Gambaran Kebahagiaan Pada Penyandang Tuna Daksa Dewasa Awal

(1)

GAMBARAN KEBAHAGIAAN PADA PENYANDANG

TUNA DAKSA DEWASA AWAL

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

ADINDA MELATI

051301081

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GANJIL, 2011/2012


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:

Gambaran Kebahagiaan Pada Penyandang Tuna Daksa Dewasa Awal adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini yang saya kutip dari hasil karya orang lain telah ditulis sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Medan, Juli 2011

Adinda melati NIM : 051301081


(3)

Gambaran Kebahagiaan Pada Penyandang Tuna Daksa Dewasa Awal Adinda Melati dan Juliana I. Saragih

ABSTRAK

Setiap manusia pasti menginginkan kondisi atau keadaan fisik yang normal. Namun kenyataan menjadi berbeda ketika terdapat keterbatasan fisik yang tidak dapat dihindari seperti keterbatasan dalam melakukan suatu aktifitas pada bagian tubuh tertentu atau sering disebut tuna daksa. Keinginan untuk dapat hidup bahagia adalah dambaan setiap manusia, begitu juga dengan penyandang tuna daksa.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kebahagiaan pada penyandang tuna daksa dewasa awal. Teori aspek-aspek kebahagiaan dan karakteristik orang yang bahagia oleh Seligman dan Myers digunakan untuk menggambarkan kebahagiaan penyandang tuna daksa.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena dengan metode ini dapat dipahami gejala sebagaimana subjek mengalaminya, sehingga dapat diperoleh gambaran yang sesuai dengan diri subjek dan bukan semata-mata penarikan kesimpulan sebab akibat yang dipaksakan. Responden dalam penelitian ini sebanyak tiga orang yang masing-masing memiliki cacat tubuh sejak lahir. Prosedur pengambilan data dilakukan berdasarkan konstruk operasional (operational construct sampling). Metode pengumpulan data yang dipakai adalah wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan ternyata orang yang tuna daksa juga memiliki kebahagiaan didalam kehidupannya. Terdapat beberapa aspek dan karakteristik yang menunjukkan ketiga responden mencapai kebahagiaan. Menjalin hubungan yang positif dan optimis membuat ketiga responden mampu menjalani kehidupan seperti orang yang memiliki fisik yang normal. Selain itu ketiga responden merasa bangga karena dengan kecacatan yang ketiga responden miliki tidak mampu menghalangi ketiganya untuk terus berkarya dan bekerja. Ketiga responden mempunyai tujuan hidup yang sama yaitu ingin menjadi orang yang berhasil, membangun keluarga yang bahagia, dan tidak hidup bergantung pada orang lain. Kata Kunci: Kebahagiaan, tuna daksa


(4)

A description of Happiness In Tuna Daksha Disabled Adult Beginning

ABSTRACT

Every man would want a condition or a normal physical state. But the fact of being different when there are physical limitations that can not be avoided such as limitations in performing an activity on a specific body part or often called the physically disabled. The desire to be happy life is the desire of every human being, as well as the physically disabled. This study aims to determine the picture of happiness at the beginning of the physically disabled adult. Theory aspects of happiness and the characteristics of happy people by Seligman and Myers used to describe the happiness of disabled persons.

This study used qualitative methods because these methods can be understood as the subject experiencing symptoms, so the picture can be obtained in accordance with the subject and not merely causal inferences that are imposed. Respondents in this study as many as three people who each have a physical disability since birth. Data retrieval procedure is based on the operational construct (operational construct sampling). Data collection methods used are in-depth interviews. The results showed that disabled people were also to have happiness in life. There are several aspects and characteristics that indicate a third of respondents to achieve happiness. Establishing a positive and optimistic about making a third of respondents able to live life like a man who had a normal physical. In addition a third of respondents felt proud because a third of respondents with disabilities are not able to inhibit all three have to continue working and working. All three respondents have the same purpose in life is to become successful, build a happy family, and not to live dependent on others. Keywords: Happiness, disabled


(5)

KATA PENGANTAR

Puji serta syukur marilah kita panjatkan kepada Allah Subhanallahu Wata’ala yang telah memberikan begitu banyak rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi untuk memenuhi syarat dalam menempuh ujian akhir, guna memperoleh gelar sarjana jenjang strata (S-1) di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara dengan judul ”Gambaran Kebahagiaan Pada Penyandang Tuna Daksa Dewasa Awal”

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ayahanda Drs. H. Iwa Suryapati dan Ibunda Hj. T. Nelwani atas segala kasih sayang, do’a serta dukungannya baik moril maupun materil yang selalu menyertai langkah penulis. Semoga Allah SWT selalu mencurahkan kebahagiaan kepada keduanya, di dunia maupun di akhirat. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada saudara-saudara penulis, Kak Reny dan Kak Lona yang memberikan doa dan juga dukungan. Kepada Kak Emy, Ratih dan Adek, terima kasih untuk dukungan dan doanya. Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati selaku Dekan Fakultas Psikologi USU.

2. Kakak Juliana I. Saragih M.Si, Psikolog selaku dosen Pembimbing Skripsi. Terimakasih telah bersedia meluangkan waktu dan menjadi pembimbing bagi penulis dengan penuh kesabaran, pengertian dan semangat memberikan masukan, arahan,


(6)

saran dan kritikan hingga pada akhirnya dapat membantu untuk menyelesaikan skripsi ini meskipun berada di tengah-tengah kesibukanyang sangat padat.

3. Ibu Filia Dina Anggreini, M.pd, selaku dosen pembimbing Akademik. Terima kasih atas segala perhatian, waktu, masukan, nasehat, dan bimbingan dalam proses penyelesaian skripsi ini.

4. Yan Julian, meskipun jauh terima kasih untuk doa, dukungan, semangat serta kasih sayang yang diberikan kepada penulis selama penyelesaian skripsi ini.

5. Fani, Yuli, Neni, terima kasih atas doa, dukungan, waktu, masukan yang sudah membantu penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Endang, teman seperjuangan, terima kasih atas doa, dukungan dan semangat yang diberikan. Semoga tetap semangat dalam penyelesaian skripsinya dan tetap menjadi teman yang terbaik.

6. Wahyuni, Retno, Anggi, Risda, Mega, Tia, Ade, Ica terima kasih doa, semangat, dukungan dan bantuannya pada penulis. Adik-adik angkatan 2006 dan 2007 yang telah membantu dan memberikan semangat pada peneliti. Terima kasih yang tak terhingga untuk kalian semua.

7. Nindy, Vivi, Letty, Devi, Intan, terima kasih atas dukungan, doa, semangat dan waktunya untuk membantu peneliti kesana kemari. Semoga kita bisa menjadi teman selamanya. Buat Dini, Sasha, Mirna terima kasih untuk dukungan dan semangatnya pada penulis.

8. Para staf pengajar dan staf administrasi Fakultas Psikologi USU yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi dan pendidikan di Psikologi USU ini.


(7)

9. Buat para responden yang telah rela meluangkan waktu dan bersedia untuk berbagi cerita dan pengalaman kepada penulis.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekuranagn dalam penelitian ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya masukan dan saran yang sifatnya membangun dari semua pihak, guna menyempurnakan penelitian ini agar menjadi lebih baik lagi. Akhirnya pada Allah juga penulis berserah diri, semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Medan, Juli 2011 Penulis


(8)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian... 9

D. Manfaat Penelitian... 10

1. Manfaat Teoritis... 10

2. Manfaat Praktis ... 10

E. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II. LANDASAN TEORI ... 12

A. Dewasa Awal... 12


(9)

2. Tugas Perkembangan Masa Dewasa Awal ... 13

B. Kecacatan ... 14

1. Definisi Kecacatan... 14

2. Tuna Daksa………....………..………... 15

3. Faktor-faktor Penyebab Kecacatan...……… 16

4. Hambatan-hambatan Kecacatan……… 16

C. Kebahagiaan………...……….. 18

1. Definisi Kebahagiaan ...……….... 18

2. Aspek- aspek Kebahagiaan……… 19

3. Karakteristik Orang Yang Bahagia……… 20

4. Faktor Yang Mempengaruhi Kebahagiaan……… 21

D. Gambaran Kebahagiaan Pada Penyandang Tuna Daksa Dewasa awal.…………... 26

E. Paradigma Berpikir Penelitian ..……….. 29

BAB III. METODE PENELITIAN ... 31

A. Pendekatan Kualitatif ...……….. 31

B. Metode Pengambilan Data ...………....…….. 32

C. Responden Penelitian... 33

1. Karakteristik Responden... 33

2. Jumlah Responden... 33


(10)

4. Lokasi Penelitian... 34

D. Teknik Pengambilan Data…………..………... 34

E. Alat Bantu Pengambilan Data ……….. 36

1. Alat Perekam (Tape Recorder) .………. 36

2. Pedoman Wawancara ... 37

F. Prosedur Penelitian …..……… 37

1. Tahap Persiapan Penelitian ..………... 37

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 40

3. Tahap Pencatatan Data ...………... 42

G. Kredibilitas Penelitian... 43

H. Teknik dan Prosedur Pengolahan Data... 44

BAB IV. ANALISA DATA DAN INTERPRETASI ... 45

A. Responden I ... 45

1. Analisa Data... 45

2. Deskripsi Data... 46

B. Responden II ... 59

1. Analisa Data ... 59

2. Deskripsi Data... 59

C. Responden III ... 73

1. Analisa Data ... 73


(11)

D. Pembahasan………. 108

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN... 115

A. Kesimpulan... 115

B. Saran ... 118

1. Saran Praktis ... 118

2. Saran Penelitian Selanjutnya ... 119 DAFTAR PUSTAKA


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Jadwal Pelaksanaan Wawancara Responden I... 50

Tabel 2 Jadwal Pelaksanaan Wawancara Responden II ... 50

Tabel 3 Jadwal Pelaksanaan Wawancara Responden III ... 50

Tabel 4 Gambaran Umum Responden I ... 66

Tabel 5 Gambaran Umum Responden II ... 68

Tabel 6 Gambaran Umum Responden III ………... 73

Tabel 7 Resume Hasil Responden I ... 126

Tabel 8 Resume Hasil Responden II ... 129


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Pedoman Wawancara


(14)

Gambaran Kebahagiaan Pada Penyandang Tuna Daksa Dewasa Awal Adinda Melati dan Juliana I. Saragih

ABSTRAK

Setiap manusia pasti menginginkan kondisi atau keadaan fisik yang normal. Namun kenyataan menjadi berbeda ketika terdapat keterbatasan fisik yang tidak dapat dihindari seperti keterbatasan dalam melakukan suatu aktifitas pada bagian tubuh tertentu atau sering disebut tuna daksa. Keinginan untuk dapat hidup bahagia adalah dambaan setiap manusia, begitu juga dengan penyandang tuna daksa.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kebahagiaan pada penyandang tuna daksa dewasa awal. Teori aspek-aspek kebahagiaan dan karakteristik orang yang bahagia oleh Seligman dan Myers digunakan untuk menggambarkan kebahagiaan penyandang tuna daksa.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena dengan metode ini dapat dipahami gejala sebagaimana subjek mengalaminya, sehingga dapat diperoleh gambaran yang sesuai dengan diri subjek dan bukan semata-mata penarikan kesimpulan sebab akibat yang dipaksakan. Responden dalam penelitian ini sebanyak tiga orang yang masing-masing memiliki cacat tubuh sejak lahir. Prosedur pengambilan data dilakukan berdasarkan konstruk operasional (operational construct sampling). Metode pengumpulan data yang dipakai adalah wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan ternyata orang yang tuna daksa juga memiliki kebahagiaan didalam kehidupannya. Terdapat beberapa aspek dan karakteristik yang menunjukkan ketiga responden mencapai kebahagiaan. Menjalin hubungan yang positif dan optimis membuat ketiga responden mampu menjalani kehidupan seperti orang yang memiliki fisik yang normal. Selain itu ketiga responden merasa bangga karena dengan kecacatan yang ketiga responden miliki tidak mampu menghalangi ketiganya untuk terus berkarya dan bekerja. Ketiga responden mempunyai tujuan hidup yang sama yaitu ingin menjadi orang yang berhasil, membangun keluarga yang bahagia, dan tidak hidup bergantung pada orang lain. Kata Kunci: Kebahagiaan, tuna daksa


(15)

A description of Happiness In Tuna Daksha Disabled Adult Beginning

ABSTRACT

Every man would want a condition or a normal physical state. But the fact of being different when there are physical limitations that can not be avoided such as limitations in performing an activity on a specific body part or often called the physically disabled. The desire to be happy life is the desire of every human being, as well as the physically disabled. This study aims to determine the picture of happiness at the beginning of the physically disabled adult. Theory aspects of happiness and the characteristics of happy people by Seligman and Myers used to describe the happiness of disabled persons.

This study used qualitative methods because these methods can be understood as the subject experiencing symptoms, so the picture can be obtained in accordance with the subject and not merely causal inferences that are imposed. Respondents in this study as many as three people who each have a physical disability since birth. Data retrieval procedure is based on the operational construct (operational construct sampling). Data collection methods used are in-depth interviews. The results showed that disabled people were also to have happiness in life. There are several aspects and characteristics that indicate a third of respondents to achieve happiness. Establishing a positive and optimistic about making a third of respondents able to live life like a man who had a normal physical. In addition a third of respondents felt proud because a third of respondents with disabilities are not able to inhibit all three have to continue working and working. All three respondents have the same purpose in life is to become successful, build a happy family, and not to live dependent on others. Keywords: Happiness, disabled


(16)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Kebahagiaan adalah keadaan yang sangat diidamkan setiap orang dalam rentang kehidupannya (Carr, 2004). Untuk mencapai hal tesebut tentu saja manusia dengan segala daya upayanya akan selalu melakukan hal-hal yang membuatnya bahagia atau menuntunnya pada kebahagiaan. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa memang terdapat hubungan antara kesejahteraan dengan berkurangnya kemampuan menikmati kesenangan atau kebahagiaan. Adapun kesenangan atau kebahagiaan yang dimaksud adalah perasaan sukacita, kegembiraan, kagum, bangga, terimakasih, dan sebagainya. Sebuah survey yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 87% partisipan hidup dalam dunia matrealistis. Dalam dunia matrealisme individu membeli barang tidak hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk membuat dirinya terlihat lebih baik dimata orang lain. Hal tersebut (membeli barang untuk dilihat orang lain) ternyata juga mempengaruhi kebahagiaan, individu yang melakukan hal tesebut hanya mendapat kesenangan sesaat saja, tidak lama kemudian mereka mencari barang lain untuk dilihat orang lain (Nova, 2010).

Beberapa orang menganggap bahwa kebahagiaan sangat berhubungan dengan materi. Semakin banyak harta yang dimiliki, maka semakin bahagia. Uang bisa memberikan kesenangan, uang bisa mendatangkan teman, dan yang paling penting adalah uang bisa membeli cinta. Pernyataan Roosevelt puluhan tahun yang lalu


(17)

ternyata mendekati teori flow dari Positive Psychology di abad ke duapuluh. Kebahagiaan itu bukan selalu materi, melainkan ketika tercapainya kepuasan diri akan suatu pencapaian diri sejati melalui kreativitas ( Nova, 2010).

Berbeda dengan orang yang mengalami kecacatan. Orang-orang yang cacat fisik seperti tuna daksa adalah mereka yang tubuhnya tidak normal sehingga sebagian besar kemampuannya untuk berfungsi di masyarakat terhambat. Tuna daksa, yaitu individu yang mengalami kelainan anggota tubuh sebagai akibat dari luka, penyakit, pertumbuhan yang salah bentuk sehingga mengakibatkan turunnya kemampuan normal untuk melakukan gerakan-gerakan tubuh tertentu, misalnya kelainan pada bagian tulang-tulang, otot-otot tubuh maupun daerah persendian dan kelainan yang disebabkan oleh gangguan pada urat syaraf (Mangunsong, 1998). Ada bagian-bagian tertentu yang tidak sanggup mereka lakukan, ada juga bagian-bagian lain yang masih sanggup mereka lakukan.

Cacat genetik (bawaan) adalah suatu kelainan/cacat yang dibawa sejak lahir baik fisik maupun mental. Cacat bawaan dapat disebabkan akibat kejadian sebelum kehamilan, selama kehamilan dan saat melahirkan atau masa prenatal. Cacat ini dapat disebabkan oleh penyakit genetik, pengaruh lingkungan baik sebelum pembuahan (bahan mutagenik) maupun setelah terjadi pembuahan (bahan teratogenik) (Faradz, 2001).

UU No. 4/1997 tentang Penyandang Cacat, Pasal. 1 menyebutkan bahwa penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan hambatan baginya untuk melakukan


(18)

kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari : penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental, serta penyandang cacat fisik dan mental (ganda).

Individu-individu yang mengalami cacat tubuh biasanya harus dapat mencapai penyesuaian-penyesuaian mental yang tidak pernah dihadapi oleh mereka yang normal. Misalnya, penyesuaian dalam hubungan dengan sikap orang-orang lain terhadap dirinya. Anak-anak kecil melihat mereka dengan pandangan yang penuh perhatian, sedangkan orang-orang dewasa mengekspresikannya secara lebih tersembunyi dengan menghindarkan diri dari keterlibatan dengan mereka

Keadaan rendah diri dan merasa tertolak oleh lingkungan yang dirasakan seseorang yang mengalami kecacatan (apalagi setelah usianya beranjak dewasa) menyebabkan ia sulit menerima kondisi yang dialaminya. Hubungan dengan orang lain seringnya tidak baik dikarenakan ia merasa kecewa dengan dirinya dan merasa tidak puas dengan keadaannya (Ryff & Singer, 2008). Ia juga menjadi orang yang sangat sensitif terhadap evaluasi ataupun harapan dari luar, tidak mampu membuat keputusan sendiri dan cenderung conform terhadap orang lain/grup karena adanya tekanan grup yang akhirnya membuatnya tidak percaya diri. Karena keterbatasannya melakukan aktivitas, ia seringkali tidak mampu mengatur kegiatan sehari-hari, mengabaikan kesempatan yang hadir, dan tidak mampu mengontrol pengaruh dari luar; kurang memiliki keberartian hidup, sedikit memiliki tujuan hidup, tidak menganggap tujuan hidupnya di masa lalu, dan tidak memiliki keyakinan dalam hidup; mengalami personal stagnation, tidak dapat meningkatkan dan


(19)

mengembangkan diri, merasa jenuh dan tidak tertarik dengan kehidupan, merasa tidak mampu untuk mengembangkan sikap atau tingkah laku yang baru (Ryff & Singer, 2008).

Seperti yang dinyatakan oleh seorang Penyandang Tuna Daksa:

“"Terus terang saya dari keluarga yang broken home dari dua bersaudara, kebetulan saudara saya ini tidak cacat sehingga itu membuat keluarga saya memberi perlakuan berbeda. Ketika orang tua saya bepergian, mereka selalu membawa saudara saya karena dianggap tidak memalukan, sementara saya kan cacat pastinya mereka malu,"

(Komunikasi personal, 8 juni 2010)

Masa dewasa awal adalah masa bagi kehidupan seseorang yang berusia antara 20–40 tahun. Manusia melewati tahap demi tahap perkembangan dalam kehidupannya. Pada setiap tahap perkembangan terdapat tugas-tugas perkembangan yang menurut Havighurst (Hurlock, 1999) diartikan sebagai tugas yang muncul pada saat atau sekitar periode tertentu dari kehidupan individu. Setiap individu yang telah memasuki masa kedewasaannya dituntut untuk melaksanakan tugas-tugas perkembangan sesuai usianya yang salah satunya adalah mulai bekerja dan menemukan calon pasangan hidup (Havighurst dalam Dariyo, 2003). Havighurst (dalam Dariyo, 2003) juga mengatakan masa dewasa awal adalah masa untuk mencapai puncak prestasi. Dengan semangat yang menyala-nyala dan penuh idealisme, mereka bekerja keras dan bersaing dengan teman sebaya (atau kelompok yang lebih tua) untuk menunjukkan prestasi kerja. Dengan mencapai prestasi kerja yang terbaik, mereka akan mampu memberi kehidupan yang makmur-sejahtera bagi keluarganya.


(20)

Kehidupan beberapa orang yang mengalami cacat fisik adalah beberapa atlet yang telah banyak mengikuti pertandingan-pertandingan meskipun ia mengalami kecacatan. Di antara para atlet tersebut pasti ada yang mengalami cacat sejak lahir, sedangkan yang lain mendapatkan cacat fisik ketika masih kecil atau saat remaja. Untuk yang mempunyai cacat bawaan, penerimaan lingkungan terhadap kondisi mereka dan bimbingan yang diterima sejak kecil akan menjadi arah perkembangan diri mereka. Artinya, kalau lingkungan (orangtua, saudara dan teman-teman) menerima kondisi yang ada dan menyemangati yang bersangkutan untuk "tetap maju", walau tahu kalau mempunyai keterbatasan, mereka akan dapat berkembang menjadi orang yang tidak berbeda dengan orang yang fisiknya lengkap (Adi, 2005).

Sikap lingkungan membuat mereka menyesali kondisi yang tidak sama dengan orang-orang lain pada umumnya, mereka akan tumbuh dengan perasaan sedih, sadar betul bahwa mempunyai kelainan dibandingkan orang sehat. Kelainan itu akan selalu disesali dan akan mempengaruhi arah perkembangan di masa mendatang. Sedangkan mereka yang mengalami cacat setelah sempat mempunyai keadaan tubuh lengkap, pendapat mereka sendiri tentang kondisi yang menimpa akan sangat besar pengaruhnya untuk perkembangan berikut. Awalnya, biasanya mereka mempunyai perasaan tidak berdaya. Kalau yang timbul kemudian adalah penyesalan terhadap kondisi yang diderita dan ini terus terus-menerus, perkembangan di masa berikutnya lebih banyak ke arah yang negatif. Kalau mereka dapat menerima kondisi yang ada, perkembangan ke arah hal yang positif pun akan lebih mudah timbul (Adi, 2005).


(21)

Di antara mereka ada juga yang dapat melakukan penyesuaian diri dengan baik, dimana mereka menemukan hal yang positif di lingkungannya. Mereka merasa bangga apabila dapat melakukan sesuatu atau melewati gangguan yang dihadapi, sehingga mereka mendapatkan penghargaan dan penerimaan bahkan dapat dijadikan contoh oleh masyarakat (Somantri, 2006), seperti menjadi pelukis, penyanyi, aktivis dan lain sebagainya. Diskriminasi dan pengucilan dari masyarakat yang kerap diterima sesama penyandang cacat lebih banyak bergantung pada sikap penyandang cacat sendiri.

Seseorang yang mengalami cacat genetik mempunyai perbedaan yang penting bila dibandingkan dengan orang yang mengalami kecacatan setelah lahir (dewasa). Walaupun orang yang mengalami cacat bawaan mengalami perasaan tertolak oleh lingkungan, rendah diri, dan mendapatkan stereotype negatif dari masyarakat tetapi mereka sudah dapat menerima keadaan/kondisi fisik mereka yang cacat. Adanya dukungan keluarga, saudara, dan teman-teman sebaya membuat mereka lebih dapat menerima kondisi fisiknya, lebih tabah, hal yang positif, semangat mereka untuk lebih siap menghadapi lingkungan bahkan mereka sudah mempersiapkan cita-cita dari awal (Faradz, 2001).


(22)

Seperti yang dialami oleh Gufroni yang sempat dihinggapi perasaan sedih, dan minder (dalam “Grufoni Sakaril Ingin Memotivasi Penyandang Cacat Lainnya”) :

“Waktu itu saya masih kecil. Teman-teman di kampung selalu ngejek saya. Mereka bilang kok kedua tangan saya kecil ya. Diejek terus-menerus, saya nangis. Saya shock luar biasa. Bahkan sempat mengunci diri di kamar. Beruntung hal itu tidak berlangsung lama. Berkat ketegaran orangtua yang begitu menyayangi dan tulus mendidik saya, saya akhirnya bangkit. Saya bersyukur punya orangtua yang tegar melihat kondisi anaknya. Saya juga bersyukur mereka menyekolahkan saya di sekolah umum, bukan di sekolah penyandang cacat atau sejenisnya.”

Hal ini seperti yang di ungkapkan oleh Barus yang mengalami cacat tubuh: “Meski hidup dalam kondisi fisik yang tidak sempurna layaknya orang lain, saya masih tetap memiliki kebanggan pada diri saya. Salah satu kebahagiaan yang saya rasakan adalah karena saya tidak pernah menyusahkan orang tua untuk biaya sekolah. Kebahagiaan lain yang saya rasakan karena saya mampu mengangkat kembali semangat hidup yang sempat runtuh. Diskriminasi dan pengucilan yang sering saya terima membuat pembelajaran hidup yang berharga bagi kematangan dan kedewasaan saya.”

(Komunikasi Personal, 9 Juni 2010)

Adanya semangat hidup untuk menjalani kehidupan membuat seseorang menjadi merasa bahagia. Merasa bahagia dan selalu berpikir positif adalah salah satu kunci penting dalam menjalani kehidupan. Orang-orang percaya bahwa kebahagiaan adalah tujuan hidup manusia. Menurut Myers dan Diener (dalam Duffy dan Atwater, 2005) kebahagiaan merujuk pada banyaknya pikiran positif tentang kehidupan yang dijalani seseorang. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Carr (2004) menyatakan bahwa kebahagiaan adalah keadaan psikologis yang positif yang terlihat dari


(23)

tingginya tingkat kepuasan hidup, tingkat perasaan positif, dan rendahnya tingkat perasaan negatif.

Seligman (2005) menjelaskan kebahagiaan merupakan konsep yang mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas positif yang yang tidak mempunyai komponen perasaan sama sekali. Selanjutnya dia mengkategorikan emosi yang terkait dengan masa lalu, sekarang dan masa depan. Kebahagiaan merupakan konsep yang subjektif karena setiap individu memiliki tolak ukur yang berbeda-beda. Setiap individu juga memiliki faktor yang berbeda sehingga bisa mendatangkan kebahagiaan untuknya. Faktor-faktor itu antara lain uang, status pernikahan, kehidupan sosial, usia, kesehatan, emosi negatif, pendidikan, iklim, ras, dan jenis kelamin, serta agama atau tingkat religiusitas seseorang (Seligman, 2005).

Selain itu, Carr (2004) berpendapat bahwa pada dasarnya keinginan yang cukup besar dalam diri manusia ialah keinginan untuk hidup secara baik, dalam arti semua proses hidup manusia seperti sekolah, bekerja, dan menikah dapat berjalan sebagaimana mestinya. Menurut Seligman (2002), kebahagiaan bisa tentang masa lalu, masa sekarang dan masa depan. Kebahagiaan masa lalu mencakup kepuasan, kelegaan, kesuksesan, kebanggaan, dan kedamaian. Kebahagiaan masa sekarang mencakup kenikmatan dan gratifikasi. Sedangkan kebahagian masa depan mencakup optimisme, harapan, keyakinan, dan kepercayaan.

Ketika ada penyandang cacat dan orang normal yang memiliki kemampuan sama maka penghargaan lebih justru di berikan kepada penyandang cacat. Rasa bangga dan bahagia walau sebagian orang selalu melihat dengan sebelah mata karena


(24)

ketidaksempurnaan pada penyandang cacat bukan halangan apalagi menimbulkan kesedihan untuk mereka. Kecacatan selalu membuat kuat, tegar dan bahagia walau tanpa dipungkiri sebagai makhluk sosial perasaan malu pasti ada, tapi ternyata nikmat ini tidak pudar begitu saja. Dengan kecacatan itu, mereka masih bisa berbuat yang terbaik untuk keluarga, suami dan orang lain. Semua terasa begitu sempurna, diluar apa yang terlihat sebagai fisik yang aneh, dengan kaki kecil sebelah dan jalan yang timpang atau tidak mempunyai tangan ( Marlinda, 2008).

Berdasarkan pemaparan diatas, terlihat bahwa tidak semua orang cacat menjadi percaya diri, hubungan dengan orang lain pun terganggu dan selalu memandang negatif terhadap mereka. Orang-orang cacat yang dapat hidup dengan semangat dan bahagia mampu menjalani hidup dengan positif. Oleh sebab itu peneliti tertarik untuk melihat bagaimana gambaran kebahagiaan pada penyandang tuna daksa dewasa awal.

B. Perumusan Masalah

Adapun perumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimanakah gambaran kebahagiaan pada penyandang tuna daksa dewasa awal.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana gambaran kebahagiaan pada penyandang tuna daksa dewasa awal.


(25)

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Manfaat dari adanya penelitian ini adalah memperkaya khasanah ilmu pengetahuan di bidang Psikologi, khusunya Psikologi Klinis.

2. Manfaat Praktis

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang membangkitkan semangat para penyandang tuna daksa untuk menunjukkan kemampuan yang dimiliki.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan pada keluarga dan masyarakat untuk mengakomodasikan para penyandang tuna daksa untuk menyalurkan pikiran, wawasan dan keahliannya.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan proposal penelitian ini adalah: BAB I : Pendahuluan

Berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat peneltian serta sistematika penulisannya.

Bab II : Landasan Teori

Memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam permasalahan. Teori-teori yang dimuat adalah teori dewasa awal termasuk di dalamnya definisi dewasa awal, tugas perkembangan masa dewasa awal. Teori penyandang cacat termasuk definisi kecacatan, tuna


(26)

daksa, faktor-faktor penyebab kecacatan dan hambatan- hambatan kecacatan. Teori kebahagiaan termasuk didalamnya defines kebahagiaan, aspek-aspek kebahagiaan, karakteristik orang yang bahagia dan faktor-faktor kebahagiaan.

Bab III : Metode Penelitian

Berisi mengenai metode penelitian yang berisikan tentang metode kualitatif, metode pengumpulan data, karakteristik responden, alat bantu pengumpulan data, teknik pengambilan data, prosedur penelitian dan pengolahan data.

Bab IV : Analisa Data dan Interpretasi

Mendeskripsikan data responden, analisa dan interpretasi data yang diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan dan pembahasan data-data penelitian sesuai dengan teori yang relevan. Bab V : Kesimpulan dan Saran

Menjelaskan kesimpulan dari peneltian ini serta saran-saran yang dianjurkan mengenai penelitian ini.


(27)

BAB II

LANDASAN TEORI A. Dewasa Awal

1. Definisi dewasa awal

Istilah adult atau dewasa awal berasal dari bentuk lampau kata adultus yang berarti telah tumbuh menjadi kekuatan atau ukuran yang sempurna atau telah menjadi dewasa. Hurlock (1999) mengatakan bahwa masa dewasa awal dimulai pada umur 18 tahun sampai umur 40 tahun, saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif.

Santrock (2002) mengatakan masa dewasa awal adalah masa untuk bekerja dan menjalin hubungan dengan lawan jenis, terkadang menyisakan sedikit waktu untuk hal lainnya. Kenniston (dalam Santrock, 2002) mengemukakan masa muda (youth) adalah periode kesementaraan ekonomi dan pribadi, dan perjuangan antara ketertarikan pada kemandirian dan menjadi terlibat secara sosial. Periode masa muda rata-rata terjadi 2 sampai 8 tahun, tetapi dapat juga lebih lama. Dua kriteria yang diajukan untuk menunjukkan akhir masa muda dan permulaan dari masa dewasa awal adalah kemandirian ekonomi dan kemandirian dalam membuat keputusan. Mungkin yang paling luas diakui sebagai tanda memasuki masa dewasa adalah ketika seseorang mendapatkan pekerjaan penuh waktu yang kurang lebih tetap (Santrock, 2002).

Sementara itu, Dariyo (2003) mengatakan bahwa secara umum mereka yang tergolong dewasa muda (young adulthood) ialah mereka yang berusia 20-40 tahun.


(28)

Sebagai seorang individu yang sudah tergolong dewasa, peran dan tanggung jawabnya tentu semakin bertambah besar. Ia tak lagi harus bergantung secara ekonomis, sosiologis maupun psikologis pada orangtuanya (Dariyo, 2003).

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dewasa awal adalah individu yang berada pada rentang usia antara 20 hingga 40 tahun dimana terjadi perubahan fisik dan psikologis pada diri individu yang disertai berkurangnya kemampuan reproduktif, merupakan masa dimana individu tidak lagi harus bergantung secara ekonomis, sosiologis, maupun psikologis pada orangtuanya, serta masa untuk bekerja, terlibat dalam hubungan masyarakat, dan menjalin hubungan dengan lawan jenis.

2. Tugas perkembangan masa dewasa awal

Hurlock (1980) membagi tugas perkembangan pada individu dewasa awal, antara lain:

a. mulai bekerja b. memilih pasangan c. mulai membina keluarga d. mengasuh anak

e. mengelola rumah tangga

f. mengambil tanggung jawab sebagai warga negara g. mencari kelompok sosial yang menyenangkan.


(29)

B. Kecacatan

1. Definisi Kecacatan

Kecacatan adalah adanya dsifungsi atau berkurangnya suatu fungsi yang secara objektif dapat diukur/dilihat, karena adanya kehilangan/kelainan dari bagian tubuh/organ seseorang. Misalnya, tidak adanya tangan, kelumpuhan pada bagian tertentu dari tubuh. Kecacatan ini bisa selalu pada seseorang, yang dapat menghasilkan perilaku-perilaku yang berbeda pada individu yang berebeda, misalnya kerusakan otak dapat menjadikan individu tersebut cacat mental, hiperkatif, buta, dan lain-lain (Mangunsong, 1998).

UU No. 4/1997 tentang Penyandang Cacat, Pasal 1 menyebutkan bahwa penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari : penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental, serta penyandang cacat fisik dan mental (ganda).

Sementara itu, Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) memberikan definisi kecacatan ke dalam 3 kategori, yaitu: impairment, disability, dan handicap. Impairment disebutkan sebagai kondisi ketidaknormalan atau hilangnya struktur atau fungsi psikologis atau anatomis. Sedangkan disability adalah ketidakmampuan atau keterbatasan sebagai akibat adanya impairment untuk melakukan aktivitas dengan cara yang dianggap normal bagi manusia. Adapun handicap, merupakan keadaan yang merugikan bagi seseorang akibat adanya impairment, disability yang


(30)

mencegahnya dari pemenuhan peranan yang normal (dalam konteks usia, jenis kelamin, serta faktor budaya) bagi orang yang bersangkutan.

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata cacat dapat diartikan dalam berbagai makna, seperti: 1) Kekurangan yang menyebabkan mutunya kurang baik atau kurang sempurna (yang terdapat pada badan, benda, batin atau akhlak); 2) Lecet (kerusakan, noda) yang menyebabkan keadaannya menjadi kurang baik (kurang sempurna); 3) Cela atau aib; 4) Tidak (kurang sempurna).

2. Tuna Daksa

Tuna daksa atau cacat tubuh atau cacat fisik adalah individu yang lahir dengan cacat fisik bawaan, seperti anggota tubuh yang tidak lengkap, individu yang kehilangan anggota badan karena amputasi, individu dengan gangguan neuro maskular seperti cerebral palsy, individu dengan gangguan sensori motorik (alat penginderaan) dan individu yang menderita penyakit kronik (Mangunsong, 1998).

Sementara cacat fisik menurut Departemen kesehatan (dalam Mangunsong, 1998) adalah individu yang menderita kekurangan yang sifatnya menetap pada alat gerak (tulang, otot, sendi) sedemikian rupa sehingga untuk berhasilnya pendidikan mereka perlu mendapatkan perlakuan khusus.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penyandang cacat tubuh (tuna daksa) adalah individu yang lahir dengan cacat fisik bawaan, kehilangan anggota badan, kelainan motorik karena kerusakan syaraf dan kekurangan yang menetap pada alat gerak sehingga untuk berhasilnya pendidikan mereka perlu mendapatkan perlakuan khusus.


(31)

3. Faktor-faktor Penyebab Kecacatan

Kecacatan yang dialami oleh seseorang dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu faktor dari dalam ataupun faktor dari luar individu.

Cacat genetik (bawaan) adalah suatu kelainan/cacat yang dibawa sejak lahir baik fisik maupun mental. Cacat bawaan dapat disebabkan akibat kejadian sebelum kehamilan, selama kehamilan dan saat melahirkan atau masa prenatal. Cacat ini dapat disebabkan oleh penyakit genetik, pengaruh lingkungan baik sebelum pembuahan (bahan mutagenik) maupun setelah terjadi pembuahan (bahan teratogenik) (Faradz, 2001). Sedangkan cacat akibat kecelakaan merupakan kelainan/cacat yang terjadi pada individu akibat kecelakaan yang dapat berupa kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, kebakaran, tersiram air keras, jatuh, tertimpa benda-benda berat, dan lain-lain.

4. Hambatan-hambatan Kecacatan

Hambatan-hambatan yang dialami oleh orang yang mengalami kecacatan antara lain:

a. Sosialisasi

Dalam aspek sosialisasi terdapat dua faktor yang menjadi penghambat bagi orang cacat, yaitu faktor dari dalam diri (internal) dan dari luar (eksternal). Faktor internal meliputi rasa rendah diri, tidak percaya diri, merasa berbeda dari orang lain yang kondisi fisiknya normal dan sering kali merasa takut dirinya akan menjadi beban bagi orang lain. Perasaan-perasaan tersebut yang sering kali menjadi penghambat seorang yang cacat untuk bersosialisasi dengan orang lain. Selain itu, lingkungan yang


(32)

tidak aksesibel juga menjadi penghambat utama bagi penyandang cacat untuk dapat melakukan mobilitas sosial.

b. Pekerjaan

Tantangan lainnya yang dirasa berat bagi penyandang cacat adalah masalah pekerjaan. Kondisi mereka yang cacat kurang memungkinkan mereka untuk bergerak dengan bebas seperti orang normal. Ini membuat kebanyakan orang beranggapan bahwa orang cacat kurang berkompeten untuk melakukan pekerjaan dan hanya akan memberikan kesulitan bagi orang lain karena kecacatan yang dimilikinya. Padahal orang cacat juga perlu untuk memiliki pekerjaan sebagai bentuk penyaluran hobi dan pengetahuan yang dimilikinya.

c. Mencari pasangan

Setiap individu memiliki hasrat untuk memiliki pasangan, menikah dan berkeluarga apalagi ketika individu memasuki tahap dewasa awal karena hal tersebut merupakan salah satu tugas perkembangan yang harus dilewatinya. Akan tetapi kondisi fisik yang cacat membuat individu membatasi diri dari lingkungan sosial dan memiliki sedikit teman. Hal itu dikarenakan mereka merasa rendah diri dan malu dengan kondisi fisiknya apalagi sebelumnya mereka memiliki fisik yang normal. Mereka juga beranggapan apabila mereka kelak menikah, mereka hanya akan mempersulit hidup pasangannya kelak. Selain itu, masyarakat juga


(33)

beranggapan bahwa memiliki menantu yang cacat merupakan suatu hal yang memalukan.

d. Emosi

Secara umum, kekurangan fisik yang dimiliki individu akan membuat individu tersebut memiliki perasaan yang sensitif. Perasaan tidak mampu dan rendah diri yang berlebihan sering menjadikan mereka mudah tersinggung oleh kata-kata dan segala sesuatu yang dianggap menyepelekan dan menyinggung kekurangan mereka. Mereka juga sering berprasangka dan mudah curiga terhadap orang lain.

C. Kebahagiaan

1. Defenisi kebahagiaan

Seligman (2005) menjelaskan kebahagiaan merupakan konsep yang mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktifitas positif yang yang tidak mempunyai komponen perasaan sama sekali. Seligman memberikan gambaran individu yang mendapatkan kebahagiaan yang autentik (sejati) yaitu individu yang telah dapat mengidentifikasi dan mengolah atau melatih kekuatan dasar (terdiri dari kekuatan dan keutamaan) yang dimilikinya dan menggunakannya pada kehidupan sehari-hari, baik dalam pekerjaan, cinta, permainan, dan pengasuhan.

Kebahagiaan merupakan konsep yang subjektif karena setiap individu memiliki tolak ukur yang berbeda-beda. Setiap individu juga memiliki faktor yang berbeda sehingga bisa mendatangkan kebahagiaan untuknya. Faktor-faktor itu antara


(34)

lain uang, status pernikahan, kehidupan sosial, usia, kesehatan, emosi negatif, pendidikan, iklim, ras, dan jenis kelamin, serta agama atau tingkat religiusitas seseorang (Seligman, 2005).

Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan adalah suatu keadaan individu yang berada dalam aspek positif (perasaan yang positif) dan untuk mencapai kebahagiaan yang autentik, individu harus dapat mengidentifikasikan, mengolah, dan melatih serta menggunakan kekuatan (strength) serta keutamaan (virtue) yang dimilikinya dalam kehidupan sehari-hari.

2. Aspek – aspek kebahagiaan

Menurut Seligman dkk, ada lima aspek utama yang dapat menjadi sumber kebahagiaan sejati, yaitu :

a. Menjalin hubungan positif dengan orang lain

Hubungan yang positif bukan sekedar memiliki teman, pasangan, ataupun anak. Status perkawinan dan kepemilikan anak tidak dapat menjamin kebahagiaan seseorang.

b. Keterlibatan penuh

Bagaimana seseorang melibatkan diri sepenuhnya dalam pekerjaan yang ditekuni. Keterlibatan penuh bukan hanya pada karir, tetapi juga dalam aktivitas lain seperti hobi dan aktivitas bersama keluarga. Keterlibatan penuh membutuhkan partisipasi aktif dari orang yang bersangkutan. Dengan melibatkan diri secara penuh, bukan hanya fisik yang beraktivitas, tetapi hati dan pikiran juga turut serta.


(35)

c. Temukan makna dalam keseharian

Dalam keterlibatan penuh dan hubungan positif dengan orang lain tersirat satu cara lain untuk dapat bahagia, yakni temukan makna dalam apapun yang dilakukan.

d. Optimis, namun tetap realistis

Orang yang optimis ditemukan lebih berbahagia. Mereka tidak mudah cemas karena menjalani hidup dengan penuh harapan.

e. Menjadi pribadi yang resilien

Orang yang berbahagia bukan berarti tidak pernah mengalami penderitaan. Karena kebahagiaan tidak bergantung pada seberapa banyak peristiwa menyenangkan yang dialami. Melainkan sejauh mana seseorang memiliki resiliensi, yakni kemampuan untuk bangkit dari peristiwa yang terpahit sekalipun.

3. Karakteristik Orang Yang Bahagia

Setiap orang bisa sampai kepada kebahagiaan akan tetapi tidak semua orang bisa memiliki kebahagiaan. Menurut David G. Myers, seorang ahli kejiwaan yang berhasil mengadakan penelitian tentang solusi mencari kebahagiaan bagi manusia modern. Ada empat karakteristik menurut Myers (1994) yang selalu ada pada orang yang memiliki kebahagiaan dalam hidupnya, yaitu :

a. Menghargai diri sendiri

Orang yang bahagia cenderung menyukai dirinya sendiri. Mereka cenderung setuju dengan pernyataan seperti “Saya adalah orang yang menyenangkan”.


(36)

Jadi, pada umumnya orang yang bahagia adalah orang yang memiliki kepercayaan diri yang cukup tinggi untuk menyetujui pernyataan seperti diatas.

b. Optimis

Ada dua dimensi untuk menilai apakah seseorang termasuk optimis atau pesimis, yaitu permanen (menentukan berapa lama seseorang menyerah) dan pervasif (menentukan apakah ketidakberdayaan melebar ke banyak situasi). Orang yang optimis percaya bahwa peristiwa baik memiliki penyebab permanen dan peristiwa buruk bersifat sementara sehingga mereka berusaha untuk lebih keras pada setiap kesempatan agar ia dapat mengalami peristiwa baik lagi (Seligman, 2005). Sedangkan orang yang pesimis menyerah di segala aspek ketika mengalami peristiwa buruk di area tertentu.

c. Terbuka

Orang yang bahagia biasanya lebih terbuka terhadap orang lain. Penelitian menunjukkan bahwa orang – orang yang tergolong sebagai orang extrovert dan mudah bersosialisasi dengan orang lain ternyata memiliki kebahagiaan yang lebih besar.

d. Mampu mengendalikan diri

Orang yang bahagia pada umumnya merasa memiliki kontrol pada hidupnya. Mereka merasa memiliki kekuatan atau kelebihan sehingga biasanya mereka berhasil lebih baik di sekolah atau pekerjaan.


(37)

4. Faktor –faktor yang Mempengaruhi Kebahagiaan

Berikut ini adalah faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kebahagiaan seseorang:

1) Budaya

Triandis (2000) mengatakan faktor budaya dan sosial politik yang spesifik berperan dalam tingkat kebahagiaan seseorang ( dalam Carr, 2004). Hasil penelitian lintas budaya menjelaskan bahwa hidup dalam suasana demokrasi yang sehat dan stabil lebih daripada suasana pemerintahan yang penuh dengan konflik militer (Carr, 2004). Carr (2004), mengatakan bahwa budaya dengan kesamaan sosial memiliki tingakat kebahagiaan yang lebih tinggi. Kebahagiaan juga lebih tinggi pada kebudayaan individualitas dibandingkan dengan kebudayaan kolektivistis (Carr, 2004). Carr (2004) juga menambahkan kebahagiaan lebih tinggi dirasakan di negara yang sejahtera di mana institusi umum berjalan dengan efisien dan terdapat hubungan yang memuaskan antara warga dengan anggota birokrasi pemerintahan.

2) Kehidupan Sosial

Penelitian yang dilakukan oleh Seligman dan Diener (Seligman 2005) menjelaskan hampir semua orang dari 10% orang yang paling bahagia sedang terlibat dalam hubungan romantis. Menurut Seligman (2005), orang yang sangat bahagia menjalani kehidupan sosial yang kaya dan memuaskan, paling sedikit menghabiskan waktu sendirian dan mayoritas dari mereka bersosialisasi.


(38)

Orang yang religius lebih bahagia dan lebih puas terhadap kehidupan daripada orang yang tidak religius (Seligman, 2005). Selain itu keterlibatan seseorang dalam kegiatan keagamaan atau komunitas agama dapat memberikan dukungan sosial bagi orang tersebut (Carr, 2004). Carr (2004) juga menambahkan keterlibatan dalam suatu agama juga diasosiasikan dengan kesehatan fisik dan psikologis yang lebih baik yang dapat dilihat dari kesetiaan dalam perkawinan, perilaku sosial, tidak berlebihan dalam makanan dan minuman, dan bekerja keras.

4) Pernikahan

Seligman (2005) mengataka bahwa pernikahan sangat erat hubungannya dengan kebahagiaan. Menurut Carr (2004), ada dua penjelasan mengenai hubungan kebahagiaan dengan pernikahan, yaitu orang yang lebih bahagia lebih atraktif sebagai pasangan daripada orang yang tidak bahagia. Penjelasan kedua yaitu pernikahan memberikan banyak keuntungan yang dapat membahagiakan seseorang, diantaranya keintiman psikologis dan fisik, memiliki anak, membangun keluarga, menjalankan peran sebagai orang tua, menguatkan identitas dan menciptakan keturunan (Carr, 2004). Kebahagiaan orang yang menikah memengaruhi panjang usia dan besar penghasilan dan ini berlaku bagi pria dan wanita (Seligman, 2005). Carr (2004), menambahkan orang yang bercerai atau menjanda lebih bahagia pada budaya kolektifis dibandingkan dengan budaya individualis karena budaya kolektifis menyediakan dukungan social yang lebih besar daripada budaya individualis.


(39)

5) Usia

Penelitian dahulu yang dilakukan oleh Wilson mengungkapkan kemudaan dianggap mencerminkan keadaan yang lebih bahagia (Seligman, 2005). Namun setelah diteliti lebih dalam ternyata usia tidak berhubungan dengan kebahagiaan (Seligman, 2005). Sebuah penelitian otoratif atas 60.000 orang dewasa dari 40 bangsa membagi kebahgiaan dalam tiga komponen, yaitu kepuasan hidup, afek positif dan afek negatif (Seligman, 2005). Kepuasan hidup sedikitmeningkat sejalan dengan betambahnya usia, afek positif sedikit melemah dan afek negatif tidak berubah (Seligman, 2005). Seligman (2005) menjelaskan hal yang berubah ketika seseorang menua adalah intensitas emosi dimana perasaan “mencapai puncak dunia” dan “terpuruk dalam keputusasaan” berkurang seiring dengan bertambhanya umur dan pengalaman.

6) Uang

Banyak penelitian yang dilakukan untuk melihat hubungan antara kebahagiaan dan uang (Seligman, 2005). Umumnya penelitian yang dilakukan dengan cara membandingkan kebahagiaan antara orang yang tinggal di negara kaya dengan orang yang tinggal di negara miskin. Perbandingan lintas-negara sulit untuk dijelaskan karena negara yang lebih kaya juga memiliki angka buta huruf yang lebih rendah, tingkat kesehatan yang lebih baik, pendidikan yang lebih tinggi, kebebasan yang lebih luas dan barang materil yang lebih banyak (Seligman, 2005). Seligman (2005) menjelaskan bahwa di negara yang sangat miskin, kaya berarti bias lebih bahagia. Namun di negara yang lebih makmur dimana hampir semua orang


(40)

memperoleh kebutuhan dasar, peningkatan kekayaan tidak begitu berdampak pada kebahgiaan (Seligman, 2005). Seligman (2005), menyimpulkan penilaian seseorang terhadap uang akan mempengaruhi kebahagiaannya lebih daripada uang itu sendiri.

7) Kesehatan

Kesehatan objektif yang baik tidak begitu berkaitan dengan kebahagiaan (Seligman, 2005). Menurut Seligman (2005), yang penting adalah persepsi subjektif kita terhadap seberapa sehat diri kita. Berkat kemampuan beradapatasi terhadap penedritaan, seseorang bisa menilai kesehatannya secara positif bahkan ketika sedang sakit. Ketika penyakit yang menyebabkan kelumpuhan sangat parah dan kronis, kebahagiaan dan kepuasan hidup memang menurun (Seligman, 2005). Seligman (2005) juga menjelaskan orang yang memiliki lima atau lebih masalah kesehatan, kebahagiaan mereka berkurang sejalan dengan waktu.

8) Jenis Kelamin

Jenis kelamin memiliki hubungan yang tidak konsisten dengan kebahagiaan. Wanita memiliki kehidupan emosional yang lebih ekstrim daripada pria. Wanita lebih banyak mengalami emosi positif dengan intensitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Tingkat emosi rata-rat pria dan wanita tidak berbeda namun wanita lebih bahagia dan lebih sedih daripada pria (Seligman, 2005).


(41)

D. Gambaran Kebahagiaan Pada Penyandang Tuna Daksa Dewasa Awal

Pada setiap tahap perkembangan terdapat tugas-tugas perkembangan yang menurut Havighurst (Hurlock, 1999) diartikan sebagai tugas yang muncul pada saat atau sekitar periode tertentu dari kehidupan individu. Setiap individu yang telah memasuki masa kedewasaannya dituntut untuk melaksanakan tugas-tugas perkembangan sesuai usianya yang salah satunya adalah mulai bekerja dan menemukan calon pasangan hidup (Havighurst dalam Dariyo, 2003). Havighurst (dalam Dariyo, 2003) juga mengatakan masa dewasa awal adalah masa untuk mencapai puncak prestasi. Dengan semangat yang menyala-nyala dan penuh idealisme, mereka bekerja keras dan bersaing dengan teman sebaya (atau kelompok yang lebih tua) untuk menunjukkan prestasi kerja.

Seseorang yang mengalami cacat genetik mempunyai perbedaan yang penting bila dibandingkan dengan orang yang mengalami kecacatan setelah lahir (dewasa). Walaupun orang yang mengalami cacat bawaan mengalami perasaan tertolak oleh lingkungan, rendah diri, dan mendapatkan stereotype negatif dari masyarakat tetapi mereka sudah dapat menerima keadaan/kondisi fisik mereka yang cacat. Adanya dukungan keluarga, saudara, dan teman-teman sebaya membuat mereka lebih dapat menerima kondisi fisiknya, lebih tabah, hal yang positif, semangat mereka untuk lebih siap menghadapi lingkungan bahkan mereka sudah mempersiapkan cita-cita dari awal (Faradz, 2001).


(42)

Adanya semangat hidup untuk menjalani kehidupan membuat seseorang menjadi merasa bahagia. Merasa bahagia dan selalu berpikir positif adalah salah satu kunci penting dalam menjalani kehidupan. Orang-orang percaya bahwa kebahagiaan adalah tujuan hidup manusia. Menurut Myers dan Diener (dalam Duffy dan Atwater, 2005) kebahagiaan merujuk pada banyaknya pikiran positif tentang kehidupan yang dijalani seseorang. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Carr (2004) menyatakan bahwa kebahagiaan adalah keadaan psikologis yang positif yang terlihat dari tingginya tingkat kepuasan hidup, tingkat perasaan positif, dan rendahnya tingkat perasaan negatif.


(43)

E. Paradigma Berpikir Penelitian

Kondisi fisik sehat Kondisi fisik tidak sehat

- Penolakan - Penerimaan - Menikah - Bekerja

Bahagia

Dewasa Awal

Mendapat penolakan: - rendah diri

- malu

Mendapat penerimaan: - mampu bersosialisasi - mampu berpikiran positif - mampu memenuhi tugas perkembangan

Aspek-aspek Kebahagiaan

Karakteristik Orang Yang

Bahagia

Keterangan:

: Terdiri dari

: Menyebabkan

: Mempengaruhi

: Yang ingin diteliti


(44)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Pendekatan Kualitatif

Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini dengan tujuan untuk menggali dan mendapatkan gambaran yang luas serta mendalam berkaitan dengan kebahagiaan pada penyandang tuna daksa dewasa awal. Menurut Creswell (1994) penelitian kualitatif adalah suatu proses penelitian yang memungkinkan peneliti memahami permasalahan sosial atau individu secara lebih mendalam dan kompleks, memberikan gambaran secara holistik, yang disusun dengan kata-kata, mendapatkan kerincian informasi yang diperoleh dari informan dan berada dalam setting alamiah. Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2005) mengatakan salah satu kekuatan dari pendekatan kualitatif adalah dapat memahami gejala sebagaimana subjek mengalaminya, sehingga dapat diperoleh gambaran yang sesuai dengan diri subjek dan bukan semata-mata penarikan kesimpulan sebab akibat yang dipaksakan.

Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2005) mendefinisikan “metodologi kualitatif” sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik. Selanjutnya Taylor dan Bogdan (dalam Saragih, 2003) mengatakan bahwa penelitian kualitatif memberi kesempatan pada peneliti untuk dapat memahami cara responden menggambarkan dunia sekitarnya berdasarkan cara pola dan cara berpikir mereka.


(45)

Peneliti berusaha masuk ke dunia konseptual subjek yang ditelitinya untuk menangkap apa (what) dan bagaimana (how) sesuatu terjadi. Peneliti berharap dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, peneliti dapat mendapatkan gambaran mengenai apa saja faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kebahagiaan responden. Doley (dalam Irmawati, 2002) mengemukakan bahwa dalam pendekatan kualitatif, teori tidak dipaksakan untuk mencari hubungan yang pasti antar variabel, melainkan lebih ditujukan untuk mencari dinamika masalah. Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2005) mengatakan salah satu kekuatan dari pendekatan kualitatif adalah dapat memahami gejala sebagaimana subjek mengalaminya, sehingga dapat diperoleh gambaran yang sesuai dengan diri subjek dan bukan semata-mata penarikan kesimpulan sebab akibat yang dipaksakan.

Berdasarkan hal di atas, maka peneliti menggunakan pendekatan kualitatif sebagai metode dalam meneliti kebahagiaan pada penyandang tuna daksa sejak lahir, sehingga hasil yang didapat dari penelitian ini dapat memberikan gambaran dan dinamika yang luas tentang kebahagiaan yang dialami responden.

B. Metode Pengambilan Data

Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode wawancara. Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu, berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain (Banister, dalam


(46)

Poerwandari, 2001). Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara semi terstruktur yaitu wawancara yang pertanyaannya telah ditentukan terlebih dahulu dan berbentuk open-ended question (Gay dan Airasian, 2003).

C. Responden Penelitian 1. Karakteristik Responden

Adapun karakteristik responden yang digunakan dalam penelitian telah disesuaikan dengan tujuan penelitian yang akan diteliti adalah:

a. Penyandang tuna daksa sejak lahir. b. Dewasa Awal ( 20-40 tahun) 2. Jumlah Responden

Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2007), desain kualitatif memiliki sifat yang luwes, oleh sebab itu tidak ada aturan yang pasti mengenai jumlah sampel yang harus diambil dalam penelitian kualitatif. Jumlah sampel sangat tergantung pada apa yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan sumber daya yang tersedia. Prosedur penentuan subjek atau sumber data dalam penelitian kualitatif umumnya menampilkan karakteristik sebagai berikut (Sarakantos, dalam Poerwandari, 2007) :

1. Diarahkan tidak pada jumlah sampel besar, melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian.


(47)

2. Tidak ditentukan secara kaku sejak awal, tetapi dapat berubah baik dalam hal jumlah maupun karakteristik sampelnya, sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian.

3. Tidak diarahkan pada keterwakilan arti jumlah atau peristiwa acak, melainkan kecocokan konteks.

Pada penelitian ini jumlah responden yang digunakan adalah sebanyak tiga orang yang mengalami tuna daksa sejak lahir.

3. Prosedur Pengambilan Responden

Prosedur pengambilan sampel dalam penelitian ini berdasarkan konstruk operasional (theory-based/operational construct sampling). Sampel dipilih berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, berdasarkan teori atau konstruk operasional sesuai studi-studi sebelumnya, atau sesuai dengan tujuan penelitian (Patton, dalam Poerwandari, 2007). Prosedur pengambilan responden ini dilakukan agar responden benar-benar mewakili fenomena penelitian.

4. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Medan. Pengambilan daerah penelitian tersebut adalah dengan alasan kemudahan untuk mendapatkan sampel penelitian, karena peneliti berdomisili berada di daerah tersebut.


(48)

D. Teknik Pengambilan Data

Menurut Poerwandari (2001), metode pengambilan data dalam penelitian kualitatif sangat beragam, disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian serta sifat objek yang diteliti. Teknik pengambilan data dalam penelitian ini adalah teknik wawancara yang merupakan teknik utama dalam pengambilan data.

Wawancara menurut Moleong (2005) adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu, berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain. Patton (dalam Poerwandari, 2001) membedakan tiga pendekatan dasar wawancara dalam memperoleh data kualitatif yaitu wawancara informal, wawancara dengan pedoman umum, dan wawancara dengan pedoman terstandar terbuka. Penelitian ini menggunakan pedoman wawancara yang bersifat umum, yaitu mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan. Pedoman digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (cheklist) apakah aspek-aspek tersebut telah dibahas atau ditanyakan. Jenis wawancara yang digunakan dalam wawancara adalah wawancara mendalam (in depth-Interview). Banister (1994) menjelaskan bahwa wawancara mendalam adalah wawancara yang tetap menggunakan pedoman wawancara, namun penggunaannya


(49)

tidak sekedar wawancara terstruktur. Pedoman wawancara berisi open-ended question yang bertujuan agar arah wawancara tetap sesuai dengan tujuan penelitian

(Poerwandari, 2001).

Hasil wawancara adalah berupa pernyataan-pernyataan yang menyeluruh dan mendalam mengenai kebahagiaan responden dalam kehidupannya.

E. Alat Bantu Pengumpulan Data

Pencatatan data selama penelitian penting sekali karena data dasar yang akan dianalisis berdasarkan kutipan hasil wawancara dan observasi. Oleh karena itu, pencatatan data harus dilakukan dengan cara yang sebaik dan setepat mungkin. Kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif cukup rumit, untuk itu diperlukan instrumen atau alat penelitian agar dapat membantu peneliti dalam pengumpulan data (Moleong, 2005). Alat bantu yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Alat Perekam (Tape Recorder)

Alat perekam digunakan untuk memudahkan peneliti untuk mengulang kembali hasil wawancara yang telah dilakukan. Dengan adanya hasil rekaman wawancara tersebut akan memudahkan peneliti apabila ada kemungkinan data yang kurang jelas sehingga peneliti dapat bertanya kembali kepada responden. Penggunaan alat perekam ini dilakukan setelah memperoleh persetujuan dari responden. Selain itu penggunaan alat perekam memungkinkan peneliti untuk lebih berkonsentrasi pada apa yang akan dikatakan oleh subjek, alat perekam dapat merekam nuansa suara dan bunyi


(50)

aspek-aspek wawancara seperti tertawa, desahan, sarkasme secara tajam (Padget, 1998).

b. Pedoman wawancara

Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau dinyatakan (Poerwandari, 2001). Pedoman wawancara bertujuan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian dan juga sebagai alat bantu untuk mengkategorisasikan jawaban sehingga memudahkan pada tahap analisa data nantinya.

Pedoman wawancara disusun berdasarkan teori-teori dalam BAB II, sehingga peneliti mempunyai kerangka pikiran tentang hal-hal yang ingin ditanyakan. Tema-tema yang dapat menjadi pedoman wawancara (aspek-aspek kebahagiaan dan karakteristik kebahagiaan). Pedoman umum wawancara memuat isu-isu yang berkaitan dengan tema penelitian tanpa menentukan urutan pertanyaan karena akan disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat wawancara berlangsung.

F. Prosedur Penelitian

1. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti melakukan sejumlah hal yang diperlukan untuk melakukan penelitian :


(51)

a. Mengumpulkan data yang berhubungan dengan kebahagiaan pada penyandang tuna daksa dewasa awal.

Peneliti mengumpulkan berbagai informasi dan teori-teori yang berhubungan dengan kebahagiaan, khususnya yang berkaitan dengan penyandang tuna daksa. Selanjutnya peneliti menentukan karakteristik responden yang akan disertakan dalam penelitian ini. Peneliti juga mengumpulkan fenomena-fenomena yang didapat melalui komunikasi personal denga para penyandang tuna daksa.

b. Menyusun pedoman wawancara

Agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian, peneliti menyusun butir-butir pertanyaan berdasarkan kerangka teori untuk menjadi pedoman dalam wawancara.

c. Persiapan untuk mengumpulkan data

Peneliti mengumpulkan informasi tentang calon responden penelitian. Pada waktu peneliti telah memperoleh beberapa orang calon responden, peneliti menghubungi calon responden untuk menjelaskan tentang penelitian yang dilakukan dan menanyakan kesediaannya untuk berpartisipasi dalam penelitian. Apabila calon responden bersedia, peneliti kemudian menyepakati waktu pertemuan selanjutnya bersama calon responden.

d. Membangun rapport dan menentukan jadwal wawancara

Menurut Moleong (2002), rapport adalah hubungan antar peneliti dengan responden penelitian yang sudah melebur sehingga seolah-olah tidak ada lagi dinding pemisah diantara keduanya. Dengan demikian responden secara


(52)

sukarela dapat menjawab pertanyaan atau memberi informasi yang diberikan oleh peneliti. Rapport yang peneliti bangun berbeda dari satu responden dengan responden lain.

Peneliti sebelumnya telah melakukan rapport awal sekaligus inform consent dengan ketiga responden dalam penelitian ini. Peneliti membangun rapport dengan mendatangi kedai sepatu tempat responden I bekerja bersama dengan saudara peneliti yang telah mempertemukan peneliti dengan responden I. Kedatangan saudara peneliti dan peneliti disambut baik oleh responden I. Saudara peneliti kemudian memperkenalkan peneliti kepada responden I. Peneliti menjelaskan tujuan dari penelitian dan meyakinkan kepada responden I bahwa data yang diperoleh selama penelitian berlangsung akan dijaga kerahasiaannya, akhirnya responden I menyetujui dan kemudian menyepakati tempat dan hari yang tepat untuk melakukan wawancara. Begitu juga rapport yang dilakukan pada responden II. Peneliti mengenal responden II saat peneliti sedang membeli makanan di warung tempat responden II bekerja. Peneliti mendatangi warung tempat responden II bekerja untuk membangun rapport. Kedatangan peneliti disambut baik oleh responden II. Peneliti mengobrol sebentar dengan responden II dan menjelaskan maksud dan tujuan dari kedatangan peneliti. Peneliti juga meminta kesediaan responden II untuk membantu dalam penelitian dan permintaan disambut dengan baik oleh responden. Rapport yang dilakukan pada responden III dilakukan di toko milik responden III. Peneliti datang sendiri dan diperkenalkan oleh pegawai toko tempat responden III bekerja. Kedatangan


(53)

peneliti disambut dengan sangat baik. Peneliti kemudian memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud dan tujuan dari kedatangan peneliti. Peneliti juga meminta kesediaan responden III untuk membantu dalam penelitian dan permintaan disambut dengan sangat baik oleh responden. Setelah mencapai kesepakatan, peneliti melakukan wawancara I dengan keempat responden.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Setelah tahap persiapan penelitian dilakukan, maka peneliti memasuki beberapa tahap pelaksanaan penelitian, antara lain:

a. Mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat wawancara

Sebelum wawancara dilakukan, peneliti mengkonfirmasi ulang waktu dan tempat yang sebelumnya telah disepakati bersama dengan responden. Konfirmasi ulang ini dilakukan sehari sebelum wawancara dilakukan dengan tujuan agar memastikan responden dalam keadaan sehat dan tidak berhalangan dalam melakukan wawancara.

b. Melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara

Sebelum melakukan wawancara, peneliti meminta responden untuk menandatangani “Lembar Persetujuan Wawancara” yang menyatakan bahwa responden mengerti tujuan wawancara, bersedia menjawab pertanyaan yang diajukan, mempunyai hak untuk mengundurkan diri dari penelitian sewaktu-waktu serta memahami bahwa hasil wawancara adalah rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian. Setelah itu, peneliti mulai


(54)

melakukan proses wawancara berdasarkan pedoman wawancara yang telah dibuat sebelumnya. Peneliti melakukan beberapa kali wawacara untuk mendapatkan hasil dan data yang maksimal.

Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Wawancara Responden I Responden Hari/Tanggal

wawancara

Waktu wawancara

Tempat wawancara Aman Kamis/ 13 Januari 2011 17.05-18.25 WIB Kedai Sepatu Aman Sabtu/ 21 Januari 2011 17.25-18.15 WIB Kedai Sepatu Aman Jumat/ 28 Januari 2011 13.00-14.10 WIB Kedai Sepatu

Table 2. Jadwal Pelaksana Wawancara Responden II Responden Hari/Tanggal

wawancara

Waktu wawancara

Tempat wawancara Rini Sabtu/ 12 Februari 2011 15.00-16.30 WIB Warung

Makan Rini Jumat/ 18 Februari 2011 17.35-18.45 WIB Rumah Rini Rini Sabtu/ 26 Februari 2011 15.15-16.25 WIB Warung

Makan

Table 3. Jadwal Pelaksanaan Wawancara Responden III Responden Hari/Tanggal

wawancara

Waktu wawancara

Tempat wawancara Hilma Kamis/ 10 Maret 2011 12.25-13.30 WIB Toko Hilma Hilma Sabtu/ 12 Maret 2011 16.45-17.55 WIB Rumah

Hilma Hilma Rabu/ 16 Maret 2011 12.00-13.25 WIB Ruang Kerja

HIlma

c. Memindahkan rekaman hasil wawancara ke dalam bentuk transkrip verbatim. Setelah proses wawancara selesai dilakukan dan hasil wawancara telah


(55)

diperoleh, peneliti kemudian memindahkan hasil wawancara ke dalam verbatim tertulis. Pada tahap ini, peneliti melakukan koding dengan

membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari (Poerwandari, 2001).

d. Melakukan analisa data

Bentuk transkrip verbatim yang telah selesai dibuat kemudian dibuatkan salinannya. Peneliti kemudian menyusun dan menganalisa data dari hasil transkrip wawancara yang telah di koding menjadi sebuah narasi yang baik dan menyusunnya berdasarkan alur pedoman wawancara yang digunakan saat wawancara.

e. Menarik kesimpulan, membuat diskusi dan saran

Setelah analisa data selesai, peneliti menarik kesimpulan untuk menjawab rumusan permasalahan. Kemudian peneliti menuliskan diskusi berdasarkan kesimpulan dan data hasil penelitian. Setelah itu, peneliti memberikan saran-saran sesuai dengan kesimpulan data hasil penelitian.

3. Tahap Pencatatan Data

Semua data yang diperoleh pada saat wawancara direkam dengan alat perekam dengan persetujuan subjek penelitian sebelumnya. Dari hasil rekaman ini kemudian akan ditranskripsikan secara verbatim untuk dianalisa. Transkrip adalah


(56)

salinan hasil wawancara dalam pita suara dipindahkan ke dalam bentuk ketikan di atas kertas.

G. Kredibilitas Penelitian

Kredibilitas adalah istilah yang digunakan dalam penelitian kualitatif untuk menggantikan konsep validitas (Poerwandari, 2007). Deskripsi mendalam yang menjelaskan kemajemukan (kompleksitas) aspek-aspek yang terkait (dalam bahasa kuantitatif: variabel) dan interaksi dari berbagai aspek menjadi salah satu ukuran kredibilitas penelitian kualitatif. Menurut Poerwandari (2007), kredibilitas penelitian kualitatif juga terletak pada keberhasilan mencapai maksud mengeksplorasi masalah dan mendeksripsikan setting, proses, kelompok social atau pola interaksi yang kompleks.

Adapun upaya peneliti dalam menjaga kredibilitas dan objektifitas penelitian ini, antara lain dengan:

1. Memilih sampel yang sesuai dengan karakteristik penelitian, dalam hal ini adalah penyandang tuna daksa yang dewasa awal.

2. Membuat pedoman wawancara berdasarkan aspek-aspek kebahagiaan dan karakteristik kebahagiaan.

3. Menggunakan pertanyaan terbuka dan wawancara mendalam untuk mendapatkan data yang akurat.


(57)

4. Memperpanjang keikutsertaan peneliti dalam pengumpulan data di lapangan. Hal ini memungkinkan peneliti mendapat informasi yang lebih banyak tentang subjek penelitian.

5. Melibatkan teman sejawat, dosen pembimbing dan dosen yang ahli dalam bidang kualitatif untuk berdiskusi, memberikan masukan dan kritik mulai awal proses penelitian sampai tersusunnya hasil penelitian. Hal ini dilakukan untuk memperkecil kesalahan yang berasal dari keterbatasan kemampuan peneliti dengan kompleksitasan fenomena yang diteliti.

6. Melacak kesesuaian dan kelengkapan hasil analisis data dengan melihat hasil wawancara yang dilakukan pertama kali dengan hasil wawancara yang dilakukan setelahnya.

H. Teknik dan Prosedur Pengolahan Data

Data yang diperoleh dari pendekatan kualitatif adalah berupa kata-kata. Untuk itu kita perlu melakukan analisis data. Analisis data adalah proses yang merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan ide seperti yang disarankan oleh data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema dan ide itu (Bogdan dan Taylor dalam Moleong, 2005). Untuk melakukan analisis berdasarkan data tersebut dibutuhkan kehati-hatian agar tidak menyimpang dari tujuan data penelitian. Menurut Poerwandari (2007) proses analisis data adalah sebagai berikut:

a. Organisasi data secara rapi, sistematis, dan selengkap mungkin untuk memperoleh kualitas data yang baik, mendokumentasikan analisa yang


(58)

dilakukan, serta menyimpan data dan analisa yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian.

b. Koding dan analisa, dilakukan dengan menyusun transkip verbatim atau catatan lapangan sehingga ada kolom kosong yang cukup besar di sebelah kanan dan kiri transkip untuk tempat kode-kode atau catatan tertentu, kemudian secara urut dan kontinyu melakukan penomoran pada baris-baris transkip, lalu memberikan nama untuk masing-masing berkas dengan kode tertentu.

c. Pengujian terhadap dugaan, berkaitan erat dengan upaya mencari kejelasan yang berbeda mengenai data yang sama. Peneliti harus mengikutsertakan berbagai perspektif untuk memungkinkan keluasan analitis serta memeriksa bias-bias yang tidak disadari.

d. Strategi analisa, proses analisa dapat melibatkan konsep-konsep yang muncul dari jawaban atau kata-kata subjek maupun konsep yang dipilih atau dikembangkan peneliti untuk menjelaskan fenomena yang di analisa.

e. Interpretasi, yaitu upaya untuk memahami data secara lebih ekstensif dan mendalam. Peneliti memiliki perspektif mengenai apa yang sedang diteliti dan menginterpretasikan data melalui perspektif tersebut. Peneliti beranjak melampaui apa yang secara langsung dikatakan partisipan untuk mengembangkan struktur-struktur dan hubungan-hubungan bermakna yang tidak segera tertampilkan dalam teks (data mentah atau transkip wawancara).


(59)

BAB IV

ANALISA DATA DAN INTERPRETASI

Pada bagian ini akan diuraikan hasil analisa wawancara dalam bentuk narasi. Untuk mempermudah pembaca dalam memahami aspek-aspek kebahagiaan dan karakteristik kebahagiaan, maka data akan dijabarkan, dianalisa, dan diinterpretasi per-subjek. Interpretasi akan dijabarkan dengan menggunakan aspek-aspek yang terdapat dalam pedoman wawancara.

Kutipan dalam setiap bagian analisa diberikan kode-kode tertentu sebab satu kutipan bisa di interpretasikan beberapa kali. Contoh kode yang digunakan adalah : R1.W1.b.0030-0038.h.7, maksud kode ini adalah kutipan dari Responden 1, wawancara pertama, baris 30 sampai 38, verbatim halaman 7.

A. Responden I 1. Analisa Data

a. Deskripsi identitas diri responden I Tabel IV

Gambaran Umum Responden I

Keterangan Responden I

Nama (Samaran) Aman

Jenis Kelamin Laki-laki

Usia 40 tahun

Status Menikah

Jumah Anak 3 Orang


(60)

Pekerjaan Tukang sepatu

Lama Bekerja 24 tahun

Jenis kecacatan Kaki sebelah kiri. Bentuk lonjong, tidak mempunyai jari-jari.

b. Hasil Obsrevasi 1) Wawancara I

Perkenalan peneliti dengan Aman sudah berlangsung selama dua bulan lebih. Peneliti mengenal Aman melalui saudara yang tinggal di lingkungan tempat Aman bekerja. Aman merupakan kenalan dan teman dari saudara peneliti tersebut. Pada saat berkenalan, peneliti menyampaikan maksud dan tujuan peneliti, Aman merespon dengan senang dan bersedia membantu peneliti.

Wawancara pertama dilakukan di kedai sepatu, tempat Aman bekerja. Ia bekerja sebagai tukang jahit sepatu. Aman berkulit hitam, bertubuh besar dengan berat sekitar 100 kg, dan memiliki satu kaki yang tidak sempurna. Kedai sepatunya terletak dipinggiran jalan kecil. Jalan kecil tersebut sangat ramai karena jalan tersebut selalu dilalui oleh mobil-mobil dan motor-motor. Sisi kanan dan sisi kiri dari jalan tersebut penuh dengan orang-orang yang berjualan. Jalan kecil tersebut tidak pernah sepi.

Kedai sepatu responden tersebut berukuran kecil. Hanya ada satu kursi panjang untuk para pelanggan yang datang. Kursi panjang itu hanya bisa untuk 3-4 orang. Suasana didalam kedai tersebut gelap dan hanya cahaya dari luar saja yang membuat kedai tersebut tampak terang. Didalam kedai tersebut juga ada lemari atau


(61)

tempat untuk meletakkan sepatu-sepatu pesanan orang-orang. Motor yang dikendarai oleh responden juga ada didalam kedai tersebut. Sehingga terlihat kedai tersebut menjadi sempit.

Posisi peneliti dan Aman saat wawancara dilakukan berhadapan. Aman duduk ditempat yang Aman biasa duduk dan peneliti disediakan satu buah kursi berwarna merah untuk peneliti. Pada saat wawancara, Aman mengenakan kaos garis-garis berwarna abu-abu hitam dan celana selutut. Wawancara tersebut dimulai pukul 17.05. Ketika wawancara dimulai, Aman duduk dengan kaki yang terlipat. Sesekali Aman menjutaikan kaki sebelah kanannya ke bawah. Terkadang Aman melihat keluar ketika menjawab pertanyaan yang diajukan peneliti. Aman juga suka mengayunkan badannya sambil memukul-mukul kecil lututnya ketika menjawab. Ketika peneliti menanyakan bagaimana kecacatannya terjadi, Aman dengan suka rela menceritakannya. Tidak ada rasa marah atau pun malu untuk menceritakan hal tersebut. Aman melihatkan rasa senang dan banyak tertawa ketika bercerita tentang kehidupannya. Ketika hari sudah mulai gelap dan sudah mau maghrib maka wawancara pun terhentikan. Hari itu merupakan akhir dari wawancara pertama peneliti dengan Aman.

2) Wawancara II

Wawancara kedua dilakukan di tempat yang sama dengan wawancara pertama. Saat itu kedai Aman sedang ramai dengan orang-orang. Banyak orang yang menunggu untuk sepatu dan sandalnya diperbaiki. Setelah beberapa lama menyiapkan pesanan-pesanan orang-orang, ia mempersilahkan peneliti untuk masuk dan duduk di


(62)

kursi yang sama ketika melakukan wawancara pertama. Ia memakai baju berwarna putih dan memakai celana panjang berwarna biru. Seperti biasa, ia duduk dan sesekali mengganti posisi kaki ketika sedang berbicara.

Ketika peneliti bertanya padanya, ia dengan sangat senang menceritakan kisah hidupnya mulai dari tidak bisa bersekolah sampai menikah. Tidak ada perasaan malu dan keraguan untuk menceritakannya dan terlihat wajah yang begitu gembira sampai ia tertawa saat menceritakan pengalaman hidupnya.

Tidak ada gangguan dan kendala dalam proses wawancara kedua ini. Waktu sudah menunjukkan pukul enam sore dan ia harus menutup kedainya, sehingga wawancara kedua pun terhenti dan peneliti meminta izin untuk pamit dan mengatakan akan menghubunginya untuk kembali lagi wawancara.

3) Wawancara III

Wawancara ketiga juga dilakukan di tempat yang sama. Saat peneliti datang, Aman sedang menjahit sepatu pesanan orang. Ia mempersilahkan peneliti masuk dan duduk di tempat yang sama. Ia memakai kaos berwarna coklat bergaris-garis dan memakai celana pendek berwarna coklat. Suasana kedai saat itu sedikit lebih terang dari saat wawancara pertama dan kedua karena tidak ada orang yang duduk didepan pintu masuk, sehingga cahaya dari luar pun masuk dan membuat kedai didalam menjadi terang.

Suasana kedai juga sepi karena pada saat itu adalah waktu untuk makan siang, sehingga jalanan dan semua kedai terlihat sangat sepi. Hanya warung makanan yang terlihat ramai orang-orang yang sedang menyantap makan siang. Pada saat itu juga, ia


(63)

sedang beristirahta sambil menyelesaikan pekerjannya. Ketika peneliti mulai wawancara, Aman memberhentikan pekerjannya dan mendengar peneliti berbicara.

Posisi peneliti dan Aman seperti pada wawancara pertama dan kedua yaitu berhadapan. Aman duduk ditempat biasa dan peneliti duduk dikursi yang berwarna merah. Ia menyediakan minuman ringan untuk peneliti dan mempersilahkan peneliti untuk minum. Wawancara berjalan begitu lancar dan tidak ada gangguan selama wawancara. Wajah dan suara Aman terlihat sangat senang, tidak ada keraguan ketika menjawab semua pertanyaan dari peneliti. Peneliti juga memperjelas kembali jawaban akan pertanyaan wawancara sebelumnya.

Jalanan terlihat mulai ramai, begitu juga dengan kedai Aman yang mulai diramaikan oleh pengunjungnya. Anak laki-laki Aman sedang menyelesaikan pekerjaannya, sehingga Aman harus membantu agar pengunjung lain tidak lama menunggu. Wawancara berkahir pada pukul 13.50 dan peneliti meminta izin untuk pulang.

c. Rangkuman hasil wawancara

Aman adalah anak pertama dari tiga bersaudara., ia mengalami kecacatan sejak lahir. Ia baru mengetahui bahwa salah satu kakinya tidak sempurna pada saat usia 2 tahun. Orangtuanya mengatakan bahwa akibat salah suntik dari dokter ketika ia jatuh dari tempat tidur yang menyebabkan kecacatan, tetapi dari lahir memang sudah tidak sempurna. Kaki kirinya kecil, berbentuk lonjong dan tidak mempunyai jari. Orangtuanya juga sudah membawa ke pengobatan alternatif untuk diobati, tetapi


(64)

tidak berhasil. Cara berjalan Aman adalah dengan merangkak. Meskipun ia merasakan sakit di lututnya, ia tidak putus asa ketika mencari pekerjaan.

Pekerjaannya adalah menjadi tukang jahit sepatu. Aman tidak pernah sekolah karena orangtuanya tidak mempunyai biaya untuk sekolahnya, sehingga ia membantu orangtuanya berternak ayam ketika masih kecil. Ketika ia berusia 16 tahun, ayahnya meninggal dunia dan ia menjadi tulang punggung untuk keluarganya. Awalnya ia membantu ayah angkatnya yang bekerja sebagai penjahit sepatu, kemudian setelah ayah angkatnya merasa ia sudah bisa bekerja, maka ia menyerahkan pekerjaan itu kepada Aman.

Ia juga memiliki masa lalu yang sulit. Masa-masa dimana ia tidak pulang kerumah hanya untuk bekerja, mencari duit untuk menafkahi ibu dan adik-adiknya. Dalam sebulan hanya dua kali ia pulang ke rumah untuk memberikan uang yang ia dapatkan kepada ibunya. Selama tidak tinggal dirumah, ia tinggal di sebuah warung makan di depan kedai tempat ia bekerja. Pemilik warung makan tersebut sudah menganggap ia sebagai anak sehingga menginzinkan ia tinggal di warung tersebut.

Walaupun kakinya tidak sempurna tetapi ia tetap bisa mengendarai sepeda motor. Sepeda motor yang dikhususkan untuk orang-orang yang cacat yang dimilikinya. Ia merasa meskipun keadaannya cacat bukan berarti menghambat untuk beraktifitas seperti orang yang fisiknya sempurna.

Setelah beberapa tahun mempunyai pekerjaan, ia bertemu istrinya saat ini di tengah jalan ketika ia mengalami kesulitan dan mempunyai tiga orang anak. Ia merasa tidak percaya diri dengan keadaannya yang cacat. Penerimaan oleh keluarga


(65)

dan istrinya membuat ia tidak mengenal susah. Ia terus bekerja untuk menghidupi keluarga dan mampu bertahan sampai sekarang untuk keluarganya. Ia mendapat reaksi yang baik ketika keluarganya menegetahui kecacatannya. Ketika mereka mengetahui bahwa ia memiliki kekurangan, keluarga dari istrinya tidak setuju dengan Aman karena mereka memiliki pandangan yang negatif terhadapnya.

Saat ini harapan yang diinginkan Aman adalah membuka sebuah toko sepatu dimana ia juga tetap menjadi penjahit sepatu. Ia juga menginginkan keluarganya bisa mempunyai rumah yang sederhana dan menjadi orang yang lebih baik lagi. Dan berharap bahwa nasib anak-anaknya tidak sama dengannya yang sekarang.

d. Aspek-aspek kebahagiaan

a) Menjalin hubungan positif dengan orang lain

Menjalin hubungan yang baik tidak sulit bagi Aman. Ia yang senang dan sangat menyukai pergaulan membuat ia dengan mudah menarik hati orang lain. Ia mendapat penerimaan yang sangat menyenangkan dari keluarga dan lingkungannya. Tidak ada penolakan terhadap dirinya dan teman-temannya merasa kasihan padanya.

“Kalau sama teman-teman sendiri mereka malah kasian dengan bapak.” (R1.W1.b.336-338.h.8)

Aman juga merasa bahwa tolong menolong sesama adalah kewajiban, sehingga ia merasa suka menolong jika teman-temannya atau keluarganya membutuhkan pertolongan. Begitu juga dengan teman-temannya. Ketika ia mmbutuhkan pertolongan, teman-temannya dengan rela menolongnya.


(1)

Poerwandari, E.K. (2007). Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi. Penerbit: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran. Jakarta: Pendidikan Psikologi (PSP3) UI.

Rusydi, E. (2007). Psikologi Kebahagiaan : Dikupas Melalui Pendekatan Psikologi yang Sangat Menyentuh Hati. Yogyakarta : Progresif Books.

Santoso, Eko J. 2004. The Art of Life Revoluation. Jakarta. Gramedia

Santrock, John W. (1995). Life-span Development: Perkembangan masa hidup, edisi 5. Jilid 2. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Santrock, John W. (1999). Life-span Development (7th edition). USA: McGraw Hill. Seligman, M. (2002). Authentic Happiness: Using The New Positive Psychology to

Realize Your Potential for Lasting Fulfi llment. New York: Free Press.

Seligman, M. (2005). Authentic Happiness: Using The New Positive Psychology to Realize Your Potential for Lasting Fulfi llment (Eva Yulia Nukman, Penerjemah). Bandung: PT. Mizan Pustaka.

Suara Pembaruan Daily. 2005.

Juni 2010.


(2)

(3)

PEDOMAN WAWANCARA I. Penyebab kecacatan

1. Apa yang menyebabkan responden cacat?

II. Ketika responden sadar bahwa dirinya tidak sama dengan orang yang sehat 1. Bagaiman reaksi responden?

2. Bagaimana penerimaan terhadap dirinya?

3. Apa yang dilakukan responden ketika tahu bahwa dirinya tidak sehat?

4. Bagaimana penerimaan lingkungan terhadap responden?

5. Bagaimana ketika melakukan sebuah akitivitas?

6. Apa saja hambatan-hambatan ketika melakukan sebuah aktivitas?

7. Bagaimana cara responden mengatasi hambatan-hambatan tersebut?

III. Aspek Kebahagiaan

a. Menjalin hubungan positif dengan orang lain - Mempunyai teman, pasangan.

1. Bagaimana hubungan dengan keluarga?

2. Bagaiamana tanggapan keluarga dengan keadaan responden? 3. Bagaimana hubungan dengan lingkungan, teman-teman?


(4)

5. Apakah ada hambatan-hambatan ketika menjalin hubungan dengan lawan jenis?

6. Bagaimana mengatasi hambatan tersebut? b. Keterlibatan penuh

1. Selain bekerja, apa yang dilakukan responden? 2. Bagaimana keseharian responden dengan keluarga? 3. Keseharian responden di luar?

c. Temukan makna dalam keseharian 1. Apa kegiatan sehari- hari responden?

2. Bagaimana responden menjalankan keseharian dengan keadaan tidak sehat? d. Optimis namun tetap realistis

1. Apa yang membuat responden ingin tetap maju? 2. Seperti apa responden mewujudkannya?

e. Menjadi pribadi yang resilien

1. Apa yang membuat responden untuk bangkit? 2. Siapa saja yang mendukung respon untuk bangkit? 3. Bagaimana mereka melakukannya?

4. Hal-hal apa yang membuat responden tetap semangat dan bertahan dengan keadaan seperti ini?

IV. Karakteristik kebahagiaan a. Menghargai diri sendiri


(5)

2. Apakah responden percaya diri dengan pekerjaannya? b. Optimis

1. Apa harapan responden untuk kedepannya? 2. Bagaimana responden memenuhi kebutuhannya? c. Terbuka

1. Apakah responden pernah mempunyai masalah?

2. Apakah ketika mempunyai masalah responden menceritakan kepada orang lain atau menyimpan sendiri?

3. Bagaimana responden mengatasi masalahnya? d. Mampu mengendalikan diri

1. Apa yang dilakukan responden ketika mengalami kesulitan? 2. Apakah responden dapat mengontrol dirinya ketika sedang marah?


(6)

INFORMED CONSENT

Pernyataan Pemberian Izin oleh Responden

Judul Penelitian : Gambaran Kebahagiaan Pada Penyandang Tuna Daksa Dewasa Awal

Peneliti : Adinda Melati

NIM : 051301081

Saya yang bertandatangan di bawah ini, dengan secara sukarela dan tidak ada unsur paksaan dari siapapun, bersedia berperan serta dalam penelitian ini.

Saya telah diminta dan telah menyetujui untuk diwawancarai sebagai partisipan dalam penelitian mengenai gambaran kebahagiaan pada penyandang tuna daksa dewasa awal.

Peneliti telah menjelaskan tentang penelitian ini beserta dengan tujuan dan manfaat penelitiannya. Dengan demikian saya menyatakan kesediaan saya dan tidak berkeberatan memberikan informasi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada saya.

Saya mengerti bahwa identitas diri dan juga informasi yang saya berikan akan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti dan hanya digunakan untuk tujuan penelitian saja.

Medan, 3 Januari 2011