Perjanjian Damai Menurut Adat Dan Kebiasaan

f Perdamaian hanya mengenai suatu urusan, sedangkan dari surat-surat yang ditemukan kemudian ternyata salah satu pihak tidak berhak atas hak itu. Apabila keenam hal itu dilakukan maka perdamaian itu dapat dimintakan pembatalan kepada pengadilan. 11

B. Perjanjian Damai Menurut Adat Dan Kebiasaan

Perdamaian yang dilakukan oleh para pihak mempunyai kekuatan mengikat sama dengan putusan hakim pada tingkat akhir, baik itu putusan kasasi maupun peninjauan kembali. Perdamaian itu tidak dapat dijadikan dengan alasan pembatalan bahwa kekeliruan mengenai hukum atau dengan alasan bahwa salah satu pihak dirugikan. Pada tahun 2005 perjanjian perdamaian antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka GAM ditulis dalam satu memorandum of understanding yang berfungsi sebagai dasar untuk mengundang dan mengimplementasikan pemerintahan sendiri di Aceh. Perjanjian perdamaian tersebut belum banyak membicarakan adat, kata tersebut hanya disebut satu kali dalam Pasal 1.1.6 yang menetapkan bahwa qanun-qanun di Aceh harus “menghormati tradisi sejarah dan adat istiadat rakyat Aceh”, dan meskipun tidak menyebut kata adat, Pasal 1.1.7 tentang pembentukannya lembaga wali nanggroe juga tidak kalah pentingnya terhadap proses, revitalisasi lembaga adat di Aceh. Sebagai tindak lanjut dari kesempatan damai dan untuk meng implementasikan memorandum of understanding helsinki, pemerintah indonesia 11 Salim, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Cet. 3, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm. 94 telah mengeluarkan Undang-Undang Pemerintah Aceh Nomor 11 Tahun 2006. Dalam Undang-Undang tersebut, keberadaan lembaga adat dijelaskan secara lebih spesifik. Bab XII membicarakan tentang lembaga wali nanggroe dan memposisikan wali nanggroe sebagai pemimpin adat yang tertinggi di aceh. Bab XII mendaftarkan 13 tiga belas lembaga adat yang harus difungsikan dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan 12 Proses umum yang dijelaskan di atas dapat diaplikasikan terhadap hampir semua kasus di bawah kewenangan peradilan adat, namun ada perlakuan khusus terhadap kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Perlakuan khusus yang dimaksud adalah adanya upaya dari pemimpin adat agar tersedianya mekanisme perlindungan. Langkah-langkah perlindungan yang terpenting adalah adanya upaya untuk memastikan keselamatan korban mulai dari tahap pelaporan perkara, proses penyidikan dan penyelidikan, sidang peradilan adat sampai pada tahap setelah upaya damai dilakukan, dimana pemangku adat harus melakukan pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya kekerasan yang berulang setelah proses damai. Pada saat pemangku adat tidak mampu memberikan jaminan keselamatan terhadap korban atau adanya ancaman nyawa pada diri korban, maka pemangku adat harus melaporkan perkara tersebut kepada kepolisian untuk memastikan bahwa perlindungan terhadap korban bisa diberikan. Namun jika penyelesaian perkara-perkara kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat dilakukan dengan prosedur mekanisme adat, maka keterlibatan perempuan dan 12 Juniarti, Peran Strategis Peradilan Adat Di Aceh Dalam Memberikan Keadilan Bagi Perempuan Dan Kaum Marjinal, Badan Litbang Pusat Analisis Perubahan Sosial PASPAS Aceh, hlm. 2451 anak dalam proses penyelesaian perkara tersebut merupakan suatu keharusan sehingga mereka tidak merasa terancam dan tertekan untuk menerima sebuah keputusan melalui prosedur adat. Namun tentunya keputusan tersebut mesti berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak baik korban ataupun pelaku, yang dituangkan dalam sebuah surat perjanjian damai yang isinya menitik beratkan agar pelaku tidak lagi melakukan tindak kekerasan, jika kekerasan terjadi secara berulang maka pemangku adat harus mengambil langkah-langkah yang dianggap penting dalam memberikan perlindungan pada korban, termasuk melaporkan perkara tersebut ke pihak kepolisian karena mekanisme adat sudah tidak mampu menyelesaikan perkara tersebut. Pada saat ada pelaporan perkara dimana pihak yang terlibat atau korbannya adalah perempuan, seperti perkelahian antar perempuan atau pertengkaran dan kekerasan dalam rumah tangga maka laporan tersebut dapat saja disampaikan langsung pada istri pemangku adat atau tokoh perempuan setempat, dan mereka harus memberitahukan perkara tersebut pada pemangku adat bahwa penyelesaian awal dilakukan oleh istri pemangku adat atau tokoh perempuan, namun jika langsung dilaporkan pada pemangku adat yang biasanya semua laki- laki, maka pemangku adat harus menyerahkan perkara tersebut kepada istri- istrinya atau tokoh perempuan agar melakukan penanganan awal. Upaya ini menjadi penting karena penanganan awal yang dilakukan oleh perempuan untuk perkara tersebut akan memudahkan dalam proses komunikasi dan akan sangat membantu untuk mengetahui duduk persoalan perkara, dimana pengungkapan persoalan yang bersifat sangat pribadi akan lebih nyaman dilakukan sesama perempuan. Jika penanganan awal telah dilakukan, namun tidak ada penyelesaian perkara, maka keterlibatan perempuan di dalamnya proses persidangan dan keputusan adat tersebut juga menjadi prioritas. Jika tidak ada perempuan dalam struktur adat, minimal harus ada pendampingan pada perempuan yang menjadi korban pada saat persidangan di lakukan. 13

C. Perjanjian Damai Dalam KUH Perdata