Pengertian Pemerkosaan 1. Pemerkosaan dalam rumah tangga menurut pandangan hukum Islam

BAB II PEMERKOSAAN DALAM RUMAH TANGGA

A. Pengertian Pemerkosaan A.1. Pemerkosaan dalam rumah tangga menurut pandangan hukum Islam Di dalam Al-Qur’an tidak ditemukan istilah yang menunjukkan pemerkosaan, baik itu perkosaan di luar perkawinan maupun dalam perkawinan. Al-Qur’an hanya mengenal istilah zina, yakni hubungan seks dengan selain pasangan yang sah secara hukum. Istilah ini mengakomodasi pemerkosaan dalam arti umum karena sama-sama dilakukan di luar nikah dengan tingkat ancaman yang lebih berat karena pemaksaan yang menyertainya dianggap satu bentuk kejahatan. Tetapi tidak menjangkau pemaksaan oleh seorang suami. 1 Dalam ikatan perkawinan hubungan suami istri seks adalah suatu yang halal tetapi tidak sampai membolehkan kekerasan-kekerasan yang kemungkinan dapat menyertainya. Kedua hal ini harus dipisahkan, karena sangat jauh berbeda. Membolehkan hubungan seks dalam ikatan perkawinan adalah mendukung kelangsungan hidup manusia dan sangat manusiawi, sementara membolehkan kekerasan bukan hanya tidak manusiawi akan tetapi pada tingkat kualitasnya yang tertinggi ia menghentikan derap langkah manusia itu sendiri. Dengan pandangan ini, dapat diduga bentuk ancaman sanksi yang dapat diterapkan. Apabila hal itu terjadi, 1 Alimin M, Bercinta Dalam Ungkapan Kitab Suci Titik temu Konsep Marital Rape dengan Gagasan Qur’ani, Ahkam VII, No.15 2005, h.66. 10 11 maka pelakunya semestinya diancam karena kekerasan atau pemaksaan yang dilakukannya. Hal ini dapat dianalogikan dengan tindakan pemerkosaan. Dalam mayoritas pandangan ulama, pelaku tindak pidana pemerkosaan diancam dengan hukuman: Pertama, pelaku tindak pemerkosaan diancam dengan rajam, karena ia telah melakukan zina apabila dia sudah menikah, sedangkan yang belum menikah di cambuk. Kedua, ia diancam hukuman karena tindak pidana pemaksaan. Dari kedua ancaman tersebut ancaman pertama tentu saja tidak mungkin dijatuhkan kepada suami, sebab hubungan mereka adalah sah dan legal dan tidak mungkin dikategorikan zina. Namun pemaksaannya, tidak berbeda dengan pemaksaan yang dilakukan dalam sebuah pemerkosaan. 2 Dalam buku Marital Rape kekerasan seksual terhadap isteri yang ditulis oleh Milda Marlia, pemerkosaan dalam rumah tangga harus dilihat dari dua segi, yaitu: 1. Kesamaan hak laki-laki dan perempuan Terkait dengan relasi laki-laki dan perempuan, Islam mengakui dan mengajarkan kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan sexual equality. Sejumlah ayat Al-Qur’an menegaskan tentang hal ini: QS Al-Hujurat: 13: ⌧ 2 Ibid 12 Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” Dan, QS An-Nahl ayat 97: ☺ ☯ ⌦ ☺ Artinya : “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” Dari beberapa ayat Al-Qur’an di atas dapat diambil pelajaran bahwasanya Islam sangat menjunjung tinggi kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Ia tidak hendak melestarikan tatanan kesadaran dan sosial masyarakat Arab, tetapi justru mendekonstruksi pilar-pilar peradaban, kebudayaan, dan tradisi diskriminatif- misioginis yang sekian lama diprektikkan. Dalam banyak praktik hukum, perempuan dinilai separo dari harga laki-laki. Oleh Islam pandangan dan praktik misoginis-diskriminatif itu diubah dan diganti 13 dengan pandangan dan praktik yang adil dan manusiawi. Islam secara bertahap mengembalikan otonomi perempuan sebagai manusia merdeka. 3 Para ahli tafsir menyatakan, qawwam berarti pemimpin, penanggung jawab, atau, pengatur dan pendidik. Penafsiran semacam ini memang tidak perlu kita persoalkan lagi. Akan tetapi, secara umum, para ahli tafsir berpendapat, superioritas laki-laki adalah mutlak. Superioritas ini diciptakan Tuhan hingga tidak bisa diubah. Kelebihan laki-laki atas perempuan, menurut ahli tafsir dikarenakan kapasitas akal dan fisiknya. 4 Superioritas tersebut kini tidak bisa dipertahankan sebagai suatu yang berlaku pada umum dan mutlak. Artinya, tidak setiap laki-laki pasti lebih berkualitas ketimbang perempuan. Superioritas laki-laki atas perempuan tidak saja dipandang sebagai bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan dasar-dasar kemanusiaan universal, melainkan juga ditentang oleh fakta-fakta sosial, dan ini menjadi keniscayaan tak terbantahkan. 5 Zaman sudah berubah, kini jumlah perempuan lebih banyak dari pada laki- laki dan tugas yang dianggap dulu hanya bisa dikerjakan dan milik lelaki sudah bisa dikerjakan oleh perempuan. Di berbagai aspek kehidupan seperti politik, ekonomi, dan sosial banyak perempuan yang berhasil dalam karir kepemimpinan domestik maupun publik. Oleh karena itu, karekteristik yang menjadi dasar argumen bagi 3 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Agama dan Gender, Yogyakarta: LKIS, 2001, h.19. 4 Ibid, h.20-21. 5 Ibid 14 superioritas laki-laki bukanlah sesuatu yang tetap dan berlaku terus. Ia merupakan produk satu episode saja dari proses sejarah yang terus berkembang dan bergerak dari nomaden menjadi menuju kehidupan tetap modern, dari ketertutupan menuju keterbukaan, dari kebudayaan yang tradisional menuju kebudayaan yang rasional, dan dari pemahaman tekstual menuju pemahaman substansial. 6 2. Seksualitas Di antara yang diberikan Allah kepada manusia adalah potensi seksual yaitu kekuatan untuk melakukan hubungan seksual, termasuk juga nafsu seks. Nafsu sahwat tercipta seiring dengan penciptaan manusia, dan karenanya ia menjadi sesuatu yang alami dan naluriah dalam diri manusia. Sebagai naluri, nafsu seks ini tentunya akan mendorong pemiliknya untuk memiliki orientasi dan prilaku seksual. 7 Akan tetapi, Islam tidak membiarkan begitu saja dorongan seks ini terpenuhi tanpa terkendali. Ada lembaga perkawinan yang melegitimasi aktivitas seksual, agar pelaksanaannya mempunyai nilai tersendiri ketimbang sebuah pelampiasan. 8 Secara umum bisa dikatakan, pernikahan laki-laki dan perempuan adalah membina rumah tangga yang bahagia yang berdasarkan pada prinsip yang mulia. Pertama , dalam rangka membangun ketaatan kepada Allah, sehingga di sini seks 6 Ibid 7 Hamim Ilyas, Orientasi Seksual dari Kajian Islam, dalam S. Edy Santosa, Islam dan Konstruksi Seksualitas , Yogya: PSW IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, The Ford Foundation dan Pustaka Pelajar, 2002, h.81-82. 8 Andy Dermawan, Marital Rape dalam persfektif Al-Qur’an, dalam Mochamad Sodik ed, Telaah Ulang Wacana Seksualita , Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga, Depag RI, dan McGill- IIsep-CIDA, 2004, h.311. 15 menjadi sebuah ibadah. Kedua, pernikahan adalah untuk mewujudkan ketentraman sakinah, rasa cinta mawaddah, dan kasih sayang rahmah, dan seks di sini menjadi kebahagian bersama yang manusiawi. Dan ketiga, saran menciptakan kehidupan yang bersih dari prilaku yang hanya menuruti hawa nafsu belaka, sehingga seks di sini mempunyai makna membangun kualitas komunikasi. Jadi selain berorientasi ibadah, seks juga dimaknai sarana membangun generasi yang baik. Seks adalah sesuatu yang bersih dan bertujuan mulia. 9 Dalam kehidupan berumah tangga, tidak hanya suami yang membutuhkan seks, isteri pun tidak bisa membunuh naluri dasariahnya tersebut. Pada dasarnya, seks adalah kebahagian bersama. Salah besar bila menempatkan perempuan isteri hanya sebagai objek seks semata. 10 Kondisi sakit, capek, tidak mood, dan bahkan menstruasi bukanlah alasan membenarkan penolakan isteri atas ajakan suami untuk berhubungan badan. Diakui atau tidak, suami relatif kurang begitu mempertimbangkan berbagai hal terkait kondisi fisik dan psikis isteri saat hendak mengaj ak isteri bersetubuh. 11 Di sinilah kita harus memperbaharui pemahaman dan penafsiran kita terhadap Al-Qur’an dan Hadis agar lebih mendekati pesan sejati keduanya. Terkait hubungan seksual suami isteri, Al-Qur’an melalui pilihan kata dalam tiap kalimat yang dipakainya, memberi arahan dan metode yang lebih manusiawi. Ada norma dan nilai yang mesti diperhatikan saat melakukan hubungan seksual yang pada dasarnya sakral. 9 Ibid 10 Andy Dermawan, Marital Rape, h.311-312. 11 Ibid, h.321. 16 Seorang suami digambarkan sebagai petani yang cerdas, dan kecerdasannya itu terbukti dengan tidak menaburkan benihnya keladang secara asal dan sembarangan. Sedangkan seorang isteri digambarkan sebagai ladang, dimana tingkat kesuburannya selain ditentukan oleh diri sendiri, juga oleh ketekunan dan kecerdasan suami sebagai pengga abaikan kondisi isteri saat melaku rap. 12 Dengan demikian, tragis dan salah kaprah apabila Al-Qur’an, tepatnya surat Al-Baqarah ayat 223 dipahami secara harfiah. Jika kita memahaminya secara skriptual, ia akan tampak kasar, tak manusiawi, dan meng kan hubungan yang sejatinya bernilai ibadah ini. 13 Dalam pernyataan Al-Qur’an pada surah An-Nisa ayat 19, Al-Baqarah ayat 223, dan Al-Baqarah ayat 187, bisa ditarik pelajaran: pertama, di dalam hubungan seksual, terkandung hak sekaligus kewajiban kedua belah pihak. Sebagai hak hubungan seksual harus bisa diakses dan dinikmati oleh keduanya suami-isteri. Tak hanya itu, aktivitas senggama, baik suami maupun isteri berkewajiban untuk saling melayani dan memuaskan. Kedua, isteri maupun suami dituntut untuk saling berdandan agar masing-masing bisa saling tertarik. Jika sama-sama tertarik, hampir bisa dipastikan dalam persenggamaan tersebut tidak ada pihak yang merasa dipaksa atau dirugikan. Ketiga, isteri adalah ladang untuk menanam benih dan menyambung keturunan. Oleh karena itu, bila ingin memetik hasil atau keturunan keturunan yang berkualitas, cara bertanamnya pun harus tepat dan benar. Keempat, pakaian adalah 12 Ibid, h.323. 13 Ibid, h.324. 17 lambang kesopanan, kerapian, kenyamanan dan perasaan aman. Suami dan isteri harus saling menjadi pakaian buat pasangannya. Artinya, saling memberi dan memenuhi apabila salah satunya membutuhkan. Juga saling berbagi pengertian, kasih sayang ntangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam tentang seksualitas dalam perkawinan. esusuilaan karenanya berarti , dan tenggang rasa. 14 Dari sini jelaslah, persfektif Al-Qur’an melarang adanya pemaksaan hubungan seksual atau pemerkosaan dalam rumah tangga yang biasanya dilakukan oleh suami terhadap isteri. Karena hal ini berte A.2. Pemerkosaan dalam rumah tangga menurut hukum Positif Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP, pengertian pemerkosaan tidak terlepas dari pengertian kesusilaan karena pemerkosaan merupakan salah satu bagian kejahatan kesusilaan yang diatur dalam Bab XIV Pasal 285, 286, 287, dan 288 KUHP. Istilah kesusilaan berasal dari kata susila yang berarti beradab, sopan, tertib, atau adat istiadat yang baik. K sesuatu yang terkait dengan adab atau sopan santun. 15 Sedangkan delik kesusilaan ialah segala perbuatan yang dapat dikenai hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap aturan undang-undang. Dari pengertian kesusilaan ini bisa dikatakan, nilai-nilai kesusilaan tidak hanya terkait 14 Alimatul Qibtiyah, Intervensi Malaikat dalam Hubungan Seksual, dalam Mochamad Sodik dan Inayah Rohmaniyah ed, Perempuan Tertindas?, Kajian Hadits-hadits ”Misoginis”, Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga dan The Ford Foundation, 2003, h.233-234. 15 Muyassarotussolichah, “Pemanfaatan Perbandingan Hukum Delik Kesusilaan dalam pembangunan Hukum Pidana Nasional”, Sosio-Religia, Vol. 2: 3 Mei 2003, h.471. 18 dengan perkara seksual yang bersifat pribadi, tetapi juga pergaulan rumah tangga, pergaulan orang lain dimasyarakat, dan bahkan kehidupan bermasyarakat dan berneg HP. Oleh karena itu, perbuatan pemerkosaan disebut jika didalamnya terdapat atau ancaman kekerasan yang membuat si korban tidak mampu n biologis. 3. berusia 15 tahun. KUHP, dengan demikian tidak mengenal pemerkosaan dalam ara secara luas. 16 Pemerkosaan sebagai delik kesusilaan diartikan: pertama, kekerasan atau ancaman kekerasan dengan memaksa perempuan untuk bersetubuh diluar perkawinan. Kedua, kekerasan atau ancaman kekerasan dengan memaksa perempuan yang bukan isterinya untuk melakukan hubungan seksual sebagaimana dalam pasal 285 KU unsur: 1. kekerasan menolak. 2. keterpaksaan korban dalam melakukan hubunga hubungan biologis yang terjadi secara nyata. 17 Pasal 285,.286, dan 287 KUHP menegaskan, yang disebut pemerkosaan adalah pemaksaan hubungan seksual pada perempuan bukan isteri yang sedang sadar, pingsan, maupun belum genap 15 tahun. Pasal 288 KUHP menyebutkan pemerkosaan terhadap isteri, namun terbatas pada isteri yang belum waktunya dikawin atau belum 16 Muyassarotussolichah, Marital Rape, Persfektif Yuridis Viktimologis, dalam Mochamad Sodik, ed. Telaah Ulang Wacana Seksualitas, Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga, Depag RI, dan McGill-IISEP-CIDA, 2004, h.343. 17 Ibid, h.344. 19 rumah tangga atau marital rape. Bagi KUHP, yang disebut pemerkosaan hanyalah pemaksaan hubungan seksual pada perempuan bukan isteri. 18 Reformasi hukum di Indonesia terjadi dengan dikeluarkan dan dibahasnya RUU KUHP 2000. Akan tetapi, pasal-pasal pemerkosaannya belum juga menunjukkan pembelaannya pada kesederajatan laki-laki dan perempuan. 19 Pasal 423 RUU KUHP Tahun 2000, sebagaimana dikutip Aroma Elmina Martha, menyebutkan ketentuan-ketentuan pemerkosaan sebagai berikut: 1 Tindak pidana pemerkosaan dipidana dengan penjara paling lama 12 tahun dan paling singkat 3 tahun. Sedangkan tindak pidana pemerkosaan yang dimaksud adalah: a. Laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan, bertentangan dengan kehendak si perempuan. b. Laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan tanpa persetujuan. c. Laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan, sedang persetubuhan itu terwujud lewat ancaman pembunuhan atau paksaan. d. Laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan karena si perempuan percaya bahwa ia suaminya yang sah. e. Laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan berusia 14 tahun, meski dengan persetujuan. 18 Milda Marlia, Marital Rape Kekerasan Seksual terhadap Istri, h.34. 19 Ibid, h.35. 20 f. Laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui si perempuan tidak berdaya dan pingsan. 2 Dianggap juga melakukan tindak pidana pemerkosaan, bila dalam keadaan sebagaimana dimaksud ayat 1: a. Laki-laki memasukkan penisnya ke anus atau mulut si perempuan. b. Laki-laki memasukkan suatu benda yang bukan merupakan bagian tubuh ke vagina atau anus si perempuan. 20 Meskipun Pasal 423 ayat 1 RUU KUHP Tahun 2000 menyebutkan seseorang dipidana karena memerkosa, dengan penjara paling lama 12 tahun dan paling singkat 3 tahun, namun penjelasan Pasal 423 ayat 1 menyatakan ayat ini tidak berlaku bagi laki-laki dan perempuan yang terikat perkawinan karena pada hakikatnya dalam sebuah perkawinan tidak mungkin terjadi pemerkosaan suami terhadap isteri. 21 Alhasil, RUU KUHP paling baru ini sebetulnya tidak mengakui pemerkosaan dalam rumah tangga yang bisa dikenai sanksi pidana. Carol Smart, seperti dikutip Nursyahbani Karjasungkana, berpendapat, lemahnya kedudukan perempuan sesungguhnya merupakan konsekuensi perbedaan seksualitas manusia. 22 Oleh karena itu, diperlukan rumusan baru tentang tindak pidana pemerkosaan yang berorientasi pada relasi pada relasi berkeadilan dan esensi hubungan seksual 20 Aroma Elmina Martha, Perempuan: Kekerasan dan Hukum, Yogyakarta: UII Press, h.55- 56. 21 Muyassarotussolichah, Marital Rape, h.350. 22 Nursyahbani Karjasungkana, “Aspek Hukum Kekerasan terhadap Perempuan” dalam Potret Perempuan , Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, h.96. 21 berdasarkan persetujuan kedua belah pihak tanpa melihat status perkawinannya. Setiap hubungan seksual dilakukan tanpa persetujuan consent, menurut Nursyahbani Karjasungkana, haruslah dianggap sebagai pemerkosaan. 23 Meskipun demikian, perlu disadari apa yang disebut consent tersebut, dalam praktiknya, menjadi sangat problematik dan kompleks bila dihubungkan dengan kemampuan perempuan menggunakan kekuasaanya untuk menyatakan persetujuannya atau tidak, khususnya bila dihubungkan dengan masalah ketidakberdayaan terkait gender dan status sosial gender and social powerlessness. 24 Dan untuk mengakomodir keinginan masyarakat yang menginginkan adanya undang-undang tentang pemerkosaan dalam rumah tangga, maka pada tanggal 17 September 2004, Indonesia telah memiliki Undang-Undang RI tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga UU RI PKDRT. Dalam undang-undang ini pasal yang mengatur tentang pemerkosaan dalam rumah tangga terdapat pada Pasal 8 yang berbunyi, “Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi: a. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; b. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial danatau tujuan tertentu”. 25 23 Ibid 24 Ibid 25 Kementrian Pemberdayaan Perempuan RI, Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga No. 23 Tahun 2004 , h.10-11. 22 Sehubungan dengan hal tersebut, dinyatakan dalam penjelasan Pasal 8: yang dimaksud dengan “kekerasan seksual” dalam ketentuan ini adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar danatau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan atau tujuan tertentu. 26 Adapun mengenai hukuman bagi para pelakunya terdapat dalam pasal 46 yang berbunyi, “Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana paling lama 12 tahun atau denda paling banyak Rp. 36.000.000 tiga puluh enam juta rupiah”. 27 Meskipun telah ada undang-undang yang dapat digunakan untuk menuntut suami yang melakukan pemerkosaan dalam rumah tangga. Akan tetapi pada prakteknya pemerkosaan dalam rumah tangga mengalami kendala untuk diproses secara hukum. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: 1. Terjadi diruang yang sangat privat sehingga pada umumnya tidak ada orang yang mengetahui selain pelaku dan korban. 2. Sebagaimana bentuk kekerasan dalam rumah tangga lainnya, pemerkosaan dalam rumah tangga masih dianggap sebagai aib keluarga yang tabu untuk diceritakan pada orang lain. 3. Terjadi pada pasangan yang sah untuk melakukan hubungan seksual, baik menurut hukum Negara, maupun hukum Agama. 26 Ibid, h.11. 27 Ibid, h.29. 23 4. Sebagaimana perkosaan diatur diluar perkawinan, unsur paksaan pada pemerkosaan dalam perkawinan seringkali sulit dibuktikan secara fisik. 28 Namun untuk kejahatan kekerasan psikis dan fisik ringan serta kekerasan seksual yang terjadi dalam relasi antara suami isteri, maka yang berlaku adalah delik aduan. Dimana korban itu sendiri yang melaporkan secara langsung kepada kepolisian, atau memberi kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkannya.

B. Macam-macam Pemerkosaan