Jenis-Jenis Penyelesaian Sengketa Alternatif

sengketa alternatif, hanya sayangnya undang-undang ini tidak mengatur secara rinci dan tegas tentang bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa kecuali mengenai arbitrase. 29 Pada dasarnya alternatif dispute resolution keberadaan telah diakui sejak tahun 1970 yaitu dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, penjelasan Pasal 3 undang-undang ini menyatakan penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit arbiter tetap diperbolehkan, selain itu Pasal 14 ayat 2 undang-undang ini juga menyatakan bahwa ketentuan dalam ayat 1 tidak menutup kemungkinan untuk usaha penyelesaian perdata secara perdamaian. 30

B. Jenis-Jenis Penyelesaian Sengketa Alternatif

Pada intinya yang dimaksud dengan alternatif penyelesaian sengketa adalah pranata penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau dengan cara mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di pengadilan negeri. Penyelesaian dapat dilakukan sendiri oleh para pihak dalam bentuk negosiasi, dapat pula melalui bantuan pihak ketiga yang netral di luar para pihak yang disebut mediasi, lembaga damai atau konsiliasi dan dapat pula dilaksanakan penyelesaiannya melalui arbitrase. Penyelesaian atas suatu sengeta merupakan hal yang harus segera dilaksanakan, mengingat adanya kepentingan berbeda dari para pihak yang bersengketa, maka sengketa yang terjadi harus segera didamaiakan dan 29 Ibid., hlm. 13 30 Ibid., hlm. 9 diselesaikan. Dalam melaksanakan proses penyelesaian sengketa bagi para pihak, dapat dilakukan dengan menggunakan dua metode yang berbeda, adapun dua metode tersebut yaitu: 1. Metode penyelesaian melalui lembaga peradilan litigasi Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan definisi litigasi tidak diatur secara eksplisit didalam peraturan perundang-undangan. Namun dalam UU Arbitrase disebutkan bahwa “sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di pengadilan negeri.” 31 Berdasarakan rumusan undang-undang tersebut dapat dirumuskan bahwa litigasi adalah sistem penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan. Sengketa yang terjadi dan diperiksa melalui jalur litigasi akan diperiksa dan diputus oleh hakim. Melalui sistem ini tidak mungkin akan dicapai sebuah win-win solution solusi yang memperhatikan kedua belah pihak karena hakim harus menjatuhkan putusan dimana salah satu pihak akan menjadi pihak yang menang dan pihak lain menjadi pihak yang kalah. 32 Kebaikan dari sistem ini adalah ruang lingkup pemeriksaannya yang lebih luas karena sistem peradilan di Indonesia terbagi menjadi beberapa bagian yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara sehingga hampir semua jenis sengketa dapat diperiksa melalui jalur ini. 31 Pasal 6 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa 32 Litigasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan http:www.hukumonline.comklinikdetaillt52897351a003flitigasi-dan-alternatif-penyelesaian- sengketa-di-luar-pengadilan diakses pada tanggal 10 Oktober 2014. Biaya yang relatif lebih murah. Sedangkan kelemahan dari sistem ini adalah kurangnya kepastian hukum, karena terdapat hierarki pengadilan di Indonesia yaitu pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan mahkamah agung, dimana jika pengadilan negeri memberikan putusan yang tidak memuaskan salah satu pihak, pihak tersebut dapat melakukan upaya hukum banding ke pengadilan tinggi atau kasasi ke mahkamah agung sehingga butuh waktu yang relatif lama agar bisa berkekuatan hukum tetap. Selain itu terdapat pengetahuan hakim yang awam dimana pada dasarnya hakim harus paham terhadap semua jenis hukum, namun jika sengketa yang terjadi terjadi pada bidang yang tidak dikuasai oleh hakim, maka hakim tersebut harus belajar lagi. Hal ini dikarenakan para pihak tidak bisa memilih hakim yang akan memeriksa perkara. Tentunya hal ini akan mempersulit penyusunan putusan yang adil sesuai dengan bidang sengketa. Hakim juga tidak boleh menolak untuk memeriksa suatu perkara karena hukumnya tidak ada atau tidak jelas. Jadi tidak boleh ada hakim yang menolak perkara hanya karena dia tidak menguasai bidang sengketa tersebut. Frans Hendra Winarta, mengatakan bahwa secara konvensional, penyelesaian sengketa dalam dunia bisnis, seperti dalam perdagangan, perbankan, proyek pertambangan, minyak dan gas, energi, infrastruktur, dan sebagainya dilakukan melalui proses litigasi. Dalam proses litigasi menempatkan para pihak saling berlawanan satu sama lain, selain itu penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan sarana akhir ultimum remidium setelah alternatif penyelesaian sengketa lain tidak membuahkan hasil. 33 Hal serupa juga dikatakan oleh Rachmadi Usman, bahwa selain melalui pengadilan litigasi, penyelesaian sengketa juga dapat diselesaikan di luar pengadilan non litigasi, yang lazim dinamakan dengan alternative dispute resolution atau alternatif penyelesaian sengketa. 34 Dari hal-hal di atas dapat diketahui bahwa litigasi itu adalah penyelesaian sengketa antara para pihak yang dilakukan di muka pengadilan.Bentuk penyelesaian sengketa alternatif yang dikenal sangat banyak namun lazimnya penyelesaian sengketa alternatif yang dilaksanakan di Indonesia adalah seperti yang tertera dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Dapat ditemui sekurang-kurangnya ada enam macam tata cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan yaitu konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, pemberian pendapat hukum dan arbitrase. 35 Jika negosiasi melibatkan para pihak yang bersengketa secara langsung, konsultasi dan pemberian pendapat hukum dapat dilakukan secara bersama-sama antara para pihak yang bersengketa dengan konsultan atau ahli hukumnya sendiri, selanjutnya mediasi dan konsiliasi melibatkan pihak ketiga yang berfungsi menghubungkan kedua belah pihak yang bersengketa, dalam mediasi fungsi pihak ketiga dibatasi hanya sebagai penyambung, sedangkan dalam konsiliasi pihak ketiga terlibat secara aktif dalam memberikan usulan solusi atas sengketa yang 33 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia dan Internasional Edisi 2, Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hlm. 1-2 34 Rachmadi Usman, Mediasi di Pengadilan Dalam Teori Praktik, Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hlm. 8 35 Abdul Halim, Lembaga Peradilan Dan Penyelesaian Sengketa Alternatif Alternative Dispute Resolution, Tulisan Calon Hakim Agama Mahkamah Agung RI, hlm. 17 terjadi, sedangkan arbitrase merupakan suatu bentuk peradilan swasta dengan arbitrase sebagai hakim swasta yang memutus untuk kedua belah pihak yang bersengketa. 36 2. Metode penyelesaian sengketa melalui lembaga non litigasi Alternative Dispute Resolution sebagai lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak yakni penyelesaian diluar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penialaian ahli. UU Arbitrase juga menjelaskan mengenai penyelesaian sengketa atau beda pendapat antara hubungan hukum tertentu yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui penyelesaian sengketa alternatif, hanya undang-undang ini tidak mengatur secara rinci dan tegas tentang bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa kecuali mengenai arbitrase. 37 Pada dasarnya alternatif dispute resolution pada Pasal 3 dinyatakan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit arbiter tetap diperbolehkan, selain itu Pasal 14 ayat 2 undang-undang ini juga menyatakan bahwa ketentuan dalam ayat 1 tidak menutup kemungkinan untuk usaha penyelesaian perdata secara perdamaian. 38 Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, 36 Gunawan Wijaya, Op. Cit., hlm. 86 37 Ibid., hlm. 13 38 Ibid., hlm. 9 konsiliasi, atau penilaian ahli. Alternatif penyelesaian sengketa adalah seperangkat pengalaman dan teknik hukum yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa hukum diluar pengadilan non litigasi untuk keuntungan para pihak yang bersengketa, mengurangi biaya litigasi konvensional dan pengunduran waktu yang biasa terjadi, mencegah terjadinya sengketa hukum yang biasanya diajukan ke pengadilan. 39 Salah satu lembaga yang menyediakan alternatif penyelesaian sengketa adalah Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia BAPMI yang mengkhususkan diri pada sengketa perdata di bidang pasar modal. Beberapa bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang disediakan BAPMI adalah pendapat mengikat, mediasi, dan arbitrase. Penyelesaian sengketa melalui lembaga non litigasi adalah penyelesaian suatu sengketa di luar jalur hukum jalur litigasi. Penyelesaian sengketa melalui lembaga non litigasi ini berupa arbitrase, alternatif penyelesaian sengketa baik dengan cara, mediasi, negosiasi, konsiliasi, penilaian ahli yang keseluruhannya diatur dalam UU Arbitrase. 40 Pendapat mengikat adalah pendapat yang diberikan oleh BAPMI untuk memberikan penafsiran terhadap bagian perjanjian yang kurang jelas. Tujuan dari pendapat mengikat adalah adanya penafsiran yang valid sehingga tidak ada lagi perbedaan penafsiran di antara para pihak. Untuk meminta pendapat mengikat BAPMI, para pihak harus mempunyai kesepakatan dan mengajukan permohonan 39 Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa 40 BAPMI, http:www.bapmi.orgenref_articles7.php diakses pada tanggal 2 September 2014. secara tertulis, bersedia terikat dan tunduk pada penafsiran dan pendapat yang diberikan oleh BAPMI. 41 Arbitrase mirip dengan pengadilan, dan arbiter mirip dengan hakim, tetapi ada beberapa perbedaan mendasar seperti pengadilan bersifat terbuka, arbitrase Mediasi adalah penyelesaian masalah melalui perundingan di antara para pihak yang bersengketa dengan bantuan pihak ketiga yang netral dan independen, yang disebut Mediator, yang dipilih sendiri oleh para pihak. Mediator tidak dalam posisi dan kewenangan memutus sengketa, hanya fasilitator pertemuan guna membantu masing-masing pihak memahami perspektif, posisi dan kepentingan pihak lain dan bersama-sama mencari solusi yang bisa diterima. Untuk mengajukan sengketa ke mediasi BAPMI, para pihak harus mempunyai kesepakatan dan mengajukan permohonan secara tertulis, dan bersedia mematuhi kesepakatan damai yang dicapainya. Arbitrase adalah penyelesaian sengketa dengan menyerahkan kewenangan untuk memeriksa dan mengadili sengketa pada tingkat pertama dan terakhir kepada pihak ketiga yang netral dan independen, yang disebut arbiter. Untuk mengajukan sengketa ke arbitrase BAPMI, para pihak harus mempunyai kesepakatan tertulis bahwa sengketa akan diselesaikan melalui arbitrase, dan ada salah satu pihak yang bersengketa mengajukan surat permohonan tuntutan. Arbiter berbentuk majelis atau tunggal mempunyai tugas dan kewenangan memeriksa dan memutus sengketa yang diajukan kepadanya. Putusan arbitrase bersifat final serta mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. 41 Ibid. bersifat tertutup, mengajukan tuntutan ke pengadilan tidak membutuhkan persetujuan pihak lawan, tuntutan ke arbitrase harus didasari perjanjian arbitrase, proses pengadilan formal dan kaku sedangkan arbitrase lebih fleksibel, hakim pada umumnya generalist, arbiter dipilih atas dasar keahlian, putusan pengadilan masih bisa diajukan banding, kasasi dan peninjauan kembali, putusan arbitrase bersifat final dan mengikat, hakim mengenal yurisprudensi, arbiter tidak mengenal hal tersebut, hakim cenderung memutus perkara atas dasar ketentuan hukum, arbiter dapat pula memutus atas dasar keadilan dan kepatutan ex aequo et bono. 42 1. Berdasarkan Proses Penyelesaian Secara umum pranata penyelesaian sengketa alternatif dapat digolongkan ke dalam: a. Konsultasi Tidak ada suatu rumusan ataupun penjelasan yang diberikan di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 mengenai makna maupun arti dari konsultasi pada prinsipnya konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak tertentu yang disebut dengan klien dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut. Tidak ada suatu rumusan yang menyatakan sifat keterkaitan atau kewajiban untuk memenuhi dan mengikuti pendapat yang disampaikan oleh pihak konsultan. 43 42 Ibid. 43 Ibid. Peran dari konsultan dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang ada tidak dominan, konsultan hanya memberikan pendapat hukum yang selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian sengketa tersebut akan diambil sendiri oleh klien. b. Negosiasi Dalam bahasa sehari-hari kata negosiasi sering disebut dengan istilah berunding atau bermusyawarah sedangkan orang yang mengadakan perundingan disebut negosiator. Secara umum negosiasi dapat diartikan sebagai suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui proses peradilan dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerjasama yang lebih harmonis dan kreatif, disini para pihak berhadapan langsung secara seksama dalam mendiskusikan permasalahan yang dihadapi dengan cara kooperatif dan saling terbuka. 44 Pada umumnya proses negosiasi merupakan suatu proses alternatif penyelesaian sengketa yang bersifat informal, meskipun ada kalanya dilakukan secara formal, tidak ada suatu kewajiban bagi para pihak untuk melakukan pertemuan secara langsung, pada saat negosiasi dilakukan negosiasi tersebut tidak harus dilakukan oleh para pihak sendiri. Melalui negosiasi para pihak yang berselisih atau bersengketa dapat melakukan suatu proses penjajakan kembali akan hak dan kewajiban para pihak dengan melalui suatu situasi yang sama-sama menguntungkan win-win solutions dengan melepaskan atau memberikan kelonggaran concession atas hak-hak tertentu berdasarkan pada asas timbal balik. 45 44 Joni Emerzon, Op. Cit., hlm. 44 45 Gunawan Wijaya, Op. Cit., hlm. 88 c. Mediasi Mediasi atau dalam bahasa Inggris disebut dengan mediation adalah penyelesaian sengketa dengan menengahi, sedangkan mediator adalah orang yang menjadi penengah. 46 d. Konsiliasi Mediasi adalah upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan kesepakatan bersama melalui mediator yang bersikap netral dan tidak membuat keputusan atau kesimpulan bagi para pihak tetapi menunjang fasilitator atau terlaksananya dialog antar pihak dengan suasana keterbukaan, kejujuran dan tukar pendapat untuk tercapainya mufakat. Dengan kata lain mediasi yaitu proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak impartial dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu memperoleh kesepakatan perjanjian secara memuaskan. Konsiliasi diartikan sebagai usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan menyelesaikan perselisihan. Apabila para pihak yang bersengketa tidak mampu merumuskan suatu kesepakatan dan pihak ketiga mengajukan usulan jalan keluar dari sengketa, proses ini disebut konsiliasi.hal ini yang menyebabkan istilah konsiliasi kadang sering diartikan dengan mediasi. 47 Konsiliasi dapat juga diartikan sebagai upaya membawa pihak- pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan permasalahan antara kedua belah pihak secara negosiasi. 48 46 John M. Echols Dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Cet. XXV, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990, hlm. 377 47 Suyud Margono, ADR Alternative Dispute Resolution Arbitrase: Proses Pelembagaan Dan Aspek Hukum, Cetakan I, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000, hml. 29 48 Joni Emerzon, Op. Cit., hlm. 90-91 e. Pemberian pendapat hukum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 juga mengenal istilah pendapat ahli sebagai bagian dari alternative penyelesaian sengketa, pemberian opini atau pendapat hukum dapat merupakan suatu masukan dari berbagai pihak dalam menyusun atau membuat perjanjian maupun dalam memberikan penafsiran ataupun pendapat terhadap salah satu atau lebih ketentuan dalam perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak untuk memperjelas pelaksanaannya. 49 f. Arbitrase Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu perkara perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang di buat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pada dasarnya arbitrase adalah perjanjian perdata dimana para pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi yang mungkin akan timbul dikemudian hari yang diputuskan oleh pihak ketiga atau penyeleasaian sengketa oleh seseorang atau beberapa orang wasit arbiter yang ahli di bidangnya secara bersama-sama ditunjuk oleh pihak yang berperkara dengan tidak diselesaikan melalui pengadilan, tetapi secara musyawarah, hal mana dituangkan dalam salah satu bagian dari kontrak. 50 Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sangketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat 1. Dalam Pasal 5 ayat 1 ditentukan bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui 49 Gunawan Wijaya, Op. Cit., hlm. 94-96 50 Rahmat Rosyadi Dan Ngatino, Arbitrase Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002, hlm. 67-68 arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Para pihak adalah subyek hukum baik menurut hukum perdata maupun publik. Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausul arbitrase yang tercantum dalam perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa pactum decompromittendo atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa acte compromise. Lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu. Lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat tentang suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa. Beberapa pertimbangan untuk membentuk 1embaga arbitrase adalah sebagai berikut: 1. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku penyelesaian sengketa perdata disamping dapat dilakukan ke peradilan umum juga terbuka kemungkinan penyelesaian sengketa diajukan melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. 2. Peraturan perundang-undangan yang kini berlaku untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dunia usaha dan hukum pada umumnya. 3. Berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b perlu membentuk undang-undang tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Undang-undang ini mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengah cara arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa. Merupakan pertanyaan apakah lembaga arbitrase berwenang memeriksa sengketa kepailitan. Berdasarkan keputusan Mahkamah Agung RI, putusan Nomor 21 PKN1999 menentukan bahwa perkara kepailitan tidak dapat diajukan penyelesaiannya kepada arbitrase karena telah diatur secara khusus dalam UU Nomor 4 Tahun 1998. Sesuai dengan ketentuan Pasal 180 ayat 1 UU Nomor 4 tahun 1998 yang berwenang memeriksa dan memutus perkara kepailitan ini adalah pengadilan niaga. Pada umumnya lembaga ini mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan lainnya. Kelebihan tersebut adalah: a. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak. b. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif. c. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman dan latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil. d. Para pihak dapat memilih hukum apa yang akan diterapkan untuk penyelesaian masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase. 2. Berdasarkan Pada Sifat Kelembagaan a. Lembaga Ad Hoc Yaitu lembaga yang dibentuk secara khusus untuk menangani perkara suatu sengketa tertentu, lembaga ini tidak bersifat permanen dan akan bubar dengan sendirinya jika sengketa yang diserahkan untuk dimintakan penyelesaiannya, baik dalam bentuk mediasi, konsiliasi maupun arbitrase, telah diselesaikan atau dalam hal lain yang dikehendaki oleh para pihak yang mengangkat para mediator, konsiliator atau arbiter dan membentuk lembaga ad hoc ini. Lembaga ad hoc ini sering ditemukan dalam proses mediasi, meskipun tidak tertutup kemungkinan bahwa untuk proses konsiliasi maupun arbitrase dipergunakan juga lembaga ad hoc ini. 51 b. Lembaga Penyelesaian Sengketa Alternatif Sesuai dengan namanya lembaga ini adalah suatu institusi permanen yang memiliki aturan main yang telah baku, setiap pihak yang ingin dan meminta institusi ini untuk menyelesaikan sengketa harus tunduk sepenuhnya pada aturan main yang telah ditetapkan, kecuali ditentukan sebaliknya. 52

C. Mediasi dalam Perma Nomor 1 Tahun 2008