apa yang membuat seseorang dijatuhi hukuman kisas, apakah kisas adalah hukuman yang setimpal dalam permasalahan ini. Penulis juga ingin menjabarkan bagaimana pendapat hukum pidana Islam dan sejauh mana peran pidana kisas dalam upayanya mencegah terjadinya kejahatan.

Kisas bukanlah merupakan permasalahan yang mudah dan ringan dalam kehidupan, tetapi merupakan masalah yang pelik yang penuh dengan problematikanya, kajian tentang kisas ini telah ada sejak zaman dahulu begitu saja dengan penerapannya. Maka penulis ingin menggali lagi lebih jauh bagaimana pidana kisas saat ini dan sejauh mana dampaknya, apakah orang bisa jera melakukan tindakan tindakan kejahatan setelah adanya hukuman kisas itu.

Selain itu tujuan primer pembuatan skripsi ini adalah syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum Islam pada tingkat Strata 1 (S1) Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah.


(17)

Sumber-sumber yang akan diambil tentunya yang berhubungan dengan permasalahan yang penulis bahas, diantaranya buku-buku yang didalamnya mencakup bahasan-bahasan tentang perbuatan jarimah yang dikenakan hukuman pidana kisas dan sepenting apakah peran pidana kisas dalam upaya mencegah terjadinya kejahatan.

Banyak sekali kajian, penelitian, seminar-seminar, juga buku-buku yang mengupas masalah kisas dan filsafat hukum Islam. Buku karanganDrs. AhmadWardi Muslih yang berjudul Hukum Pidana Islam berisi tentang penjelasan hukum-hukum pidana Islam seperti tindak pidana apa saja yang dikenakan hukuman-hukuman seperti diyat, kisas, tetapi dalam penelitian yang dilakukan, peneliti akan lebih mengupas tentang hukuman-hukuman kisas dan tidak semua hukuman yang ada dalam pidana Islam dibahas dalam penelitian ini tetapi hanya kisas.

Dalam buku karangan A. Rahman I, Doi yang berjudul PenjelasanLengkap Hukum-Hukum Allah, juga salah satu buku yang menjelaskan hukuman pidana (al-‘Uqubat) dan hukuman (al-Hudud) dan juga referensi tentang tindak pidana lainnya, tetapi pada penelitian ini hanya dibatasi sebatas tindak pidana kisas begitu juga hukuman-hukumannya, hanya tentang pidana kisas tidak mencakup pidana-pidananya lainnya.

Sedangkan materi-materi yang berhubungan dengan pendapat ulama peneliti memilih buku Ringkasan Kitab al-Umm karangan

Imam Syafi’i Abu Abdillah Muhammad bin Idris, yang mana di dalam buku ini berisi pendapat Imam Syafi’i tentang kisas dan masalah-masalah lainnya yang masih berhubungan dengan kisas.

Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional yang peneliti rasa juga perlu untuk dijadikan referensi dalam hal mencari makna dan pengertian tentang istilah-istilah yang ada dalam skripsi in.

E. Metode Penelitian

Untuk menyelesaikan sebuah permasalahan yang ilmiah sebaiknya dilakukan secara langsung maupun tidak langsung tentunya penulis atau peneliti harus mengumpulkan data-data dan bahan-bahan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas.

Penelitian ini bercorak studi kepustakaan (library research) yaitu memperoleh dan mengumpulkan data-data dan untuk mendapatkan data yang valid dan representatif sekitar permasalahan yang akan dibahas. Permasalahan dalam skiripsi ini jenis datanya adalah data kualitatif, yaitu data yang dikumpulkan adalah deskripsi berupa ungkapan dari fenomena yang diteliti. Oleh karena itu, penulis berupaya mengupas dan mencermati sesuatu secara alamiyah dan kualitatif mengenai peran hukuman kisas dalam mencegah kejahatan.

Sedangkan sifat data dalam penelitian ini termasuk dalam penelitian yang bersifat deskriptif analisis, yakni penelitian yang menggambarkan data dan informasi yang diperoleh dari penelitian kepustakaan secara mendalam. Dengan kata lain, penelitian ini untuk menggambarakan secara komprehensif konsep hukuman kisas baik dalam literatur hukum positif ataupun dalam literatur hukum Islam berdasarkan yang


(18)

didapat dari penelusuran perpustakaan, dari data-data yang telah dikumpulkan dalam penelitian, kemudian penulis akan menganalisis agar dapat memberikan pemahaman yang optimal. Analisis ini digunakan untuk mengetahui secara kualitatif tentang hukuman kisas dalam upaya mencegah tindak kejahatan, sehingga dapat membantu memecahkan dan menemukan solusi terhadap persoalan yang diteliti skripsi ini.

Dalam menganalisis data dan materi yang disajikan, penulis menggunakan beberapa metode, yaitu:

Pertama, deskrptif. Pada umumnya metode ini digunakan dalam mengurai

sejarah, pengertian, mengutip, atau menjelaskan bunyi peraturan perundang-undangan dari dalam setiap uraian umum.

Kedua, analisis. Metode ini digunakan untuk mencari, menganalisa lalu

mengumpulkan bahan-bahan hukum Islam. Dalam hal ini berbagai kitab-kitab fiqih jinayah, dan buku-buku yang berhubungan dengan pidana kisas dan jinayah sebagai bahan penjelasan hukum Islam

Ketiga, problem solving atau pemecahan masalah. Dari permasalahan yang ada

penulis mengidentifikasi, menganalisis, kemudian memberikan alternatif pemecahannya melalui kritik dan saran.

Kitab atau buku yang menjadi rujukan penulis dalam penelitian adalah kitab atau buku yang secara langsung mengungkap tentang pembahasan tentang hukuman kisas ini, bahan data yang bersifat primer adalah kitab-kitab atau buku-buku Fiqih Jinayah, tentang hukuman kisas dalam hukum Islam dan hukum positif, atau data-data yang berkaitan dengan apa yang peneliti teliti dan didukung dengan sumber yang bersifat sekunder seperti tabloid, media cetak lainnya dan media elektronik.


(19)

Sedangkan tekhnik penulisan, penulis berpedoman pada kaidah-kaidah penulisan skripsi, tesis, dan disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah penguraian dalam skripsi ini penulis membaginya ke dalam lima bab yang masing-masing bab dipecah ke dalam sub-sub yang gunanya untuk merinci keterangan bab yang umum sifatnya dan satu sama lainnya ada saling keterkaitan antara bab sebelumnya dengan bab berikutnya. Agar lebih jelas perinciannya adalah sebagai berikut:

Bab I : PENDAHULUAN, merupakan garis besar masalah yang akan dibahas dalam

skripsi yang mana bab ini terbagi lagi atas lima sub bagian, yaitu: Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, serta Sistematika Penulisan.

BAB II : DESKRIPSI PIDANA KISAS DAN HAL-HAL YANG BERKAITAN. Bab ini berisi Pengertian Tindak Pidana dan Pidana Kisas, Bentuk-bentuk Hukuman Pidana Kisas, Tindak Pidana yang Dapat Dikenakan Pidana Kisas, dan Pendapat Ulama Syafi’i Tentang Kisas.

BAB III : PERIHAL PENCEGAHAN KEJAHATAN DAN PERMASALAHANNYA. Bab ini berisi Pengertian Pencegahan Kejahatan, Permasalahan Sekitar Pencegahan Kejahatan, Kaitan Penegakan Hukum Dengan Pencegahan Kejahatan

BAB IV : TINJAUAN PERAN PIDANA KISAS DALAM HAL UPAYA MENCEGAH KEJAHATAN. Bab ini berisi Penerapan Kisas Sebagai


(20)

Hukuman dalam Hukum Islam, Peran Pidana Kisas Sebagai Pencegah Kejahatan dan Upaya Hukum Islam Mencegah Kejahatan.

BAB V : PENUTUP, sebagian penutup skripsi ini berisi rangkuman pembahasan-pembahasan yang dibahas dan juga saran-saran penulis terhadap pembahasan-pembahasan dalam skripsi ini.


(21)

BAB II

DESKRIPSI PIDANA KISAS DAN HAL-HAL YANG BERKAITAN

A. Pengertian Tindak Pidana dan Pidana Kisas

Sebelum membahas kisas lebih jauh ada baiknya mengacu terlebih dahulu kepada pengertian tindak pidana (jinayah). Dalam hukum pidana positif dilihat dari garis-garis besarnya, dengan berpijak pada kodifikasi sebagai sumber utama atas sumber pokok hukum pidana, maka hukum pidana itu adalah bagian hukum publik yang memuat berbagai ketentuan-ketentuan tentang:

1. Aturan umum hukum pidana yang dikaitkan dan berhubungan dengan larangan

melakukan perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai dengan ancaman sanksi berupa pidana (straf) bagi yang melanggar larangan itu.

2. Syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi si pelanggar untuk dapat dijatuhkannya sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang dilanggarnya.

3. Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan negara melalui alat-alat perlengkapannya, misalnya polisi, jaksa, hakim terhadap yang disangka dan didakwa sebagai pelanggar hukum pidana dalam rangka usaha negara menentukan, menjatuhkan dan melaksanakan sanksi pidana terhadap dirinya, serta tindakan dan upaya-upaya yang boleh dan harus dilakukan oleh tersangka atau terdakwa pelanggar hukum tersebut dalam usaha melindungi dan mempertahankan hak-haknya dari tindakan negara dalam upaya menegakkan hukum pidana tersebut.


(22)

Pidana berasal dari kata straf (Belanda) yang adakalanya disebut dengan istilah hukuman. Walaupun istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman, karena hukum merupakan sudah lazim terjemahan dari recht. Pidana lebih tepat didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan, diberikan oleh negara pada seorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana. Secara khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut tindak pidana (stafbaar feit).7

Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “stafbaar feit”. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda dengan demikian juga WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan stafbaar feit itu. Karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu. Sayangnya sampai kini belum ada keseragaman pendapat.

Istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit adalah Tindak Pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang-undangan pidana kita. Peristiwa Pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin“delictum”juga digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit. Pelanggaran Pidana. Perbuatan yang boleh dihukum. Perbuatan yang dapat dihukum Perbuatan Pidana.8

Strafbaar feit terdiri dari tiga kata, yakni straf, baar dan feit9. Dari 7 istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari strafbaar feit itu, ternyata straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh.

7

Chairur Arrasyid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2004, h. 17.

8

Ibid., h.18

9


(23)

Sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.

Secara literlijk kata “straf” artinya pidana, “baar” artinya dapat atau boleh dan feit adalah perbuatan10. Dalam kaitannya dengan istilah strafbaar feit secara utuh, ternyata straf diterjemahkan juga dengan kata hukum, pada hal sudah lazim hukum itu adalah berupa terjemahan dari kata recht, seolah-olah arti straf sama dengan recht, yang sebenarnya tidak demikian halnya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tindak berarti langkah atau perbuatan, pidana adalah hukuman kejahatan terhadap pembunuhan, perampokan, korupsi, kriminal. Dan sebagainya. Sedangkan tindak pidana adalah perbuatan pidana atau perbuatan kejahatan.11

Fiqih Jinayah adalah ilmu tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan

masalah perbuatan yang dilarang (jarimah), dan hukumannya (‘uqubah) diambil dari dalil-dalil yang terperinci12. Definisi tersebut merupakan gabungan antara pengertian fiqih dan jinayah. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa objek pembahasan fiqih jinayah itu secara garis besar ada dua, yaitu jarimah atau tindak pidana dan

uqubah atau hukumannya13. Pengertian jarimah sebagaimana dikemukakan oleh Imam

al-Mawadi sebagai berikut:

“Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’ yang diancam oleh Allah dengan had atau ta’zir”14.

10

Ibid.,

11

Departemen Pendidikan Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 2005, h.871.

12

A. Djazuli, Fiqh Jinayah, Jakarta, Grafindo Persada, 2000, h. 1.

13

Ibid., h.1

14

Abu al-Hasan al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyah, Mesir, Musthafa al-Baby al-Halaby, 1975, h. 29.


(24)

Dalam istilah lain Jarimah disebut juga dengan jinayah, menurut Abdul Qadir Audah pengertian jinayah adalah sebagai berikut:

“Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta atau lainnya”.15

Pada dasarnya, pengertian dari istilah jinayah mengacu kepada hasil perbuatan seseorang. Biasanya, pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang dilarang. Di kalangan fuqaha perkataan jinayah berarti perbuatan-perbuatan yang terlarang menurut

syara'. Meskipun demikian, pada umumnya fuqaha menggunakan istilah tersebut hanya

untuk perbuatan-perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa, seperti pemukulan, pembunuhan, dan sebagainya. Selain itu, terdapat fuqaha yang membatasi istilah jinayah kepada perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan kisas, tidak termasuk perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman ta'zir. Istilah lain yang sepadan dengan istilah jinayah adalah jarimah, yaitu larangan-larangan syara' yang diancam Allah dengan hukuman had atau ta'zir16.

Dari berbagai batasan mengenai istilah jinayah di atas, maka pengertian jinayah dapat dibagi ke dalam dua jenis pengertian, yaitu: pengertian luas dan pengertian sempit.

Klasifikasi pengertian ini dilihat dari sanksi yang dapat dikenakan terhadap jinayah.

1. Dalam pengertian luas, jinayah merupakan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara' dan dapat mengakibatkan hukuman had atau ta'zir.

2. Dalam pengertian sempit, jinayah merupakan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara' dan dapat menimbulkan hukuman had, bukan ta'zir.

15

Abdul Qadir Audah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islamiy, Juz I Beirut, Daarul Kitab al-Araby, h. 67.

16


(25)

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, pengertian jinayah mengacu kepada perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara' dan diancam dengan hukuman had atau ta'zir. Dalam kaitan ini, larangan tersebut dapat berupa larangan untuk tidak melakukan sesuatu atau larangan untuk melakukan sesuatu.

Pengertian di atas mengisyaratkan bahwa larangan-larangan atas perbuatan-perbuatan yang termasuk kategori jinayah berasal dari ketentuan-ketentuan (nash-nash) syara'. Artinya, perbuatan-perbuatan manusia dapat dikategorikan sebagai jinayah jika perbuatan-perbuatan tersebut diancam hukuman.

Karena larangan-larangan tersebut berasal dari syara', maka larangan-larangan tadi hanya ditujukan kepada orang-orang yang berakal sehat. Hanya orang yang berakal sehat saja yang dapat menerima panggilan (khithab) dan, dari sebab itu, mampu memahami pembebanan (taklif) dari syara'. Perbuatan-perbuatan merugikan yang dilakukan oleh orang gila atau anak kecil tidak dapat dikategorikan sebagai jinayah, karena mereka tidak dapat menerima khithab atau memahami taklif17.

Dari penjelasan tersebut, dapat ditarik unsur atau rukun umum dari jinayah. Unsur atau rukun jinayah tersebut adalah :

a. Adanya nash, yang melarang perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai ancaman hukuman atas perbuatan-perbuatan di atas. Unsur ini dikenal dengan istilah "unsur formal" (al-Ruknal-Syar'i).

b. Adanya unsur perbuatan yang membentuk jinayah, baik berupa melakukan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diharuskan. Unsur ini dikenal dengan istilah "unsur material" (al-Ruknal-Madi).

17


(26)

c. Pelaku kejahatan adalah orang yang dapat menerima khithab atau dapat memahami taklif, artinya pelaku kejahatan tadi adalah mukallaf, sehingga mereka dapat dituntut atas kejahatan yang mereka lakukan. Unsur ini dikenal dengan istilah "unsur moral" (al-Ruknal-Adabi)18.

Sesuatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai jinayah jika perbuatan tersebut mempunyai unsur-unsur atau rukun-rukun tadi. Tanpa ketiga kategori tersebut, suatu perbuatan tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan jinayah.

Disamping unsur umum ini, ada unsur khusus yang hanya berlaku di dalam satu jarimah dan tidak sama dengan unsur khusus jarimah lain, misalnya mengambil harta orang lain dengan cara sembunyi-sembunyi adalah unsur khusus untuk pencurian. Hal ini berbeda dengan unsur khusus di dalam perampokan yaitu mengambil harta orang lain dengan terang-terangan.

Dari berbagai pengertian di atas, konsep jinayah berkaitan erat dengan masalah "larangan" karena setiap perbuatan yang terangkum dalam konsep jinayah merupakan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara'. Larangan ini timbul karena perbuatan-perbuatan itu mengancam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, dengan adanya larangan, maka keberadaan dan kelangsungan hidup bermasyarakat dapat dipertahankan dan dipelihara.

Sesuai dengan ketentuan fiqh, larangan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu tidak hanya cukup dengan niat baik, tetapi harus disertai dengan sanksi (hukuman). Hukuman tersebut diancam kepada seorang pelaku kejahatan, dan pada gilirannya pelaksanaan hukuman dapat dijadikan contoh oleh masyarakat untuk tidak melakukan kejahatan.

18


(27)

Hukuman merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa secara intrinsik hukuman itu sendiri tidak merupakan suatu kebaikan; sekurang-kurangnya bagi pelaku kejahatan itu sendiri.

Dalam pada itu, dari sisi lain, perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai

jinayah pun menguntungkan. Paling tidak, jinayah dapat menguntungkan pelaku

kejahatan. Akan tetapi, keuntungan seperti itu tidak menjadi pertimbangan syara'. Alasannya, perbuatan yang tidak termasuk jinayah hanya memberi keuntungan bagi kepentingan-kepentingan yang bersifat individual, tetapi menimbulkan kerugian-kerugian bagi kepentingan sosial.

Sebagaimana peristiwa sosial lainnya, jinayah mempunyai dua sisi

menguntungkan dan merugikan. Tidak ada perbuatan yang hanya menguntungkan atau merugikan semata. Setiap perbuatan memiliki keuntungan dan kerugian tertentu.

Oleh karena itu, dasar larangan dari perbuatan-perbuatan yang dikategorikan sebagai jinayah adalah karena perbuatan-perbuatan itu merugikan masyarakat. Dengan kata lain, penetapan perbuatan-perbuatan jinayah dan sanksi-sanksinya dimaksudkan untuk mempertahankan dan memelihara keberadaan serta kelangsungan hidup bermasyarakat.

Memang ada manusia yang tidak mau melakukan larangan dan tidak mau meninggalkan kewajiban bukan karena adanya sanksi, tetapi semata-mata karena ketinggian moralnya, mereka orang-orang yang akhlaknya mulia. Akan tetapi, kenyataan empirik menunjukkan di mana pun di dunia ini selalu ada orang-orang yang hanya taat karena adanya sanksi, oleh karena itu jinayah tanpa sanksi tidaklah realistik.


(28)

Setelah memahami apa itu jinayah, pembahasan berikutnya adalah tentang pengertian kisas. Perkataan kisas berasal dari kata ( ), yang artinya mengikuti jejak ( ﻥ). Dalam al-Qur’an, Allah menyebutkan:

!"!# $ %&' ( ﺕ*# + !,*ﻥ (-. ﻡ 0!1

2

345

6

78

9

Musa berkata: Itulah tempat yang kita cari lalu keduanya kembali mengikuti

jejak mereka semula” (al-Kahfi: 64).

Jadi kisas itu berarti memberlakukan seseorang sebagaimana orang itu memperlakukan orang lain. Atau dengan perkataan lain, mengikuti jejak si fulan apabila si fulan diperlakukan sebagaimana ia memperlakukan orang lain. Oleh karena itu, maka kisas adalah mengikuti darah yang tertumpah dengan pembalasan penumpahan darah (:; ﺏ = ﻥ). Allah menyatakannya dalam surat al-Qashash ayat 11:

>?- - *@ A *B-"? C --D ' !E!ﺏ *F - + !EGH - !E!*I- *J ?

)

K

6

LL

(

Dan berkatalah ibu Musa kepada saudara perempuan Musa: Ikutilah dia, maka

kelihatanlah olehnya Musa dari jauh sedang mereka tidak mengetahuinya”.

(al-Qashash : 11)

Dalam kamus besar bahasa Indonesia kisas berarti pembalasan dalam hukum Islam seperti hukuman bagi orang yang membunuh dibalas dengan membunuh lagi lalu mengkisas artinya adalah menjalankan kisas atau menuntut balas19.

Dalam kamus istilah fiqih, kisas adalah hukuman yang dijatuhkan sebagai pembalasan serupa dengan perbuatan atau pembunuhan atau melukai atau merusak anggota badan dan menghilangkan manfaatnya, berdasarkan ketentuan yang diatur syara’20.

Dari definisi ini dapat disimpulkan bahwa kisas ada dua macam: a) Kisas jiwa, yaitu hukum bunuh bagi tindak pidana pembunuhan.

19

Anton M Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1989, h.42.

20

M. Abdul Mujieb, Mabruri Thalhah, Syafi’iah AM, Kamus Istilah Fiqih, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1994, h. 287.


(29)

b) Kisas anggota badan, yaitu hukum kisas atau tindak pidana melukai, merusak anggota badan dan menghilangkan manfaatnya.

Baik bagi jenis kisas jiwa maupun kisas anggota badan harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut:

a. Pembunuh sudah baligh dan berakal (mukallaf)

b. Pembunuh bukan ayah dari yang terbunuh

c. Yang terbunuh sama derajatnya dari pembunuh, seperti muslim sesama muslim, merdeka sesama merdeka.

d. Kisas itu dilakukan dalam hal yang sama, seperti jiwa dengan jiwa, mata dengan mata, telinga dengan telinga, dan lain-lain.

e. Kisas dilakukan dengan jenis barang yang telah digunakan oleh pembunuh atau yang melukai.

f. Orang yang terbunuh berhak dilindungi jiwanya baik dari orang Islam maupun orang kafir.

Sedangkan dalam ensiklopedi Islam kisas diartikan sebuah prinsip yang diberlakukan oleh al-Qur’an untuk menghukum pelaku tindak kejahatan penganiayaan ketika terjadi tindak pembunuhan dimana pihak korban dan pihak pelaku dalam status yang sama, maka pembunuhan terhadap pelaku merupakan hukuman akibat tindak pembunuhan yang dilakukan terhadap pihak korban, demikian juga dengan pelukaan-pelukaan ringan pada korban berakibat hukuman perlakuan yang setimpal atas pelakunya.21 Bersamaan dengan pemberlakuan prinsip hukuman ini secara bijaksana Islam juga mengesahkan penggantian hukuman, berdasarkan adanya pemaafan dari

21


(30)

pihak korban dengan sejumlah ganti kerugian yang bersifat material untuk tindak kejahatan penganiayaan.

Dalam prakteknya, Nabi Muhammad cenderung kepada penerapan hukuman yang lebih ringan atau kepada batas hukuman yang telah ditetapkan dalam menyelesaikan tindak kejahatan yang dilakukan kepada Nabi, sekalipun demikian Nabi memutuskan dengan mempertimbangkan sifat intrinsik yang terdapat pada kasus tertentu, namun pada suatu kasus Nabi memerintahkan eksekusi seorang laki-laki yang terbukti membunuh seorang wanita22. Dalam kasus tersebut nabi meneliti sifat kejahatan pembunuhan tersebut sebelum nabi mempermasalahkan status kekeluargaan antara kedua belah pihak. Prinsip kisas sesungguhnya merupakan bentuk modifikasi dari rasa keadilan bangsa Arab, hukum yang bercorak kesukuan di kalangan bangsa Arab telah mengenal prinsip hukuman pembalasan atas sebuah tindak penganiayaan dalam kasus pelukaan seseorang berlaku hukuman sa’r atau pembalasan darah,23 dan pembalasan ini bisa saja berlaku pada setiap anggota klan pelaku penganiayaan tersebut, sedang kisas menjadikan pelaku tindak kejahatan sebagai pribadi yang mempertanggung-jawabkan suatu tindak kejahatan dan ia sendiri yang layak dikenai suatu hukuman dan bahkan dalam kisas hukuman harusnya setimpal dengan kejahatan. Jadi, kisas merupakan esensi sebuah prinsip keadilan menegaskan adanya konsekuensi dalam sebuah tindak kejahatan atau adanya efek tertentu yang turut melatarbelakangi suatu tindakan dalam Islam sebagaimana dalam judaisme24 objektifitas kisas dijadikan sebagai prinsip hukum, prinsip ini menggantikan prinsip hukuman pembalasan kesukuan yang bersyarat subjektif yang telah ada sebelumnya.

22

Ibid.,

23

Ibid., h.329

24


(31)

Turunnya ayat-ayat tentang kisas dilatarbelakangi oleh perintah Allah untuk menghormati nyawa manusia. Atau larangan Allah untuk sikap atau tindakan tidak menghormati nyawa manusia. Karena memelihara nyawa manusia merupakan salah satu tujuan utama dari lima tujuan syariat yang diturunkan oleh Allah Swt. Bahkan memelihara nyawa manusia menempati tempat kedua dari kelima hal itu, yakni: memelihara agama, memelihara nyawa, memelihara akal, memelihara keturunan dan kehormatan, dan memelihara harta benda.25

Allah menyatakan di dalam al-Qur’an:

! *& D * + ﻡ;-&*Mﻡ !- ﻡ? HNO* !ﺏ (A!P -Q =(

R!(

*( ;-&-*ﺕA?

!EHG!;

#;- ﻡ > . -E(ﻥ!P ! * * R!+ *S! * -T+ ﻥ U*&-ﺱ

2

$ ﺱW

6

XX

9

Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)

melainkan dengan sesuatu (alasan) yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara dzalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh,

sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan”. (al-Isra:33).

Y

! * * !ﺏ - * * ? H -O* !ﺏ Z -O* %&* * R!+ -[ !* -B-5*G&' !-. ;-ﻡ $ !\( 4Z

!E *G !P ]$ :Y? !S?- * * !ﺏ -^ Hﺕ + --$*R ﺵ !E G!IY * !ﻡ -E R !-' * + %`ﻥ- * !ﺏ % `ﻥ- *?

Hﻡ --3G!*aﺕ 0!1 C> * !b!ﺏ

--BG !Y ]c \ ' -E &+ 0 !1 * ﺏ d *' ! + ]e * #? *B-5Hﺏ(#

2

f6

Lgh

9

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu kisas berkenaan dengan

orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya hendaklah yang dimaafkan mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula), yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. Dan dalam kisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang

yang berakal, supaya kamu bertakwa”.(al-Baqarah : 178)

25


(32)

Sebab turunnya ayat ini menurut suatu riwayat dari Qatadah bahwa orang-orang jahiliyah sudah dijangkiti penyakit suka melakukan kejahatan dan kedzaliman (jinayah) dan sudah tergoda setan. Perbuatan ini biasanya dilakukan apabila mereka merasa kuat, apabila budak mereka membunuh budak lain. Mereka lalu mengatakan bahwa kami tidak akan membunuh kecuali orang-orang merdeka, yang merupakan kesombongan mereka terhadap orang lain. Dan apabila wanita mereka membunuh wanita lain, mereka menyatakan kami tidak akan membunuh kecuali orang laki-laki, maka turunlah ayat:

%`ﻥ- *!ﺏ %`ﻥ- *? ! * * !ﺏ - * * ? H -O* !ﺏ Z -O*

2

f6

Lgh

9

“…orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita...“(al-Baqarah : 178)

Dalam suatu riwayat dari Said bin Juber diberikan bahwa orang-orang Arab pada masa sebelum datangnya Islam suka berperang karena persoalan kecil, maka terjadilah pembunuhan dan persoalan melukai itu adalah persoalan biasa bagi mereka, bahkan sampai mereka membunuh budak dan wanita. Keadaan itu berlangsung terus sampai masuk Islam. Maka merupakan kejadian biasa bila ada yang menyombongkan kekuatannya pada pihak lain. Misalnya, apabila di pihaknya ada budak atau wanita dibunuh oleh pihak yang menjadi korban tidak akan rela kalau tidak membunuh orang merdeka atau laki-laki dari pihak lawannya.

Dalam al-Qur’an, dalil-dalil tentang kisas tertera pada QS 2: 179, 194 dan QS 5:45, QS 25:68.

>;-(ﺕ *B-5(& !c * * R!*?-Y ]f G ![ !* R!+ *B-5 ?

2

f

6

Lgi

9

Dan dalam kisas itu ada jaminan kelangsungan hidup bagimu, hai

orang-orang yang berakal supaya kamu bertaqwa” (al-Baqarah: 179)

?- *' + *B-5*G&' d *' ! + --[ ! -F ﻡ- -O* ? != O* ! *4(@ !ﺏ -= O* - *4(@

!E*G&'

2

f

6

Li8

9


(33)

Bulan haram dengan bulan haram dan pada sesuatu yang patut diihormati berlaku hukum kisas. Oleh sebab itu barang siapa yang menyerang kamu maka seranglah ia” (al-Baqarah: 194)

>-1- *? !3ﻥ *!ﺏ 3ﻥ *? ! *G * !ﺏ *G * ? ! *( !ﺏ

*( (>Yj4G!+ *B!4*G&' * .?

( ﺕ

+ --[ ! k?- -l* ? H H !ﺏ ( H ? !>-1- *!ﺏ

*B( ﻡ? -E( --f# (. ;-4+ !E!ﺏ m

>;- ! (M -B-" 0!nA*?-o+ -Q pﻥYj !ﺏ B-5*O

2

f n

6

8q

9

Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalam Taurat bahwasanya jiwa

dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka pun ada kisasnya. Barang siapa yang melepaskan hak kisashnya maka melepaskan hak itu menjadi penebus dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan

Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim” (al-Maidah : 45)

HNO* !ﺏ (A!P -Q =(

R !(

*( >; -&-* A? I $ 4 !P !Q ﻡ >;-'* A !\( ?

ﻡ Y N& 0!1 * *( ﻡ? >;-ﻥ*p A?

2

>

6

7h

9

Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan

tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya

dia mendapat pembalasan dosanya” (al-Furqan : 68)

Artinya pembalasan yang dimaksud ialah pembalasan yang dikenakan kepada orang yang melakukan pembunuhan dengan secara dibunuh juga, hukuman tersebut dijatuhkan oleh hakim melalui proses pengadilan. Namun apabila keluarga yang terbunuh itu memaafkan si pelaku pembunuhan maka hukum kisas tidak dikenakan pada pembunuh sebagai gantinya si pembunuh harus membayar diat.

B. Bentuk-bentuk Hukuman Pidana Kisas

Dalam kamus besar bahasa Indonesia hukuman berarti siksa yang dikenakan kepada orang yang melanggar Undang-Undang dan sebagainya, keputusan yang dijatuhkan oleh hakim, hasil atau akibat menghitung.26

26


(34)

Hukuman untuk tindak pidana pembunuhan.27 Pembunuhan dibagi menjadi tiga, yaitu:

1. Pembunuhan sengaja, yaitu suatu pembunuhan dimana pelaku perbuatan tersebut sengaja melakukan suatu perbuatan dan dia menghendaki akibat dari perbuatannya, yaitu matinya orang yang menjadi korban. Sebagai indikator dari kesengajaan untuk membunuh tersebut dapat dilihat dari alat yang digunakannya. Dalam hal ini alat yang digunakan untuk membunuh korban adalah alat yang lumrahnya dapat mematikan korban, seperti senjata api, senjata tajam, dan lain sebagainya.

Unsur-unsur pembunuhan sengaja adalah korban harus berupa manusia yang hidup, apabila korban bukan manusia hidup tetapi ia sudah meninggal terlebih dahulu maka ia bukanlah korban pembunuhan sengaja. Kematian adalah merupakan akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku pembunuhan. Pembunuhan dianggap sebagai pembunuhan sengaja apabila dalam diri pelaku terdapat niat untuk membunuh korban bukan hanya kesengajaan dalam perbuatannya saja tetapi niat untuk membunuh.

2. Pembunuhan menyerupai sengaja. Menurut Hanafiyah,28 pembunuhan menyerupai sengaja ada suatu pembunuhan dimana pelaku sengaja memukul korban dengan tongkat, cambuk, batu, tangan, benda lain yang mengakibatkan kematian. Menurut definisi ini pembunuhan menyerupai sengaja memiliki dua unsur yaitu, unsur kesengajaan. Terlihat dalam kesengajaan berbuat berupa pemukulan, unsur kekeliruan terlihat dalam ketiadaan niat membunuh. Dengan demikian pembunuhan tersebut menyerupai sengaja karena adanya kesengajaan dalam berbuat.

27

Ahmad Wadi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta, Sinar Grafika, 2005, h. 36.

28


(35)

Unsur-unsur lainnya yaitu perbuatan tersebut mengakibatkan kematian, adanya kesengajaan dalam melakukan perbuatan tetapi kematian yang terjadi merupakan akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku.

3. Pembunuhan karena kesalahan, sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid Sabiq: “Pembunuhan karena kesalahan adalah apabila seorang mukallaf melakukan perbuatan yang dibolehkan untuk dikerjakan, seperti menembak binatang buruan atau membidik suatu sasaran, tetapi kemudian mengenai orang yang dijamin keselamatannya dan membunuhnya.29 Dari definisi yang dikemukakan di atas, dapat diambil intisari bahwa dalam pembunuhan karena kesalahan, sama sekali tidak ada unsur kesengajaan untuk melakukan perbuatan yang dilarang, dan tindak pidana pembunuhan terjadi karena kurang hati-hati atau karena kelalaian dari pelaku. Unsur-unsurnya perbuatan yang mengakibatkan kematian korban dan perbuatan tersebut terjadi karena kekeliruan. Adanya hubungan sebab akibat antara kekeliruan dan kematian, hukuman sebab akibat dianggap ada karena pelaku yang menjadi penyebab dari perbuatan yang mengakibatkan kematian tersebut.

Hukuman untuk tindak pidana pembunuhan dalam syari’at Islam adalah kisas. Kisas juga merupakan hukuman pokok untuk pembunuhan yang disengaja selain kifarat. Sedangkan penggantinya adalah diat dan ta’zir30.

Seseorang yang akan menjalani hukuman kisas haruslah seorang mukallaf yaitu baligh dan berakal karena kisas tidak bisa dilaksanakan untuk anak kecil dan orang gila, pelaku melakukan pembunuhan dengan sengaja yaitu menghilangkan nyawa. Pelaku

29

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Juz II, Beirut, Dar al-Fikri, 1980, h. 438.

30


(36)

pembunuhan merupakan orang yang bebas (merdeka) dan tidak dipaksa melakukan pembunuhan31.

Hukuman untuk tindak pidana pembunuhan sengaja adalah kisas32, sedangkan hukuman pembunuhan menyerupai sengaja diancam dengan beberapa hukuman, yaitu diat dan kifarat tidak dengan kisas. Untuk pembunuhan karena kesalahan hukumannya adalah diat dan kifarat juga tidak dengan kisas.

Hukuman untuk tindak pidana selain jiwa seperti bagian athraf33 dikenakan hukuman pokok yaitu kisas jika dilakukan dengan sengaja dengan hukuman penggantinya diat dan ta’zir34, adapun hukuman pokok untuk perusakan athraf yang menyerupai sengaja dan kekeliruan adalah diat sedangakan hukuman penggantinya adalah ta’zir. Jadi kisas khusus untuk perusakan athraf atau sengaja.

Hukuman lain untuk pidana selain jiwa yaitu hukuman atas menghilangkan manfaat anggota badan adalah kisas. Meskipun faktor kesulitan untuk melaksanakan hukuman kisas dalam tindak pidana menghilangkan manfaat ini sangat besar, namun menurut Jumhur Fuqaha selama hal itu memungkinkan, tetap diupayakan untuk

melaksanakannya35. Apabila kisas betul-betul tidak memungkinkan untuk

melaksanakan maka pelaku dibebani hukuman diat.

Hukuman untuk syajjaj36 yang merupakan bagian dari tindak pidana atas selain jiwa. Dari sebelas jenis yang dikemukakan oleh Abu Hanifah37, hanya satu jenis yang

31

Ibid.,

32

Ibid., h.38

33

Tindakan perusakan terhadap anggota badan dan anggota lain yang disetarakan dengan anggota badan

34

Muslich, Hukum Pidana Islam, h.38

35

Ibid., h.39

36

Pelukaan khusus pada bagian muka dan kepala

37


(37)

disepakati oleh para fuqaha untuk dikenakan kisas yaitu Mudhihah38 sebagaimana telah dikemukakan mudhihah adalah pelukaaan yang agak dalam sehingga memotong dan merobek selaput antara daging dan tulang sehingga tulang tersebut kelihatan. Sedangkan jenis-jenis syajjaj di atas mudhihah, yaitu hasyimah39, munqilah40, al-ammah41, dan ad-damighah42. Para fuqaha telah sepakat tidak berlaku hukuman kisas, karena sangat sulit untuk dilaksanakan secara tepat tanpa ada kelebihan43. Adapun jenis-jenis syajjaj di bawah mudhihah, para fuqaha berbeda pendapat tentang diterapkannya hukuman kisas atas jenis-jenis syajjaj tersebut. Imam Malik berpendapat bahwa dalam semua jenis syajjaj sebelum mudhihah berlaku hukuman kisas, karena hal itu masih mungkin untuk dilaksanakan. Menurut Imam Abu Hanifah, mengacu kepada riwayat al-Hasan tidak ada kisas kecuali pada mudhihah dan simhaq44, itupun kalau memungkinkan. Sementara menurut Imam Muhammad, kisas bisa diterapkan pada

mudhihah, simhaq, badi’ah, dan damiyah, karena kesepadanan masih mungkin

dilaksanakan dengan mengukur lukanya, baik lebar maupun dalamnya. Menurut mazhab Syafi’i dan Hanbali, tidak ada hukuman kisas pada syajjaj sebelum mudhihah, karena luka-luka tersebut tidak sampai pada tulang sehingga tidak ada batas pasti yang aman dari kelebihan45.

Sedangkan hukuman kisas untuk jirah46 ini diperselisihkan oleh para fuqaha. Imam Malik berpendapat bahwa kisas berlaku pada semua jirah, baik lukanya munqilah

38

Pelukaan yang lebih dalam sehingga memotong atau merobek selaput tersebut sehingga tulangnya kelihatan.

39

Pelukaan yang lebih dalam lagi sehingga memotong atau memecahkan tulang.

40

Pelukaan yang sampai memindahkan posisi tulang dari tempat asalnya.

41

Pelukaan yang lebih dalam lagi sehingga sampai kepada selaput tulang dan otak.

42

Pelukaan yang merobek selaput antara tulang dan otak sehingga otaknya kelihatan.

43

Muslich, Hukum Pidana Islam, h.40

44

Pelukaan memotong daging sehingga selaput antar daging dan tulang kelihatan.

45

Muslich, Hukum Pidana Islam, h.40

46


(38)

maupun hasyimah47. Alasannya adalah kisas dengan keseimbangan masih memungkinkan, kecuali kalau menimbulkan kekhawatiran. Sedangkan untuk jaifah tidak berlaku hukuman kisas.

Abu Hanifah berpendapat bahwa di dalam jirah tidak berlaku hukuman kisas sama sekali, baik jaifah48 maupun ghairu jaifah49. Alasannya adalah karena sulit untuk menerapkan kesepadanan dalam pelaksanaannya. Akan tetapi, apabila jirah tersebut mengakibatkan kematian, pelaku wajib di kisas jika ia sengaja melakukan pembunuhan50.

Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa dalam jirah berlaku hukuman kisas apalagi pelukaannya sampai mudhihah, yaitu pelukaan yang sampai kepada tulangnya51. Alasannya karena dalam hal ini kesepadanan mungkin diterapkan karena ada batas, yaitu tulang. Akan tetapi, sebagian dari pengikut imam Syafi’i berpendapat bahwa dalam jirah sama sekali tidak berlaku hukuman kisas alasan mereka adalah karena dalam mudhihah kepala dan wajah ada ganti rugi yang tertentu, sedangkan pada jirah tidak ada. Oleh karena itu, keduanya tidak boleh disamakan. Akan tetapi pendapat tersebut ditolak, karena dasar kisas bukan ganti rugi, melainkan firman Allah dalam surah al-Maidah ayat 45:

--[ ! k?- -l* ?

2

f n

6

8q

9

Dan setiap luka ada qishasnya” (al-Maidah : 45)

Hukuman untuk tindakan selain yang telah disebutkan di atas. Apabila tindak pidana atas selain jiwa tidak menimbulkan luka pada athraf, tidak pula menghilangkan manfaatnya, juga tidak menimbulkan syajjaj, dan tidak pula jirah, menurut kebanyakan

47

Muslich, Hukum Pidana Islam, h.40

48

Pelukaan sampai ke bagian dalam dari dada.

49

Pelukaan tidak sampai ke bagian dalam dada.

50

Muslich, Hukum Pidana Islam, h.41

51


(39)

pendapat fuqaha dalam kasus ini tidak berlaku hukuman kisas. Tindakan penempelengan, pemukulan, dengan cambuk dan tongkat semuanya itu tidak dikenakan hukuman kisas apabila tidak meninggalkan bekas52.

Imam Malik, berpendapat bahwa dalam pemukulan dengan cambuk berlaku hukuman kisas, walaupun tidak menimbulkan jirah atau syajjaj53. Akan tetapi, dalam penempelengan dan pemukulan dengan tongkat dan penempelengan tidak berlaku hukuman kisas, kecuali apabila menimbulkan luka jirah atau syajjaj. Menurut Syamsu Ad-Din Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah, di dalam penempelengan dan pemukulan juga berlaku hukuman kisas, berdasarkan firman Allah dalam surat an-Nahl ayat 126:

! !ﺏ ( &! ] *GI ;-4 *B-ﺕ* ﺹ !s ? !E!ﺏ *B-*! ;-' ﻡ ! *`! !ﺏ ;-! + *B-* ' *>!P?

2

O

6

Lt7

9

Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang

sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah lebih baik bagi orang-orang yang sabar” (an-Nahl: 126)

Ayat di atas menjelaskan tentang kesepadanan dalam hukuman dan perbuatan dalam kasus ini penempelengan dibalas dengan penempelengan dan pemukulan dibalas dengan pemukulan adalah suatu tindakan yang lebih dekat kepada kesepadanan dan keseimbangan disbanding dengan ta’zir yang berlainan jenis dengan perbuatan yang dilakukan oleh terhukum. Pendapat Ibnu Al-Qayyim ini diperkuat dengan merujuk kepada pendapat Imam Ahmad Ibnu Hambal yang mengatakan bahwa untuk penempelengan dan pemukulan berlaku hukuman kisas. Demikian pula para sahabat seperti Abu Bakar, Utsman, Ali, dan Khalid bin Walid pernah meng-kisas pelaku penempelengan54.

52

Ibid.,

53

Ibid,.

54


(40)

Sebagian fuqaha dari kalangan Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa untuk penempelengan berlaku hukuman khusus jika tindakan tersebut menghilangkan daya penglihatan55. Akan tetapi untuk penempelengannya sendiri, mereka tidak memberlakukan hukuman kisas. Dari uraian tersebut, jelaslah bahwa menurut pendapat jumhur fuqaha, untuk tindak atas selain jiwa yang tidak mengakibatkan luka pada athraf, syajjaj, atau jirah, hukumannya adalah ganti rugi yang tidak tertentu atau hukumah, yaitu ganti rugi yang ketentuannya diserahkan kepada kebijaksanaan dan ijtihad hakim, dan ini hampir mirip dengan ta’zir.

Menurut R. Soesilo, hukuman adalah suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang melanggar undang-undang hukum Pidana.56 Sedangkan, menurut Wiryono Prodjodikoro hukuman adalah hal-hal yang dipidanakan oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya, dan juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan.

Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa hukuman adalah suatu penyiksaan atau penderitaan yang khusus dijatuhkan kepada orang yang melanggar norma-norma atau kaidah-kaidah hukum pidana melalui vonis hakim.

Dalam istilah hukum pidana Islam, pemidanaan ataupun hukuman disebut dengan istilah ‘uqubah.57 Dalam al-Quran tidak dijumpai kata ini, yang ada hanyalah kata ‘iqab yang disebut sebanyak 20 kali dalam 11 surat dan 20 ayat, yang berarti siksa

55

Ibid.,

56

R. Soesilo, KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor, Politea, 1965, h. 26.

13

Kata ‘uqubah berasal dari akar kata ‘aqaba-ya’qibu/ya’qubu-‘aqban-‘uquban. Namun demikian, kata ‘uqubah identik dengan kata al-‘iqab dan al-qishash yang secara harfiah berarti hukuman. Lihat Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, Surabaya, Pustaka Progressif, Edisi II, h. 1022.


(41)

atau siksaan. Kata lain yang menyerupai kata ‘iqab adalah kata ‘adzab yang juga berarti siksa, di samping berarti sakit dan pedih (al-alam).58

Sedangkan secara terminologi, ‘uqubah adalah sebutan bagi sesuatu yang menyakitkan atau tidak menyenangkan yang dikenakan atau ditimpakan kepada pelaku tindak kejahatan dalam rangka mencegah (menghalangi) pelaku, atau suatu yang tidak menyenangkan atau menyakitkan yang disyariatkan (oleh Allah) untuk mencegah timbulnya berbagai kerusakan atau mafasid.59

C. Tindak Pidana Yang Dapat Dikenakan Pidana Kisas

Tindak pidana yang dapat dikenakan hukuman kisas antara lain: Pembunuhan. Pembunuhan dalam bahasa Indonesia diartikan dengan proses, perbuatan, atau cara

membunuh.60 Sedangkan pengertian membunuh adalah mematikan, menghilangkan

(menghabisi, mencabut nyawa).61 Dalam bahasa Arab pembunuhan disebut (al-qatlu) berasal dari kata qatala yang sinonimnya amaaata62 yang artinya mematikan. Dalam istilah pembunuhan didefinisikan oleh Wahbah al-Zuhaili yang mengutip pendapat Syarbini Khatib sebagai berikut:

Pembunuhan adalah perbuatan yang menghilangkan atau mencabut nyawa

seseorang”.63

Abdul Qadir Audah memberikan definisi pembunuhan sebagai berikut:

14Muhammad Amin Suma, “Hukum Pidana Islam: Visi, Misi dan Filosofinya dalam Perspektif

Qur’an dan Sunnah”, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Hukum Pidana Islam: Deskripsi, Analisis Perbandingan dan Kritik Konstruktif, Fakultas Syariah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 23-24 Juni 1999, h. 12.

15Ibid.,

60

Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1989, h. 138.

61

Ibid.,

62

Ibrahim Unais, Al-Mu’jam al-Wasith, Juz II, Daar Ihya’ At-turats al-‘Arabi T.Th, h. 715.

63

Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz VI, Damaskus, Dar Al-Fikr, 1989, h.217.


(42)

Pembunuhan adalah perbuatan manusia yang menghilangkan kehidupan yakni pembunuhan itu adalah menghilangkan nyawa manusia dengan sebab perbuatan manusia yang lain”.64

Dari definisi tersebut dapat diambil intisari bahwa pembunuhan adalah perbuatan seseorang terhadap orang lain yang mengakibatkan nyawa, baik perbuatan tersebut dilakukan sengaja ataupun tidak disengaja. Pembunuhan merupakan perbuatan yang dilarang oleh syara’. Hal ini didasarkan kepada firman Allah dalam al-Qur’an. 1. Surat al-Isra ayat 31:

G!. s*U!I > . *B-4&* (>!P *B-. (!P? *B-4- -u* ﻥ - *O(ﻥ CmT*ﻡ!P eG*@I *B-.:A*?Y ;-&-*ﺕA?

2

$ ﺱW

6

XL

9

Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan.

Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka juga kepadamu.

Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar” (al-Israa: 31)

2. Surat al-Isra ayat 33:

HNO* !ﺏ (A!P -Q =( R!(

*( ;-&-*ﺕA?

2

$ ﺱW

6

XX

9

Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan, melainkan dengan

suatu alasan yang benar” (al-Israa: 33) 3. Surat al-Furqan ayat 68:

HNO* !ﺏ (A!P -Q =( R!(

*( >;-&-* A? I $ 4 !P !Q ﻡ >;-'* A !\( ?

& 0!1 * *( ﻡ? >;-ﻥ*p A?

ﻡ Y N

2

>

6

7h

9

“Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya

dia mendapat pembalasan dosanya” (al-Furqan: 68)

Larangan perbuatan juga terdapat pada beberapa hadits nabi, antara lain hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.

'

*ﺏ

!

*-*;

C:

#

!v

R

-Q

'

*-E

6

#

-ﺱ

*;

-!Q

(&

-Q %

'

&

!EG

?

(&B

A

!O

Z

:

-=

*ﻡ

!

Cw

-ﻡ

*!&

CB

*@

4

-Y

*>

A

!P

E

!P

(A

-Q

?

YHﻥ

# R

-ﺱ

*;

-!Q

!P

(A

!ﺏ!b

*

*x

T

Cy

6

(`HG

-(p

!ﻥ

? R

(*

-!ﺏ

(*

!

?

!#

-z

!!

*!

!E

*

-!#

-m

!*&

l

'

!e

2

EG&' N ﻡ

9

64


(43)

Dari Ibn Mas’ud r.a berkata: Rasulullah saw.telah bersabda: “Tidak halal darah seorang muslim yang telah menyaksikan bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah dan bahwa aku utusan-Nya, kecuali dengan salah satu dari tiga perkara: (1) Pezina Muhsan, (2) Membunuh, dan (3) Orang yang

meniggalkan agamanya dan memisahkan diri dari jama’ah.” (Muttafaqun

alaihi)65

Dari beberapa ayat al-Qur’an dan al-Hadits tersebut, jelaslah bahwa pembunuhan merupakan perbuatan yang dilarang oleh syara’, kecuali ada alasan yang dibenarkan oleh hukum syara’.

Selain pembunuhan tindak pidana yang dapat dikenakan kisas adalah tindak pidana atas selain jiwa. Yang dimaksud dengan tindak pidana atas selain jiwa, seperti yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah adalah:

Setiap Perbuatan yang menyakiti orang lain yang mengenai badannya, tetap

tidak sampai menghilangkan nyawanya”.66

Pengertian ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili, bahwa tindak pidana atas selain jiwa adalah setiap tindakan melawan hukum atas badan manusia, baik berupa pemotongan anggota badan, pelukaan, maupun pemukulan, sedangkan jiwa atau nyawa dan hidupnya masih tetap tidak terganggu.67

Istilah tindak pidana atau selain jiwa ( >?: ﻡ %&' e D) digunakan secara jelas oleh Hanafiah68. Istilah ini lebih luas daripada apa yang dikemukakan oleh Undang-Undang hukum pidana Mesir, yang menyebutnya dengan istilah pelukaan (al-jarhu) dan pemukulan (al-dharbu).

Inti dari unsur tindak pidana atas selain jiwa, seperti yang dikemukakan dalam definisi di atas adalah perbuatan yang menyakiti. Dengan demikian yang termasuk

65

Muhammad Ibn Isma’il Al-Kahlani, Subulus Salam Juz. III, Mesir, Mustafa al-Baaby Al-Halabiy, 1960, h. 260.

66

Ibid.,

67

Ibid.,

68


(44)

dalam perbuatan menyakiti, setiap jenis pelanggaran yang bersifat menyakiti, atau merusak anggota badan manusia, seperti pelukaan, pemukulan, pencekikan, pemotongan, dan penempelengan. Oleh karena sasaran tindak pidana ini adalah badan atau jasmani manusia maka perbuatan yang menyakiti perasaan orang tidak termasuk dalam definisi di atas, karena perasaaan bukan jasmani dan sifatnya abstrak, tidak konkrit. Perbuatan yang menyakiti perasaan dapat dimasukkan dalam tindak pidana penghinaan atau tindak pidana lain yang tergolong jarimah ta’zir.

Ditinjau dari sasarannya tindak pidana atas selain jiwa dapat dibagi kepada lima bagian69, yaitu:

1. Penganiayaan atas anggota badan dan semacamnya. Adapun yang dimaksud dengan jenis yang pertama ini adalah tindakan perusakan terhadap anggota badan dan anggota lain yang disetarakan dengan anggota badan (athraf) baik berupa pemotongan atau pelukaan. Dalam kelompok ini termasuk pemotongan tangan, kaki, jari, kuku, hidung, zakar, biji pelir, telinga, bibir, pencongkelan mata, merontokkan gigi, pemotongan rambut, alis, bulu mata, jenggot, kumis, bibir kemaluan perempuan, dan lidah.

2. Menghilangkan manfaat anggota badan sedangkan jenisnya masih tetap utuh. Maksud dari jenis yang kedua ini adalah tindakan yang merusak manfaat dari anggota badan, sedangkan jenis anggota badannya masih utuh. Dengan demikian, apabila anggota badannya hilang atau rusak, sehingga manfaatnya juga ikut hilang maka perbuatannya termasuk kelompok pertama, yaitu perusakan anggota badan. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah menghilangkan daya pendengaran penglihatan, penciuman, pembicaraan, suara,

69


(45)

rasa (dzauq), penguyahan (madhghun), pengeluaran mani (imna’), penghamilan (ihbal), persetubuhan (ijma’), pengeluaran air seni (ifdha’), daya gerak (bathsyu’), dan berjalan.

3. Hukuman Syajjaj. Yang dimaksud dengan asy-syajjaj adalah pelukaan khusus pada bagian muka dan kepala. Sedangkan pelukaan atas badan selain muka kepala termasuk kelompok keempat, yaitu jirrah.

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa syajjaj adalah pelukaan pada bagian muka dan kepala, tetapi khusus di bagian-bagian tulang saja, seperti dahi. Sedangkan pipi yang banyak dagingnya tidak termasuk syajjaj, tetapi ulama yang lan berpendapat bahwa syajjaj adalah pelukaan pada bagian muka dan kepala secara mutlak.70 Adapun organ-organ tubuh yang termasuk kelompok anggota badan, meskipun ada pada bagian muka, seperti mata, telinga, dan lain-lain tidak termasuk syajjaj.

Menurut Imam Abu Hanifah71, syajjaj itu ada sebelas macam:

a) Al-Kharishah, yaitu pelukaan atas kulit, tetapi tidak sampai mengeluarkan darah.

b) Ad-Dami’ah, yaitu pelukaan yang mengakibatkan pendarahan, tetapi

darahnya tidak sampai mengalir, melainkan seperti air mata.

c) Ad-Damiyah, yaitu pelukaan yang berakibat mengalirkan darah.

d) Al-Badhi’ah, yaitu pelukaan yang sampai memotong daging.

e) Al-Mutalahimah, yaitu pelukaan yang memotong daging lebih dalam

daripada al-Badhi’ah.

70

Audah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islamiy, h.206

71


(46)

f) As-Simhaq, yaitu pelukaan yang memotong daging lebih dalam lagi, sehingga kulit halus (selaput antar daging dan tulang kelihatan. Selaputnya itu sendiri disebit simhaq.

g) Al-Mudhihah, yaitu pelukaan yang lebih dalam, sehingga memotong atau merobek selaput tersebut sehingga tulangnya kelihatan.

h) Al-Hasyimah, yaitu pelukaan yang lebih dalam lagi, sehingga memotong atau memecahkan tulang.

i) Al-Munqilah, yaitu pelukaan yang bukan hanya sekedar memotong tulang, tetapi sampai memindahkan posisi tulang dari tempat asalnya.

j) Al-Ammah, yaitu pelukaan yang lebih dalam lagi sehingga sampai kepada ummud dimagh ( { ﻡ =), yaitu selaput antara tulang dan otak.

k) Ad-Damighah, yaitu pelukaan yang merobek selaput antara tulang dan otak

sehingga otangknya kelihatan.

Menurut Abdurrahman Al-Jaziri, sebenarnya jenis syajjaj yang disepakati oleh para fuqaha adah sepuluh macam72, yaitu tanpa memasukkan jenis yang kesebelas yaitu ad-Damighah. Hal ini karena ad-Damighah itu pelukaan yang merobek selaput otak, sehingga karenanya otak tersebut akan berhamburan, dan kemungkinan mengakibatkan kematian. Itulah sebabnya

ad-Damighah tidak dimasukkan ke dalam kelompok syajjaj.

4. Al-Jirah, adalah pelukaan pada anggota badan selain wajah, kepala, dan atraf73. Anggota badan yang pelukaannya termasuk jirah ini meliputi leher, dada, perut, sampai batas pinggul. Al-Jirah ini ada dua macam, yaitu:

72

Ibid., h. 49

73


(47)

a. Jaifah, yaitu pelukaan yang sampai ke bagian dalam dari dada dan perut, baik pelukaan dari depan, belakang maupun dari samping.

b. Ghair Jaifah, yaitu pelukaan yang tidak sampai ke bagian dalam dari dada atau perut, melainkan hanya pada bagian luarnya saja.

5. Tindakan selain yang telah disebutkan di atas

Adapun yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah setiap tindakan pelanggaran, atau menyakiti yang tidak sampai merusak athraf atau menghilangkan manfaatnya, dan tidak pula menimbulkan luka atau syajjaj atau jirah74. Sebagai contoh dapat dikemukakan, seperti pemukulan pada bagian muka, tangan, kaki atau badan, tetapi tidak sampai menimbulkan atau mengakibatkan luka, melainkan hanya memar, muka merah atau terasa sakit.

Hanafiyah sebenarnya hanya membagi tindak pidana atas selain jiwa ini kepada empat bagian, tanpa memasukkan bagian yang kelima karena bagian yang kelima ini adalah suatu tindakan yang tidak mengakibatkan luka pada athraf (anggota badan), tidak menghilangkan manfaatnya, juga tidak menimbulkan luka syajjaj,dan tidak pula luka pada jirah75.

D. Pendapat Imam Syafi’i Tentang Kisas

Siapa yang dijatuhi hukuman kisas dalam masalah pembunuhan maupun dalam masalah penganiayaan dalam hal ini Imam Syafi’i berpendapat bahwa tidak ada kisas atas orang yang tidak wajib atasnya hudud (hukuman-hukuman yang telah ditetapkan kadarnya). Orang yang memiliki kriteria seperti ini dari kaum laki-laki adalah yang belum pernah mimpi bersenggama, sedangkan dari kaum wanita adalah yang belum

74

Ibid., h.50

75


(48)

mengalami haid atau yang usianya belum cukup 15 tahun dari keduanya, serta orang yang akalnya tidak sehat dengan sebab apapun kecuali karena mabuk.76 Apabila seorang laki-laki baligh yang tidak dilarang membelanjakan hartanya yang diterima pengakuannya mengaku telah melakukan tindak kriminal secara sengaja dan ia memerinci tindak kriminal tersebut, lalu ia gila atau mengalami gangguan otak, maka kisas-kisas dilaksanakan atasnya. Adapun bila ia mengaku melakukan hal itu tanpa sengaja, maka ia harus mengganti kerugian yang ditimbulkan dengan hartanya. Akalnya yang terganggu tidak menghalangi untuk diambil hak orang lain darinya. Imam Syafi’i juga berpendapat apabila seseorang yang telah baligh mengaku telah melakukan tindak kriminal terhadap orang secara sengaja dan ia mengaku bahwa saat terjadinya tindak pidana itu ia masih di bawah umur, maka perkataannya dapat diterima di mana ia tidak dijatuhi hukuman kisas, namun ia tetap membayar kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatannya.

Menurut Imam Syafi’i tindak pidana secara sengaja yang berlaku padanya kisas adalah pembunuhan yang dapat ditinjau dari tiga segi77 Pertama, pembunuhan yang disengaja dan berlaku padanya hukum kisas, dalam hal ini ahli waris orang yang terbunuh dapat menuntut pelaku agar dihukum bunuh. Kedua, pembunuhan serupa sengaja namun tidak berlaku padanya hukum kisas. Ketiga, pembunuhan tanpa sengaja tidak berlaku padanya hukum kisas.

Batasan tindak pidana yang berlaku padanya hukum kisas adalah seseorang yang dengan sengaja mendatangi orang lain lalu menghujamkan senjata yang biasa digunakan untuk menumpahkan darah dan dapat melukai daging seperti pedang atau

76

Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab al-Umm II, Jakarta, Pustaka Azzam, 2004, h. 570.

77


(1)

orang. Hukum kisas itu selalu dilakukan di depan publik dengan tujuan agar tindak pidana itu benar-benar tidak dikerjakan oleh orang lain.

B. Saran-Saran

Penulis bersyukur atas selesainya skripsi ini mudah-mudahan tulisan yang sangat sederhana ini bisa memberikan kontribusi terhadap masyarakat dengan harapan sedikit lebih menambah pengertian dan ilmu dalam memahami hukum Islam terutama tentang tindak pidana kisas.

Saran yang dapat penulis berikan tenang kisas ini adalah memasukkan kajian atau pelajaran tentang kisas dalam kurikulum sekolah agar pengetahuan tentang kisas sudah didapat sejak dini.

Sosialisasi tentang kisas itu lewat semua media baik media elektronik atau media massa, kuliah subuh, khutbah Jum'at dan lain-lain.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama Republik Indonesia, Jakarta, 1971. Amir, Abdul Azis, Al-Ta’zir fi Al-Syari’ah Al-Islamiyah, Kairo, Dar al-Fikr, 1969. Anderson, J.N.D., Hukum Islam di Dunia Modern (terj.), Surabaya, Amarpress, 1991. Arrasjid, SH., Chairur, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2004.

Ash-Shiddiqy, Muhammad Hasby, Falsafah Hukum Islam, Cet. V, Jakarta, Bulan Bintang, 1993.

Audah, Abdul Qadir, At-Tasyri’ Jina’i Islamiy, Juz I, Beirut, Daarul Kitab Al-Araby.

Awwa, Muhammad Salim, “The Basic of Islamic Penal Legislation” dalam M. Cherif Bassiouni, The Islamic Criminal Justice System, London, New York, Oceana Publication, 1982.

Azhary, Muhammad Tahir, Negara Hukum Suatu Studi Tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam Dan Implementasinya Pada Periode Negara Madinah, Bogor, Kencana, 2003.

Bawengan, Gerson W., Pengantar Psychologi Kriminil, Pradnya Paramita, Jakarta, 1977.

Bisri, Cik Hasan, Bunga Rampai Peradilan Islam di Indonesia, Bandung, Ulul Albab Press, 1997.

Bisri, Cik Hasan, Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004.

Chotib, Ahmad, Filsafat Hukum Islam, Jakarta, Fakultas Syari’ah IAIN Jakarta Press, 1989.

D, Soedjono, Konsepsi Kriminologi Dalam Usaha Penanggulangan Kejahatan (Crime Pervention), Bandung, Alumni, 1970.

Daud Ali, Muhammad, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996, Cet. 5.

Daud, Abu, Sunan Abu Dawud, Beirut, Daar al-Fikr, t.th., Juz III.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1990, Cet. III.

Djamil, Fathurrahman, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, Cet. I, Jakarta, Logos Publishing House, 1995.


(3)

Djazuli, A., Fiqih Jinayah (Upaya Penanggulangan Kejahatan Dalam Islam), Jakarta, Raja Grafindo, 2000.

Doi., A. Rahman I. Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari’ah), Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002.

Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta, Sinar Grafika, 2005. Dutton, Yasin, Asal Mula Hukum Islam, Al-Qur’an, Muwatta’, dan Praktek Madinah,

Jogjakarta, Islamika, 2003.

Ensiklopedi Tematis Dunia Islam 3, Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.

Hallaq, Wael B., Sejarah Teori Hukum Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2001. Hanafi, Ahmad, Asas-asas Hukum PIdana Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1993, Cet.

Ke-5.

Harun, Nasrun, Ushul Fiqh, Jakarta, Logos, 1996.

Hatta, Muhammad, Alam Pikiran Yunani, Jakarta, Tinta Mas, 1952. Jurnal Islamic Studies, Karachi, Vol. IV, No.3, September 1965.

Kahlani, Muhammad Ibn Isma’il, Subulus Salam Juz. III Mustafa al-Baaby Al-Halabiy, Mesir, Cet. IV, 1960.

Khallaf, Abdul Wahhab, Perkembangan Hukum Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2000. Kusumah, Mulyana W., Kriminologi dan Masalah Kejahatan (Suatu Pengantar

Ringkas), Armico, Bandung, 1984.

M. Noer, Hasan, Kontekstualitas al-Qur’an, Jakarta, Pena Madani, 2000.

Madjrie, Abdurrahman, Fauzan al-Anshari, Qishas Pembalasan Yang Hak, Jakarta, Khairul Bayan, 2003.

Mawardi, Abu Al-Hasan, Al-Ahkam As-Sulthaniyah, Mesir, Musthafa Baby al-Halaby, 1975.

Moeliono, M. Anton, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989. Mujieb, M. Abdul, Mabruri Thalhah, Syafi’iah AM, Kamus Istilah Fiqih, Jakarta,

Pustaka Firdaus, 1994.

Mulyana W. Kusumah, Kejahatan,Penjahat, dan Reaksi Sosial, Alumni, Bandung,1983.


(4)

________,W. Kusumah, Kriminologi dan Masalah Kejahatan (Suatu Pengantar Ringkas), Armico Bandung, 1984.

Munawar, Said Agil Husin, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta, Pena Madani, 2004.

Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir, Surabaya, Pustaka Progressif. Nasution, Harun, Gagasan dan Pemikiran, Bandung, Mizan, 1995.

________, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta, UI Press, 1985, Jilid I dan II.

Nawawi Arief, Barda, Upaya Non Penal Dalam Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Semarang, 1991.

Poernomo, Bambang, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan, Yogyakarta, Liberty, 1986.

Poerwadarmita, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1983. Position Paper Advokasi RUU KUHP, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan Dalam

Rancangan KUHP, Jakarta, Elsam (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), 2005.

Rasyidi, H.M., Keutamaan Hukum Islam, Cet.II, Jakarta, Bulan Bintang, 1972.

Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsir Qur’an Hakim al-Masyhur bi “Tafsir Al-Manar”, Cet. II, Jilid III, Beirut, Dar el-Ma’arif, t.th.

Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, Juz II, Dar al-Fikri, Beirut, 1980.

Sahetapy, J.E., dan Reksodiputro, B. Mardjono, Kejahatan, Penjahat, dan Reaksi Sosial, Bandung, Alumni 1990.

________, J.E., dan Reksodiputro, B. Mardjono, Parados Dalam Kriminologi, Rajawali Press, Jakarta, 1982.

Saifuddin, Endang, Ilmu Filsafat dan Agama, Surabaya, Bina Ilmu, 1991.

Sastrawidjaja, Sofjan, Hukum Pidana Asas Hukum Pidana Sampai Dengan Alasan Peniadaan Pidana, Bandung, Amrico, 1995.

Soedjono D., Konsepsi Kriminologi Dalam Usaha Penanggulangan Kejahatan (CrimePervention), Alumni, Bandung, 1970.

Soesilo, R., KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor, Politea, 1965.


(5)

Solehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Islam (Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya), Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2003.

Suma, Muhammad., Amin, dkk, Pidana Islam di Indonesia, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2001.

________, Muhammad. Amin, MA, SH, Pengantar Tafsir Ahkam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2001.

________, Muhammad Amin, “Hukum Pidana Islam: Visi, Misi dan Filosofinya dalam Perspektif Qur’an dan Sunnah”, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Hukum Pidana Islam: Deskripsi, Analisis Perbandingan dan Kritik Konstruktif, Fakultas Syariah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 23-24 Juni 1999.

Sutherland, Edwin H., Asas-Asas Kriminologi, Alumni, Bandung, 1969. Syafi’i, Imam, Ringkasan Kitab Al-Umm, Jakarta, Pustaka Azzam, 2004.

Taimiyah, Ibnu, Al-Siyasah al-Syar’iyah fi al-Ra’i wa al-Ra’iyyah, Beirut, Dar al-Fikr, T.Th.

Unais, Ibrahm, Al-Mu’jam al-Wasith, Juz II, Daar Ihya’ At-turats al-‘Arabi, Tt. Waluyo, Bambang, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta, Sinar Grafika, 2004, Cet. Ke-2. Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz VI, Dar Al-Fikr, Damaskus,


(6)