Responden III 1. Analisa Data

orang putra lagi, ia harus mampu mengendalikan dirinya untuk berbuat hal-hal yang negatif dan meminta pada Tuhan untuk dapat menjaga anaknya. Pada akhirnya, ia dapat menikah kembali, mendapatkan seorang putri dan kehidupan yang ia inginkan.

C. Responden III 1. Analisa Data

a. Deskripsi identitas diri responden III Tabel VI

Gambaran Umum Responden III Keterangan Responden III Nama Samaran Hilma Jenis Kelamin Perempuan Usia 32 tahun Status Menikah Jumlah Anak 1 Orang Agama Islam Pekerjaan Penjahit Lama Bekerja 8 tahun Jenis Kecacatan Tangan sebelah kanan kecil, mempunyai 2 jari kecil.

b. Hasil Obsrevasi

1 Wawancara I Peneliti mengenal Hilma dari pegawai yang bekerja di toko Hilma. Perkenalan peneliti berlangsung selama satu bulan lebih. Pertemuan pertama dengan Hilma, peneliti mengajak Hilma untuk mengobrol. Pertemuan kedua, peneliti mengatakan Universitas Sumatera Utara maksud dan tujuan kepada Hilma dan Hilma meresponnya dengan sangat baik dan mengatakan akan membantu peneliti. Wawancara pertama dilakukan di Toko milik Hilma. Hilma memiliki tinggi 170cm dan memiliki berat badan 50kg. Tubuhnya kurus ,kulitnya sawo matang dan mempunyai rambut panjang tetapi pada saat itu rambutnya sedang diikat ke atas. Ia memiliki satu tangan yang tidak sempurna. Ketika itu, ia sedang duduk santai setelah selesai makan siang. Toko yang ia miliki terletak di dalam sebuah kompleks dan letaknya di depan jalan besar. Tepatnya sebuah ruko yang berukuran 4x6 dan bertingkat. Di sisi kanan toko tersebut, terdapat sebuah toko roti. Di sisi kiri, terdapat sebuah toko elektronik. Toko tersebut berwarna cokelat muda dan cokelat tua. Di dalam toko tersebut beralaskan ubin yang berwarna cokelat dan dindingnya berwarnakan cokelat muda. Terdapat beberapa patung untuk dipakaikan baju. Ruangan tersebut sangat dingin karena AC yang menyala. Di sudut ruangan sebelah kanan pintu ada sofa berwarna kuning dan meja kaca persegi. Di dinding sisi kiri terdapat lemari besar 4 pintu berwarna hitam dan didalamnya beberapa pakain yang sudah siap dipakai. Disisi kanan ada beberapa baju yang digantung dan patung yang sudah lengkap dengan pakaian. Tidak jauh dari lemari besar tersebut, ada meja dan mesin uang untuk pembayaran oleh pembeli. Terdapat juga foto-foto dan lukisan-lukisan karyanya sendiri. Hilma mempersilahkan peneliti duduk di ruangan belakang tempat ia dan pegawainya makan siang. Ruangan tersebut terlihat sempit karena ada beberapa Universitas Sumatera Utara bungkus pakaian, lemari dan 1 meja kayu berbentuk persegi dengan 4 kursi kayu. Posisi peneliti berhadap-hadapan dengan Hilma. Hari itu, ia memakai kaos berwarna hitam dan memakai rok panjang berwarna cokelat. Wawancara tersebut dimulai pada pukul 12.25. Hilma menjawab semua pertanyaan dari peneliti tanpa ragu. Ia terlihat senang ketika menceritakan bagaimana masa kecilnya. Tidak ada keraguan ketika ia berbicara dan tidak ada wajah sedih ketika menceritakan ia tidak mempunya seorang ibu. Sesekali ia mengubah gaya duduknya senyaman mungkin. Wawancara sempat terhenti karena ia harus menerima telpon dari suaminya. Setelah itu, wawancara pun berlanjut kembali. Ia mengambil minum dan memberikan minum tersebut pada peneliti. Wawancara terhenti karena Hilma sudah mempunyai janji dengan pelanggannya. Pada pukul 13.30 wawancara pertama telah selesai. Peneliti berpamitan dan mengatakan akan menghubunginya jika ia akan datang lagi. 2 Wawancara II Wawancara kedua dilakukan di rumah Hilma. Rumah yang berwarna cokelat, besar dan bertingkat itu terletak di sebuah jalan kecil. Kira-kia 200m dari jalan besar. Ujung dari jalan kecil tersebut terdapat sebuah mesjid kecil.di halaman rumahnya terdapat sebuah taman kecil dengan tempat duduk dan ayunan berwarna putih. Ada juga beberapa mainan anak-anak, sehingga taman itu terlihat penuh. Di dalam ruangan yang besar tersebut terdapat beberapa sofa dan meja di ruang tamu. Terdapat pembatas yaitu sebuah lemari besar untuk membatasi ruang keluarga dengan ruang tamu. Ruang tamu tersebut beralaskan ubin yang berwarna Universitas Sumatera Utara cokelat dan dinding yang memakai wallpaper berukiran bunga-bunga. Terdapat lukisan-lukisan dan beberapa foto keluarga. Didalam lemari tersebut terdapat beberapa piala, beberapa piagam dan beberapa sertifikat hasil dari perlombaan yang ia ikuti. Rumah besar tersebut memiliki 3 kamar tidur di lantai atas dan ruang bermain, sedangkan dilantai bawah terdapat 2 kamar tidur, sebuah ruang keluarga, sebuah ruang tamu, sebuah ruang makan, sebuah musholla dan sebuah dapur. Disisi kanan ruang makan, terdapat sebuah pintu yang menghubungkan ke sebuah ruangan. Ruangan tersebut dipakai untuk tempat menjahit dan bekerja para pegawainya. Ketika peneliti mengunjungi Hilma ke rumahnya, ia sedang menyiapkan jahitan baju pesanan pelanggannya. Ia mempersilahkan peneliti masuk ke ruang kerjanya dan mempersilahkan duduk. Ia juga memintapekerja rumahnya untuk mengambilkan minuman untuk ia dan peneliti. Suasana ruangan tersebut sepi karena para pegawainya sudah pulang. Dalam ruangan tersebut terdapat sebuah lemari, beberapa mesin jahit dan meja panjang berbentuk persegi dan sebuah AC menyala yang membuat ruangan menjadi dingin. Wawancara pun dimulai. Posisi peneliti dengan Hilma seperti di wawancara pertama berhadap-hadapan. Tetapi kali ini, peneliti dan Hilma duduk dibawah sehingga lebih terasa nyaman dan bebas bergerak. Saat itu Hilma sedang memegang kain baju yang sudah selesai. Ia memeriksa benang-benang tersebut dan mengguntingnya bila ada ada bennag yang keluar, sehingga baju tersebut terlihat Universitas Sumatera Utara rapi. Ia memakai kaos berwarna hijau muda dan memakai celana jeans biru muda, memakai kacamata dan rambutnya terikat keatas. Percakapan antara peneliti dan Hilma berlangsung dengan baik. Sama seperti pada wawancara awal, tidak ada keraguan untuk menjawab. Wawancara berlangsung selama satu jam lima menit. Hari sudah mau gelap, saatnya peneliti berpamitan untuk pulang. Hilma mengatakan pada peneliti untuk menghubungi ia jika akan datang lagi. 3 Wawancara III Wawancara ketiga dilakukan dirumah Hilma. Ketika peneliti datang, Hilma sedang mengerjakan pekerjaannya, memeriksa barang-barang yang baru masuk seperti baju, tas dan kain. Ia mempersilahkan peneliti masuk dan duduk. Pada hari itu, pegawainya sedang bekerja sehingga ruangan terlihat ramai. Ia memakai kemeja berwarna kuning dan memakai rok panjang berwarna hitam. Rambutnya diikat setengah dan memakai kacamata. Didepannya ada beberapa buku dan laptop, sehingga peneliti duduk disamping kirinya. Setelah selesai memeriksa barang-barang yang baru masuk, ia bersedia di wawancara. Ia meminta maaf karena sudah membuat peneliti menunggu lama. Ia juga meminta pegawainya untuk membawakan minuman dan makanan ringan. Seperti biasa, ia menjawab pertanyaan peneliti dengan baik. Ia banyak tertawa dan sangat senang menceritakan pengalamannya ketika menjadi pembicara untk sebuah acara di Surabaya. Wawancara berjalan dengan lancar. Wawancara berkahir ketika pegawainya menyampaikan pesan bahwa pelanggannya sudah menunggu Hilma. Universitas Sumatera Utara Peneliti pun berpamitan dan bersalaman dengan Hilma. Ia mengatakan untuk menghubunginya jika peneliti memerlukan ia lagi.

c. Rangkuman hasil wawancara

Hilma nama samaran terlahir dengan keadaan tangan yang tidak normal dan terlahir dari keluarga yang ekonominya rendah. Ibunya pernah beberapa kali jatuh dalam kondisi hamil dan mengakibatkan Hilma lahir dalam keadaan yang tidak sempurna atau disebut cacat. Ia memiliki tangan bagian kanan yang kecil dan sejajar dengan lengan bagian kiri. Tangan yang tidak sempurna itu memiliki dua buah jari dan ujunganya berbentuk lonjong. Hilma harus kehilangan ibunya disaat ia baru berusia satu bulan, disebabkan ibunya sesak nafas dan meninggal dunia. Ayahnya yang menggantikan ibunya untuk merawat Hilma, sehingga ia sangat menyayangi ayahnya. Ia juga merasa bersyukur karena keluarganya mau menerima dia dengan kekurangannya, walaupun ada beberapa saudaranya yang tidak mau menerimanya. Pada saat usia 5 tahun ia meminta kepada ayahnya untuk pindah rumah. Ia merasa tidak nyaman dengan lingkungan rumahnya. Banyak ejekan dan penghinaan yang ditujukan kepada dirinya, sehingga ia ingin segera pindah. Ayahnya yang sangat menyayanginya mengabulkan permintaan anaknya. Beberapa bulan kemudian mereka pindah ke rumah baru. Hilma merasa takut akan penolakan dari lingkungannya. Apalagi dirumah barunya ini, banyak anak-anak yang seusia dia, sehingga membuat ia takut untuk Universitas Sumatera Utara tidak diterima. Rasa traumanya terhadap tempat tinggalnya dulu membuat ia tidak mau keluar rumah. Suatu hari atas bujukan abangnya ia mamu mencoba keluar dari rumah. Ia bukannya mendapatkan penolakan, tetapi mendapatkan penerimaan yang sangat baik. Para tetangganya sangat bersikap baik dengannya. Ia merasa senang dan ia tidak takut lagi untuk keluar dari rumah. Ketika SD, ayahnya memasukkan ia ke sekolah dimana semua siswanya sama dengannya. Ia melihat beragam macam anak-anak cacat. Ada yang cacat tangan, ada yang cacat kaki. Ia senang karena banyak mempunyai teman dan tidak ada penolakan. Ia termasuk siswi yang rajin disekolah. Banyak disenangi oleh guru dan teman-teman dan juga mau membantu teman-temannya jika mereka dalam keadaan kesulitan. Di SMP, ia mencoba untuk masuk ke sekolah swasta. Dimana sekolah itu siswa dan siswinya normal secara fisik. Di sekolah tersebut ia mendapat ejekan dari teman dan guru yang membencinya. Ia tidak dibenarkan untuk masuk ke dalam kelas oleh teman-tamnnya dan gurunya. Tetapi tidak semua guru yang benci kepadanya, sehingga ia mendapat pembelaan dari guru lainnya. Tetapi ia hanya merasakan siksaan itu di kelas satu saja. Ketika kelas dua dan kelas tiga ia sudah tidak memperdulikan lagi semua pada semua yang menghina dan mengejeknya. Karena takut untuk mendapatkan penghinaan dan ejekan lagi, ia berkata pada ayahnya bahwa ia tidak ingin melanjutkan sekolahnya lagi. Tetapi dengan bujukan ayah dan keluarga lainnya, ia akhirnya mau kembali sekolah. Ia memilih masuk ke Universitas Sumatera Utara sekolah swasta lagi. Ayahnya takut untuk memasukkannya karena di SMP ia selalu mendapat ejekan. Tetapi ia meyakinkan ayahnya bahwa ia bisa menjalaninya. Di SMA ia mengikuti beberapa kegiatan sekolah. Salah satunya mengikuti kegiatan melukis. Dari kecil hobi ia adalah menggambar dan melukis, sehingga ia beberapa kali mengikuti perlombaan menggambar dan melukis dan selalu memenangkan perlombaan tersebut. Ia juga pernah mendapatkan kesempatan untuk ikut perlombaan ke luar negeri. Tetapi karena tidak adanya biaya, ia batal untuk ikut lomba. Saat kuliah, ia memilih kuliah yang jauh dari keluarga dan rumahnya. Ia ingin mencoba hiudp sendiri dengan keadaan tangan yang cacat. Karena temapat tinggal baru, ia pun harus menyesuaikan diri lagi untuk lingukngan barunya. Ia takut, rasa traumanya itu muncul kembali. Tetapi ia malah diterima dengan baik oleh lingkungannya. Apalagi dengan lingkungan kampusnya. Ia mendapatkan teman- teman yang baik dan mau menrima keadannya. Tiga tahun lebih ia menyelesaikan kuliahnya dan setengah tahun mengambil kursus menjahit. Seperti impian ibunya yang ingin menjadi penjahit terkenal, ia pun mencoba mengikuti jejak ibunya. Di saat ia kembali ke kotanya, ia mencoba melakukan percobaan untuk menjahit busana yang akan dipakai oleh calon kakak iparnya. Busana yang ia jahit ternyata membawa hasil yang sangat baik. Pada usia 24 tahun, ia mendapatkan tawaran pekerjaan dari teman kuliahnya. Ia menerima pekerjaan itu dan pergi ke Jakarta untuk bekerja. Ia bekerja sebagai designer di tempat penjahit yang terkenal di Jakarta. Ia sangat bersyukur Universitas Sumatera Utara mendapatkan pekerjaan tersebut dan meyakinkan bahwa dirinya bisa bekerja layaknya irang yang kedaan fisiknya normal. Dua tahun tinggal di Jakarta, ia berkenalan dengan seorang pria dan mereka menjalin hubungan. Satu tahun pacaran, pacarnya melamar ia untuk menikah. Awalnya ia menolak karena merasa tidak pantas untuk mendampingi seorang pria yang baik, yang mapan dan yang fisiknya normal. Banyak masukan dan meyakinkan ia bahwa pria tersebut sangatlah menginginkan Hilma sebagai istrinya. Pada akhirnya, ia menerima lamarannya dan menikah. Suaminya mendapatkan pemindahan tugas ke kota Hilma. Hilma harus meninggalkan pekerjaan yang sangat ia sayangi dan ikut pindah kembali ke kotanya. Tetapi ia tidak berhenti dengan impiannya. Ia kembali bekerja dan dengan uang hasil kerja kerasnya selama bekerja, ia membuka sebuah toko pakaian dan juga kembali menjahit. Dengan sisa uang tabungannya, ia juga dapat membeli sebuah mobil untuk pribadinya. Ia juga memeberikan apa yang diinginkan oleh ayahnya. Setahun menikah ia mendapatkan seorang anak laki-laki yang diinginkannya. Saat ini, baginya ia mendapatkan kebahagiaan yang sempurna. Mempunyai suami dan anak, membangun sebuah keluarga, pekerjaan yang ia inginkan, impian ibunya. Tetapi masih ada keinginan yang belum tercapai. Keinginan membuka sebuah Galery untuk kebaya dan busana seperti penjahit atau designer yang terkenal. Keinginan lainnya ia ingin menunaikan ibadah Haji bersama ayahnya. Ia berharap semua harapannya dapat terwujud dan iamemberikan untuk ibunya yang sudah tiada. Universitas Sumatera Utara

d. Aspek-aspek Kebahagiaan

a. Menjalin hubungan positif dengan orang lain Masa kecil Hilma mendapat perilaku yang tidak menyenangkan dari lingkungannya dan keluarga terdekatnya. Meskipun ia ditolak, ia mencoba untuk menjalin hubungan dengan tetangga dan teman sekitar rumahnya. Tetapi yang ia dapat hanyalah penolakan dan perilaku yang tidak menyenangkan seperti ejekan dan penghinaan karena ia seorang yang cacat. “Tempat pertama aku tinggal gak ada yang baik sama sekali sama aku. Itu aku umur 4 tahun. Main-main di luar kan. Gak ada yang mau berteman sama aku.” R3.W1.b.238-245.h.6 “Sampe akhirnya aku umur 6 tahun. Aku minta pindah sama bapak karena gak tahan diejekin terus.” R3.W1.b.246-250.h.6 Ketika ia dan keluarganya pindah rumah, ia harus beradaptasi dengan lingkungan barunya. Ia merasa takut dan trauma terhadap lingkungan barunya, takut akan ditolak dan mendapatkan ejekan-ejekan seperti di tempat tinggal lamanya. Ia menginginkan bahwa tidak ada satu orang pun yang tinggal di lingkungannya. Dengan bujukan dan nasihat dari ayahnya, ia mencoba untuk keluar rumah dan ternyata ia mendapat perlakuan yang sangat baik dari para tetangganya. “Awalnya aku takut. Aku pengennya tu tempat tinggal aku gak ada orang- orang.” R3.W1.b.252-255.h.6 “Tapi mereka bisa dan mau terima kondisi aku yang begini.aku bisa ngobrol sama mereka, aku bisa main-main sama mereka, kami saling bantu kalo kami ada masalah. Senang aku,dek.” R3.W1.b.256-265.h.6 Universitas Sumatera Utara “Jadi cacat itu gak hambat aku untuk berhubungan dengan orang lain.” R3.W3.b.1623-1627.h.35 Saat bersekolah, terutama di Sekolah Dasar ia mempunyai banyak teman dan dapat berbagi satu sama lain. Ia merasa tidak ada yang membeda-bedakan dirinya dengan orang lain. Semua siswa di sekolah tersebut kondisinya sama dengannya. “Kalau di sekolah sih karena aku disekolahkan di tempat yang kondisinya sama dengan aku jadi gak ada masalah. Kan sama semua tuh. Jadi gak ada perbedaan.” R3.W1.b.300-308.h.7 Kehidupan sebagai orang cacat menjadi sebuah tantangan untuknya. Dimana ia harus mendapat penolakan dan ejekan dari orang-orang. Ketika memasuki lingkungan baru tempat ia tinggal, ia mendapat penerimaan dari lingkungannya. Walalupun ia merasa takut dan cemas, tetapi mendapatkan keyakinan dari ayah dan abang-abangnya membuat ia merasa yakin untuk menjalin hubungan dengan orang sekitarnya. Keyakinannya membawa keberhasilan pada dirinya. Ia merasa dulu ia tidak mempunyai keberanian untuk menjalin hubungan dilingkungan barunya. Tetapi dengan kesadarannya, ia tidak boleh menjadi orang yang minder dengan keadaannya. b. Keterlibatan penuh Terlibat penuh dalam hal pekerjaan atau suatu kegiatan terkadang menjadikan seseorang bahagia. Dalam kondisi yang cacat, tidak membuat Hilma untuk tidak bekerja. Ia dapat meyesuaikan diri dengan pekerjannya. Selesai kuliah, ia mendapatkan sebuah pekerjaan di luar kota. Ia sangat senang karena pekerjaan itu membuat ia dapat mewujudkan cita-citanya dan keinginan ibunya. Universitas Sumatera Utara “Umur 24 gitu aku ditawari sama teman aku untuk kerja di tempat tante nya di jakarta. Asisten designer gitu. aku terima. Jadi aku berangkat lah ke sana.” R3.W2.b.736-744.h.17 Selain sebagai penjahit, ia juga memiliki sebuah toko hasil dari kerja kerasnya sebagai asisten designer. Ia ikut terlibat dalam menjalani pembukaan toko yang ia buka. Walaupun dengan kondisi tangannya yang tidak sempurna, ia dapat melakukan seperti layaknya orang yang berkondisi normal. Karena ia tidak suka kalau tidak melakukan apa-apa. Ketika berada di toko, ia menjadi seorang kasir agar tidak merasa bosan. “Aku jadi kasir disini. Walaupun aku punya, tapi aku gak mau gak ikut kerja. Jadi aku putuskan aku aja lah yang bagian duit gitu. Jadi biar yang lain yang jaga.” R3.W1.b.78-85.h.2 Hilma merasa kalau pekerjaan menjahit tidak sulit. Ternyata ia dapat membuktikannya kalau menjahit itu tidak sulit untuknya. Karena itu pekerjaannya, sehingga utuk mendesign pun dia ikut terlibat. Jika kain telah selesai dijahit, ia akan mencoba untuk memeriksanya. Karena ia merasa akan terlihat rapi kalau ia sudah memeriksa semuanya. “Aku yang design, yang gambar. Kalau jahit sih sedikit aja. Kalau memang udah di buat sesuai polanya, awalnya aja yang aku jahit.” R3.W3.b.1666-1673.h.36 “Nanti kalau ada yang kurang, aku ganti. Itu lah kerjaan aku.” R1.W3.b.1675-1678.h.36 Ketika bersekolah ia mengikuti beberapa kegiatan di sekolah. Ia yang senang dengan melukis dan menggambar, mengikuti kegiatan tersebut. Tidak hanya Universitas Sumatera Utara mengikutinya saja, tetapi ia juga mengikuti jika ada perlombaan. Sampai sekarang kegiatan tersebut suka ia lakukan ketika ia mempunyai waktu yang luang. “Ada. Dulu ada kegiatan melukis. Aku suka tu melukis. Ikut perlombaan juga. Menang. Orang cacat tu banyak kelebihannya,dek.” R3.W1.b.559-565.h.13 Kondisi cacat membuat ia menjadi seorang pekerja. Dimana ia dapat ikut terlibat dalam pekerjaannya. Walaupun hanya dengan tangan satu, ia mampu untuk menjahit. Hal yang mungkin di sulitkan bagi orang cacat ternyata membuat ia dapat membuktikan bahwa ia bisa dan yakin untuk menjahit. Selain menjahit, ia juga dapat melukis. Pekerjaan yang membutuhkan dua tangan dapat dilakukannya dengan satu tangan saja. Baginya, kecacatan adalah kelebihan yang diberikan Tuhan kepadanya, sehingga ia mampu untuk melakukan hal layaknya orang yang sehat. c. Temukan makna dalam keseharian Cacat bukanlah suatu hambatan untuk menjalani keseharian. Mereka juga dapat beraktifitas seperti orang yang fisiknya normal. Keseharian yang dijalani Hilma mempunyai arti bagi dirinya. Setiap waktu ia meluangkan waktu untuk berkumpul dengan keluarga dan mengikuti kegiatan-kegiatan yang menurutnya sangat bermanfaat. “Kayak orang normal aja,dek. Kesana kemari kayak biasa. R3.W3.b.1748-1751.h.38 “Paling ngumpul sama keluarga. Kalau ada ceramah atau acara-acara islam gitu, kami suka ikutan. Kan bermanfaat. R3.W2.b.1014-1120.h.23 Universitas Sumatera Utara “Bisa jadi penenang hati dan bisa jadi masukan untuk ke depannya.” R3.W2.b.1120-1123.h.23 Baginya, keseharian yang ia jalankan dan kegiatan yang orang-orang lakukan akan bermakna kalau mereka menjalankannya dengan kesenangan. Tidak ada rasa terpaksa karena tidak akan menyenangkan untuk menjalaninya. Ia memaknai pekerjaanya dengan menyukai pekerjaan tersebut, sehingga ia mendapatkan hasil yang baik. “Pekerjaan itu kan suatu hal yang kita sukai. Jadi buat aku pekerjaan itu menyenangkan walaupun capek tapi kita puas dengan hasilnya.” R3.W3.b.1756-1763.h.38 “Gak peduli baik atau buruk yang pentig kitanya senang. Apapun yang kita lakukan, pasti mempunyai suatu makna.” R3.W3.b.1764-1770.h.38 Meski tangannya yang cacat, bukan berarti kakinya tidak bisa bergerak. Hilma dapat menjalani kesehariannya tanpa harus terbatas. Ia juga harus membagi waktu untuk keluarganya terutama untuk anaknya. Dengan kondisi seperti ini ia tidak merasa keberatan dan tidak merasa kesulitan. Ia tidak mau anaknya tidak mendapatkan perhatian dari ibunya, sehingga sore sampai malam hari waktunya untuk bersama anaknya. Setiap kegiatan yang ia lakukan mempunyai maknanya dan sangat bermanfaat untuknya. d. Optimis, namun tetap realistis Menjalani hidup dengan harapan membuat orang menjadi optimis akan masa depannya. Hilma yang tau akan keadannya cacat, tidak menjadi putus asa untuk Universitas Sumatera Utara melakukan aktifitas dan bekerja. Ia merasa yakin mampu untuk bekerja sebagai penjahit. Walaupun dengan satu tangan, baginya tidak menghambat ia untuk bekerja. “ Ya jahit baju. Ada orang pesan, saya jahitkan. Walaupun tangan aku cuma 1 yang utuh tapi bisa loh dek aku kerjakan.” R3.W1.b.108-113.h.3 Ketika masih hidup, ibunya ingin menjadi seorang penjahit terkenal. Hilma yang mengetahui keadaan tersebut mencoba untuk mewujudkan keinginan ibunya. Ia pun mengikuti kursus jahit selama setengah tahun. Takut untuk tidak dapat menjadi orang yang sukses maka ia bertekad untuk dapat mewujudkan keinginan ibunya. Walaupun dulunya ia ingin menjadi seorang pelukis, tetapi keinginan ia untuk menjadi seorang penjahit atau designer lebih besar. “Karena pikirin keinginan ibu, aku coba lawan lah rasa takut aku. Aku gak punya ibu, jadi apa salah kalau aku buat apa yang dia mau. “ R3.W1.b.512-518.h.12 “Kecil-kecil dulunya pengen jadi pelukis. Tapi setelah aku tau cerita ibu aku, aku pengen jadi designer atau penjahit yang terkenal.” R1.W2.b.782-788.h.18 Karena hobinya menggambar dan melukis, ia suka mengikuti perlombaan- perlombaan tersebut. Kegiatan-kegiatan seperti itu juga diikutinya disekolah. Ia juga memenangkan perlombaan tersebut dan merasa bahwa ia memiliki kelebihan yang mungkin orang normal tidak punya. Kecacatannya membuat ia tidak yakin akan sampai ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Usai SMA, ia merasa tidak mungkin untuk kuliah. Tapi ia tidak mau pesimis hanya karena kecacatannya, sehingga ia mendapat keinginannya untuk kuliah. Universitas Sumatera Utara “Aku suka tu melukis. Ikut perlombaan juga. Menang. Orang cacat tu banyak kelebihannya,dek.” R3.W1.b.561-565.h.13 “Takjub aku,dek. Gak nyangka aku bisa kuliah. Aku pikir gak bisa,kan. Tapi gak mau pesimis. Aku yakin bisa.” R3.W1.b.584-589.h.13 Banyak yang ia lihat bahwa orang cacat menjadi berhasil. Ia juga bertekad untuk berhasil dan mengembangkan kelebihan. Kesukaannya melukis dan menjadikannya sebagai hobi membuat ia mengikuti perlombaan melukis dan memenangkan perlombaan tersebut. Dan ia mendapat kesempatan untuk megikuti perlombaan di luar negeri. Hal itu menjadikan ia orang yang optimis. “Coba-coba melukis lama-lama jadi hobby. Ikutan lomba, menang. Sempat dikasi kesempatan ikut lomba ke luar negeri.” R3.W2.b.1166-1172.h.24 Setiap orang mempunyai harapan dan mempunyai keinginan untuk kehidupannya. Ia tidak merasa cemas dengan kehidupannya karena ia mempunyai harapan-harapan. Setiap harinya ia berharap akan menjalani hari-harinya dengan baik dan menjadi orang lebih baik. Dulunya ia juga mempunyai harapan suatu saat akan menjadi pelukis terkenal. Tetapi ia lebih tertarik untuk menjadi penjahit terkenal. Ia optimis untuk menjalani kehidupannya sampai ia mendapatkan harapan yang diinginkannya. e. Menjadi pribadi yang resilien Saat ini Hilma menjadi orang yang bahagia, namun bukan berarti ia tidak pernah mengalami penderitaan. Dari kecil ia mengalami masa-masa yang kurang Universitas Sumatera Utara menyenangkan. Tetapi penolakan oleh lingkungannya membuat ia menjadi kuat dan semangat menjalani hidupnya. Dan ia merasa bahwa orang cacat bukan orang yang harus dikucilkan. “Orang cacat bukan orang yang hina. Kata-kata itu juga yang buat aku bertahan.” R3.W3.b.1628-1632.h.35 Hilma juga harus menerima keadaan dimana kondisi fisik abang-abangnya berbeda dengan dirinya. Mereka mempunyai fisik yang utuh, sedangkan ia hanya memiliki satu tangan yang sempurna dan dua kaki yang sempurna. Ia memiliki perasaan marah dan kesal terhadap orang lain yang memiliki fisik yang sempurna. Awalnya ia merasa sulit untuk melakukan aktifitas-akifitasnya, tetapi dengan terbiasanya ia menjalaninya menjadi tidak sulit lagi untuk berkegiatan. “Marah ada. Kesel gitu kan. Mereka bisa pegang bebas sana kemari tapi aku cuma 1 tangan. Susah kan menurut aku. Tapi lama-lama aku jalanin gak ada susahnya. Paling hal tertentu aja yang susah.” R3.W3.b.1352-1363.h.29 Peristiwa pahit yang dialaminya ketika ia bekerja adalah tidak adanya kepercayaan terhadap dirinya untuk melakukan pekerjaan dan mendapatkan kata-kata kasar untuk dirinya. Walaupun beberapa orang tidak mempercayainya dalam hal menjahit, namun kenyataannya ia mendapatkan kepercayaan dari seorang designer yang terkenal dimana tempat ia bekerja dahulu. Kemarahannya pada Tuhan yang memberikan satu tangan yang tidak sempurna, membuat ia berubah dan merasa bersyukur walaupun dalam kondisi seperti itu tetapi ia mendapatkan kelebihan yang membuat ia bangga. Universitas Sumatera Utara “Iya,dek. Aku bersyukur dengan keadaan ini aku dikasi kelebihan.” R3.W3.b.1530-1533.h.33 “Jadi aku yang dulunya marah dengan punya tangan 1, sekarang aku senang. Allah itu Maha Adil,dek.” R3.W3.b.1534-1539.h.33 Keinginan untuk sukses dan membuat bahagia keluarganya menunjukkan bahwa Hilma bukanlah orang yang suka menyerah, malu dengan kondisnya dan minder terhadap siapa saja. Masa-masa sulit yang dialaminya membuat ia bangkit dan tidak menyerah hanya karena kondisinya cacat. “Karena aku tau cacat itu hadiah dari Allah. Orang yang sempurna fisiknya, belum tentu bisa jadi orang hebat. Jadi semua itu kan dari Maha Kuasa. Dan kecacatan bukan lah suatu hambatan kami untuk berkarya.” R3.W2.b.1233-1242.h.25-26 “Keinginan untuk maju dan menjadi lebih baik itu yang buat aku bertahan.” R3.W3.b.1569-1572.h.34 Penolakan dari lingkungan serta ejekan yang diterima oleh Hilma di masa lalunya mampu membuat ia bertahan dan bangkit. Ia melihat kebanyakan orang cacat tidak mampu untuk bangkit dan tidak mampu untuk menjalani kehidupannya. Awalnya ejekan terhadapnya karena tidak mempunya ibu, miskin, cacat membuat ia tidak ingin sekolah dan tidak mau berhubungan dengan siapa pun. Tetapi semangatnya, keoptimisannya serta dukungan, nasihat dan keinginannya untuk bertahan mampu membuat ia menerima keadaan dan tidak mendengarkan perkataan orang tentang dirinya. Universitas Sumatera Utara

e. Karakteristik Orang Yang Bahagia

a. Menghargai diri sendiri Dalam kondisi yang cacat, Hilma dapat menujukkan bahwa ia bisa melakukan apa saja. Ia bangga menjadi orang cacat dan ia mampu membuktikannya bahwa ia dilahirkan bukan sebagai orang yang lemah. Ia percaya bahwa ketika melakukan suatu hal dengan keyakinan dan percaya diri akan memberikan hasil yang baik. Dengan usaha yang keras dan kesabaran ia akhirnya mendapatkan apa yang diinginkannya saat ini. “Alhamdulillah aku bisa buat orang bangga dengan diri aku.” R3.W3.b.1492-1495.h.32 “Aku dilahirkan bukan untuk jadi orang lemah, tapi untuk jadi orang yang kuat. Ini lah kekurangan aku sambil menunjukkan tangannya yang cacat dan ini lah kelebihan aku sambil menunjukkan ke arah mesin jahit dan baju-baju yang sedang dikerjakannya.” R3.W3.b.1584-1600.h.34 “Aku orangnya mau bekerja keras, aku orangnya mau bersabar, mau berbagi.” R3.W3.b.1653-1657.h.36 Menghargai diri sendiri dapat meningkatkan kepercayaan diri dan menjadi bahagia. Ia dapat yakin jika ia mampu untuk bersaing dengan orang-orang yang normal. Keadaan cacat tidak membuatnya menyerah. Ia juga membuktikan bahwa kerja kerasnya selama ini berhasil karena adanya kepercayaan diri bahwa ia mampu walalupun tangannya cacat. Universitas Sumatera Utara b. Optimis Bagi Hilma, kebanyakan orang menganggap ia rendah, tidak mampu bekerja dengan keadaannya yang cacat. Ia meyakinkan bahwa dengan hanya satu tangan, ia bisa bekerja dengan baik kalau ada keyakinan diri sendiri. Walaupun awalnya ia tidak yakin bisa, tetapi ia merasa harus bisa menjadi orang yang dapat dibanggakan agar ia bisa diakui orang sebagai penjahit. “Orang pikir aku gak mungkin bisa karena tangan aku cacat. Tapi tenyata bisa kok. Satu tangan pun aku mampu kok. Apa aja bisa dikerjakan kalau kita yakin.” R3.W2.b.788-796.h.18 “Aku harus bisa jadi seseorang yang dibanggakan oleh orang lain. Positif aja berpikirannya, dek.” R3.W1.b.573-578.h.13 Bersaing dalam membuka suatu toko tidak membuat Hilma mundur. Ia tahu bahwa kemampuan ia untuk menjual pakaian sangat baik. Ia percaya bahwa dengan karyanya sendiri banyak membawa keberuntungan. Tidak merasa takut karena sedikit pembeli yang datang dan berkunjung. “Yah kalo takut gak bisa laku donk,dek. Berserah diri aja pada Allah. Kalo memang rezeki bagus, lancar kok bisnis-bisins kayak gini.” R3.W1.b.68-74.h.2 Setelah pengalamannya yang tidak menyenangkan berseolah di swasta, ia tidak ingin kembali bersekolah dimana pun. Ia takut akan mendapatkan perilaku yang buruk dari temn-temannya. Dengan nasihat dari ayahnya, akhirnya ia kembali mempunyai keberanian untuk bersekolah lagi. Khawatir akan ketakutannya, ayahnya menyuruhnya untuk masuk ke sekolah yang biasa. Tetapi ia menolak dan ia ingin Universitas Sumatera Utara kembali sekolah di swasta. Ia sudah tidak memikirkan apa yang akan terjadi. Ia optimis bahwa kali ini ia akan diterima oleh teman-temannya. “Dari agama kita sendiri pun Allah tu gak suka sama orang yang pesimis. Makanya aku coba masuk ke swasta.” R3.W1.b.523-528.h.12 Kecacatan bukan hambatan untuk ia bersekolah. Hanya aja ia takut penerimaan dirinya. Karena ingin mencapai cita-citanya, maka ia berniat untuk melanjutkan sekolah tanpa memperdulikan rasa takutnya. “Gak mau aku jadi hambatan. Dulu waktu sekolah gitu aku lihat ada juga kok orang yang cacat bisa berhasil.” R3.W2.b.1159-1164.h.24 Optimis untuk menjadi orang yang berguna bagi semuanya membuat ia semangat untuk menjalaninya dan berusaha agar keinginan tercapai. Ia yakin suatu hari ia akan berada di kesuksesan. Dan ia tetap bersyukur atas apa yang ia miliki sekarang. “Aku pikir gak selamanya orang yang dibawah tetap di bawah. Suatu saat akan diatas. Kapan pun itu waktunya, yang pasti kita harus tetap berusaha. Jangan di tunggu waktu itu datang.” R3.W3.b.1554-1565.h.18 “Ya pasti ingin jadi yang lebih baik lagi. Bisa berhasil dalam pekerjaan ini. Bisa jadi orang yang makin di banggakan.” R3.W3.b.1712-1718.h.37 Optimis terhadap masa depannya membuat ia dapat menjadi orang yang mau berusaha untuk bekerja. Segala hal yang ia hadapi membuatnya selalu optimis bahwa suatu saat ia akan mendapatkan yang terbaik. Mempunyai keluarga adalah harapannya saat ia mennyukai seorang pria. Ketika pria itu melamarnya, ia menolak Universitas Sumatera Utara untuk menikah. Karena nantinya ia takut akan mengecewakan karena keadannya. Tetapi dengan dorongan dari pihak pria, dan keoptimisannya bahwa ia mampu untuk membinsa keluarga akhirnya ia menerima dan menikah. c. Terbuka Hilma seorang yang sangat terbuka terhadap siapapun. Ia paling suka menceritakan kesedihannya, kesenangannya, kekecewaannya pada pamannya. Pamannya seorang ustad yang jika ia ngobrol dengan pamannya akan merasa nyaman dan tenang. Karena ia tidak memiliki ibu, ia merasa kesepian dan ingin sering menceritakan masalah-masalah yang ia hadapi. Ia juga menceritakan masalahnya kepada ayahnya kalau ayahnya sedang ada waktu, sehingga ia tidak merasa kehilangan seorang ibu. Baginya ayahnya adalah pengganti ibunya. “Karena aku cerita sama dia kalau aku gak mau lanjut sekolah.” R3.W1.b.505-508.h.12 “Jadi aku ngerasa tenang rasanya kalau udah cerita sama dia.” R3.W1.b.533-536.h.12 Saat bertemu dengan orang yang sama keadannya dengannya, ia berbagi cerita dan memberi masukan terhadapnya untuk bangkit dari masa-masa sulitnya. Satu hari, ia mendapatkan kesempatan untuk menjadi pembicara umum dalam suatu acara. Ia sangat terkejut ketika pekerjaan itu ditawarkan padanya. Tetapi ia menerima dengan senang karena ia sangat suka berbagi pengalaman dengan orang lain. “Jadi aku coba nasehati, kasi masukan, bagi pengalaman ke dia.” R3.W3.b.1414-1418.h.30 Universitas Sumatera Utara “Tapi senang. Bisa berbagi dengan semuanya. Cerita pengalaman, saling sharing.” R3.W3.b.1477-1481.h.32 Setelah mendapat penolakan bukan berarti ia menjadi orang yang tertutup. Ia menjadi orang yang terbuka. Ia ingin membagi ceritanya kepada siapa saja. Berbagi pengalaman hidupnya dan mendengarkan pengalaman hidup orang lain membuat ia belajar dari masa lalunya agar masa depan yang akan dijalaninya menjadi lebih baik lagi. d. Mampu mengendalikan diri Pekerjaan Hilma terkadang membuat ia mendapat ejekan. Di saat ejekan dan penghinaan terhadap ia dan pekerjaannya, ia mampu mengontrol diri untuk tidak menggunakan emosinya. Apalagi jika ada pegawai yang membuat kesalahan. Ia tidak marah hanya saja mengingatkan kepada pegawainya untuk kebih berhati-hati lagi. “Namanya pekerjaan ya ginilah. Jadi kita harus kontrol semuanya. Gak boleh pakai emosi. Lama kelamaan aku bisa atasinya.” R3.W2.b.835-841.h.19 “Jadi aku sebisa mungkin gak termakan omongan mereka. Biasa lah saingan. Kalau gak gitu kan kita gak bisa maju.” R3.W2.b.868-874.h.20 Setiap orang mempunyai kelebihan dan kekurangan. Hilma yang memiliki kekurangan yaitu hanya mempunyai satu tangan yang sempurna tetapi mempunyai kelebihan. Ia sangat bersyukur dapat memenangkan perlombaan walaupungagal untuk ikut lomba lagi di luar negeri. Universitas Sumatera Utara “Bersyukur. Bersyukur karena udah menang walaupun gak bisa ikut perlombaan di luar negeri sana.” R3.W2.b.1180-1184.h.24 “Jadi setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan. Tapi apapun itu, terimalah dengan ikhlas. Karena akan dimudahkan untuk diri sendiri.” R3.W3.b.1601-1609.h.35 Dengan kelebihannya ia dapat mewujudkan cita-citanya dan merasa hidupnya sudah sangat sempurna. Setiap mempunyai masalah ia dapat mengendalikan emosinya apalagi dalam pekerjaan ia banyak menghadapi masalah, namun tidak membuatnya untuk mundur. Ketika bersekolah ia juga mendapat banyak perilaku buruk, tetapi ia mencoba sabar dan akhirnya banyak yang menerimanya. Universitas Sumatera Utara

D. PEMBAHASAN