Mediasi dalam Perma Nomor 1 Tahun 2008

2. Berdasarkan Pada Sifat Kelembagaan a. Lembaga Ad Hoc Yaitu lembaga yang dibentuk secara khusus untuk menangani perkara suatu sengketa tertentu, lembaga ini tidak bersifat permanen dan akan bubar dengan sendirinya jika sengketa yang diserahkan untuk dimintakan penyelesaiannya, baik dalam bentuk mediasi, konsiliasi maupun arbitrase, telah diselesaikan atau dalam hal lain yang dikehendaki oleh para pihak yang mengangkat para mediator, konsiliator atau arbiter dan membentuk lembaga ad hoc ini. Lembaga ad hoc ini sering ditemukan dalam proses mediasi, meskipun tidak tertutup kemungkinan bahwa untuk proses konsiliasi maupun arbitrase dipergunakan juga lembaga ad hoc ini. 51 b. Lembaga Penyelesaian Sengketa Alternatif Sesuai dengan namanya lembaga ini adalah suatu institusi permanen yang memiliki aturan main yang telah baku, setiap pihak yang ingin dan meminta institusi ini untuk menyelesaikan sengketa harus tunduk sepenuhnya pada aturan main yang telah ditetapkan, kecuali ditentukan sebaliknya. 52

C. Mediasi dalam Perma Nomor 1 Tahun 2008

Mediasi adalah salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat, murah, dan juga dapat memberikan akses keadilan yang lebih besar kepada pihak- pihak dalam menemukan jalan penyelesaian sengketa yang memuaskan dan memberikan rasa keadilan. Pengintegrasian mediasi kedalam proses beracara di 51 Gunawan Wijaya, Op. Cit., hlm. 4 52 Ibid. pengadilan dapat menjadi salah satu instrumen yang cukup efektif dalam mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan dan juga memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga non-peradilan untuk penyelesaian sengketa di samping proses acara pengadilan yang besifat ajudikatif memutus. Hukum acara yang berlaku selama ini baik Pasal 130 HIR ataupun Pasal 154 Rbg, mendorong para pihak yang bersengketa untuk menempuh proses mediasi yang dapat diintensifkan dengan cara menggabungkan proses mediasi kedalam prosedur berperkara di pengadilan negeri, seiring terbentuknya peraturan perundang-undangan dan dengan memperhatikan wewenang mahkamah agung dalam mengatur acara peradilan yang belum cukup diatur oleh peraturan perundang-undangan, maka demi kepastian, ketertiban, dan kelancaran dalam proses mendamaikan para pihak dalam menyelesaikan suatu sengketa perdata, kedua aturan tersebut menjadi landasan. Pada Bab I Perma tersebut dijelaskan tentang ketentuan umum berlakunya Perma tersebut. Bab ini terdapat 6 pasal yang dimana pada Pasal 1 adalah penjelasan tentang definisi-definisi istilah yang terdapat pada mediasi. Pasal 2 menjelaskan tentang ruang lingkup dan kekuatan berlaku Perma, dimana hanya berlaku untuk mediasi yang terkait proses berperkara di pengadilan. Pada Pasal 3 dijelaskan tentang biaya pemanggilan para pihak yang dibebankan kepada pihak penggugat, dan jika berhasil mencapai kesepakatan biaya ditanggung bersama atau dengan kesepakatan para pihak. Pasal 4 menjelaskan jenis perkara yang dimediasi adalah semua perkara perdata kecuali sengketa melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan badan penyelesaian sengketa konsumen, dan keberatan atas putusan komisi pengawas persaingan usaha. Pasal 5 tentang sertifikasi mediator dimana mediator harus memiliki sertifikat mediator setelah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga yang telah mendapat akreditasi dari mahkamah agung. Pada Pasal 6 menjelaskan proses mediasi adalah tertutup kecuali kehendak para pihak sendiri. Bab II menjelaskan tentang tahap pra mediasi dimana pada Pasal 7 menjelaskan tentang kewajiban hakim pemeriksa perkara dan kuasa hukum. Pasal 8 menjelaskan tentang hak para pihak dalam memilih mediator. Pada pasal 9 pengadilan menyediakan sekurang-kurangnya 5 daftar nama mediator ke para pihak yang bersengketa. Pada pasal 10 dijelaskan mengenai honorarium mediator dimana jika mediator hakim tidak dipungut biaya namun mediator bukan hakim ditanggung bersama atau kesepakatan para pihak. Pasal 11 menjelaskan batas waktu pemilihan mediator. Pada pasal 12 dijelaskan bahwa para pihak wajib menjalani proses mediasi dengan itikad baik. Bab III dalam Perma Nomor 1 Tahun 2008 adalah mengenai tahap-tahap proses mediasi. Pasal 13 dijelaskan tentang penyerahan resume perkara dan waktu untuk menjalani proses mediasi tersebut. Pada pasal 14 dejelaskan tentang kewenangan mediator menyatakan suatu proses mediasi telah gagal salah satunya apabila salah satu pihak atau kuasa hukumnya tidak menghadiri mediasi dua kali berturut-turut. Pasal 15 menjelaskan tugas-tugas dari seorang mediator dalam menangani suatu proses mediasi. Pada pasal 16 dijelaskan bahwa dalam keadaan tertentu, mediator dapat memanggil seorang atau lebih yang lebih ahli dalam suatu bidang tertentu. Pasal 17 menjelaskan tentang pencapaian kesepakatan dalam suatu proses mediasi dan berikutnya pada Pasal 18 dijelaskan tidak tercapainya tujuan kesepakatan dalam proses mediasi. Pasal 19 menjelaskan tentang keterpisahan mediasi dari litigasi. Bab IV Perma Nomor 1 Tahun 2008 menjelaskan tentang tempat penyelenggaraan mediasi sebagaimana dijelaskan pada Pasal 20. Pada Bab V dijelaskan tentang perdamaian di tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali dijelaskan pada Pasal 21 dan Pasal 22. Bab VI menjelaskan tentang kesepakatan di luar pengadilan yang dijelaskan pada Pasal 23. Pada Bab VII menjelaskan tentang pedoman perilaku mediator dan insentif yang dijelaskan pada Pasal 24 dan Pasal 25. Dan pada Bab VIII merupakan penutup menjelaskan pada Pasal 26 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 tidak berlaku lagi dan pada Pasal 27 dijelaskan berlakunya Peraturan Mahkamah Agung ini sejak tanggal ditetapkannya Perma tersebut pada tanggal 31 Juli 2008. D. Latar Belakang Perma Nomor 1 Tahun 2008 Penggunaan mediasi pada lembaga damai ini bermula dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung SEMA Nomor 1 Tahun 2002 sebagai kelanjutan amanat Pasal 130 HIR 154 Rbg tentang pemberdayaan pengadilan tingkat pertama menerapkan lembaga damai. SEMA tersebut dikeluarkan menyikapi salah satu problema yang dihadapi oleh lembaga peradilan di Indonesia dalam hal tunggakan perkara di tingkat kasasi dan rasa ketidakpuasan para pencari keadilan terhadap putusan lembaga peradilan yang dianggap tidak menyelesaikan masalah. Pada tanggal 11 September 2003 Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, dengan mencabut SEMA Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai, dikarenakan SEMA Nomor 1 Tahun 2002 tersebut kurang efektif. Isi pokok SEMA Nomor 1 Tahun 2002 tersebut ialah bahwa semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib untuk lebih dulu diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator. Di samping itu, hakim wajib menunda proses persidangan perkara itu untuk memberikan kesempatan pada para pihak menempuh proses mediasi. Hakim wajib memberikan penjelasan kepada para pihak tentang prosedur dan biaya mediasi. Jika mediasi tidak menghasilkan kesepakatan, hakim melanjutkan penyelesaian perkara. Penyelenggaraan mediasi yang diselengggarakan di salah satu ruang pengadilan tingkat pertama tidak dikenakan biaya. Jika penyelenggaraan mediasi diselenggarakan di luar pengadilan dan menggunakan mediator di luar pengadilan maka dipungut biaya. Dapat disimpulkan dari SEMA Nomor 1 Tahun 2002 itu tugas mendamaikan di pengadilan diserahkan kepada orang lain, bukan kepada hakim yang pada awalnya memeriksa perkara bahkan kepada orang lain atau mediator di luar pengadilan. Prosedur perdamaian menurut SEMA Nomor 1 Tahun 2002 akan makan waktu lebih lama daripada kalau ditangani oleh hakim yang pada awalnya menangani perkara yang proses mencari mediator. Kalau para pihak menggunakan mediator di luar pengadilan maka sudah jelas bahwa hal itu akan menambah biaya perkara, yang jelas bertentangan dengan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan. SEMA ini merupakan langkah nyata dalam mengoptimalkan upaya perdamaian sehingga pelaksanaannya tidak hanya sekedar formalitas. Bahwa pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu instrumen efektif mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan serta memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa disamping proses pengadilan yang bersifat memutus ajudikatif. Bahwa setelah dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan prosedur mediasi di pengadilan berdasarkan Perma Nomor 02 Tahun 2003 ternyata ditemukan beberapa permasalahan yang bersumber dari peraturan mahkamah agung tersebut, sehingga Perma Nomor 02 Tahun 2003 perlu direvisi dengan maksud untuk lebih mendayagunakan mediasi yang terkait dengan proses berperkara di pengadilan. Berdasarkan hasil pemantauan pelaksanaan mediasi sejak berlakunya Perma Nomor 02 Tahun 2003, September 2003 hingga Desember 2004 di empat pengadilan tingkat pertama, berdasarkan hasil laporan IICT International Institut For Conflict Transformation memperlihatkan bahwa tingkat keberhasilan mediasi rendah yaitu kurang dari 10 dari jumlah perkara yang masuk. Disamping itu terdapat kelemahan-kelemahan normatif pada Perma Nomor 02 Tahun 2003 yang membuat peraturan tersebut tidak mencapai sasaran maksimal yang diinginkan. Namun karena beberapa hal yang pokok belum secara eksplisit diatur dalam Perma Nomor 2 Tahun 2003 yang berisi tentang ketentuan umum, tahapan, tempat dan biaya mediasi di pengadilan dan kemudian terakhir disempurnakan dengan keluarnya Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Saat ini dasar hukum pelaksanaan Mediasi di Pengadilan adalah Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 yang merupakan hasil revisi dari Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003, dimana dalam Perma Nomor 2 Tahun 2003 masih terdapat banyak kelemahan-kelemahan normatif yang membuat perma tersebut tidak mencapai sasaran maksimal yang diinginkan, dan juga berbagai masukan dari kalangan hakim tentang permasalahan permasalahan dalam perma tersebut. Latar belakang mengapa mahkamah agung mewajibkan para pihak menempuh mediasi sebelum perkara diputus oleh hakim diuraikan dibawah ini. Kebijakan mahkamah agung memberlakukan mediasi ke dalam proses perkara di pengadilan didasari atas beberapa alasan. Pertama, proses mediasi diharapkan dapat mengatasi masalah penumpukan perkara. Jika para pihak dapat menyelesaikan sendiri sengketa tanpa harus diadili oleh hakim, jumlah perkara yang harus diperiksa oleh hakim akan berkurang pula. Jika sengketa dapat diselesaikan melalui perdamaian, para pihak tidak akan menempuh upaya hukum kasasi karena perdamaian merupakan hasil dari kehendak bersama para pihak, sehingga mereka tidak akan mengajukan upaya hukum. Sebaliknya, jika perkara diputus oleh hakim, maka putusan merupakan hasil dari pandangan dan penilaian hakim terhadap fakta dan kedudukan hukum para pihak. Pandangan dan penilaian hakim belum tentu sejalan dengan pandangan para pihak, terutama pihak yang kalah, sehingga pihak yang kalah selalu menempuh upaya hukum banding dan kasasi. Pada akhirnya semua perkara bermuara ke mahkamah agung yang mengakibatkan terjadinya penumpukan perkara. Kedua, proses mediasi dipandang sebagai cara penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah dibandingkan dengan proses litigasi. Di Indonesia memang belum ada penelitian yang membuktikan asumsi bahwa mediasi merupakan proses yang cepat dan murah dibandingkan proses litigasi. Akan tetapi, jika didasarkan pada logika seperti yang telah diuraikan pada alasan pertama bahwa jika perkara diputus, pihak yang kalah seringkali mengajukan upaya hukum, banding maupun kasasi, sehingga membuat penyelesaian atas perkara yang bersangkutan dapat memakan waktu bertahun-tahun, dari sejak pemeriksaan di pengadilan tingkat pertama hingga pemeriksaan tingkat kasasi. Sebaliknya, jika perkara dapat diselesaikan dengan perdamaian, maka para pihak dengan sendirinya dapat menerima hasil akhir karena merupakan hasil kerja mereka yang mencerminkan kehendak bersama para pihak. Selain logika seperti yang telah diuraikan sebelumnya, literatur memang sering menyebutkan bahwa penggunaan mediasi atau bentuk-bentuk penyelesaian yang termasuk ke dalam pengertian alternative dispute resolution merupakan proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah dibandingkan proses litigasi. Ketiga, pemberlakuan mediasi diharapkan dapat memperluas akses bagi para pihak untuk memperoleh rasa keadilan. Rasa keadilan tidak hanya dapat diperoleh melalui proses litigasi, tetapi juga melalui proses musyawarah mufakat oleh para pihak. Dengan diberlakukannya mediasi ke dalam sistem peradilan formal, masyarakat pencari keadilan pada umumnya dan para pihak yang bersengketa pada khususnya dapat terlebih dahulu mengupayakan penyelesaian atas sengketa mereka melalui pendekatan musyawarah mufakat yang dibantu oleh seorang penengah yang disebut mediator. Meskipun jika pada kenyataannya mereka telah menempuh proses musyawarah mufakat sebelum salah satu pihak membawa sengketa ke pengadilan, mahkamah agung tetap menganggap perlu untuk mewajibkan para pihak menempuh upaya perdamaian yang dibantu oleh mediator, tidak saja karena ketentuan hukum acara yang berlaku, yaitu HIR dan RBg, mewajibkan hakim untuk terlebih dahulu mendamaikan para pihak sebelum proses memutus dimulai, tetapi juga karena pandangan, bahwa penyelesaian yang lebih baik dan memuaskan adalah proses penyelesaian yang memberikan peluang bagi para pihak untuk bersama-sama mencari dan menemukan hasil akhir. Keempat, institusionalisasi proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa. Jika pada masa-masa lalu fungsi lembaga pengadilan yang lebih menonjol adalah fungsi memutus, dengan diberlakukannya perma tentang mediasi diharapkan fungsi mendamaikan atau memediasi dapat berjalan seiring dan seimbang dengan fungsi memutus. Perma tentang mediasi diharapkan dapat mendorong perubahan cara pandang para pelaku dalam proses peradilan perdata, yaitu hakim dan advokat, bahwa lembaga pengadilan tidak hanya memutus, tetapi juga mendamaikan. Perma tentang mediasi memberikan panduan untuk dicapainya perdamaian. 53 53 Latar Belakang Lahirnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008, http:www.pn-yogyakota.go.idpnykcomponentcontentarticle39595-latar-belakang.html, diakses tanggal 10 September 2014

E. Kebaikan Perma Nomor 1 Tahun 2008