Peran Polri Dalam Penanggulangan Kejahatan Hacking Terhadap Bank

(1)

PERAN POLRI DALAM PENANGGULANGAN

KEJAHATAN HACKING TERHADAP BANK

TESIS

Oleh

IDHA ENDRI PRASTIONO

067005070/HK

S

E K O L AH

P A

S C

A S A R JA NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

PERAN POLRI DALAM PENANGGULANGAN

KEJAHATAN HACKING TERHADAP BANK

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

IDHA ENDRI PRASTIONO

067005070/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : PERAN POLRI DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATAN HACKING TERHADAP BANK

Nama Mahasiswa : Idha Endri Prastiono Nomor Pokok : 067005070

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) K e t u a

(Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, M.Hum) (Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) A n g g o t a A n g g o t a

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 03 Maret 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua

:

Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH

Anggota

:

1. Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, M.Hum

2. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum

3. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum

4. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH


(5)

ABSTRAK

Cybercrime atau kejahatan dunia siber mempunyai banyak bentuk atau rupa,

tetapi dari kesemua bentuk yang ada, hacking merupakan bentuk yang banyak mendapat sorotan karena selain kongres PBB X di Wina menetapkan hacking sebagai

first crime, juga dilihat dari aspek teknis, hacking mempunyai kelebihan-kelebihan.

Pertama, orang yang melakukan hacking sudah barang tentu dapat melakukan bentuk

cybercrime yang lain karena dengan kemampuan masuk ke dalam sistem komputer

dan kemudian mengacak-acak sistem tersebut. Termasuk dalam hal ini, misalnya

cyber terrorism, cyber pornography dan sebagainya. Kedua, secara teknis pelaku hacking kualitas yang dihasilkan dari hacking lebih serius dibandingkan dengan

bentuk cybercrime yang lain, misalnya pornografi. Bank selama ini menjadi sasaran empuk dan sasaran yang banyak diserbu oleh para hacker karena dianggap sebagai institusi yang otomatis paling gigih membuat lapisan keamanan jaringan karena data uang miliaran rupiah tersimpan rapi di sistem jaringan sebuah bank. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaturan kejahatan

hacking terhadap bank di Indonesia, bagaimana kendala Polri dalam menanggulangi

kejahatan hacking terhadap bank dan bagaimana upaya Polri dalam menanggulangi kejahatan hacking terhadap bank.

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah bersifat yuridis normatif yaitu data yang dikumpulkan baik data primer maupun data sekunder ditelaah secara yuridis dengan tidak menghilangkan unsur non yuridis lainnya. Pendekatan ini mengarah kepada peraturan Perundang-Undangan sebagai kajian utama dan perilaku hukum dari pelaku kejahatan yang menyalahgunakan tehnologi dan informasi sebagai pendukung kongkrit dalam memperkuat analisis yuridis tersebut.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran Polri dalam penanggulangan kejahatan hacking terhadap bank yang dilaksanakan selama ini masih sangat minim sekali. Hal ini dikarenakan banyaknya hambatan yang ditemui oleh Polri, baik hambatan dari dalam tubuh organisasi Polri sendiri, hambatan Perundang-undangan yang ada, hambatan penyidikan dan hambatan dari masyarakat sendiri.

Sedangkan saran dalam rangka penanggulangan kejahatan hacking terhadap bank antara lain melalui perbaikan atau revisi perundang-undangan yang ada, baik Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 maupun peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan kejahatan hacking terhadap bank. Upaya lainnya yang tidak kalah pentingnya yaitu memunculkan wacana pemeriksaan pembalikan sistem pembuktian dan pembentukan Satuan Tugas Gabungan yang terdiri dari unsur aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa dan Hakim), Pemerintah selaku regulator, Bank Indonesia dan masyarakat khusus diantaranya dari kalangan hacker topi putih.


(6)

ABSTRACT

Cybercrime or crime siber world has many forms or shapes, but of all forms of existing, is a form of hacking that gets a lot of attention because of the UN Congress X in Vienna as the first set of hacking crime, is also seen from the technical aspects, hacking have excess-excess. First, those who do hacking to be sure you can do that other forms of cybercrime as the ability to enter into the computer system and then make a random system. Included in this, such as cyber terrorism, cyber pornography and so forth. Second, the technical quality of the hacking that resulted from hacking more serious compared with other forms of cybercrime, such as pornography. Bank during this become soft targets and objectives by the hacker because the institution is considered as the most persistent automatically create a layer network security because data of money saved billions of rupiah in the neat system a network bank. The problem in which the research is how the crime of hacking against a bank in Indonesia, how the police in tackling the problem of hacking crimes against the bank and how the police efforts in tackling the crime of hacking against a bank.

Research approach used is a normative juridical, the data collected data both primary and secondary data to be a juridical element does not eliminate other non-juridical. This approach leads to laws and regulations as a major study of law and behavior of the perpetrator to use wrongly technology and information as a concrete support in strengthening the juridical analysis.Results of research indicate that the role of police in handling crimes against hacking bank that was conducted over this is very very minimal. This is because the many obstacles found by the police, both of the major police organization in the body itself, the major legislation that is, barriers and constraints of investigation from the community itself.

Meanwhile, police made efforts to address the crime of hacking against a bank, among others, through the repair or revision of legislation that is, whether Law No. 11 Year 2008 and the regulations relating to other crimes against hacking bank. Other efforts that are not less important issue, namely the discourse inspection and verification system inversion formation of Joint Task Force consisting of elements from law enforcement (Police, Prosecutor and Judges), the Government as the regulator, Bank Indonesia and the community's special among the white-hat hackers.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan segala Rahmat dan TaufikNya sehingga masih diberi kesehatan dan kesempatan untuk menyelesaikan tesis yang berjudul peran Polri dalam penanggulangan kejahatan hacking terhadap bank.

Sholawat serta salam tak lupa penulis kirimkan kepada junjungan kita nabi Muhammad SAW, karena beliaulah yang membawa ummat manusia dari dunia kegelapan menuju dunia yang terang benderang seperti sekarang ini.

Tesis ini disusun sebagai tugas akhir dan syarat untuk menempuh Ujian Tesis guna memperoleh gelar Magister Humaniora pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K), selaku Rektor Universitas

Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan para asisten direktur beserta seluruh stafnya atas segala bantuan yang diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan program studi Ilmu Hukum (M.Hum) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH selaku ketua Program Studi Magister

Ilmu Hukum Sekolah Pasacasrjana Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai Pembimbing Utama yang telah membimbing dan memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan studi ini dengan baik.

4. Ibu Dr. Sunarmi, SH, M.Hum dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi A., SH CN, M.Hum

selaku pembimbing penulis, terima kasih atas saran dan arahan Ibu sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini dengan baik.


(8)

5. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum dan Bapak Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH selaku penguji yang telah banyak memberi saran dan masukan terhadap tesis penulis.

6. Para Guru Besar serta seluruh Staf Pengajar pada Program Studi Ilmu Hukum

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara atas ilmu yang diberikan selama ini.

7. Teman-teman seangkatan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

yang selalu ceria dan kompak dalam menjalani kuliah-kuliah yang melelahkan.

8. Para Staf Administrasi dan Pegawai di lingkungan Sekolah Pascasarjana Ilmu

Hukum yang telah banyak membantu penulis menyiapkan segala hal yang berhubungan dengan proses belajar dan penyusunan tesis ini.

Penulis juga sangat berterima kasih sekali kepada institusi tercinta, Polri, yang telah memberikan wawasan sehingga penulis merasakan arti Polisi yang sangat dibutuhkan masyarakat. Tak lupa penulis berterima kasih kepada :

1. Kapolri Jendral Polisi Drs. H. Bambang Hendarso Danuri, MM dimana saat

beliau menjabat Kapolda Sumatera Utara telah memberikan ijin kepada penulis untuk mengembangkan ilmu di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Komisaris Besar Polisi Drs. I Nyoman Brata jaya, dimana saat beliau menjabat

Karo Pers Polda Sumut telah memberikan ijin kepada penulis untuk mengembangkan ilmu di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Komisaris Besar Polisi Drs. Tri Utoyo, dimana saat beliau menjabat Karo Pers

Polda Sumut telah mendorong baik secara moril maupun materiil kepada penulis untuk giat menyelesaikan studi di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Ajun Komisaris Besar Polisi Drs. I Ketut Suardana, Msi, dimana saat beliau

menjabat sebagai Kabag Dalpers telah banyak memberikan support dan koreksi dalam pembuatan tugas-tugas di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.


(9)

5. Ajun Komisaris Besar Polisi Drs. Yasdan Rivai, dimana saat beliau menjabat Wakapoltabes Medan dan sekitarnya selalu memberikan semangat dan nasehat untuk selalu kuliah di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

6. Ajun Komisaris Besar Polisi Drs. Dicky Patrianegara yang dengan ikhlas

memberikan data demi kelengkapan penulisan tesis ini.

7. Ajun Komisaris Polisi Elisabeth Siahaan, SH yang selalu memberikan semangat

dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

Secara khusus dengan penuh rasa kasih sayang penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Ibunda tercinta Amini yang selalu setia mendoakan, memberikan nasehat dan

mencurahkan kasih sayang kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas belajar mengembangkan ilmu di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Istri tercinta Sandhiyaning Wahyu Arifani, SH yang dengan setia mendampingi,

menyayangi dan mencurahkan kasih sayang yang sangat besar sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Para pendekar kecilku yang tercinta : RIZKY, RICKY dan RIFKY yang selalu

mengantar kuliah, mendampingi penulis menyelesaikan tugas dan memberikan kasih sayangnya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu segala saran dan kritik untuk penyempurnaan tesis ini sangat diharapkan selalu oleh penulis. Akhir kata penulis berharap semog tesis ini bermanfaat bagi semua pihak pada umumnya dan institusi tercinta Polri pada khususnya.

Medan, Maret 2009 Penulis


(10)

RIWAYAT HIDUP

N a m a : Idha Endri Prastiono

Tempat/Tanggal lahir : Banyuwangi/ 16 Pebruari 1970

Jenis Kelamin : Laki-laki

A g a m a : Islam

Pendidikan :

1. Sekolah Dasar Negeri Brawijaya Banyuwangi (1982)

2. SMP Negeri 1 Banyuwangi (1985)

3. SMA Negeri 1 Banyuwangi (1988)

4. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (1999)

5. Kelas Khusus Hukum Ekonomi Program Studi Ilmu Hukum Sekolah


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR ISTILAH ... x

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 23

C. Tujuan Penelitian ... 24

D. Manfaat Penelitian ... 24

E. Keaslian Penelitian... 25

F. Kerangka Teori dan Konsepsional... 25

1. Landasan Teori... 25

2. Konsepsional... 31

G. Metode Penelitian ... 32

BAB II : KESIAPAN HUKUM DI INDONESIA MENGATUR KEJAHATAN HACKING TERHADAP BANK ... 38

A. Hacking Sebagai Suatu Kejahatan ... 38

1. Pengertian dan sejarah hacking... 38

2. Tahap-tahap hacking ... 44

B. Pengaturan kejahatan Hacking terhadap bank ... 57

1. Hacking dalam peraturan-peraturan... 57

2. Hacking dalam peraturan perundang-undangan lainnya. 69 C. Perlindungan nasabah bank yang menjadi korban kejahatan hacking ... 85

1. Hubungan hukum antara bank dan nasabah ... 85

2. Kewajiban dan pertanggungjawaban bank terhadap nasabah... 88

BAB III : KENDALA POLRI DALAM MENANGGULANGI KEJAHATAN HACKING TERHADAP BANK ... 93

A. Kendala Eksternal ... 93

1. Perangkat Hukum... 93

2. Pemerintah sebagai regulator ... 101

3. Bank Indonesia dalam Perbankan ... 104


(12)

B. Kendala Internal... 108

1. Instrumental ... 108

2. Struktur Organisasi ... 110

3. Fungsional... 117

4. Sarana dan Prasarana ... 123

5. Anggaran ... 124

BAB IV : UPAYA POLRI DALAM MENANGGULANGI KEJAHATAN HACKING TERHADAP BANK ... 126

A. Upaya penegakkan hukum kejahatan hacking terhadap bank... 126

B. Upaya lain penanggulangan kejahatan hacking terhadap bank ... 129

1. Tugas dan Fungsi Kepolisian... 129

2. Upaya revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik ... 136

3. Upaya Pembentukan Satuan Tugas Gabungan ... 143

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 145

A. Kesimpulan ... 145

B. Saran ... 150


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1 Data Kejahatan Dunia Siber (Cybercrime) Yang Ditangani


(14)

DAFTAR ISTILAH

Accurasy : Ketelitian, kecermatan, ketepatan.

Arts : Seni.

Authorization : Proses untuk pengecekan apakah seseorang atau sistem

berhak memasuki sistem lainnya.

Computer : Istilah Computer berasal dari kata Compute, yang berarti

menghitung. Artinya, setiap proses yang dilaksanakan oleh komputer merupakan proses matematika hitungan.

Computer software : Rekayasa perangkat lunak berbantuan komputer.

Computer network : Jaringan komputer.

Computer related crime : Kejahatan dunia maya.

Committe : Komite.

Control : Pengontrol suatu proses, baik secara hardware maupun

software, yang mengatur aktifitas dalam manajemen pada komputer untuk mengelola tugas dan urutan aktifitas yang dilaksanakannya.

Craft : Keahlian.

Crime : Kejahatan.

Criminal : Kejahatan, narapidana, pidana, kriminal.

Cyberspace : Dunia maya, dunia internet, virtual space.

Cybercrime : Kejahatan di dunia maya atau di internet.

Cyber fraud : Kecurangan dunia maya.

Cyber pornography : Kejahatan pornografi di dunia maya.

Damage : Kerusakan.

Data didling : Suatu perbuatan yang mengubah data valid atau sah

dengan cara tidak sah, mengubah input data atau output data.

Data leaking : Kerusakan.

Declaration : Proses pengenalan tipe data suatu variabel kepada

kompiler sehingga akan diketahui berapa banyak memori yang harus disiapkan untuk masing-masing variabel.

E-banking : Aktifitas perbankan di internet.

Electronic : Di dalam bahasa Indonesia ditulis dengan Elektronika.

Hacker : Mengacu pada seseorang yang punya minat besar untuk

mempelajari sistem komputer secara detail dan bagaimana meningkatkan kapabilitasnya.

Hacking : Kata kerja yang mengubah beberapa aspek program atau

sistem operasi melalui manipulasi kodenya dan tida melalui operasi program itu sendiri.


(15)

Information : Keterangan, penerangan.

Integrity : Integritas, kejujuran, ketangguhan, bobot.

Joycomputing : Seseorang yang menggunakan komputer secara tidak

sah/tanpa ijin dan mempergunakannya melampaui wewenang yang diberikan.

Justice : Keadilan, peradilan.

Legal regime : Kekuasaan hukum.

Money laundering : Suatu proses untuk menyembunyikan atau menyamarkan

harta kekayaan yang diperoleh dari suatu kejahatan seolah-olah sah dan menghindari penuntutan dan atau penyitaan, hasil akhir dari proses tersebut adalah diharapkan menjadi uang/harta yang seolah-olah sah.

Network : Merupakan jaringan antar komputer yang

menghubungkan satu komputer dengan jaringan lainnya.

Off-line : Secara umum, sesuatu dikatakan di luar jaringan (luring)

atau bahasa inggrisnya offline adalah bila ia tidak terkoneksi/terputus dari suatu jaringan ataupun sistem yang lebih besar.

On-line : Terhubung, terkoneksi. Aktif dan siap untuk operasi;

dapat berkomunikasi dengan atau dikontrol oleh komputer. Online ini juga bisa diartikan sebagai suatu keadaan di mana sebuah device (komputer) terhubung dengan device lain, biasanya melalui modem.

Paper : Kertas, karangan, surat kabar, koran, naskah.

Paperless : Tanpa menggunakan kertas sebagai media.

Prevention : Pencegahan.

Pornography : Materi seksualitas yang dibuat oleh manusia yang dapat

membangkitkan hasrat seksual.

Reality : Realitas atau kenyataan, dalam bahasa sehari-hari berarti

yang nyata; yang benar-benar ada.

Rigid : Berat, keras, kaku, sukar, jujur.

Security : Faktor keamanan informasi dengan menggunakan

teknologi.

System : Suatu jaringan kerja dari prosedur-prosedur yang saling

berhubungan, berkumpul bersama-sama untuk melakukan suatu kegiatan atau untuk menyelesaikan suatu sasaran tertentu.

Systematic : Sistematis

Software pirates : Mengcopy, memperbanyak, menerbitkan sofware tanpa

ijin.

Transfer : Pemindahan, pergantian, serah terima.


(16)

The Trojan Horse : Rutin tak terdokumentasi rahasia ditempelkan dalam satu program berguna. Program yang berguna mengandung kode tersembunyi yang ketika dijalankan melakukan suatu fungsi yang tak diinginkan.

Unauthorized access : Tidak diberi kuasa untuk masuk .

Web : Halaman informasi di internet, yaitu Suatu sistem di

internet yang memungkinkan siapapun agar bisa menyediakan informasi.

Wireless : Koneksi antar suatu perangkat dengan perangkat lainnya

tanpa menggunakan kabel.

Worm : Program yang dapat mereplikasi dirinya dan mengirim

beberapa kopian dari komputer ke komputer lewat hubungan jaringan.


(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Beberapa bulan terakhir ini banyak kejahatan muncul akibat dari kecanggihan teknologi. Media elektronik dan media massa ramai memberitakannya, di antaranya yaitu kejadian yang menimpa Situs PDI Perjuangan yang tidak bisa dibuka oleh pemakainya. Ditemukannya virus sejenis worm ada di dalam sebuah laptop Astronot NASA yang sedang mengorbit diangkasa. Dibobolnya situs Pemerintah Taiwan sehingga data pribadi Presiden Taiwan dan data pejabat pemerintahan serta data rekening sebuah bank di kota negara itu bocor kepada para hacker. Kejadian tersebut di atas hanyalah sebagian kecil yang muncul dipermukaan dan disidik oleh aparat penegak hukum. Kejadian-kejadian yang diutarakan di atas adalah salah satu dampak dari perkembangan teknologi yang saat ini semakin canggih.

Teknologi, satu kata yang membuat manusia bahkan sebuah negara menjadi perhatian sesamanya apabila manusia/negara itu menguasainya. Teknologi berasal dari bahasa Yunani yaitu technologia yang artinya pembahasan sistematik tentang seluruh seni dan kerajinan (systematic treatment of the arts and crafts). Perkataan tersebut mempunyai akar kata techne dan logos (perkataan atau pembicaraan).


(18)

Akar kata techne pada zaman Yunani kuno berarti seni (art), kerajinan (craft).1 Teknologi dapat diartikan juga sebagai the know-how of making things. Juga dapat diartikan sebagai the know-how of doing things, dalam arti kemampuan untuk mengerjakan sesuatu dengan hasil nilai yang tinggi, baik nilai kegunaan maupun nilai jual.2 Dengan demikian, maka teknologi bukanlah ilmu pengetahuan dan juga bukan produk. Teknologi adalah penetapan atau aplikasi ilmu pengetahuan untuk memproduksi atau membuat dan/atau jasa. Produk tersebut merupakan hasil akhir teknologi, tetapi produk itu sendiri bukanlah teknologi.3

Hampir semua negara meyakini bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi adalah salah satu faktor yang penting dalam menopang pertumbuhan dan kemajuan negara. Negara yang tidak memiliki dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi akan tertinggal dari peradaban. Ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang diagung-agungkan dan dijadikan sebagai ideologi. Orang cenderung mendewa-dewakan teknologi seakan-akan teknologi adalah suatu azimat, paspor atau tanda masuk satu-satunya menuju kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan. Tidak hanya itu, teknologi yang dikembangkan ternyata sangat jelas menimbulkan kultus baru dalam teknologi,

yaitu menimbulkan masyarakat yang konsumtif.4

1

Ronny Hanitijo Soemitro, Hukum dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di

Dalam Masyarakat, pidato pengukuhan pada upacara peresmian penerimaan jabatan Guru Besar Tetap

pada Fakultas Hukum UNDIP Semarang, 6 Desember 1990, hlm. 4.

2

H. Daud Silalahi, Rencana Undang-Undang Alih Teknologi: Perbandingan Perspektif, Prisma, No 4 Th. XVI, April 1987, hlm. 40.

3

Maurice Mountain, The Continuing Complex of Technology transfer, dalam Gary K. Bertsch dan John R. Mc Intrye (ed), National Security and Technology Transfer: The Strategic Dimensious of

East-West trade, (Colorado : Westview Press Inc, 1983), hlm. 8.

4


(19)

Globalisasi teknologi informatika dan informasi komputer telah mempersempit wilayah dunia dan memperpendek jarak komunikasi, di samping memperpadat mobilisasi orang dan barang. Perkembangan teknologi yang saat ini mempengaruhi kehidupan masyarakat global adalah teknologi informasi berupa internet. Internet awal mulanya hanya dikembangkan untuk kepentingan militer, riset dan pendidikan, terus berkembang memasuki seluruh aspek kehidupan umat manusia. Saat ini, internet membentuk masyarakat dengan kebudayaan baru. Masyarakat tidak lagi dihalangi oleh batas-batas teritorial antara negara yang dahulu ditetapkan sangat

rigid. Masyarakat baru dengan kebebasan beraktivitas dan berkreasi yang paling

sempurna. Pada mulanya, internet sempat diramalkan akan mengalami kehancuran oleh beberapa pengamat komputer di era 1980-an karena kemampuannya yang saat itu hanya bertukar informasi satu arah saja. Namun semakin ke depan, ternyata ramalan tersebut meleset, dan bahkan sekarang menjadi suatu kebutuhan akan informasi yang tiada henti-hentinya bergulir.5

Secara teknis, perubahan yang signifikan dari pemanfaatan internet dalam keseharian hidup manusia adalah adanya perubahan pola hubungan dari yang semula menggunakan kertas (paper) menjadi nirkertas (paperless). Selain paperless, internet juga dapat memfasilitasi suatu perikatan tanpa pihak yang akan melakukan kontrak bertemu secara fisik dalam dimensi ruang dan waktu yang sama. Hambatan jarak dan waktu menjadi bukan masalah lagi. Perubahan-perubahan ini membawa implikasi hukum yang cukup serius bila tidak ditangani dengan benar. Beberapa isu yang

5


(20)

muncul dari kemampuan internet dalam memfasilitasi transaksi antar pihak ini antara lain : masalah keberadaan para pihak (reality), keberadaan eksistensi dan atribut (accuracy), penolakan atau pengingkaran atas suatu transaksi (non repudiation), kebutuhan informasi (integrity of information), pengakuan atas pengiriman dan penerimaan, privasi dan juridiksi.6

Aktifitas di Internet tidak bisa dilepaskan dari manusia dan akibat hukumnya terhadap manusia yang ada di dalam kehidupan nyata (real life/physical word) sehingga muncul pemikiran mengenai perlunya aturan hukum untuk mengatur aktivitas tersebut. Internet memiliki karakteristik yang berbeda dengan dunia nyata sehingga muncul pro dan kontra mengenai bisa tidaknya hukum tradisional/konvensional (exixting law) mengatur aktivitas tersebut atau perlu tidaknya aktivitas di internet di atur oleh hukum.7 Pro kontra mengenai masalah ini sedikitnya terbagi menjadi 4 (empat) kelompok, yaitu :8

1. Kelompok pertama secara total menolak setiap usaha untuk membuat aturan

hukum bagi aktivitas-aktivitas di Internet yang didasarkan pada sistem hukum tradisional. Dengan pendirian seperti ini, maka menurut kelompok ini internet harus di atur sepenuhnya oleh sistem baru yang didasarkan atas norma-norma hukum yang baru pula yang dianggap sesuai dengan karakteristik yang melekat pada internet. Kelemahan utama kelompok ini adalah mereka

6

Merry Magdalena dan Maswigrantoro Roes Setiyadi, Cyberlaw, tidak perlu takut,(Jogyakarta : Andi offset, 2007), hlm. 113.

7

Atip Latifulhayat, Cyberlaw dan Urgensinya bagi Indonesia, makalah pada seminar tentang

cyber law, diselenggarakan oleh Yayasan Cipta Bangsa, Bandung, 29 Juli 2000, hlm. 3.

8


(21)

menafikan fakta, meskipun aktivitas internet itu sepenuhnya beroperasi secara virtual, tetapi masih tetap melibatkan masyarakat (manusia) yang hidup di dunia nyata.

2. Kelompok kedua berpendapat bahwa penerapan sistem hukum tradisional

untuk mengatur aktivitas-aktivitas di internet sangat mendesak untuk dilakukan. Perkembangan internet dan kejahatan yang melingkupi begitu cepat sehingga yang paling mungkin untuk pencegahan dan penanggulangannya adalah dengan mengaplikasikan sistem hukum tradisional yang saat ini berlaku. Kelemahan utama kelompok ini merupakan kebalikan dari kelompok pertama, yaitu mereka menafikan fakta bahwa aktivitas-aktivitas di internet menyajikan realitas dan persoalan baru yang merupakan fenomena khas masyarakat informatika yang sepenuhnya dapat direspon oleh sistem hukum tradisional.

3. kelompok ketiga tampaknya merupakan sintesis dari kedua kelompok di atas.

Mereka berpendapat bahwa aturan hukum yang akan mengatur mengenai aktivitas di Internet harus dibentu secara evolutif dengan cara menerapkan prinsip-prinsip common law yang dilakukan secara hati-hati dan dengan menitikberatkan kepada aspek-aspek tertentu dalam aktivitas cyberspace yang menyebabkan kekhasan dalam transaksi-transaksi di Internet. Kelompok ini memiliki pendirian yang cukup moderat dan realitis karena memang ada beberapa prinsip hukum tradisional yang masih dapat merespon persoalan


(22)

hukum yang timbul dari aktivitas internet di samping juga fakta bahwa beberapa transaksi di internet tidak dapat sepenuhnya direspon oleh sistem hukum tradisional.

4. kelompok keempat adalah kelompok yang sama sekali menolak adanya

regulasi di cyberspace. Penolakan ini didasarkan pada asumsi bahwa

cyberspace adalah ruang yang bebas dan pemerintah pun tidak berhak untuk

melarang sesuatu tindakan apapun di cyberspace itu. Landasan utama dari kelompok ini adalah Declaration of Independence of Cyberspace dari John Perry Barlow dan Hacker Manifesto dari Loyd Blankenship (The Mentor). Di balik kegemerlapan itu internet juga melahirkan keresahan-keresahan baru, di antaranya muncul kejahatan yang lebih canggih dalam bentuk kejahatan dunia

maya (cyber crime).9 Memang mengkhawatirkan munculnya revolusi teknologi

informasi di masa mendatang tidak hanya membawa dampak pada teknologi itu sendiri, tetapi juga akan mempengaruhi aspek kehidupan lain seperti agama, kebudayaan, sosial, politik, kehidupan pribadi dan kehidupan bermasyarakat lainnya. Jaringan informasi global atau internet saat ini menjadi salah satu sarana untuk melakukan kejahatan dengan sifatnya yang mondial, internasional dan melampaui batas atau kedaulatan suatu negara. Cross Boundaries Countries menjadi motif menarik bagi para penjahat digital.

9

Bentuk-bentuk perbuatan itu antara lain joycomputing, hacking, the trojan horse, data leakage,

data diddling, to frustrate data communication, software piracy dan sebagainya. Bentuk kejahatan ini

sebelumnya tidak dikenal dalam berbagai sistem hukum sebelum perkembangannya teknologi informasi.


(23)

Perkembangan teknologi komputer tersebut dapat atau telah menimbulkan berbagai kemungkinan yang buruk, baik yang diakibatkan oleh keteledoran dan kekurang mampuan, maupun kesengajaan yang dilandasi dengan itikad buruk. Dengan segala kecerobohan dan kekuranghati-hatian yang ada pada pemiliki situs, webmaster dan administrator system, membawa kerugian yang tidak sedikit

jumlahnya. Pada awal Maret 2002, Gartner Inc. (www.gartner.com) menyatakan

bahwa lebih dari US$ 700.000.000 nilai transaksi melalui internet hilang sepanjang tahun 2001 akibat cyber fraud. Nilai tersebut merupakan 1,14 % dari total nilai transaksi on-line sebesar US$ 61,8 Miliar dan 19 kali lebih tinggi dibandingkan dengan hilangnya nilai transaksi melalui transaksi off-line. Sepanjang tahun 2003, kerugian materi yang ditimbulkan berbagai aksi kejahatan cyber mencapai US$ 1.296.597 atau sekitar Rp 11.669.373.000 (± Rp 11,7 miliar).10

Julukan Indonesia sebagai bangsa pembajak sudah tidak asing lagi di telinga. Peredaran piranti lunak illegal demikian merajalela nyaris tak terkendali. Mulai dari CD film, program komputer hingga musik, bisa di dapatkan dengan mudah. Aksi

carder Indonesia di jagat maya sudah populer sejak lama, Indonesia menempati

urutan 8 dalam daftar 10 negara asal pelaku kejahatan penipuan di Internet.11 Ada lagi sejumlah paparan yang mengukuhkan Indonesia sebagai bangsa asal muasal pelaku cybercrime. Jika pada tahun 2001, survei AC Nelsen mencatat bahwa

10

Donny BU, Cyberfraud Indonesia Menguatirkan, 8 Juli 2002,

http://www.freelist.org/archives/untirtanet/07-2002/msg00020.html, terakhir diakses 04 Mei 2008.

11

Internet Fraud Report 2001, National White Collar Crime Center and Federal Bureau of Investigation.


(24)

Indonesia berada pada posisi keenam terbesar di dunia atau keempat di asia dalam tindak cybercrime, data Clear Commerce yang bermarkas di Texas, Amerika Serikat, mencatat bahwa pada tahun 2002 Indonesia berada di urutan kedua setelah Ukraina sebagai negara asal carder terbesar di dunia. Ditambahkan pula bahwa sekitar 20 persen dari total transaksi kartu kredit dari Indonesia di Internet adalah cyberfraud. Riset tersebut mensurvei 1137 merchant, 6 juta transaksi, 40 ribu pelanggan, dimulai pada pertengahan tahun 2000 hingga akhir 2001.

Dalam membicarakan tentang jaringan komputer yang bernama internet ini, menurut kongres PBB X/2000 di Wina ada 3 (tiga) hal yang esensial pada sistem komputer dan keamanan data, yaitu assurance confidentially, integrity or availability

of data dan processing function. Dalam kaitannya dengan keamanan (security) dan

integritas (integrity) jaringan internet yang berbasis komputer, maka tingkat keamanan yang rendah akan mengakibatkan sistem informasi yang ada tidak mampu menghasilkan unjuk kerja (performance) yang tinggi. Dengan kata lain, keamanan dan integritas sangatlah penting dalam upaya menjaga konsistensi unjuk kerja dari sistem atau jaringan internet yang bersangkutan.12

Dewan Eropa bekerja sama dengan Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan merekomendasikan bahwa ada bahaya yang dapat menyerang ketiga hal yang esensial yang telah disebutkan delam kongres PBB X/2000 di Wina itu. Di

12

Rudi Hendraman, Computer Fraud, majalah Pro Justitia UNPAR, Tahun XIII No. 2 April 1995, hlm. 100.


(25)

dalam rekomendasi tersebut menyebutkan ada 5 (lima) serangan terhadap sistem komputer, yaitu:13

1. Unauthorized access, meaning access without rights to a computer system or network by infringing security measures.

2. Damage to computer data or computer programs, meaning the erasure, corruption, deterioration or suppression of computer data or computer programs without rights.

3. Computer sabotage, meaning the input, alteration, erasure or suppression of compuer data or computer programs, or interference with computer system, with intent to hinder functioning of a computer or telecommunication system.

4. unauthorized interception, meaning the interception, made without authorization and by technical means, of communications to, form and within a computer system or network.

5. Computer espionage, meaning the acquisition disclosure, transfer or use of a commercial secret without authorization or legal justification, with intent either to cause economic loss to the person entitled to the secret or to obtain an illegal advantage for themselves or a third person.

Badan Pembinaan Hukum Nasional dalam sebuah penerbitannya mencoba untuk mengidentifikasikan bentuk-bentuk kejahatan yang berkaitan dengan aktivitas di cyberspace dengan Perundang-Undangan pidana yang ada. Hasil identifikasi itu berupa pengkategorian perbuatan cybercrime ke dalam delik-delik dalam KUHP sebagai berikut:14

1. Joycomputing, diartikan sebagai perbuatan seseorang yang menggunakan komputer secara tidak sah atau tanpa izin dan menggunakannya melampaui

13

Dokumen A/CONF.187/10 Tenth United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, Crimes Related to Computer Networks, hlm. 5. Bandingkan dengan Rudi Hendarman yang berpendapat bahwa hanya ada 2 (dua) hlm. yang penting dalam sistem komputer, yaitu keamanan (security) dan integritas (integrity), op cit, hlm. 100, sedangkan Ronny R. Nitibaskara berpendapat bahwa masalah yang paling mendesak adalah masalah keamanan, dalam Problem Yuridis

Cybercrime, makalah pada seminar sehari Cyberlaw 2000, Bandung, 29 Juli 2000, pendapat senada

diungkapkan oleh Onno W. Purbo dan Tony Wiharjito dalam buku Keamanan Jaringan Internet, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2000.

14

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Perkembangan Pembangunan Hukum Nasional tentang


(26)

wewenang yang diberikan. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pencurian (Pasal 362 KUHP).

2. Hacking, diartikan sebagai suatu perbuatan penyambungan dengan cara menambah terminal komputer baru pada sistem jaringan komputer tanpa izin (dengan melawan hukum) dari pemilik sah jaringan komputer tersebut. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana perbuatan tanpa wewenang masuk dengan memaksa ke dalam rumah atau ruangan yang tertutup atau pekarangan atau tanpa haknya berjalan di atas tanah milik orang lain (Pasal 167 dan 551 KUHP).

3. The Trojan Horse, diartikan sebagai suatu prosedur untuk menambah, mengurangi atau mengubah instruksi pada sebuah program, sehingga program tersebut selain menjalankan tugas yang sebenarnya juga akan melaksanakan tugas lain yang tidak sah. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penggelapan (Pasal 372 dan 374 KUHP). Apabila kerugian yang ditimbulkan menyangkut keuangan negara, tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.15

15

Menurut Dancho Danchev (2004), trojan dapat diklasifikasikan menjadi 8 (delapan) jenis, antara lain sebagai berikut :

a. Trojan Remote Access, trojan ini termasuk paling populer saat ini karena mempunyai

fungsi yang banyak dan sangat mudah dalam menggunakannya..

b. Trojan Pengirim Password, tujuan dari trojan ini adalah mengirimkan password yang ada

di komputer korban ke suatu email khusus yang telah disiapkan.

c. Trojan File Transfer Protocol (FTP), trojan ini termasuk trojan yang paling sederhana

dan dianggap sudah ketinggalan jaman.

d. Keylogger, ini termasuk dalam trojan yang sederhana, dengan fungsi merekam atau

mencatat ketukan tombol saat korban melakukan pengetikan dan menyimpannya dalam logfile.


(27)

4. Data Leakage, diartikan sebagai pembocoran data rahasia yang dilakukan dengan cara menulis data-data rahasia tersebut ke dalam kode-kode tertentu sehinga data dapat dibawa keluar tanpa diketahui pihak yang bertanggung jawab. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana terhadap keamanan negara (Pasal 112, 113 dan 114 KUHP) dan tindak pidana membuka rahasia perusahaan atau kewajiban menyimpan rahasia profesi atau jabatan (Pasal 322 dan 323 KUHP).

5. Data Diddling, diartikan sebagai suatu perbuatan yang mengubah data valid atau sah dengan cara yang tidak sah, yaitu dengan mengubah input data atau

output data. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana

pemalsuan surat (Pasal 263 KUHP).

6. Penyia-nyiaan data komputer, diartikan sebagai suatu perbuatan yang dilakukan dengan suatu kesengajaan untuk merusak atau menghancurkan media disket dan media penyimpanan sejenis lainnya yang berisikan data atau program komputer, sehingga akibat perbuatan tersebut data atau program yang dimaksud menjadi tidak berfungsi lagi dan pekerjaan-pekerjaan yang

e. Trojan Penghancur, trojan ini juga termasuk jenis yang sederhana, mudah digunakan,

namun sangat berbahaya, sekali terinfeksi tidak dapat dilakukan penyelamatan.

f. Trojan Denial of Service (DoS) Attack, saat ini termasuk jenis yang sangat populer yang

memiliki kemampuan menjalankan distributed DoS (DDoS).

g. Trojan Proxy/Wingate, trojan ini digunakan untuk mengelabui korban dengan

memanfaatkan suatu proxy/wingate server yang disediakan untuk seluruh dunia atau hanya untuk penyerang saja.

h. Software Detection Killer, trojan yang telah dilengkapi kemampuan untuk melumpuhkn


(28)

melalui program komputer tidak dapat dilaksanakan. Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana perusakan barang (Pasal 406 KUHP).

Cybercrime atau kejahatan dunia siber mempunyai banyak bentuk atau rupa,

tetapi dari kesemua bentuk yang ada, hacking merupakan bentuk yang banyak mendapat sorotan karena selain kongres PBB X di Wina menetapkan hacking sebagai

first crime, juga dilihat dari aspek teknis, hacking mempunyai kelebihan-kelebihan.

Pertama, orang yang melakukan hacking sudah barang tentu dapat melakukan bentuk

cybercrime yang lain karena dengan kemampuan masuk ke dalam sistem komputer

dan kemudian mengacak-acak sistem tersebut. Termasuk dalam hal ini, misalnya

cyber terrorism, cyber pornography dan sebagainya. Kedua, secara teknis pelaku hacking kualitas yang dihasilkan dari hacking lebih serius dibandingkan dengan

bentuk cybercrime yang lain, misalnya pornografi. Untuk melakukan atau menyebarkan gambar-gambar porno, seseorang tidak perlu harus memiliki kemampuan hacking; demikian juga penyebar virus lewat e-mail. Kemampuan yang harus dimiliki oleh pelaku cybercrime seperti itu cukup kemampuan minimal berupa kepandaian mengoperasikan internet berupa mengakses dan mentransfer file.

Hacker secara harfiah berarti mencincang atau membacok. Dalam arti luas

adalah mereka yang menyusup atau melakukan perusakan melalui komputer. Hacker dapat juga didefinisikan sebagai orang-orang yang gemar mempelajari seluk beluk sistem komputer dan bereksperimen dengannya.16 Penggunaan istilah hacker terus

16

Gde Artha Azriadi Prana, Hacker; Sisi Lain Legenda Komputer, (Jakarta : Adigna, 1999), hlm. 22


(29)

berkembang seiring dengan perkembangan internet, tetapi terjadi pembiasan makna kata. Hacker yang masih menjunjung tinggi atau memiliki motivasi yang sama dengan perintis mereka, hacker-hacker MIT disebut hacker topi putih (White Hat

Hackers). Mereka masih memegang prinsip bahwa meng-hack adalah untuk tujuan

meningkatkan keamanan jaringan internet.

Dalam rangka upaya menanggulangi cybercrime khususnya kejahatan

hacking itu, Resolusi Kongres PBB VIII/1990 mengenai “computer-related crime”

mengajukan beberapa kebijakan antara lain sebagai berikut:17

1. Menghimbau negara anggota untuk mengintensifkan upaya-upaya

penanggulangan penyalahgunaan komputer yang lebih efektif dengan mempertimbangkan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Melakukan modernisasi hukum pidana materiil dan hukum formil pidana;

b. Mengembangkan tindakan-tindakan pencegahan dan pengamanan

komputer;

c. Melakukan langkah-langkah untuk membuat peka (sensitif) warga

masyarakat, aparat pengadilan dan penegak hukum terhadap pentingnya pencegahan kejahatan yang berhubungan dengan komputer;

d. Melakukan upaya-upaya pelatihan bagi para hakim, pejabat dan aparat

penegak hukum mengenai kejahatan ekonomi dan cybercrime;

17

Lihat United Nation, Eighth UN Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of


(30)

e. Memperluas ”rule of ethics” dalam penggunaan komputer dan mengajarkannya melalui kurikulum informatika;

f. Mengadopsi kebijakan perlindungan korban cybercrime sesuai dengan

Deklarasi PBB mengenai korban dan mengambil langkah-langkah untuk mendorong korban melaporkan adanya cybercrime.

2. Menghimbau negara anggota meningkatkan kegiatan internasional dalam

upaya penanggulangan cybercrime.

3. Merekomendasikan kepada Komite Pengendalian dan Pencegahan Kejahatan

(Committee on Crime Prevention and Control) PBB untuk:

a. Menyebarluaskan pedoman dan standar untuk membantu negara anggota

menghadapi cybercrime di tingkat nasional, regional dan internasional;

b. Mengembangkan penelitian dan analisis lebih lanjut guna menemukan

cara-cara baru menghadapi problem cybercrime di masa yang akan datang;

c. Mempertimbangkan cybercrime sewaktu meninjau pengimplementasian

perjanjian ekstradisi dan bantuan kerjasama di bidang penanggulangan kejahatan.

Garis kebijakan penanggulangan cybercrime yang dikemukakan dalam resolusi PBB di atas, terlihat cukup komprehensif. Tidak hanya penanggulangan melalui kebijakan ”penal” (baik hukum pidana materiil maupun hukum pidana formal), tetapi juga kebijakan ”non penal”. Hal menarik dari kebijakan nonpenal yang


(31)

dikemukakan dalam resolusi PBB itu ialah upaya mengembangkan pengamanan/perlindungan komputer dan tindakan-tindakan pencegahan (computer

security and prevention measures). Jelas hal ini terkait dengan pendekatan techno prevention, yaitu upaya pencegahan/penanggungan kejahatan dengan menggunakan

tehnologi. Sangat disadari tampaknya oleh kongres PBB, bahwa cybercrime yang terkait erat dengan kemajuan tehnologi tidak semata-mata ditanggulangi dengan pendekatan yuridis, tetapi juga harus ditanggulangi dengan pendekatan tehnologi itu sendiri.18

Tidak ada bedanya dengan bidang lain, industri perbankan merupakan sasaran kejahatan cybercrime yang memiliki potensi kerugian yang sangat besar, apalagi dengan mulai berlakunya layanan perbankan secara elektronik dalam bentuk

e-banking dan electronic fund transfer. Bank selama ini menjadi sasaran empuk dan

sasaran yang banyak diserbu oleh para hacker karena dianggap sebagai institusi yang otomatis paling gigih membuat lapisan keamanan jaringan. Mulai dari rahasia nasabah sampai uang miliaran rupiah tersimpan rapi di sistem jaringan sebuah bank. Banyak kasus-kasus perbankan baik di luar negeri maupun di Indonesia yang mencuat akibat dari ulah para penjahat cyber ini. Cepat mencuat dikarenakan bidang perbankan adalah tempat transaksi jalur perdagangan dan jalur perekonomian yang dipergunakan oleh masyarakat banyak. Begitu jaringan komputer sebuah bank

18

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakkan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam


(32)

tersebut di-hack maka akan lumpuh perputaran uang yang terjadi di bank tersebut atau bahkan dapat berpengaruh pada perekonomian sebuah negara pada saat itu.

Kejahatan internet yang marak di Indonesia meliputi penipuan kartu kredit, penipuan perbankan, defacing, cracking, transaksi seks, judi online dan terorisme dengan korban berasal selain dari negara-negara luar seperti AS, Inggris, Australia, Jerman, Korea serta Singapura, juga beberapa di tanah air. Beberapa kasus penyalah gunaan komputer yang menghantam dunia perbankan di Indonesia, antara lain:19

1. Kasus manipulasi dana bank di Bank BRI cabang jalan Brigjen. Katamso

Jogyakarta.

2. Kasus “Computer Crime Unauthorized Transfer” dana bank di Bank BNI’46

cabang New York Agency.

3. Kasus transfer fiktif di Bank Bumi Daya cabang Kebayoran Baru, Jakarta

Selatan.

4. Kasus Penarikan hasil setoran warkat fiktif di Bank Bali Jakarta Barat.

5. Kasus Manipulasi data Saldo pada Master File Bank Danamon cabang Glodok

Plaza.

6. Kasus deface klikBCA yang dialami oleh Bank BCA.

Di tahun 2008 ini Indonesia sudah mempunyai Undang-Undang yang mengatur tentang kegiatan yang berkaitan dengan dunia siber (cyberspace), yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

19

Aloysius Wisnubroto, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan


(33)

Meskipun terkesan terlambat namun kehadiran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dirasa membawa angin segar bagi para penegak hukum khususnya Polri dalam menghadang laju kejahatan yang dilakukan para Hacker yang semakin banyak muncul di dunia siber (cyberspace).20 Sayangnya lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Ekonomi ini belum dibarengi oleh peraturan yang mengatur tentang hukum formilnya.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ini mempunyai 13 (tiga belas) Bab dan 54 (lima puluh empat) Pasal di dalamnya yang mengatur berbagai kegiatan dunia siber serta menerapkan azas-azas Ekstra Teritorial, Azas Kepasatian Hukum, Azas Manfaat, Azas Kehati-hatian, Azas

Itikad Baik dan Azas Netral Teknologi.21 Penegakkan hukum dalam Undang-Undang

ini sebagai penyidiknya adalah institusi Polri dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dengan menggunakan hukum formil yang berlaku di Indonesia yaitu KUHAP.

Prinsip pengaturan dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik ini menggunakan sintesis hukum materiil dan lex informatica. Strategi

20

Bandingkan dengan negara Asean tetangga kita yakni Singapura (Electronic Transaction Act,

IPR Act, Computer Misuse Act, Broadcasting Authority Act, Publik Entertainment Act, Banking Act, Internet Code of Practice, Evidence Act, Unfair Contract Terms Act), Philipina (Electronic Commerce Act, Cyber Promotion Act, Anti Wiretapping Act)dan Malaysia (Digital Signature Act, Computer Crime Act, Communication and Multimedia Act, Telemedicine Act, Copyright Amendement Act, Personal Data Protection Legislation, Internal Security Act, Films Censorship Act) yang sudah

mempunyai Undang-Undang yang mengatur tentang dunia siber terlebih dahulu dibanding dengan negara kita.

21

Arief Muliawan, Penegakkan Hukum Tindak Pidana Informasi dan Transaksi Elektronik

(cybercrime), disampaikan dalam seminar sehari dalam rangka sosialisasi Undang-Undang Nomor 11


(34)

pembentukan pengaturan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah dengan menetapkan prinsip-prinsip pembentukan dan pengembangan teknologi informasi, yang isinya antara lain sebagai berikut:22

1. Mengikuti keunikan cyberspace;

2. Melibatkan unsur-unsur masyarakat, pemerintah, swasta dan profesional serta perguruan tinggi;

3. Mendorong peran sektor swasta;

4. Mendorong peran masyarakat, swasta, pemerintah, kelompok profesi dan

perguruan tinggi;

5. Peran dan tanggung jawab pemerintah terhadap kepentingan publik;

6. Aturan hukum yang bersifat preventif, direktif dan futuristik yang tidak

bersifat restriktif;

7. Mendorong harmonisasi dan uniformitas hukum regional dan internasional;

dan

8. Melakukan pengkajian terhadap peraturan yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan munculnya persoalan-persoalan hukum akibat perkembangan teknologi informasi.

Banyak kegiatan beracara untuk mengajukan pelaku kejahatan Cybercrime masih banyak menemui kendala dan memaksakan Undang-Undang yang lama untuk beracara. Jalan yang harus ditempuh oleh aparat Criminal Justice System adalah

22

Naskah Akademik RUU Teknologi Informasi, UNPAD-DITJEN POLTEL DEPHUB, 2000, hlm. 15.


(35)

mengakomodir Undang-Undang yang ada dengan melakukan perluasan makna yang tercantum dalam Pasal-Pasal perundangan yang ada yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum formil Pidana. Pasal 183 KUHAP menyatakan sebagai berikut :

”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Berdasarkan Pasal 183 KUHAP tersebut dapat diketahui bahwa peradilan di Indonesia menganut sistem pembuktian menurut Undang-Undang yang negatif (Negatief-wettelijk). Sedangkan alat bukti yang dimaksud adalah alat bukti sebagaimana di atur dalam Pasal 184 KUHAP yaitu :23

a. Keterangan Saksi

b. Keterangan Ahli

c. Surat

d. Petunjuk

e. Keterangan Terdakwa

Di antara kelima jenis alat bukti tersebut yang sering dipermasalahkan adalah keterangan ahli dan surat. Yang dimaksud di sini adalah ahli komputer, masalahnya adalah hingga sampai saat ini Indonesia masih belum ada organisasi yang mewadahi

23


(36)

profesi kekomputeran, sehingga persoalannya adalah apakah setiap orang yang mahir mengoperasikan komputer dapat dikategorikan sebagai ahli komputer? KUHAP sendiri tidak terdapat penjelasan mengenai apakah yang dimaksud dengan keterangan ahli dan siapakah yang dimaksud dengan ahli. Padahal keterangan saksi ahli (expert

testimony) merupakan salah satu ciri peradilan modern.24

Surat menurut pengertian para ahli adalah setiap benda yang memuat tanda-tanda baca yang dapat dimengerti yang bertujuan untuk mengungkapkan isi pikiran.25 Yang menjadi masalah berdasarkan pengertian tersebut adalah apakah tanda-tanda dalam data/program komputer dapat dianggap sebagai tulisan, dengan demikian apakah data/program komputer yang tersimpan dalam disket, floppy disk atau media penyimpanan lainnya (yang tidak dicetak) dapat dikategorikan sebagai surat sehingga dapat diajukan di sidang pengadilan sebagai alat bukti surat.

Pentingnya Indonesia memiliki aturan hukum yang mengatur tentang semua kegiatan dunia siber (cyberspace) dapat dilihat dari data perkembangan rata-rata harian transaksi RGTS dan kliring yang cenderung semakin meningkat tajam

sepanjang tahun 2008 ini, yakni hampir mencapai 175, 38 Triliun rupiah.26

Sedangkan perkembangan pembayaran dengan menggunakan kartu pembayaran (Kartu Kredit/Kartu Debit) hampir mencapai 10,371.12 Miliar rupiah dan transaksi

24

Muladi, dalam kuliahnya pada peserta Program Magister Ilmu Hukum, Undip, Semarang, tanggal 19 September 1996.

25

Andi Hamzah, Pengantar Hukum formil Pidana, (Jakarta : Ghlm.ia Indonesia, 1984), Hlm. 198.

26

Lihat data transaksi elektronik melalui perbankan di Indonesia s/d Mei 2008 Biro PSPN-DASP/BI.


(37)

melalui mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM) mencapai 17,146 Miliar rupiah.27 Hal ini menunjukkan begitu cepatnya perputaran uang yang terjadi melalui dunia siber (cyberspace). Masyarakat dengan kecanggihan teknologi internet sudah tidak melakukan transaksi pembayaran melalui uang tunai yang dirasakan cukup merepotkan baik dari segi keamanan maupun segi kepraktisan penggunaan.

Tidak ada bedanya dengan bidang lain, perkembangan internet juga telah mempengaruhi perkembangan ekonomi, dimana transaksi jual beli yang sebelumnya hanya dapat dilakukan dengan cara tatap muka, kini dapat mudah dilakukan melalui internet, salah satunya yakni bidang perbankan merupakan sasaran empuk dan sasaran yang banyak diserbu oleh para hacker karena di situ tempat uang dan jalur perekonomian yang bisa mendapatkan hasil apabila bisa membobolnya. Banyak kasus-kasus perbankan baik di luar negeri maupun di Indonesia yang mencuat akibat ulah penjahat cyber ini. Cepat mencuat dikarenakan bidang perbankan adalah tempat transaksi jalur perdagangan dan jalur perekonomian yang dipergunakan oleh masyarakat banyak. Begitu jaringan komputer sebuah bank tersebut di-hack maka akan lumpuh perputaran uang yang terjadi di bank tersebut atau bahkan dapat berpengaruh pada perekonomian sebuah negara pada saat itu.

Polri dalam menangani setiap gejolak yang terjadi di masyarakat selalu berkembang secara dinamis, baik dalam penanganan konflik sosial maupun penanganan kejahatan, namun dalam hal penanganan cybercrime Polri terkesan kurang dinamis. Keadaan ini sebenarnya bisa dihindari jika Polri berani mengambil

27


(38)

sikap mempergunakan hukum yang tidak tertulis yang hidup di cyberspace, misalnya menggunakan etika hacker.28

Tabel 1 : Data kejahatan dunia siber (cybercrime) yang ditangani oleh

Bareskrim Mabes Polri tahun 2005 – 2008.

JUMLAH KASUS NO TAHUN

LAPOR SELESAI KET

1 2005 4 2 Masih dalam

proses

2 2006 23 11 - 3 SP 3

- 2 (P.19) - 7 msh sidik

3 2007 8 2 - 1 ekstradisi

- 1 cabut - 4 msh sidik

4 2008 (JAN-JUN) 6 2 - 2 SP 3

- 2 Ekstradisi

Sumber : Data sekunder29

Kasus-kasus cybercrime yang ditangani oleh Polri bukan murni hasil kerjaan Polri karena hanya didasarkan pada laporan dari korban saja. Beberapa kasus penting yang pernah ditangani Polri dibidang cybercrime di antaranya adalah:30

1. Cyber Smuggling, berupa laporan pengaduan dari US Custom (pabean

Amerika Serikat) adanya tindak pidana penyelundupan via internet yang dilakukan oleh beberapa orang Indonesia, dimana oknum-oknum tersebut

28

The Mentor, A Novice’s Guide to Hacking, edisi 1989, versi elektronik dapat dijumpai di

http://www.geocities.com/dht_belgium/legion_of_Doom.txt Lihat juga Legion of the Undergound,

Hacking Guide, versi elektronik dapat dijumpai di http://www.geocities.com/dht_belgium/lou_guide.txt

29

Data Laporan Tahunan Unit IV Cybercrime Bareskrim Mabes Polri. Dari data tersebut bisa dilihat betapa sedikitnya kasus-kasus cybercrime yang dilaporkan ke Polri dan rata-rata penyelesaian kasusnya pun sulit, terbukti bahwa sampai dengan tahun 2008 ini Polri masih kesulitan mengungkap kasus yang dilaporkan (Kasus Lidik).

30

Didi Widayadi, Kebijakan dan Strategi Operasional Polri dalam kaitan hakikat ancaman

Cybercrime, makalah pada seminar Cyber Law, diselenggarakan oleh Yayasan Cipta Bangsa,


(39)

telah mendapatkan keuntungan dengan melakukan Web-hosting gambar-gambar porno di beberapa perusahaan Web-hosting yang ada di Amerika Serikat.

2. Pemalsuan Kartu Kredit berupa laporan pengaduan dari warga negara Jepang,

Perancis dan Amerika Serikat31 tentang tindak pemalsuan kartu kredit yang mereka miliki untuk keperluan transaksi di Internet.

3. Hacking situs, hacking beberapa situs termasuk situs Polri yang pelakunya

diidentifikasikan berada di Indonesia.

B. Rumusan Masalah

Untuk menemukan identifikasi masalah dalam penelitian ini maka perlu dipertanyakan apa yang menjadi masalah dalam penelitian yang akan dikaji lebih lanjut untuk menemukan suatu pemecahan masalah yang telah diidentifikasi tersebut.32 Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan kejahatan hacking terhadap bank di Indonesia?

31

Lihat beritanya di Suara Merdeka dengan judul Reserse Polda Jateng Ungkap Kejahatan

Internasional Internet, 17 Nopember 2000.

32

Ronny Kountur, Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis , Jakarta, PPM, 2003, hlm. 35 bahwa masalah penelitian merupakan suatu pertanyaan yang mempersoalkan keberadaan suatu variabel atau mempersoalkan hubungan antara variabel pada suatu penomena. Variabel merupakan suatu arti yang dapat membedakan antara sesuatu dengan yang lainnya. Untuk membedakan antara manusia dalam wujud pria dan wanita dengan manusia dalam wujud yang lulus, SD, SMU atau Sarjana diberikan suatu arti pada wujud pertama di atas sebagai “ jenis kelamin ” ( variabel pertama ) dan kedua sebagai tingkat pendidikan (variabel kedua). Jenis kelamin dan tingkat pendidikan adalah dua variabel yang berbeda.


(40)

2. Bagaimana kendala Polri dalam menanggulangi kejahatan hacking terhadap bank?

3. Bagaimana upaya Polri dalam menanggulangi kejahatan hacking terhadap

bank?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalah yang telah disampaikan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui sampai sejauh mana kesiapan hukum di Indonesia dalam menanggulangi kejahatan hacking terhadap bank.

2. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi Polri dalam penanggulangan kejahatan hacking terhadap bank.

3. Untuk mengetahui upaya-upaya yang dilakukan Polri dalam menanggulangi kejahatan hacking terhadap bank.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian yang berjudul Peran Polri dalam penanggulangan kejahatan

hacking terhadap bank di Indonesia diharapkan akan memberikan manfaat sebagai

berikut :

1. Manfaat teoritis, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut dan mempunyai arti penting terhadap kesiapan hukum di Indonesia dalam menanggulangi kejahatan hacking terhadap bank.


(41)

2. Sedangkan manfaat praktisnya diharapkan bahwa penelitian ini menjadi salah satu sumber informasi dan masukan bagi pimpinan kepolisian untuk mengambil kebijakan yang tepat dalam menanggulangi kejahatan hacking terhadap bank.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara, diketahui bahwa penelitian tentang peranan kepolisian dalam penanggulangan hacking terhadap bank belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama, walaupun ada beberapa topik penelitian tentang cyber crime namun jelas berbeda. Jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional objektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah.

F. Landasan Teori dan Konsepsional 1. Landasan Teori

Kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahwa negara didirikan demi kepentingan umum dan hukum adalah sarana utama untuk merealisasikan tujuan tersebut. Suatu masyarakat dianggap baik, bila kepentingan umum (bonum commune) diperhatikan, baik oleh para penguasa maupun oleh


(42)

para warga negara.33 Kalau dikatakan bahwa kepentingan umum menjadi bisa diwujudkan melalui hukum, diandaikan pula bahwa kepentingan-kepentingan lain sudah diperhatikan secukupnya oleh manusia pribadi, yakni kepentingan

individual.34 Namun hal ini berarti juga bahwa hukum yang menjamin

kepentingan umum tidak boleh merugikan kepentingan individual, tetapi harus melindunginya. Hukum yang memelihara kepentingan umum menyangkut juga semua sarana publik bagi berjalannya kehidupan manusia beradab. Pada prinsipnya kepentingan umum secara de fakto dilindungi oleh negara dan hukum.35

Pound menegaskan bahwa tugas utama hukum sebagai social engineering dapat dilihat dengan cara melakukan rumusan-rumusan dan

penggolongan-penggolongan tentang kepentingan-kepentingan masyarakat36 yang apabila

diadakan imbangan antara kepentingan tersebut akan menghasilkan kemajuan hukum. Pound juga mengadakan 3 (tiga) penggolongan utama mengenai kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh hukum, yaitu:

a. Public Interests; kepentingan-kepentingan umum yang utama yang terdiri atas kepentingan negara sebagai badan hukum dalam tugasnya untuk

33

Roscou Pound, Pengantar Filsafat Hukum, (Jakarta : Bhratara Karya Aksara, 1982), hlm. 27.

34

Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 84.

35

Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, (Jogyakarta:Kanisius,1982), hlm.287.

36

Pentingnya kekuatan-kekuatan kemasyarakatan yang mempengaruhi hukum dapat dilihat dengan jelas pada perkembangan satu gerakan hukum yang dipelopori oleh beberapa ahli hukum Amerika Serikat; para ahli hukum ini mempunyai latar belakang satu sistem hukum, pendidikan dan tradisi yang berlainan sama sekali dari pada sistem hukum, pendidikan dan tradisi ahli-ahli hukum Jerman. Lihat Friedman, Teori dan Filsafat Hukum (Jakarta : Rajawali Press, 1990), hlm. 141.


(43)

memelihara kepribadian dan hakekat negara (....as juristic person in the

maintenance of its personality and substance). (the interests of the state as a guardian of social interests). Kepentingan negara sebagai pengawas dari

kepentingan sosial.

b. Individual Interests; mengenai kepentingan orang per-orangan yang menurut Pound dibagi 3 (tiga) macam kepentingan, yaitu:

1) Kepentingan Kepribadian (interests of personality);

2) Kepentingan-kepentingan dalam hubungan di rumah tangga (interests

in domestic Relations);37

3) Kepentingan mengenai harta benda (interests of substance).38

c. Interests of Personality; mencakup perlindungan integritas badaniah (physical integrity), kehendak bebas (freedom of will), reputasi (reputation), keadaan pribadi perorangan (privacy) kebebasan untuk memilih agama dan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat (freedom of

believe and opinion).

37

Kepentingan rumah tangga mencakup lembaga perkawinan (legal protection of marriage) perlindungan tuntutan biaya penghidupan (maintenance claim) dan hubungan hukum antara orang tua dan anak (legal elation between parents and children); mencakup orang tua untuk mengadakan hukuman badaniah (parental right of corporal punishment), pengawasan oleh orang tua terhadap penghasilan anak mereka dan kekuasaan-kekuasaan pengadilan kanak-kanak untuk mengawasi hubungan-hubungan hukum antara orang tua dan anak-anak, lihat ibid, hlm. 142.

38

Interests of Substance mencakup perlindungan hak-hak milik, kebebasan untuk membuat surat

wasiat dan untuk menunjuk siapa yang menjadi ahli waris (freedom of succession in testamentary

disposistions), kebebasan untuk berusaha dan kebebasan untuk mengadakan perjanjian (freedom of industry and contract), dan harapan-harapan yang dilindungi oleh hukum tentang

keuntungan-keuntungan yang dijanjikan (the consequent legal expectation of promised advantages). Termasuk pula hak untuk berkumpul (right of association), lihat ibid, hlm. 143


(44)

Indonesia telah memiliki Undang-Undang yang khusus mengatur tentang teknologi informasi yang semakin berkembang yang mengubah baik perilaku masyarakat maupun peradaban manusia secara global, hubungan dunia menjadi tanpa batas (borderless). Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik diharapkan mampu untuk menghadang kejahatan dibidang teknologi informasi saat ini.

Istilah hukum siber (cyber law) lahir mengingat kegiatan yang dilakukan melalui jaringan sistem komputer dan sistem komunikasi baik dalam lingkup lokal maupun global (Internet) dengan memanfaatkan teknologi informasi berbasis sistem komputer yang merupakan sistem elektronik yang dapat dilihat secara virtual (Cyberspace). Cyberspace merupakan tempat orang-orang yang menggunakan internet berada ketika mengarungi dunia informasi global interaktif yang bernama internet.39 Cyberspace menampilkan realitas, tetapi bukan realitas yang nyata sebagaimana bisa di lihat, melainkan realitas virtual (Virtual reality), dunia maya, dunia yang tanpa batas sehingga penghuni-penghuninya bisa berhubungan dengan siapa saja dan dimana saja sebagaimana dikatakan oleh Bruce Sterling lebih lanjut:

Although it is no exactly ”real”, ”cyberspace” is a genuine place. Things happen there that have very genuine consequences. This “place” is not “real”

39

Armehdi Mahzar, dalam kata pengantar buku Jeff Zaleski, Spiritualitas Cyberspace, bagaimana teknologi komputer mempengaruhi kehidupan keberagaman manusia, (Bandung : Misan, 1999), Hlm. 9.


(45)

but it is serious, it is earnest. Tens of thousands of people have dedicated their lives to it, the public service of public rommunication by bire and electronic.40

Cyberspace juga mempunyai sisi gelap yang perlu menjadi perhatian

semua orang, sebagaimana yang dikatakan oleh Neill Barrett :

The internet, however, also has a darke side – in particular, it is widely considered to provide access almost exclusively to pornography. A recent, well-publicized survey suggeste that over 80 % of the picture on the internet were pornographic. While the survey result itself was found to be entirely erroneous, the observation that the internet can and does contain illict, objectionable or downright support fraudulent traders, terrorist information exchanges, pedophiles, software pirates, computer hackers and many more.41

Kecemasan terhadap Cybercrime ini telah menjadi perhatian dunia, terbukti dengan dijadikannya masalah Cybercrime sebagai salah satu topik bahasan pada Kongres PBB mengenai The Prevention of Crime and the

Treatment of Offender ke 8 Tahun 1990 di Havana, Kuba. Kemudian pada

Kongres ke 10 tahun 2000 di Wina membagi 2 (dua) subkategori cybercrime yaitu:42

a. Cybercrime in a narrow sense (computer crime); any illegal behaviour

directed by means of electronic operations that targets the security of computer systems and the data processed by them.

b. Cybercrime in a broader sense (computer related crime); any illegal

behaviour committed by means of, or in relation to, a computer system or network, including such crimes as illegal possession, offering or distributing information by means of a computer system or network.

40

Bruce Sterling, The Hacker Crackdown, law and disorder on the electonic frontier, Massmarket paperback, 1990, electronic version available at http://www.lysator.liu.se/etexts/hacker/

41

Neill Barrett, Digital Crime, policing the cybernation, (London:Kogan Page Ltd.1997),hlm. 21.

42


(46)

Kategori pertama dari hasil kongres PBB ini dapat dimasukkan dalam klasifikasi computer crime atau cybercrime dalam pengertian yang sempit (meliputi against a computer system or network), sedangkan kategori yang kedua diklasifikasikan sebagai computer crime atau cybercrime dalam arti yang luas (meliputi by means of a computer system or network dan in a computer system or

network).

Pelaku Cybercrime sebenarnya dapat diklasifikasikan sebagai White

Collar Crime dengan menggunakan kriteria yang dipakai oleh JoAnn L.Miller, ia

membagi kategori White Collar Crime menjadi 4 (empat), yaitu :43

a. Organizational Occupational Crime, kategori pertama ini dapat disebut

sebagai kejahatan korporasi (corporate crime). Para pelakunya adalah para eksekutif yang dalam hal ini melakukan perbuatan illegal atau merugikan orang lain demi kepentingan atau keuntungan korporasi.

b. Government Occupational Crime, White Collar Crime jenis ini pelakunya

adalah para pejabat atau birokrat yang melakukan kejahatan untuk kepentingan dan atas persetujuan atau perintah negara atau pemerintah. c. Professional Occupational Crime, jenis ketiga dari White Collar Crime ini

untuk beberapa hal dapat disebut sebagai malpraktek. Kalangan dokter, psikiater, ahli hukum, pialang, akuntan, penilai dan berbagai profesi lainnya yang memiliki kode etik khusus adalah mereka yang melakukan kesalahan profesional disengaja dapat dikategorikan sebagai profesional occupational crimer.

d. Individual Occupational Crime, jenis keempat ini ditujukan kepada

perilaku menyimpang yang dilakukan oleh para pengusaha,pemilik modal atau orang-orang yang independen lainnya, walaupun mungkin tidak tinggi sosial ekonominya, tetapi berjiwa petualang. Dalam bidang kerjanya, kalangan ini kemudian memilih jalan menyimpang yang melanggar hukum atau merugikan orang lain. Sebagai contoh, pedagang yang menipu pembeli atau warga negara yang melakukan tax fraud.

43

JoAnn L. Miller, White Collar Crime, jurnal ilmu-ilmu sosial 5 (kejahatan kerah putih), (Jakarta : PAU IS UI dan PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994), hlm. 31.


(47)

2. Konsepsional

Berdasarkan judul yang merupakan syarat dalam penelitian dan agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam materi penulisan tesis ini, maka judul harus dijelaskan dan diartikan. Judul yang penulis kemukakan adalah : Peranan Kepolisian dalam penanggulangan kejahatan hacking terhadap bank. Varibel dari judul tesis ini penulis uraikan sebagai berikut :

a. Peranan berasal dari kata dasar peran yang berarti, mengambil bagian dari sesuatu kegiatan. Dengan ditambahi akhiran an maka akan menjadi tindakan untuk mengambil bagian atau turut aktif dari suatu kegiatan yang ada sesuai dengan keahliannya.44

b. Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga kepolisian sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan, fungsi kepolisian dimaksud sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakkan

hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.45

c. Penanggulangan adalah upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur penal yang lebih menitik beratkan pada sifat represif (penindakan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi,

44

JS Badudu, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1994), hlm.1037.

45

Pasal 1 angka (1) dan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.


(48)

sedangkan jalur non penal lebih menitik beratkan sifat preventif (pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan terjadi.46

d. Kejahatan adalah perbuatan jahat (Strafrechtelijk misdaadsbegrip) sebagaimana terwujud in abstracto dalam peraturan-peraturan pidana. Perbuatan yang dapat dipidana dibagi menjadi :47

1) Perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang dan; 2) Orang yang melanggar larangan itu.

e. Hacking adalah suatu perbuatan penyambungan dengan cara menambah terminal komputer baru pada sistem jaringan komuter tanpa izin/secara melawan hukum, dari pemilik sah jaringan komputer tersebut.48

f. Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.49

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, artinya bahwa penelitian ini cenderung menggunakan data sekunder yang terdiri atas bahan

46

Barda Nawawi Arief, Upaya Non Penal dalam Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, makalah disampaikan pada seminar Kriminologi VI, Semarang, tanggal 16-18 September 1991, hlm. 2.

47

Sudarto, Kapita Selecta Hukum Pidana, (Bandung : Alumni, 1981), hlm. 38.

48

Ibid

49


(49)

hukum primer dan bahan hukum sekunder. Sifat penelitian ini adalah deskriptif

analitis50 yaitu penelitian ini selain untuk menggambarkan fakta-fakta hukum

mengenai pertanggung jawaban pidana terhadap hacking juga bertujuan untuk menjelaskan dengan melakukan analisis terhadap cara-cara dan/atau mekanisme yang dilakukan oleh criminal justice system dihubungkan dengan ketentuan yuridis yang terdapat dalam peraturan Perundang-Undangan yang berkaitan dengan pertanggung jawaban pelaku kejahatan.

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah bersifat yuridis normatif yaitu data yang dikumpulkan baik data primer maupun data sekunder ditelaah secara yuridis dengan tidak menghilangkan unsur non yuridis lainnya. Pendekatan ini mengarah kepada peraturan Perundang-Undangan sebagai kajian utama dan perilaku hukum dari pelaku kejahatan yang menyalahgunakan tehnologi dan informasi sebagai pendukung kongkrit dalam memperkuat analisis yuridis tersebut.

2. Sumber Data

Sumber data ini berasal dari data sekunder yang terdiri atas bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder, yaitu :

a. Bahan hukum primer

50

Soerjono Soekanto, Sri Maudji, Cetakan IV, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 12.


(50)

1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah di ubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.

2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.

4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik.

5) Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang perubahan atas

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) (Money Laundering).

6) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia.

7) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin

Simpanan.

8) Perpu Nomor 3 Tahun 2008 tentang perubahan atas Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. 9) Peraturan-Peraturan Bank Indonesia.

10)Peraturan-Peraturan Kapolri. 11)Juklak-Juknis Polri.

b. Bahan hukum sekunder

Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.


(51)

Bahkan hukum sekunder terutama adalah buku teks karena buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan klasik para sarjana yang mempunyai kualifikasi tinggi.51

c. Bahan hukum tersier

Berupa bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah.52

Jadi penelitian ini menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tersier sebagai sumber hukum penelitian.

3. Teknik Pengumpulan Data

Alat penelitian yang digunakan adalah studi dokumen yang dilakukan terhadap peran Polri dalam penanggulangan kejahatan hacking terhadap bank di Indonesia, artinya data yang diperoleh melalui penelusuran kepustakaan berupa bahan hukum ditabulasi yang kemudian disistematisasikan dengan memilih perangkat-perangkat hukum yang relevan dengan objek penelitian dan wawancara yang dilakukan kepada informan, yaitu :

a. Penyidik Pembantu Sat II/Ekonomi Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara.

51

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta : Raja Grafindo Persada,2005), hlm. 141.

52

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1990), hlm.14.


(52)

b. Penyidik Pembantu Unit V IT/Cybercrime Direktorat II Ekonomi Khusus Bareskrim Mabes Polri.

c. Direktur Utama Bank Sumut.

Keseluruhan data ini kemudian digunakan untuk mendapatkan landasan teoritis berupa bahan hukum materiil, pendapat-pendapat atau tulisan para ahli atau pihak lain berupa informasi baik dalam bentuk formal maupun naskah resmi.

4. Analisis Data

Analisis data merupakan proses penelaahan terhadap peran Polri dalam penanggulangan kejahatan hacking. Pengolahan, analisis dan konstruksi bahan hukum penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaedah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan Pasal-Pasal ke dalam kategori-katergori atas dasar

pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum tersebut.53 Penelitian hukum normatif

semacam ini tidak hanya berguna bagi penegak hukum, tetapi juga bagi kalangan yang berkecimpung dalam bidang pendidikan dan pengetahuan. Bahan hukum yang diperoleh melalui studi kepustakaan, peraturan Perundang-Undangan, putusan-putusan pengadilan diolah dan dianalisis berdasarkan metode kualitatif yaitu dengan melakukan:

53

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta : Raja Grafindo Persada,2006), hlm.255.


(53)

a. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan hukum (konseptualisasi), yang dilakukan dengan cara memberikan interpretasi terhadap bahan hukum tersebut.

b. Mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis atau berkaitan. Kategori-kategori dalam penelitian ini adalah terhadap peran Polri dalam penanggulangan kejahatan hacking.

c. Menemukan hubungan di antara berbagai kategori atau peraturan kemudian diolah.

d. Menjelaskan dan menguraikan hubungan di antara berbagai kategori atau peraturan Perundang-Undangan, kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif, sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan dan kesimpulan dari permasalahan.


(1)

Pardede, Marulak, Likuidasi Bank danPerlindungan Nasabah, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1998.

Pound, Roscou, Pengantar Filsafat Hukum, Jakarta : Bhratara Karya Aksara, 1982. Ramli, Ahmad M, Pager Gunung dan Indra Apriadi menuju kepastian hukum di

bidang Informasi dan Transaksi Elektronik, Jakarta : Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, 2007.

Randi, Jusuf, Edi Noersasongko, Gayatri Kusumawardani, Proteksi terhadap kriminalitas dalam bidang komputer, Jakarta : Lembaga Pendidikan Komputer Indonesia Amerika (LPKIA), 1985.

Rasjidi, Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1996. Romli Atmasasmita, Menata Kembali Masa Depan Pembangunan Hukum Nasional,

Jakarta : PT.Justika Siar Publika, 2003.

Subekti, Ramlan dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta : Pradnya Paramita, 1996.

Sudarto, Kapita Selecta Hukum Pidana, Bandung : Alumni, 1981. Suherman, Yosia, Ada Apa dengan CyberCrime,Jakarta, 2004.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1990.

---, Cetakan IV, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006.

Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Jogyakarta : Kanisius, 1982. Widjaja, Gunawan, Resiko Hukum sebagai Direksi, Komisaris dan Pemilik PT,


(2)

Wisnubroto, Aloysius, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer, Yogyakarta : Penerbitan Universitas Atma Jaya Jogyakarta, 1999.

Widayadi, Didi, Kebijakan dan Strategi Operasional Polri dalam kaitan hakikat ancaman Cybercrime, Bandung : Yayasan Cipta Bangsa, 2000.

2. Koran/majalah.

Meganet, Mengapa harus melalui Provider?, Jawa Pos, 24 September 1996.

Pikiran Rakyat, 2 Nopember 2002, dapat diakses di http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1102/02/0304.html.

Republika, 22 Agustus 1999.

Rudi Hendraman, Computer Fraud, majalah Pro Justitia UNPAR, Tahun XIII No. 2 April 1995.

Suara Merdeka dengan judul Reserse Polda Jateng Ungkap Kejahatan Internasional Internet, 17 Nopember 2000.

Tempo, Nomor 30 tahun XVII 26 September 1987. 3. Seminar.

Arief, Barda Nawawi, Upaya Non Penal dalam Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, makalah disampaikan pada seminar Kriminologi VI, Semarang, tanggal 16-18 September 1991.

Budhijanto, Danrivanto, Aspek-aspek hukum dalam Perniagaan secara Elektronik (e-commerce), makalah pada seminar Aspek Hukum Transaksi Perdagangan via Internet di Indonesia, FH UNPAD, Bandung 22 Juli 2000.

Irsan, Koesparmono, Masalah Penyidikan dan Pengumpulan Barang Bukti dalam Kejahatan Komputer, makalah disampaikan dalam lokakarya Penanggulangan Kejahatan Komputer, Jakarta, 2-3 Maret 1990.

Latifulhayat, Atip, Cyberlaw dan Urgensinya bagi Indonesia, makalah pada seminar tentang cyber law, diselenggarakan oleh Yayasan Cipta Bangsa, Bandung, 29 Juli 2000.


(3)

Muliawan, Arief, Penegakkan Hukum Tindak Pidana Informasi dan Transaksi Elektronik (cybercrime), disampaikan dalam seminar sehari dalam rangka sosialisasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 di Medan.

---, Kebijakan Kriminal, makalah disampaikan pada seminar kriminologi VI, Semarang, 16-18 September 1991.

Nasution, Bismar, Pertanggungjawaban Direksi Dalam Pengelolaan Perseroan, makalah disampaikan pada Seminar Nasional sehari dalam rangka menciptakan Good Corporate Governance, diselenggarakan oleh Inti Sarana Informatika, Hotel Borobudur Jakarta, 8 Maret 2007.

Rajagukguk, Erman, Pencucian Uang: Suatu Studi Perbandingan Hukum, makalah disampaikan pada lokakarya RUU Anti-Pencucian Uang (Money Laundering), diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia dengan University of South Carolina dan Bank Indonesia, Surabaya, tanggal 21 Juli 2001.

Randy, Jusuf, kejahatan komputer, prasaran, disampaikan dalam lokakarya Bab-bab kodifikasi Hukum Pidana, diselenggarakan oleh BPHN Dep. Keh. RI, Jakarta, 18-19 Januari 1998.

Sastraandjaja, J. Sudama, kejahatan komputer: suatu masalah hukum kontroversial yang perlu diperhatikan/dipecahkan dalam era pembangunan, Prasaran dalam lokakarya bab-bab kodifikasi hukum pidana, diselenggarakan oleh BPHN Dep. Keh. RI, Jakarta, 18-19 Januari 1998.

Soemitro, Ronny Hanitijo, Hukum dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Dalam Masyarakat, pidato pengukuhan pada upacara peresmian penerimaan jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum UNDIP Semarang.

Widayadi, Didi, Kebijakan dan Strategi Operasional Polri dalam kaitan hakikat ancaman Cybercrime, makalah pada seminar Cyber Law, diselenggarakan oleh Yayasan Cipta Bangsa, Bandung, 29 Juli 2000.

Yunus Husein, Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia, makalah disampaikan dalam ceramah Program Pascasarjana (S2) bidang Kajian Utama Hukum Pidana Universitas Pandjajaran, Jakarta, 8 Mei 2004.


(4)

4. Internet.

Raymond Eric S.. The New Hacker’s Dictionary, MIT Press, versi elektronik dapat dijumpai di http://www-mitpress.mit.edu/seb/book-home/0262680920.thml Sterling, Bruce, The Hacker Crackdown, law and disorder on the electonic frontier,

Massmarket paperback, 1990, electronic version available at http://www.lysator.liu.se/etexts/hacker/

Legion of the Undergound, Hacking Guide, versi elektronik dapat dijumpai di http://www.geocities.com/dht_belgium/lou_guide.txt

Shailen S. Mistry, Hacker on the Net, versi elektroniknya dapat dijumpai di http://lis.gseis.ucla.edu/impact/196/projects/Smistry/index.html

The Mentor, A Novice’s Guide to Hacking, edisi 1989, versi elektronik dapat dijumpai di http://www.geocities.com/dht_belgium/legion_of_Doom.txt

5. Undang-Undang.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum formil Pidana. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Undang-Undang Perseroan Terbatas. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Ekonomi.


(5)

6. Ensiklopedia.

A.D Biderman, L.A. Johnson, J. McIntyre and A.W. Weit, report on a pilot study in the District of Columbia on Victimazation and Attitudes Towards Law Enforcement, Departement of Justice (Washington DC : U.S Government Printing office, 1967)

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Perkembangan Pembangunan Hukum Nasional tentang Hukum Teknologi dan Informasi, BPHN Departemen Kehakiman RI 1995/1996.

Data Laporan Tahunan Bareskrim Mabes Polri tahun 2002.

Dokumen A/CONF.187/10 Tenth United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, Crimes Related to Computer Networks.

Kusumawardhani, Proteksi terhadap Kriminalitas dalam Bidang Komputer, LPKIA, Jakarta.

H. Daud Silalahi, Rencana Undang-Undang Alih Teknologi: Perbandingan Perspektif, Prisma, No 4 Th. XVI, April 1987.

H. Kadish Sanford ed, Encyclopedia of Crime and Justice, Volume 1, The Free Press A Division of Mac millan Inc, New York, 1983.

James Levin, et.al.; Criminal Justice A Public Policy Approach, Harcourt Brace Jovanovich, New York, 1980.

United Nation, Eighth UN Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, Report, 1991.

Maurice Mountain, The Continuing Complex of Technology transfer, dalam Gary K. Bertsch dan John R. Mc Intrye (ed), National Security and Technology Transfer: The Strategic Dimensious of East-West trade, (Colorado : Westview Press Inc, 1983).

Naskah Akademik RUU Teknologi Informasi, UNPAD-DITJEN POLTEL DEPHUB, 2000.

Ronny Kountur, Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis , Jakarta, PPM, 2003.


(6)

Surat Keputusan Kapolri No.Pol:SKEP/737/X/2005, tanggal 13 Oktober 2005, tentang Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.

The Hon. Adrian Roden Q.C, Computer Crime and The Law, dalam Criminal Law Journal, t.p, tk, 1991