BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan mengenai perjanjian damai diatas, maka dapat disimpulkan beberapa point penting dari pembahasan tersebut, yakni sebagai
berikut: 1.
Mengenai kekuatan hukum perjanjian perdamaian, Pasal 1858 ayat 1 KUH Perdata menyebutkan “segala perdamaian mempunyai di antara para
pihak suatu kekuatan seperti suatu putusan hakim dalam tingkat yang penghabisan.” Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
1193KSip1973, menurunkan abstraksi hukum sebagai berikut “berdasarkan Pasal 1858 KUH Perdata suatu perdamaian atau dading di
muka sidang pengadilan negeri mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan pengadilan dalam tingkat akhir dan tidak dapat dibatalkan dengan
alasan adanya kerugian.” Tegasnya, perdamaian itu mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan suatu putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap in kracht van gewijsde.
2. Proses perdamaian melalui bantuan mediator dilakukan melalui dua tahap,
yaitu tahap pra mediasi dan tahap mediasi. Apabila usaha perdamaian berhasil maka dituangkan ke dalam suatu “acte van dading”, kemudian
dikukuhkan melalui putusan pengadilan yang disebut “acte van vergelijk”, yang sama kekuatannya dengan suatu putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap in kracht van gewijsde, karenanya tidak diperkenankan membantahnya melalui upaya hukum banding. Demikian
ditentukan oleh KUH Perdata Pasal 1858 menyebutkan segala perdamaian mempunyai diantara para pihak suatu kekuatan seperti suatu putusan
hakim dalam tingkat yang penghabisan. Tidak dapatlah perdamaian itu dibantah dengan alasan kekhilafan mengenai hukum atau dengan alasan
bahwa salah satu pihak dirugikan. Jadi acte van vergelijk mempunyai kekuatan eksekutor sebagai konsekuensi yuridisnya, maka apabila isi
perjanjian perdamaian tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang merasa dirugikan berhak menggunakan prosedur eksekusi yang
telah diatur dalam hukum acara perdata. 3.
Eksekusi riil terhadap putusan atas tidak dilaksanakannya akta perdamaian pengadilan yakni dimulai dengan adanya permohonan dari pemohon
pihak yang menang dalam hal putusan telah berkekuatan hukum tetap baik putusan tingkat pengadilan negeri yang diterima oleh kedua belah
pihak yang berperkara, putusan perdamaian, putusan verstek yang terhadapnya tidak diajukan verzet atau banding, putusan pengadilan tinggi
yang diterima oleh kedua belah pihak dan tidak dimohonkan kasasi dan putusan mahkamah agung dalam hal kasasi. Selanjutnya ketua pengadilan
negeri mengeluarkan penetapan aanmaning teguran terhadap pihak yang kalah untuk melaksanakan isi putusan yang berkekuatan hukum tetap
dalam jangka waktu 8 delapan hari setelah pihak yang kalah dipanggil untuk ditegur, dengan dibuatkan berita acara aanmaning dimana waktu 8
hari adalah batas maksimum Pasal 196 HIR atau Pasal 207 RBg. Apabila pihak yang kalah setelah ditegur tidak mau menjalankan putusan, ketua
pengadilan negeri mengeluarkan penetapan perintah eksekusi sesuai amar dalam putusan, dimana perintah menjalanan eksekusi ditujukan kepada
panitera atau jurusita dan dalam pelaksanaannya apabila diperlukan dapat meminta bantuan kekuatan umum yang dilengkapi dengan berita acara
pelaksanaan isi putusan.
B. Saran