Zihar Ila’ Li’an

51 Di Indonesia, khuluk biasanya dikaitkan dengan taklik talak atau dengan perjanjian talak yang diucapkan oleh suami disaat melangsungkan akad nikah berlangsung. Inti perjanjian itu adalah persetujuan pihak suami untuk menjatuhkan talaknya, apabila taklik talak itu dilanggar oleh pihak suami. Oleh karena itu, di dalam KHI Pasal 116 bagian g, “pelanggaran terhadap taklik talak bias dijadikan alasan oleh istri untuk mengajukan gugatan cerai kepada Pengadilan Agama. Konsekuensi hukum yang ditimbulkan oleh khuluk berbeda dengan talak yang dijatuhkan oleh suami secara bertahap. Apabila seorang istri telah mengkhuluk dirinya, maka secara hukum suami tidak berhak merujuki istrinya, meskipun istrinya bersedia kembali ‘iwad tebusan yang telah diberikan kepada suami sebagai syarat terjadinya khuluk. Namun suami bisa kembali kepada bekas istrinya dengan syarat diadakannya akad nikah baru tanpa adanya muhallil. 12

3. Zihar

Zihar berasal dari kata “adz-zahar” yang berarti punggung. 13 Dalam kaitannya dengan suami istri, zihar adalah ucapan suami kepada istrinya yang berisi menyerupakan istri dengan punggung ibu suami, seperti ucapan suami kepada istrinya, “Engkau bagiku adalah seperti punggung ibuku”. Zihar ini merupakan bentuk talak di zaman jahiliyah yang dipergunakan oleh suami yang bermaksud mengharamkan menyetubuhi isterinya dan berakibat menjadi haramnya isteri itu bagi suami dan laki-laki untuk selama-lamanya. 12 . Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqih, cet I, Bogor: Prenada Media, 2003, h. 133. 13 Ibid, h.132-133 52 Syariat Islam datang untuk memperbaiki masyarakat, medidiknya, dan melestarikannya menuju kemaslahatan hidup. Hukum Islam menyediakan zihar itu berakibat hukum yang bersifat duniawi dan ukhrawi. Akibat hukum zihar yang bersifat duniawi adalah menjadi haramnya suami menggauli isterinya yang dizihar samapai suami melaksanakan kafarat zihar. Sedangkan ukhrawi adalah bahwa zihar itu adalah perbuatan dosa, dan untuk membersihkannya wajib bertobat dan memohon ampun kepada Allah SWT.

4. Ila’

Menurut bahasa ila’ artinya “bersumpah” atau terlarang dengan sumpah. Sedangkan menurut istilah hukum Islam ila’ adalah sumpah suami yang sah untuk tidak mencampuri istrinya tanpa batas waktu atau lebih dari empat bulan. 14 Pada masa Jahiliyah, ila’ itu adalah talak, yaitu suami tidak mencampuri istrinya selama setahun atau dua tahun dengan maksud untuk menyakiti istri semata- mata. Kemudian Islam merubahnya, dengan menetapakan waktu empat bulan. Dalam tenggang waktu empat bulan ini suami dapat berfikir untuk kembali atau menceraikannya. Jika suami merujuki istrinya dalam masa itu, dan mencampuri istrinya, maka ia wajib membayar kifarat sumpah, tetapi jika ia tidak mau rujuk setelah lewat masa empat bulan itu, maka ia harus mentalak istrinya.

5. Li’an

Secara harfiyah li’an berarti saling melaknat. Secara terminologis berarti sumpah suami menuduh istrinya berbuat zina. Sedangkan ia tidak mampu 14 Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, cet I, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1994, h. 37. 53 mendatangkan empat orang saksi. Akan tetapi, bila yang melakukan penuduhan itu adalah suami terhadap istrinya dan tidak dapat mendatangkan empat orang saksi kecuali hanya dirinya saja, maka ia harus menyampaikan kesaksian disertai sumpah sebanyak empat kali yang menyatakan bahwa ia benar atas tuduhannya. Kali yang kelima ia menyatakan bahwa laknat Allah atasnya bila ia berdusta dengan tuduhannya itu. Dengan sumpahnya itu, maka suami bebas dari saksi tuduhan zina tanpa bukti. Hal itu berarti tuduhan zina itu adalah benar. Untuk selanjutnya istri dikenai saksi berbuat zina yaitu dera 100 kali bila ia belum dicampuri suaminya dan rajam bila ia pernah dicampuri suaminya. Akan tetapi jika istri merasa tidak pernah berbuat zina seperti yang dituduhkan suaminya itu, maka ia berhak membela dirinya dengan menolak sumpah suami tersebut. Dari sumpah penolakan itu, maka si istri terlepas dari saksi zina. Sumpah suami dan penolakan sumpah dari istri dilakukan di hadapan pengadilan. Dengan tejadinya saling sumpah dan saling laknat itu maka putuslah perkawinan di antara keduanya dan tidak boleh kembali melangsungkan perkawinan untuk selamanya. Di samping itu anak yang lahir dari perkawinan itu tidak dinisbatkan kepada suami yang meli’an karena li’an itu di samping menuduh zina. Juga sekaligus memastikan anak yang dikandung istrinya. Adapun dalam hukum Positif yang berlakuku di Indonesia, perceraian diatur dalam Undang-Undang RI No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang terdapat dalam Bab VIII yaitu Putusnya Perkawinan serta Akibatnya, dan pasal 38 yang berbunyi, 54 “Perkawinan dapat putus karena: a. kematian, b. perceraian, dan c. atas keputusan pengadilan”. Adapun dalam KHI, putusnya perkawinan diatur dalam Bab XVI, dan pasal 113 yaitu: “Perkawinan dapat putus karena: a. Kematian, b. Perceraian, dan c. Atas Putusan Pengadilan”.

B. Tata Cara dan Prosedur Cerai Perceraian

Pada dasarnya talak adalah ungkapan yang merupakan hak suami untuk menceraikan isterinya. Dahulu laki-laki muslim di Indonesia, dapat saja menceraikan isterinya tanpa melalui proses beracara. Untuk mnertibkan dan mengaturnya agar hal ini tidak menjadi masalah dikemudian harinya maka terbitlah UU RI No.1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975, sejalan dengan azasnya yaitu mempersulit perceraian. Sejak berlakunya UU Perkawinan dan PP tersebut, penggunaan kebolehan lembaga talak diatur dan dibatasi dengan berbagai syarat yang disesuaikan dengan ketentuan hukum Islam. Tata cara penggunaan talak mesti melalui campur tangan pengadilan yang diberi kewenangan untuk menilai dan mempertimbangkan apakah dasar alasan suami untuk mentalak isterinya serta apakah alasan tersebut dibenarkan menurut hukum dan nilai moral Islam. 15 Sejalan dengan azas dan prinsip UU Perkawinan tersebut, dalam proses pemeriksaan perkara ceraia talak, Majelis Hakim Pengadilan Agama harus berusaha mendamaikan kedua belah pihak Pasal 59 ayat 1 dan Pasal 65 UU RI No. 7 Tahun 15 M Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan AgamaUU No. 7 Tahun 1989 , cet III Jakarta: Pustaka Kartini, 1997, h.230.