Proses perdamaian melalui bantuan mediator dilakukan melalui dua tahap, yaitu tahap pra mediasi dan tahap mediasi. Apabila usaha perdamaian berhasil
maka dituangkan ke dalam suatu “acte van dading”, kemudian dikukuhkan melalui putusan pengadilan yang disebut “acte van vergelijk”, yang sama
kekuatannya dengan suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap in kracht van gewijsde, karenanya tidak diperkenankan membantahnya
melalui upaya hukum banding. Demikian ditentukan oleh KUH Perdata Pasal 1858 menyebutkan segala perdamaian mempunyai diantara para pihak suatu
kekuatan seperti suatu putusan hakim dalam tingkat yang penghabisan. Tidak dapatlah perdamaian itu dibantah dengan alasan kekhilafan mengenai hukum atau
dengan alasan bahwa salah satu pihak dirugikan. Jadi acte van vergelijk mempunyai kekuatan eksekutor sebagai konsekuensi yuridisnya, maka apabila isi
perjanjian perdamaian tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang merasa dirugikan berhak menggunakan prosedur eksekusi yang telah diatur dalam
hukum acara perdata.
C. Pelaksanaan Eksekusi Akta Van Dading
Dalam dunia peradilan, sebenarnya hanya ada satu hal pokok yang dicari para pencari keadilan yaitu putusan hakim. Setelah putusan tersebut sudah final
dan berkekuatan hukum secara tetap maka akan dilaksanakan eksekusi yang merupakan akibat dari putusan tersebut. Tujuan pihak-pihak yang berperkara
menyerahkan perkara-perkaranya kepada pengadilan adalah untuk menyelesaikan perkara mereka secara tuntas dengan putusan pengadilan. Tetapi dengan adanya
putusan pengadilan bukan berarti sudah menyelesaikan perkara secara tuntas,
akan tetapi perkara akan dianggap selesai apabila ada pelaksanaan putusan atau eksekusi. Dengan kata lain pencari keadilan mempunyai tujuan akhir yaitu agar
segala hak-haknya yang dirugikan oleh pihak lain dapat dipulihkan melalui putusan pengadilan. Dan pemulihan tersebut akan tercapai apabila putusan dapat
dilaksanakan. Pelaksanaan putusan atau eksekusi adalah putusan pengadilan yang dapat dilaksanakann dan putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah
putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap in kracht van gewijsde. Putusan yang sudah berkekuatan tetap adalah putusan yang sudah tidak mungkin
lagi dilawan dengan upaya hukum verzet, banding, dan kasasi. Dalam pelaksanaan proses perjanjian perdamaian melalui bantuan
mediator dilakukan melalui dua tahap, yaitu tahap pra mediasi dan tahap mediasi. Apabila usaha perdamaian berhasil maka dituangkan ke dalam suatu “acte van
dading”, kemudian dikukuhkan melalui putusan pengadilan yang disebut “acte van vergelijk”, yang sama kekuatannya dengan suatu putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap in kracht van gewijsde, karenanya tidak diperkenankan membantahnya melalui upaya hukum banding. Jadi acte van
vergelijk atau dikalangan hakim lebih sering dikenal dengan sebutan acte van dading mempunyai kekuatan eksekutor sebagai konsekuensi yuridisnya, maka
apabila isi perjanjian perdamaian tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang merasa dirugikan berhak menggunakan prosedur eksekusi yang telah
diatur dalam hukum acara perdata. Cara-cara menjalankan putusan pengadilan disebut eksekusi tadi diatur mulai Pasal 195 sampai Pasal 224 HIR atau Pasal 206
sampai Pasal 258 RBg. Namun pada saat sekarang, tidak semua ketentuan pasal-
pasal tadi berlaku efektif, dimana pasal yang masih betul-betul efektif berlaku adalah Pasal 195 sampai Pasal 208 HIR, dan Pasal 224 HIR atau Pasal 206 sampai
Pasal 223 HIR, atau Pasal 242 sampai Pasal 257 RBg yang mengatur tentang “sandera” gijzeling, tidak diperlakukan secara efektif.
62
Eksekusi adalah merupakan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap in kracht van gewijsde yang dijalankan
secara paksa oleh karena pihak yang kalah dalam perkara tidak mau mematuhi pelaksanaan acara putusan pengadilan. Dalam Pasal 195 HIR Pasal 207 RBg
dikatakan bahwa “dalam hal menjalankan putusan pengadilan negeri dalam perkara yang pada tingkat pertama diperiksa oleh pengadilan negeri adalah atas
Eksekusi terhadap putusan perkara perdata dalam rangkaian sistem peradilan perdata oleh badan peradilan umum diluar proses sengketa. Hukum
yang mengatur eksekusi merupakan sebagian dari hukum acara perdata yang terletak diujung proses yang pada dasarnya tidak ditangani lagi oleh hakim yang
memutus perkara yang bersangkutan. Pemimpin dan penanggung jawabnya adalah ketua pengadilan negeri yang dibantu oleh panitera jurusita, sedang putusan yang
harus dieksekusi adalah putusan-putusan pengadilan negeri, pengadilan tinggi atau mahkamah agung dan putusan-putusan badan-badan lain yang diserahkan ke
pengadilan negeri tujuan tidak lain untuk mengefektifkan suatu putusan menjadi suatu prestasi yang dilakukan dengan secara paksa. Usaha berupa tindakan-
tindakan paksa untuk merealisasi putusan kepada yang berhak menerima dan pihak yang dibebani kewajiban merupakan eksekusi.
62
M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995, hlm. 2
perintah dan tugas pimpinan ketua pengadilan negeri yang pada tingkat pertama memeriksa perkara itu menurut cara yang diatur dalam pasal-pasal HIR.”
Selanjutnya dalam Pasal 196 HIR Pasal 208 RBg dikatakan “jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi amar putusan pengadilan
dengan damai maka pihak yang menang dalam perkara mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan negeri untuk menjalankan putusan pengadilan itu.”
Kemudian ketua pengadilan negeri memanggil pihak yang kalah dalam hukum serta melakukan teguran aanmaning agar pihak yang kalah dalam perkara
memenuhi amar putusan pengadilan dalam waktu paling lama 8 delapan hari. Dengan demikian, pengertian eksekusi adalah tindakan paksa yang dilakukan
pengadilan negeri terhadap pihak yang kalah dalam perkara supaya pihak yang kalah dalam perkara menjalankan amar putusan pengadilan sebagaimana
mestinya.
63
Eksekusi dapat dijalankan oleh ketua pengadilan negeri apabila terlebih dahulu ada permohonan dari pihak yang menang dalam perkara kepada ketua
pengadilan negeri agar putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Sebelum menjalankan eksekusi
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap maka ketua pengadilan negeri melakukan teguran aanmaning kepada pihak yang kalah
dalam perkara agardalam waktu 8 delapan hari sesudah ketua pengadilan negeri melakukan teguran aanmaning maka pihak yang kalah dalam perkara harus
mematuhi amar putusan pengadilan dan apabila telah lewat 8 delapan hari
63
M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Jakarta: PT. Gramedia, 1991, hlm. 5
ternyata pihak yang kalah dalam perkara tidak mau melaksanakan putusan pengadilan tersebut, maka ketua pengadilan negeri dapat memerintah
paniterajurusita pengadilan negeri untuk melaksanakan sita eksekusi atas objek tanah terperkara dan kemudian dapat meminta bantuan alat-alat negara seperti
kepolisian untuk membantu pengamanan dalam hal pengosongan yang dilakukan
atas objek tanah terperkara. Ada beberapa jenis putusan, yaitu:
1. Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk membayar
sejumlah uang. Prestasi yang diwajibkan adalah membayar sejumlah uang dimana eksekusi ini diatur dalam Pasal 196 HIR Pasal 208 RBg.
2. Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan suatu perbuatan.
Hal ini diatur dalam Pasal 225 HIR Pasal 259 RBg. Orang tidak dapat dipaksakan untuk memenuhi prestasi yang berupa perbuatan. Akan tetapi
pihak yang dimenangkan dapat minta kepada hakim agar kepentingan yang akan diperolehnya dinilai dengan uang.
3. Eksekusi riil merupakan pelaksanaan prestasi yang dibebankan kepada
debitur oleh putusan hakim secara langsung. Jadi eksekusi riil itu adalah pelaksanaan putusan yang menuju kepada hasil yang sama seperti apabila
dilaksanakan secara sukarela oleh pihak yang bersangkutan. Dengan eksekusi riil maka yang berhaklah yang menerima prestasi. Prestasi yang terhutang
seperti yang telah kita ketahui misalnya pembayaran sejumlah uang, melakukan suatu perbuatan tertentu, tidak berbuat, menyerahkan benda.
Dengan demikian maka eksekusi mengenai ganti rugi dan uang paksa bukan merupakan eksekusi riil.
Dalam menjalankan eksekusi terdapat tindakan nyata yang dilakukan secara langsung guna melaksanakan apa yang telah dihukumkan dalam amar
putusan, dengan tahapan dan tata cara pelaksanaan eksekusi. Tahapan-tahapan tersebut yakni:
1. Eksekusi riil terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, putusan
provisi, akta perdamaian pengadilan. a.
Adanya permohonan dari pemohon pihak yang menang dalam hal putusan telah berkekuatan hukum tetap baik putusan tingkat pengadilan
negeri yang diterima oleh kedua belah pihak yang berperkara, putusan perdamaian, putusan verstek yang terhadapnya tidak diajukan verzet atau
banding, putusan pengadilan tinggi yang diterima oleh kedua belah pihak dan tidak dimohonkan kasasi dan putusan mahkamah agung dalam hal
kasasi. b.
Selanjutnya ketua pengadilan negeri mengeluarkan penetapan aanmaning teguran terhadap pihak yang kalah untuk melaksanakan isi putusan yang
berkekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 8 delapan hari setelah pihak yang kalah dipanggil untuk ditegur, dengan dibuatkan berita acara
aanmaning dimana waktu 8 hari adalah batas maksimum Pasal 196 HIR atau Pasal 207 RBg.
c. Apabila pihak yang kalah setelah ditegur tidak mau menjalankan putusan,
ketua pengadilan negeri mengeluarkan penetapan perintah eksekusi sesuai amar dalam putusan, dimana perintah menjalanan eksekusi ditujukan
kepada panitera atau jurusita dan dalam pelaksanaannya apabila
diperlukan dapat meminta bantuan kekuatan umum yang dilengkapi dengan berita acara pelaksanaan isi putusan.
2. Eksekusi riil terhadap putusan serta merta uitvoerbaar bij voorraad
a. Adanya permohonan kepada ketua pengadilan negeri dari pihak yang
menang dalam hal salah satu amar putusan dinyatakan serta merta uitvoerbaar bij voorraad, dimana putusan perkara tersebut belum
berkekuatan hukum tetap. b.
Selanjutnya apabila putusanperkara masih dalam upaya hukum banding, maka sebelum putusan tersebut dijalankan, dimohonkan terlebih dahulu
izin kepada ketua pengadilan tinggi, apabila putusanperkara masih dalam upaya hukum kasasi, maka izin untuk pelaksanaan putusannya
dimohonkan terlebih dahulu kepada ketua mahkamah agung. c.
Setelah izin keluar, maka proses eksekusi mengikuti proses seperti yang telah dibahas diatas.
d. Dalam pelaksanaan eksekusi putusan serta merta ada syarat yang harus
dipenuhi yaitu adanya pemberian jaminan yang nilainya sama dengan nilai barang obyek eksekusi sehingga tidakmenimbulkan kerugian pada pihak
lain apabila ternyata dikemudian hari dijatuhkan putusan yang membatalkan putusan pengadilan sebelumnya SEMA No. 3 Tahun 2000
Jo. SEMA No. 4 Tahun 2001. 3.
Eksekusi pembayaran sejumlah uang terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, putusan provisi, akta perdamaian pengadilan.
a. Adanya permohonan dari pemohon pihak yang menang dalam hal
putusan telah berkekuatan hukum tetap baik putusan tingkat pengadilan negeri yang diterima oleh kedua belah pihak yang berperkara, putusan
perdamaian, putusan verstek yang terhadapnya tidak diajukan verzet atau banding, putusan pengadilan tinggi yang diterima oleh kedua belah pihak
dan tidak dimohonkan kasasi dan putusan mahkamah agung dalam hal kasasi.
b. Selanjutnya ketua pengadilan negeri mengeluarkan penetapan aanmaning
teguran terhadap pihak yang kalah untuk melaksanakan isi putusan yang berkekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 8 delapan hari setelah
pihak yang kalah dipanggil untuk ditegur, dengan dibuatkan berita acara aanmaning dimana waktu 8 hari adalah batas maksimum Pasal 196 HIR
atau Pasal 207 RBg. c.
Selanjutnya setelah pihak yang kalah diaanmaning dan tidak juga melaksanakan isi putusan, maka Ketua Pengadilan mengeluarkan
penetapan perintah untuk lelang eksekusi, dimana perintah ditujukan kepada Panitera atau Jurusita dan dalam pelaksanaannya dibantu oleh
KPKNL Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang. d.
Sebelum mengeluarkan penetapan perintah lelang eksekusi, ketua pengadilan negeri berdasarkan permohopnan pemohon terlebih dahulu
menyita eksekusi obyek yang akan dilelang Pasal 197 ayat 1 HIR, apabila dalam putusan telah ada sita atau CB, maka CB secara otomatis
menjadi sita eksekusi.
e. Selanjutnya dalam proses dan tata cara lelang mengikuti aturan yang diatur
oleh Peraturan menteri Keuangan Permenkeu N0.93PMK.062010. 4.
Eksekusi terhadap grosse akta pengakuan hutang a.
Kreditur pemegang grosse atas pengakuan hutang yang berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dapat langsung
memohon eksekusi kepada ketua pengadilan negeri yang bersangkutan dalah hal debitur ingkar janji.
b. Berdasarkan permohonan dari kreditur dalam hal debitur ingkar janji ketua
pengadilan negeri bandung mengeluarkan penetapan aanmaning teguran agar dalam jangka waktu 8 delapan hari setelah ditegur debitur
termohon eksekusi memenuhi kewajibannya kepada krediturpemohon eksekusi 8 hari adalah batas maksimum Pasal 196 HIR atau Pasal 207
RBg. c.
Selanjutnya setelah pihak yang kalah diaanmaning dan tidak juga melaksanakan isi putusan, maka ketua pengadilan mengeluarkan
penetapan perintah untuk lelang eksekusi, dimana perintah ditujukan kepada panitera atau jurusita dan dalam pelaksanaannya dibantu oleh
KPKNL Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang. d.
Sebelum mengeluarkan penetapan perintah lelang eksekusi, ketua pengadilan negeri berdasarkan permohopnan pemohon terlebih dahulu
menyita eksekusi obyek yang akan dilelang Pasal 197 ayat 1 HIR, apabila dalam putusan telah ada sita atau CB, maka CB secara otomatis
menjadi sita eksekusi.
e. Eksekusi berdasarkan grosse akta pengakuan hutang hanya dapat
dilaksanakan, apabila debitur sewaktu ditegur membenarkan jumlah hutangnya.
f. Apabila debitur membantah jumlah hutang tersebut dan besarnya hutang
menjadi tidak fixed, maka eksekusi tidak bisa dilanjutkan. Kreditur, yaitu bank untuk dapat mengajukan tagihannya harus melalui suatu gugatan.
5. Eksekusi terhadap hak tanggungan
a. Eksekusi hak tanggungan dilaksanakan seperti eksekusi pembayaran
sejumlah uang terhadap putusan pengadilan yang berkekuatan hukum yang tetap.
b. Eksekusi dimulai dengan teguran dan berakhir dengan pelelangan yang
dibebani hak tanggungan. c.
Setelah dilakukan pelelangan terhadap objek yang dibebani hak tanggungan dan uang hasil lelang diserahkan kepada kreditur, maka hak
tanggungan yang membebani obyek tersebut akan diroya dan diserahkan kepada pembeli lelang secara bersih dan bebas dari semua beban.
d. Apabila debitur terlelang tidak mau menyerahkan obyek yang telah
dilelang, maka berlaku ketantuan yang terdapat dalam Pasal 200 ayat 1 HIR.
e. Selanjutnya berdasarkan Pasal 200 ayat 1 HIR, pembeli lelang dapat
memohon kepada ketua pengadilan negeri untuk melaksanakan eksekusi pengosongan terhadap obyek lelang yang telah dibelinya dari penghunian
debiturtermohon eksekusi atau siapapun yang mendapat hak dari padanya
serta barang-barang yang ada didalamnya sebagai tindak lanjut dari permohonan tersebut, selanjutnya diproses eksekusi sebagaimana eksekusi
riil terhadap putusan berkekuatan hukum tetap. 6.
Eksekusi terhadap jaminan fidusia
a. Mengenai fidusia diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999.
b. Prosedur dan tata cara eksekusi dilakukan seperti dalam eksekusi hak
tanggungan. c.
Bahwa, selain eksekusi terhadap putusan pengadilan ada juga eksekusi terhadap putusan diluar pengadilan misalnya yaitu putusan P4D, P4P serta
putusan arbitrase. d.
Putusan P4D dan P4P diatur dan dilaksanakan oleh peradilan hubungan industrial.
e. Putusan arbitrase nasional baik yang adhoc maupun yang institusional
yang tidak dilaksanakan secara sukarela oleh termohon, dapat diajukan pelaksanaan putusannya ke pengadilan negeri dimana termohon
berdomisili. f.
Putusan abitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari ketua pengadilan negeri jakarta pusat.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan