Pengertian Tindak Pidana dan Pidana Kisas

BAB II DESKRIPSI PIDANA KISAS DAN

HAL-HAL YANG BERKAITAN

A. Pengertian Tindak Pidana dan Pidana Kisas

Sebelum membahas kisas lebih jauh ada baiknya mengacu terlebih dahulu kepada pengertian tindak pidana jinayah. Dalam hukum pidana positif dilihat dari garis-garis besarnya, dengan berpijak pada kodifikasi sebagai sumber utama atas sumber pokok hukum pidana, maka hukum pidana itu adalah bagian hukum publik yang memuat berbagai ketentuan-ketentuan tentang: 1. Aturan umum hukum pidana yang dikaitkan dan berhubungan dengan larangan melakukan perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai dengan ancaman sanksi berupa pidana straf bagi yang melanggar larangan itu. 2. Syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi si pelanggar untuk dapat dijatuhkannya sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang dilanggarnya. 3. Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan negara melalui alat- alat perlengkapannya, misalnya polisi, jaksa, hakim terhadap yang disangka dan didakwa sebagai pelanggar hukum pidana dalam rangka usaha negara menentukan, menjatuhkan dan melaksanakan sanksi pidana terhadap dirinya, serta tindakan dan upaya-upaya yang boleh dan harus dilakukan oleh tersangka atau terdakwa pelanggar hukum tersebut dalam usaha melindungi dan mempertahankan hak-haknya dari tindakan negara dalam upaya menegakkan hukum pidana tersebut. Pidana berasal dari kata straf Belanda yang adakalanya disebut dengan istilah hukuman. Walaupun istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman, karena hukum merupakan sudah lazim terjemahan dari recht. Pidana lebih tepat didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan, diberikan oleh negara pada seorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum sanksi baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana. Secara khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut tindak pidana stafbaar feit. 7 Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “stafbaar feit”. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda dengan demikian juga WvS Hindia Belanda KUHP, tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan stafbaar feit itu. Karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu. Sayangnya sampai kini belum ada keseragaman pendapat. Istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit adalah Tindak Pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang-undangan pidana kita. Peristiwa Pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin “delictum”juga digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit. Pelanggaran Pidana. Perbuatan yang boleh dihukum. Perbuatan yang dapat dihukum Perbuatan Pidana. 8 Strafbaar feit terdiri dari tiga kata, yakni straf, baar dan feit 9 . Dari 7 istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari strafbaar feit itu, ternyata straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh. 7 Chairur Arrasyid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2004, h. 17. 8 Ibid ., h.18 9 Ibid ., h.15 Sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. Secara literlijk kata “straf” artinya pidana, “baar” artinya dapat atau boleh dan feit adalah perbuatan 10 . Dalam kaitannya dengan istilah strafbaar feit secara utuh, ternyata straf diterjemahkan juga dengan kata hukum, pada hal sudah lazim hukum itu adalah berupa terjemahan dari kata recht, seolah-olah arti straf sama dengan recht, yang sebenarnya tidak demikian halnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tindak berarti langkah atau perbuatan, pidana adalah hukuman kejahatan terhadap pembunuhan, perampokan, korupsi, kriminal. Dan sebagainya. Sedangkan tindak pidana adalah perbuatan pidana atau perbuatan kejahatan. 11 Fiqih Jinayah adalah ilmu tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang jarimah, dan hukumannya ‘uqubah diambil dari dalil-dalil yang terperinci 12 . Definisi tersebut merupakan gabungan antara pengertian fiqih dan jinayah. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa objek pembahasan fiqih jinayah itu secara garis besar ada dua, yaitu jarimah atau tindak pidana dan ‘uqubah atau hukumannya 13 . Pengertian jarimah sebagaimana dikemukakan oleh Imam al-Mawadi sebagai berikut: “Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’ yang diancam oleh Allah dengan had atau ta’zir” 14 . 10 Ibid ., 11 Departemen Pendidikan Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 2005, h.871. 12 A. Djazuli, Fiqh Jinayah, Jakarta, Grafindo Persada, 2000, h. 1. 13 Ibid., h.1 14 Abu al-Hasan al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyah, Mesir, Musthafa al-Baby al-Halaby, 1975, h. 29. Dalam istilah lain Jarimah disebut juga dengan jinayah, menurut Abdul Qadir Audah pengertian jinayah adalah sebagai berikut: “Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta atau lainnya”. 15 Pada dasarnya, pengertian dari istilah jinayah mengacu kepada hasil perbuatan seseorang. Biasanya, pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang dilarang. Di kalangan fuqaha perkataan jinayah berarti perbuatan-perbuatan yang terlarang menurut syara . Meskipun demikian, pada umumnya fuqaha menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan-perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa, seperti pemukulan, pembunuhan, dan sebagainya. Selain itu, terdapat fuqaha yang membatasi istilah jinayah kepada perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan kisas, tidak termasuk perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman tazir. Istilah lain yang sepadan dengan istilah jinayah adalah jarimah, yaitu larangan-larangan syara yang diancam Allah dengan hukuman had atau tazir 16 . Dari berbagai batasan mengenai istilah jinayah di atas, maka pengertian jinayah dapat dibagi ke dalam dua jenis pengertian, yaitu: pengertian luas dan pengertian sempit. Klasifikasi pengertian ini dilihat dari sanksi yang dapat dikenakan terhadap jinayah . 1. Dalam pengertian luas, jinayah merupakan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara dan dapat mengakibatkan hukuman had atau tazir. 2. Dalam pengertian sempit, jinayah merupakan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara dan dapat menimbulkan hukuman had, bukan tazir. 15 Abdul Qadir Audah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islamiy, Juz I Beirut, Daarul Kitab al-Araby, h. 67. 16 Djazuli, Fiqih Jinayah, h. 1 Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, pengertian jinayah mengacu kepada perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara dan diancam dengan hukuman had atau tazir . Dalam kaitan ini, larangan tersebut dapat berupa larangan untuk tidak melakukan sesuatu atau larangan untuk melakukan sesuatu. Pengertian di atas mengisyaratkan bahwa larangan-larangan atas perbuatan- perbuatan yang termasuk kategori jinayah berasal dari ketentuan-ketentuan nash-nash syara . Artinya, perbuatan-perbuatan manusia dapat dikategorikan sebagai jinayah jika perbuatan-perbuatan tersebut diancam hukuman. Karena larangan-larangan tersebut berasal dari syara, maka larangan-larangan tadi hanya ditujukan kepada orang-orang yang berakal sehat. Hanya orang yang berakal sehat saja yang dapat menerima panggilan khithab dan, dari sebab itu, mampu memahami pembebanan taklif dari syara. Perbuatan-perbuatan merugikan yang dilakukan oleh orang gila atau anak kecil tidak dapat dikategorikan sebagai jinayah, karena mereka tidak dapat menerima khithab atau memahami taklif 17 . Dari penjelasan tersebut, dapat ditarik unsur atau rukun umum dari jinayah. Unsur atau rukun jinayah tersebut adalah : a. Adanya nash, yang melarang perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai ancaman hukuman atas perbuatan-perbuatan di atas. Unsur ini dikenal dengan istilah unsur formal al-Rukn al-Syari. b. Adanya unsur perbuatan yang membentuk jinayah, baik berupa melakukan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diharuskan. Unsur ini dikenal dengan istilah unsur material al-Rukn al-Madi. 17 Ibid., h. 2 c. Pelaku kejahatan adalah orang yang dapat menerima khithab atau dapat memahami taklif, artinya pelaku kejahatan tadi adalah mukallaf, sehingga mereka dapat dituntut atas kejahatan yang mereka lakukan. Unsur ini dikenal dengan istilah unsur moral al-Rukn al-Adabi 18 . Sesuatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai jinayah jika perbuatan tersebut mempunyai unsur-unsur atau rukun-rukun tadi. Tanpa ketiga kategori tersebut, suatu perbuatan tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan jinayah. Disamping unsur umum ini, ada unsur khusus yang hanya berlaku di dalam satu jarimah dan tidak sama dengan unsur khusus jarimah lain, misalnya mengambil harta orang lain dengan cara sembunyi-sembunyi adalah unsur khusus untuk pencurian. Hal ini berbeda dengan unsur khusus di dalam perampokan yaitu mengambil harta orang lain dengan terang-terangan. Dari berbagai pengertian di atas, konsep jinayah berkaitan erat dengan masalah larangan karena setiap perbuatan yang terangkum dalam konsep jinayah merupakan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara. Larangan ini timbul karena perbuatan- perbuatan itu mengancam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, dengan adanya larangan, maka keberadaan dan kelangsungan hidup bermasyarakat dapat dipertahankan dan dipelihara. Sesuai dengan ketentuan fiqh, larangan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu tidak hanya cukup dengan niat baik, tetapi harus disertai dengan sanksi hukuman. Hukuman tersebut diancam kepada seorang pelaku kejahatan, dan pada gilirannya pelaksanaan hukuman dapat dijadikan contoh oleh masyarakat untuk tidak melakukan kejahatan. 18 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1993, h.33. Hukuman merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa secara intrinsik hukuman itu sendiri tidak merupakan suatu kebaikan; sekurang-kurangnya bagi pelaku kejahatan itu sendiri. Dalam pada itu, dari sisi lain, perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai jinayah pun menguntungkan. Paling tidak, jinayah dapat menguntungkan pelaku kejahatan. Akan tetapi, keuntungan seperti itu tidak menjadi pertimbangan syara. Alasannya, perbuatan yang tidak termasuk jinayah hanya memberi keuntungan bagi kepentingan-kepentingan yang bersifat individual, tetapi menimbulkan kerugian- kerugian bagi kepentingan sosial. Sebagaimana peristiwa sosial lainnya, jinayah mempunyai dua sisi menguntungkan dan merugikan. Tidak ada perbuatan yang hanya menguntungkan atau merugikan semata. Setiap perbuatan memiliki keuntungan dan kerugian tertentu. Oleh karena itu, dasar larangan dari perbuatan-perbuatan yang dikategorikan sebagai jinayah adalah karena perbuatan-perbuatan itu merugikan masyarakat. Dengan kata lain, penetapan perbuatan-perbuatan jinayah dan sanksi-sanksinya dimaksudkan untuk mempertahankan dan memelihara keberadaan serta kelangsungan hidup bermasyarakat. Memang ada manusia yang tidak mau melakukan larangan dan tidak mau meninggalkan kewajiban bukan karena adanya sanksi, tetapi semata-mata karena ketinggian moralnya, mereka orang-orang yang akhlaknya mulia. Akan tetapi, kenyataan empirik menunjukkan di mana pun di dunia ini selalu ada orang-orang yang hanya taat karena adanya sanksi, oleh karena itu jinayah tanpa sanksi tidaklah realistik. Setelah memahami apa itu jinayah, pembahasan berikutnya adalah tentang pengertian kisas. Perkataan kisas berasal dari kata , yang artinya mengikuti jejak ﻥ. Dalam al-Qur’an, Allah menyebutkan: ﺕ + ,ﻥ -. ﻡ 01 2 345 6 78 9 “Musa berkata: Itulah tempat yang kita cari lalu keduanya kembali mengikuti jejak mereka semula ” al-Kahfi: 64. Jadi kisas itu berarti memberlakukan seseorang sebagaimana orang itu memperlakukan orang lain. Atau dengan perkataan lain, mengikuti jejak si fulan apabila si fulan diperlakukan sebagaimana ia memperlakukan orang lain. Oleh karena itu, maka kisas adalah mengikuti darah yang tertumpah dengan pembalasan penumpahan darah :; ﺏ = ﻥ. Allah menyatakannya dalam surat al-Qashash ayat 11: ?- - A B-? C --D Eﺏ F - + EGH - EI- J ? K 6 LL “Dan berkatalah ibu Musa kepada saudara perempuan Musa: Ikutilah dia, maka kelihatanlah olehnya Musa dari jauh sedang mereka tidak mengetahuinya ”. al- Qashash : 11 Dalam kamus besar bahasa Indonesia kisas berarti pembalasan dalam hukum Islam seperti hukuman bagi orang yang membunuh dibalas dengan membunuh lagi lalu mengkisas artinya adalah menjalankan kisas atau menuntut balas 19 . Dalam kamus istilah fiqih, kisas adalah hukuman yang dijatuhkan sebagai pembalasan serupa dengan perbuatan atau pembunuhan atau melukai atau merusak anggota badan dan menghilangkan manfaatnya, berdasarkan ketentuan yang diatur syara’ 20 . Dari definisi ini dapat disimpulkan bahwa kisas ada dua macam: a Kisas jiwa, yaitu hukum bunuh bagi tindak pidana pembunuhan. 19 Anton M Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1989, h.42. 20 M. Abdul Mujieb, Mabruri Thalhah, Syafi’iah AM, Kamus Istilah Fiqih, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1994, h. 287. b Kisas anggota badan, yaitu hukum kisas atau tindak pidana melukai, merusak anggota badan dan menghilangkan manfaatnya. Baik bagi jenis kisas jiwa maupun kisas anggota badan harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut: a. Pembunuh sudah baligh dan berakal mukallaf b. Pembunuh bukan ayah dari yang terbunuh c. Yang terbunuh sama derajatnya dari pembunuh, seperti muslim sesama muslim, merdeka sesama merdeka. d. Kisas itu dilakukan dalam hal yang sama, seperti jiwa dengan jiwa, mata dengan mata, telinga dengan telinga, dan lain-lain. e. Kisas dilakukan dengan jenis barang yang telah digunakan oleh pembunuh atau yang melukai. f. Orang yang terbunuh berhak dilindungi jiwanya baik dari orang Islam maupun orang kafir. Sedangkan dalam ensiklopedi Islam kisas diartikan sebuah prinsip yang diberlakukan oleh al-Qur’an untuk menghukum pelaku tindak kejahatan penganiayaan ketika terjadi tindak pembunuhan dimana pihak korban dan pihak pelaku dalam status yang sama, maka pembunuhan terhadap pelaku merupakan hukuman akibat tindak pembunuhan yang dilakukan terhadap pihak korban, demikian juga dengan pelukaan- pelukaan ringan pada korban berakibat hukuman perlakuan yang setimpal atas pelakunya. 21 Bersamaan dengan pemberlakuan prinsip hukuman ini secara bijaksana Islam juga mengesahkan penggantian hukuman, berdasarkan adanya pemaafan dari 21 Ensiklopedi Islam , Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1999, h. 328. pihak korban dengan sejumlah ganti kerugian yang bersifat material untuk tindak kejahatan penganiayaan. Dalam prakteknya, Nabi Muhammad cenderung kepada penerapan hukuman yang lebih ringan atau kepada batas hukuman yang telah ditetapkan dalam menyelesaikan tindak kejahatan yang dilakukan kepada Nabi, sekalipun demikian Nabi memutuskan dengan mempertimbangkan sifat intrinsik yang terdapat pada kasus tertentu, namun pada suatu kasus Nabi memerintahkan eksekusi seorang laki-laki yang terbukti membunuh seorang wanita 22 . Dalam kasus tersebut nabi meneliti sifat kejahatan pembunuhan tersebut sebelum nabi mempermasalahkan status kekeluargaan antara kedua belah pihak. Prinsip kisas sesungguhnya merupakan bentuk modifikasi dari rasa keadilan bangsa Arab, hukum yang bercorak kesukuan di kalangan bangsa Arab telah mengenal prinsip hukuman pembalasan atas sebuah tindak penganiayaan dalam kasus pelukaan seseorang berlaku hukuman sa’r atau pembalasan darah, 23 dan pembalasan ini bisa saja berlaku pada setiap anggota klan pelaku penganiayaan tersebut, sedang kisas menjadikan pelaku tindak kejahatan sebagai pribadi yang mempertanggung-jawabkan suatu tindak kejahatan dan ia sendiri yang layak dikenai suatu hukuman dan bahkan dalam kisas hukuman harusnya setimpal dengan kejahatan. Jadi, kisas merupakan esensi sebuah prinsip keadilan menegaskan adanya konsekuensi dalam sebuah tindak kejahatan atau adanya efek tertentu yang turut melatarbelakangi suatu tindakan dalam Islam sebagaimana dalam judaisme 24 objektifitas kisas dijadikan sebagai prinsip hukum, prinsip ini menggantikan prinsip hukuman pembalasan kesukuan yang bersyarat subjektif yang telah ada sebelumnya. 22 Ibid., 23 Ibid., h.329 24 Ibid ., Turunnya ayat-ayat tentang kisas dilatarbelakangi oleh perintah Allah untuk menghormati nyawa manusia. Atau larangan Allah untuk sikap atau tindakan tidak menghormati nyawa manusia. Karena memelihara nyawa manusia merupakan salah satu tujuan utama dari lima tujuan syariat yang diturunkan oleh Allah Swt. Bahkan memelihara nyawa manusia menempati tempat kedua dari kelima hal itu, yakni: memelihara agama, memelihara nyawa, memelihara akal, memelihara keturunan dan kehormatan, dan memelihara harta benda. 25 Allah menyatakan di dalam al-Qur’an: D + ﻡ;-Mﻡ - ﻡ? HNO ﺏ AP -Q = R ;--ﺕA? EHG; ;- ﻡ . -EﻥP R+ S -T+ ﻥ U-ﺱ 2 ﺱW 6 XX 9 “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah membunuhnya melainkan dengan sesuatu alasan yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara dzalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh, sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan ”. al-Isra:33. Y ﺏ - ? H -O ﺏ Z -O R+ -[ -B-5G -. ;-ﻡ \ 4Z E G P ] :Y? S?- ﺏ - Hﺕ + --R ﺵ E GIY ﻡ -E R - + `ﻥ- ﺏ `ﻥ- ? Hﻡ --3Gaﺕ 01 C bﺏ --BG Y ]c \ -E + 0 1 ﺏ d + ]e ? B-5Hﺏ 2 f6 Lgh 9 “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu kisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya hendaklah yang dimaafkan mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah yang diberi maaf membayar diat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula, yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. Dan dalam kisas itu ada jaminan kelangsungan hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa ”.al-Baqarah : 178 25 Amin Suma, dkk, Pidana Islam di Indonesia, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2001, h. 91. Sebab turunnya ayat ini menurut suatu riwayat dari Qatadah bahwa orang-orang jahiliyah sudah dijangkiti penyakit suka melakukan kejahatan dan kedzaliman jinayah dan sudah tergoda setan. Perbuatan ini biasanya dilakukan apabila mereka merasa kuat, apabila budak mereka membunuh budak lain. Mereka lalu mengatakan bahwa kami tidak akan membunuh kecuali orang-orang merdeka, yang merupakan kesombongan mereka terhadap orang lain. Dan apabila wanita mereka membunuh wanita lain, mereka menyatakan kami tidak akan membunuh kecuali orang laki-laki, maka turunlah ayat: `ﻥ- ﺏ `ﻥ- ? ﺏ - ? H -O ﺏ Z -O 2 f6 Lgh 9 “…orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita... “ al-Baqarah : 178 Dalam suatu riwayat dari Said bin Juber diberikan bahwa orang-orang Arab pada masa sebelum datangnya Islam suka berperang karena persoalan kecil, maka terjadilah pembunuhan dan persoalan melukai itu adalah persoalan biasa bagi mereka, bahkan sampai mereka membunuh budak dan wanita. Keadaan itu berlangsung terus sampai masuk Islam. Maka merupakan kejadian biasa bila ada yang menyombongkan kekuatannya pada pihak lain. Misalnya, apabila di pihaknya ada budak atau wanita dibunuh oleh pihak yang menjadi korban tidak akan rela kalau tidak membunuh orang merdeka atau laki-laki dari pihak lawannya. Dalam al-Qur’an, dalil-dalil tentang kisas tertera pada QS 2: 179, 194 dan QS 5:45, QS 25:68. ;-ﺕ B-5 c R?-Y ]f G [ R+ B-5 ? 2 f 6 Lgi 9 “Dan dalam kisas itu ada jaminan kelangsungan hidup bagimu, hai orang- orang yang berakal supaya kamu bertaqwa ” al-Baqarah: 179 ?- + B-5G d + --[ -F ﻡ- -O ? = O 4 ﺏ -= O - 4 EG 2 f 6 Li8 9 “Bulan haram dengan bulan haram dan pada sesuatu yang patut diihormati berlaku hukum kisas. Oleh sebab itu barang siapa yang menyerang kamu maka seranglah ia ” al-Baqarah: 194 -1- ? 3ﻥ ﺏ 3ﻥ ? G ﺏ G ? ﺏ Yj4G+ B4G .? ﺕ + --[ k?- -l ? H H ﺏ H ? -1- ﺏ B ﻡ? -E --f . ;-4+ Eﺏ m ;- M -B- 0nA?-o+ -Q pﻥYj ﺏ B-5O 2 f n 6 8q 9 “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalam Taurat bahwasanya jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka pun ada kisasnya. Barang siapa yang melepaskan hak kisashnya maka melepaskan hak itu menjadi penebus dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim ” al-Maidah : 45 HNO ﺏ AP -Q = R ; -- A? I 4 P Q ﻡ ;- A \ ? ﻡ Y N 01 ﻡ? ;-ﻥp A? 2 6 7h 9 “Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat pembalasan dosanya ” al-Furqan : 68 Artinya pembalasan yang dimaksud ialah pembalasan yang dikenakan kepada orang yang melakukan pembunuhan dengan secara dibunuh juga, hukuman tersebut dijatuhkan oleh hakim melalui proses pengadilan. Namun apabila keluarga yang terbunuh itu memaafkan si pelaku pembunuhan maka hukum kisas tidak dikenakan pada pembunuh sebagai gantinya si pembunuh harus membayar diat.

B. Bentuk-bentuk Hukuman Pidana Kisas