14
F. LANDASAN TEORI DAN KONSEPSI
1. LANDASAN TEORI
1. 1. Pengertian Umum Perikatan Dan Perjanjian Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak memberikan
rumusdefinisiarti tentang perikatan, menurut pengetahuan hukum perdata : perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi diantara 2 dua orang atau lebih, yang terletak
di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu.
6
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sebagaimana ternyata dalam pasal-pasalnya disebutkan sebagai berikut :
Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata : “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :
“Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena persetujuan, baik karena Undang- Undang”.
Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata : “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu untuk berbuat sesuatu atau
untuk tidak berbuar sesuatu”. Pasal 1352 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :
6
Mariam Darus Badrulzaman, Sutan Remy Sjahdeini, Heru Soepraptomo, Faturrahman Djamil, Taryana Soenandar, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan. Citra Aditya Bakti, Bandung. Hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
15
“Perikatan-perikatan yang dilahirkan demi undang-undang, timbul dari undang- undang sahaja, atau dari undang-undang akibat perbuatan orang”.
Berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa suatu perikatan bersumber dari :
1. Perjanjian Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ; 2. Perundang-undangan Pasal 1352 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Dan oleh karenanya dapat disimpulkan bahwa perjanjian merupakan salah satu sebab dari lahirnya suatu perikatan di samping Undang-Undang. Oleh
karenanya “Hukum Perjanjian” merupakan bagian dari “Hukum Perikatan” dan diatur dalam Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur tentang
Perikatan. Sedangkan hakikat yang terkandung dalam perikatan itu sendiri adalah :
Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata : -
Untuk memberikan sesuatu ; -
Untuk berbuat sesuatu ; dan -
Untuk tidak berbuat sesuatu. H.F. Vollmar, di dalam bukunya “Inleiding tot de studie van het Nederlands
Burgerlijk Recht” 1 mengatakan sebagai berikut : “Ditinjau dari isinya ternyata bahwa perikatan itu ada selama seseorang itu debitur
harus melakukan suatu prestasi yang mungkin dapat dipaksakan terhadap kreditur kalau perlu dengan bantuan hakim.”
7
7
Ibid. Hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
16
Istilah “Perjanjian” dalam “Hukum Perjanjian” merupakan kesepadanan dari istilah “Overeenkomst” dalam bahasa Belanda atau “Agreement “ dalam bahasa
Inggris. Menurut R. Subekti :
- “Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau pihak
berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu”.
8
- “Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena kedua pihak setuju untuk
melakukan sesuatu”.
9
Dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa perjanjian identik dengan persetujuan.
Menurut M. Yahya Harahap : Istilah kontrak sama pengertiannya dengan persetujuan.
10
Maka dapat disimpulkan bahwa persetujuan yang terdapat dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata adalah sama pengertiannya dengan perjanjian. 1.2. Keabsahan Suatu PerikatanPerjanjian
Pada umumnya Perjanjian tidak terikat pada suatu bentuk tertentu, dapat dibuat secara lisan ataupun secara tulisan. Perjanjian yang dibuat secara tertulis dapat
digunakan sebagai alat bukti apabila terjadi suatu perselisihan, dan dapat dibuat dengan melalui 2 dua cara, yaitu :
8
R. Subekti, 1996, Hukum Perjanjian. Internusa, Jakarta. Hal.1.
9
Ibid, Hal. 1.
10
M. Yahya Harahap, 1986, Segi-Segi Hukum Perjanjian. Alumni, Bandung. Hal. 23.
Universitas Sumatera Utara
17
1. Secara dibawah tangan ; dan
2. Secara otentik.
Sedangkan perjanjian yang dibuat secara lisan bukan berarti tidak dapat digunakan sebagai alat bukti, akan tetapi susah dalam hal pembuktiannya.
Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata : “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat
kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Dari ketentuan pasal tersebut di atas yang lebih dikenal sebagai asas kebebasan
berkontrak dapat disimpulkan bahwa setiap orang dapat membuat suatu perjanjian, dan perjanjian yang dibuat secara sah mengikat sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya, dengan pembatasan sebagai mana ternyata dalam ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi sebagai berikut :
“Untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan empat syarat : 1.
Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya ; 2.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan ; 3.
Suatu hal tertentu ; 4.
Suatu sebab yang halal”.
Universitas Sumatera Utara
18
Syarat pertama dan kedua disebut sebagai syarat subyektif, hal mana dikarenakan syarat-syarat tersebut langsung mengenai orang atau subyek yang
membuat perjanjian. Dan apabila salah satu dari syarat subyektif tersebut tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan oleh hakim atas permohonan
pihak yang bersangkutan para pihak yang menjadi subyek dari perjanjian tersebut, dan selama perjanjian tersebut belum dibatalkan, maka perjanjian tersebut tetap
berlaku dan mengikat para pihak yang membuatnya. Syarat ketiga dan keempat disebut syarat obyektif, hal mana apabila salah satu
dari ketentuan syarat obyektif tersebut tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum, jadi dianggap bahwa perjanjian yang dibuat tersebut tidak pernah ada,
dan oleh karenanya para pihak tidak terikat untuk memenuhi perjanjian yang dibuat tersebut dan para pihak dikembalikan dalam keadaan semula sebelum perjanjian
tersebut dibuat. 1.
Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya. Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :
“Tidak ada sepakat yang sah, apabila sepakat tersebut diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.
Yang dimaksud sepakat dalam hal ini adalah bahwa para pihak yang membuat perjanjian harus sepakat atas hal-hal pokok dari perjanjian yang dibuatnya
tersebut, dan segala kehendak dari isi perjanjian tersebut juga harus dikehendaki oleh para pihak yang membuat perjanjian secara timbal balik dan kata sepakat
Universitas Sumatera Utara
19
tersebut harus diberikan secara bebas atau sukarela, dalam arti kata sepakat yang diberikan tersebut akan menjadi tidak sah apabila kata sepakat diberikan karena :
a. Kekhilafan atau salah pengertian ; Pasal 1322 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
11
b. Paksaan ; atau Pasal 1323 sampai dengan Pasal 1327 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
12
c. Penipuan. Pasal 1328 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
13
Pihak yang telah memberikan kata sepakat dalam perjanjian tersebut karena kekhilafan atau salah pengertian, paksaan atau penipuan, dapat melakukan upaya
11
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 1989, Pradnya Paramita, Jakarta. Hal. 305. Pasal 1322 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :
Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu persetujuan selainnya apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok persetujuan.
Kekhilafan tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa seorang bermaksud membuat suatu persetujuan, kecuali jika persetujuan itu telah dibuat terutama karena mengingat dirinya
orang tersebut.
12
Ibid. Hal. 305-306. Pasal 1323 Kitab Undang-Undang Hukum perdata :
Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang membuat suatu persetujuan, merupakan alasan untuk batalnya persetujuan, juga apabila paksaan itu dilakukan oleh seorang pihak ketiga, untuk kepentingan siapa persetujuan tersebut tidak
telah dibuat. Pasal 1324 Kitab Undang-Undang Hukum perdata :
Paksaan telah terjadi, apabila perbuatan itu sedemikian rupa hingga dapat menakutkan seseorang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam
dengan suatu kerugian yang terang dan nyata. Dalam mempertimbangkan hal itu, harus diperhatikan usia, kelamin dan kedudukan orang-orang yang
bersangkutan. Pasal 1325 Kitab Undang-Undang Hukum perdata :
Paksaan mengakibatkan batalnya suatu persetujuan tidak saja apabila dilakukan terhadap salah satu pihak yang membuat persetujuan, tetapi juga apabila paksaan itu dilakukan terhadap suami atau isteri atau sanak keluarga dalam garis ke
atas maupun ke bawah. Pasal 1326 Kitab Undang-Undang Hukum perdata :
Ketakutan sahaja karena hormat kepada ayah, ibu atau lain sanak keluarga dalam garis ke atas tanpa disertai kekerasan, tidaklah cukup untuk pembatalan persetujuan.
Pasal 1327 Kitab Undang-Undang Hukum perdata : Pembatalan suatu persetujuan berdasarkan paksaan tak lagi dapat dituntutnya, apabila setelah paksaan berhenti,
persetujuan tersebut dikuatkan, baik secara dinyatakan dengan tegas, maupun secara diam-diam atau apabila seoarang melampaukan waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk dipuluhkan seluruhnya.
13
Ibid. Hal. 306. Pasal 1328 Kitab Undang-Undang Hukum perdata :
Penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan persetujuan, apabila tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak, adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika
tidak dilakukan tipu muslihat tersebut. Penipuan tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.
Universitas Sumatera Utara
20
hukum dengan mengajukan gugatan pembatalan perjanjian yang disepakati tersebut kepada Pengadilan Negeri, dengan ketentuan bahwa pihak yang
bersangkutan dapat membuktikan bahwa kata sepakatnya dikarenakan paksaan, kekhilafan atau penipuan, maka hakim akan membatalkan perjanjian yang telah
dibuat dan disepakati tersebut. 2.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :
“Tak cakap untuk membuat persetujuan-persetujuan adalah : 1. Orang-orang yang belum dewasa ;
2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan ; Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :
“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin.
Apabila perkawinan tersebut dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum
dewasa. Mereka yang belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana diatur
dalam bagian ketiga, kelima dan keenam bab ini. Dalam ketentuan Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, telah
dinyatakan dengan jelas bahwa yang termasuk dalam golongan orang-orang yang belum dewasa adalah orang-orang yang termasuk dalam kategori Pasal 330 Kitab
Universitas Sumatera Utara
21
Undang-Undang Hukum Perdata tersebut. Menyimpang dari ketentuan Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat beberapa pasal dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa kecakapan dalam membuat perjanjian khususnya bagi seorang perempuan bersuami harus
memerlukan bantuan atau ijin dari suaminya, sebagaimana ternyata dalam ketentuan Pasal 108 dan Pasal 110 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang
menyatakan sebagai berikut : Pasal 108 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :
“Seorang isteri, biar ia kawin di luar persatuan harta kekayaan, atau telah berpisahan dalam hal itu sekalipun, namun tak bolehlah ia menghibahkan barang
sesuatu atau memindah-tangankannya, atau memperolehnya, baik dengan cuma- cuma maupun atas beban, melainkan dengan bantuan dalam akta, atau dengan
ijin tertulis dari suaminya. Seorang isteri, biar ia telah dikuasakan oleh suaminya, untuk membuat
sesuatu akta, atau untuk mengangkat sesuatu perjanjian sekalipun, namun tidaklah ia karena itu berhak, menerima suatu pembayaran, atau memberi
pelunasan atas itu, tanpa ijin yang tegas dari suaminya.” Pasal 110 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :
“Seorang isteri, biar ia kawin di luar persatuan harta kekayaan, atau telah berpisahan dalam hal itu, biar ia melakukan sesuatu mata pencaharian atas usaha
Universitas Sumatera Utara
22
sendiri sekalipun, namun tak bolehlah ia menghadap di muka hakim tanpa bantuan suaminya.
Menyikapi hal tersebut, Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963,
tanggal 4 Agustus 1963 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia, yang isinya adalah bagi para hakim
hendaklah menyampingkan ketentuan Pasal 108 dan Pasal 110 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata.
14
Di samping ketentuan-ketentuan Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut, terdapat peraturan-peraturan lain yang
mengatur tentang batas usia dewasa pluralisme hukum, yaitu : Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan :
1 Anak yang belum mencapai umur 18 delapan belas tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah
kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. 2 Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta
bendanya. 3.
Suatu hal tertentu. Pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :
“Suatu persetujuan harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya.
14
Media Notariat, Nomor 26-27, Tahun VIII, Januari-April, 1993, Ikatan Notaris Indonesia. Hal. 30.
Universitas Sumatera Utara
23
Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung”.
Yang diperjanjikan atau obyek dalam suatu perjanjian haruslah suatu hak atau barang yang cukup jelas dan dapat ditentukan jenisnya, dan dapat pula berupa
barang yang baru akan ada di kemudian hari. 4.
Suatu sebab yang halal. Pasal 1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :
“Suatu persetujuan tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan”.
Yang dimaksud dengan sebab adalah tujuan dari perjanjian itu sendiri. Perjanjian yang dibuat tanpa sebab atau dibuat berdasarkan sebab yang palsu atau
sebab yang terlarang adalah batal demi hukum, yang berarti bahwa para pihak tidak terikat untuk memenuhi perjanjian tersebut dan oleh karenanya perjanjian
tersebut dianggap tidak pernah ada. Sebab yang palsu adalah sebab yang dibuat oleh para pihak untuk menutupi
sebab yang sebenarnya dari perjanjian itu. Sebab yang terlarang adalah sebab yang bertentangan dengan undang-undang,
ketertiban umum atau kesusilan. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa kebebasan
setiap orang untuk membuat suatu perjanjian yang dikategorikan sebagai perjanjian
Universitas Sumatera Utara
24
yang sah dan mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya harus memenuhi keempat unsur sahnya suatu perjanjian tersebut diatas. Sebagaimana telah
disebutkan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut, maka semua perjanjian yang dibuat sesuai dengan bunyi pasal tersebut adalah sah dan
mengikat demi hukum, dikatakan sah dan mengikat demi hukum, maka isi dari perjanjian yang dibuat tersebut harus sesuai dengan isi dari ketentuan pasal tersebut
di atas, sehingga perjanjian itu dapat dilaksanakan sesuai dengan maksud dan tujuan dari dibuatnya perjanjian itu, sehingga dengan demikian suatu kepastian hukum yang
menjadi harapan bagi semua lapisan masyarakat secara keseluruhan dapat tercipta. 1.3. Subyek Hukum PerikatanPerjanjian
Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata : “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Dalam ketentuan pasal tersebut, dinyatakan dengan jelas bahwa suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dengan demikian dapat diketahui bahwa subyek hukum dari perikatan
perjanjian adalah merupakan orang atau manusia. Orang atau manusia tersebut, agar dapat melakukan suatu perbuatan hukum
secara sah sebagaimana ternyata dalam ketentuan pasal tersebut di atas harus memenuhi kriteria atau syarat-syarat sebagaimana ternyata dalam ketentuan Pasal
1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang telah diuraikan diatas. Sebagai
Universitas Sumatera Utara
25
orang atau manusia untuk dapat melakukan perbuatan hukum secara sah haruslah mereka yang cakap dalam melakukan perbuatan hukum dimaksud.
Orang atau manusia sebagai subyek hukum, dalam melakukan perbuatan hukum dapat bertindak selaku pribadiperorangan Natural Person atau Natuurlijke
Persoon danatau selaku badan Artificial Person atau Rechts Persoon. Menurut SOEDJONO DIRDJOSISWORO, dalam bukunya menyebutkan bahwa subyek
hukum yang bukan orang atau selaku badan dibagi menjadi “Badan Hukum” dan “Bukan Badan Hukum”.
15
Badan hukum adalah suatu badan entity yang keberadaannya terjadi karena hukum atau Undang-Undang . Suatu badan hukum atau legal entity lahir karena
diciptakan oleh Undang-Undang, karena badan ini diperlukan oleh masyarakat dan pemerintah.
16
Jadi yang bukan tergolong suatu badan badan hukum adalah merupakan Badan Usaha Bukan Badan Hukum. Sebagai contoh Badan Hukum Rechts
Persoon adalah Perseron Terbatas Naamloze Venootschap yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas juncto Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dan contoh bukan Badan Hukum atau Badan Usaha adalah Perseroan Maatschap, Firma Venootschap Onder
Firma, Perseroan Komanditer Commanditaire Venootschap.
15
Soedjono Dirdjosisworo, 1997, op. cit. Hal. 53.
16
Ibid. Hal. 52.
Universitas Sumatera Utara
26
1.4. PerikatanPerjanjian Jual Beli PerikatanPerjanjian jual beli adalah merupakan suatu perbuatan hukum yang
dilakukan oleh dua orang atau lebih pihak penjual dan pihak pembeli dalam mana pihak penjual berkehendak menjual barang bergerak atau tidak bergerak dan atau
jasa miliknya tersebut kepada pihak pembeli dan pihak pembeli berjanji dan mengikatkan diri untuk membeli barang bergerak atau tidak bergerak danatau jasa
milik pihak penjual tersebut. PerikatanPerjanjian Jual Beli tersebut adalah merupakan suatu perjanjian pendahuluan antara pihak penjual dan pihak pembeli
menunggu syarat-syarat untuk melakukan jual beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah terpenuhi.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, dari segi pembuatannya, akta dapat dibedakan menjadi 2 dua jenis, yaitu Akta Otentik Pasal 1868 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata dan Akta di bawah Tangan Pasal 1864 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Akta yang dibuat secara otentik, dalam
PerikatanPerjanjian jual beli dilaksanakan di hadapan Notaris selaku Pejabat Umum yang berwenang untuk itu, sebagaimana ternyata dalam ketentuan Pasal 1 Undang-
Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang isinya sebagai berikut :
“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.”.
17
17
Himpunan Peraturan Dan Perundang-Undangan Di Bidang Kenotariatan, 2011, Ikatan Notaris Indonesia. Jakarta. Hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
27
Dalam pembuatan akta Perikatanperjanjian jual beli, judul akta yang dibuat oleh Notaris bervariasi dan bermacam-macam, misalnya : Perikatan Jual Beli,
Pengikatan Jual Beli, Perjanjian Jual Beli, Pengikatan Diri Untuk Melakukan Jual Beli dan lain sebagainya. Tidak terdapat suatu peraturan hukum yang mewajibkan
kepada seorang Notaris dalam membuat akta perikatanperjanjian jual beli harus menggunakan atau memakai nama tertentu dalam judul aktanya, kecuali terhadap
akta-akta yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, misalnya : pembuatan akta pendirian perseroan terbatas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995,
tentang Perseroan Terbatas juncto Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, tentang Perseroan Terbatas, judul, bentuk dan isinya telah ditentukan baku dan harus sesuai
dengan isi dan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan apabila tidak sesuai maka pengesahan anggaran dasar perseroan terbatas agar status
dari perseroan terbatas tersebut menjadi badan hukum akan ditolak oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
Pada umumnya PerikatanPerjanjian Jual Beli yang dibuat dihadapan Notaris dikarenakan :
1. Atas permintaan para pihak yang membuat perjanjian ; dan
2. Adanya persyaratan yang belum dipenuhi untuk dapat dilangsungkannya jual beli
dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, sehingga hanya bisa dilakukan dengan pembuatan akta PerikatanPerjanjian Jual Beli.
Universitas Sumatera Utara
28
Banyak Notaris, atas permintaan para pihak yang ingin melakukan transaksi jual beli, membuat PerikatanPerjanjian Jual Beli dan Kuasa Jual walaupun syarat-
syarat untuk dapat dilangsungkannya jual beli di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang pada dasarnya pejabatnya sama, selaku Notaris dan selaku Pejabat
Pembuat Akta Tanah telah terpenuhi, misalnya obyek dalam jual beli tanah beserta segala benda-benda yang berada di atasnya, status tanahnya telah bersertipikat
dan jual beli dilaksanakan dengan lunas, akan tetapi tetap saja dibuat akta PerikatanPerjanjian Jual Beli dan akta Kuasa Jual, dengan alasan 5 pajak
penghasilan PPh belum disetor oleh pihak penjual dan 5 pajak Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan BPHTB setelah dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak PTKP belum disetor oleh pembeli, yang mana perhitungan pajak-pajak
tersebut PPh dan BPHTB dihitung berdasarkan Nilai Jual Obyek Pajak NJOP Pajak Bumi dan Bangunan PBB tahun terakhir pada tahun pelaksanaan jual beli
tersebut. Dan jika dilihat dari isi dan peruntukkannya sebenarnya pembuatan akta PerikatanPerjanjian Jual Beli dan Kuasa Jual tersebut menyimpang dari ketentuan
1795 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan “Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu mengenai hanya satu kepentingan tertentu atau
lebih, atau secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan si pemberi kuasa,” dan walaupun tidak terdapat suatu peraturan yang melarang untuk dibuatnya perjanjian
tersebut, namun keberadaan atau pembuatan akta PerikatanPerjanjian Jual Beli dan Kuasa Jual yang dimaksud banyak sekali dipergunakan oleh pengusahaproperty
untuk melakukan jual beli berikutnya dengan menggunakan Kuasa Jual, yang mana
Universitas Sumatera Utara
29
dalam hal ini terdapat kewajiban pembayaransetoran pajak PPh dan BPHTB yang semestinya disetor kepada pemerintah menjadi tertunda.
Mengenai persyaratan dalam pelaksanaan jual beli di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah belum terpenuhi, Notaris tidak diperkenankan untuk membuat
akta Jual Beli secara resmi definitif yang dalam hal ini merupakan tugas dan kewenangan dari Pejabat Pembuat Akta Tanah, dan oleh karenanya Notaris dalam hal
ini dalam menjalankan tugasnya membuat akta PerikatanPerjanjian Jual Beli dan biasanya disertai dengan Kuasa Jual.
Notaris danatau Pejabat Pembuat Akta Tanah sebelum melakukan pembuatan akta PerikatanPerjanjian Jual Beli danatau akta Jual Beli mempunyai kewajiban
untuk : 1.
Pengecekan bersih terhadap sertipikat yang akan dialihkan atau diperjual belikan tersebut di Kantor Pertanahan ;
2. Untuk melaksanakan kewajiban pembayaran pajak-pajak yang menyangkut
obyek jual beli yang akan dialihkan atau diperjual belikan tersebut terlebih dahulu.
18
Dalam melaksanakan tugasnya sebagai pejabat umum yang ditunjuk, Notaris dalam melaksanakan kewajiban pembuatan akta pengikatanperjanjian jual beli harus
berpegang teguh pada Undang-Undang Jabatan Notaris walaupun dalam prakteknya,
18
Chairani Bustami, 2002, “Aspek-Aspek Hukum Yang Terkait Dalam Akta Perikatan Jual Beli Yang Dibuat Notaris Dalam Kota Medan”, Tesis, Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan
Universitas Sumatera Utara, Medan, Hal. 28.
Universitas Sumatera Utara
30
demi efisiensi dan profesionalisme serta servise kepada klien kadang kala menyimpang dari ketentuan-ketentuan tersebut.
Di dalam isi salah satu pasal akta PerikatanPerjanjian Jual Beli, yang pada umumnya terletak pada Pasal 5 atau pasal 6 terdapat klausul kuasa blanko blanco
volmacht, yang menyatakan Pihak Pertama dengan ini memberi kuasa kepada Pihak Kedua, baik bersama-sama maupun masing-masing dengan hak untuk memindahkan
kepada orang lain subtitutie dan kuasa ini adalah merupakan bagian yang terpenting serta tidak terlepas dari pada akta ini, yang mana akta ini tidak akan diperbuat apabila
kuasa itu tidak diberikan, yaitu : 1.
Untuk mengurus dan menyelesaikan permohonan perolehan surat tanda bukti pendaftaran sesuai yang dimaksud dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 ; 2.
Untuk memenuhi segala persyaratan yang di perlukan guna melaksanakan jual beli tersebut ;
3. Setelah syarat-syarat yang diperlukan untuk melaksanakan jual beli itu dipenuhi,
melakukan jual beli yang dimaksud di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang ;
4. Selanjutnya melakukan segala sesuatu yang dianggap perlu dan berguna oleh
Pihak Kedua untuk menyelesaikan hal-hal tersebut, terutama untuk memenuhi
Universitas Sumatera Utara
31
peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain menurut Undang- Undang Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.
19
Untuk keperluan tersebut di atas, membuat, suruh membuat, suruh membuat dan menandatangani serta mengajukan surat permohonan dan lain-lain surat yang
diperlukan, menghadap di mana perlu dan menghubungi instansi-instansi yang berkepentingan, menandatangani akta-aktasurat-surat jual belinya di hadapan Pejabat
Pembuat Akta Tanah dan Pejabat lainnya yang berwenang untuk itu, melakukan pendaftaran sertipikat atas tanah tersebut sehingga terdaftar atas nama Pihak Kedua
atau pihak lain atau orang lain yang ditunjukkannya dan selanjutnya melakukan segala perbuatan apa saja yang diperlukan untuk itu tanpa ada yang dikecualikan.
1.5. Kuasa Volmacht Pasal 1792 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :
“Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya
menyelenggarakan suatu urusan.” Kuasa dalam PerikatanPerjanjian Jual Beli oleh masyarakat luas dianggap
sebagai suatu hal yang sangat praktis, yang mana seseorang baik selaku Natural Person atau Natuurlijke Persoon danatau selaku Artificial Person atau Rechts
Persoon apabila berhalangan karena suatu sebab untuk melaksanakan perbuatan hukum dapat diwakilkan, untuk dan atas namanya oleh seorang lainnya yang
menerimanya untuk melakukan suatu perbuatan hukum dimaksud, dan keberadaan
19
Ibid. Hal. 89.
Universitas Sumatera Utara
32
eksistensi kuasa ini telah diakui oleh instansi-instansi yang berkepentingan dan diatur dalam Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Tentang
Perikatan. Pasal 1795 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :
“Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu mengenai hanya satu kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan
si pemberi kuasa”. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas, dapat dibedakan adanya 2 dua
jenis kuasa : 1.
Kuasa Khusus ; dan 2.
Kuasa Umum. Surat Kuasa khusus adalah pemberian kuasa yang dilakukan hanya untuk satu
kepentingan tertentu atau lebih. Dalam Surat Kuasa Khusus, didalamnya dijelaskan mengenai tindakan-tindakan apa saja yang boleh dilakukan oleh penerima kuasa. Jadi
karena ada tindakan-tindakan yang dirinci dalam Surat Kuasa tersebut, maka Surat Kuasa itu menjadi Surat Kuasa Khusus. Misalnya : kuasa untuk menjual kuasa jual
tanah beserta segala benda-benda yang berada di atasnya, kuasa untuk memberikan hak tanggungan SKMHT dan lain sebagainya.
Mengenai unsur tidak dapat dipindahkan kepada pihak lain, adalah merupakan salah satu hak yang dapat dimasukkan dalam pemberian kuasa yaitu hak substitusi
sebagaimana diatur dalam pasal 1803 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hak substitusi tersebut memberikan hak bagi penerima kuasa untuk mensubstitusikan
Universitas Sumatera Utara
33
kewenangannya sebagai penerima kuasa kepada pihak lain untuk bertindak sebagai penggantinya. Kata-kata “Kuasa ini diberikan tanpa hak untuk memindahkannya
kepada pihak lain, baik sebagian maupun seluruhnya” bukan menunjukkan bahwa surat kuasa tersebut tidak dapat ditarik kembali, namun menunjukkan bahwa
penerima kuasa tidak boleh menunjuk pihak lain untuk menggantikannya melaksanakan kuasa tersebut.
Sedangkan surat kuasa umum sebagaimana ternyata dalam ketentuan Pasal 1796 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dinyatakan bahwa pemberian kuasa
yang dirumuskan dengan kata-kata umum, hanya meliputi perbuatan-perbuatan pengurusan. Sehingga surat kuasa umum hanya boleh berlaku untuk perbuatan-
perbuatan pengurusan saja. Sedangkan untuk memindah tangankan benda-benda atau sesuatu perbuatan lain yang hanya boleh dilakukan oleh pemilik tidak diperkenankan
pemberian kuasa dengan surat kuasa umum melainkan harus dengan surat kuasa khusus.
Pemberian kuasa
tersebut di
atas, dimaksudkan
untuk memberikan
kewenangan kepada seseorang yang diberi kuasa penerima kuasa untuk dan guna kepentingan yang memberi kuasa pemberi kuasa dalam melakukan perbuatan-
perbuatan dan tindakan-tindakan mengenai pengurusan, meliputi segala macam kepentingan dari pemberi kuasa, tidak termasuk perbuatan-perbuatan atau tindakan-
tindakan yang mengenai kepemilikan Pasal 1796 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa perkataan “umum” yaitu
meliputi segala kepentingan si pemberi kuasa dalam ketentuan Pasal 1795 Kitab
Universitas Sumatera Utara
34
Undang-Undang Hukum Perdata tersebut hanya merupakan suatu perbuatan- perbuatan danatau tindakan-tindakan demi atau untuk kepentingan pemberi kuasa
belaka. Berbeda halnya dengan perkataan umum sebagaimana dinyatakan dalam
ketentuan Pasal 1795 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menitik beratkan untuk kepentingan pemberi kuasa, dalam perkataan umum Pasal 1796 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata untuk menguraikan kewenangan perbuatan- perbuatan danatau tindakan-tindakan penerima kuasa harus dinyatakan dengan jelas
dan tegas agar tidak memberikan penafsiran yang berbeda-beda. Pasal 1813 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :
“Pemberian kuasa berakhir : dengan ditariknya kembali kekuasaannya si kuasa, dengan pemberitahuan penghentian kuasanya oleh si kuasa, dengan
meninggalnya, pengampuannya, atau pailitnya si pemberi kuasa maupun si kuasa, dengan perkawinannya si perempuan yang memberikan atau menerima kuasa.”
Pasal tersebut di atas adalah merupakan salah satu pasal yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur tentang cara berakhirnya suatu
kuasa, dan pasal ini selalu dapat dijumpai pada pemberian kuasa yang terdapat dalam akta perikatanperjanjian jual beli tanah beserta segala benda-benda yang
berada di atasnya yang dibuat di hadapan Notaris. Bertolak belakang dengan apa yang tercantum dalam ketentuan Pasal 1795
dan Pasal 1813 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dalam praktek sejalan dengan perkembangan hukum dan kepentingan atau kebutuhan masyarakat dikenal adanya
Universitas Sumatera Utara
35
suatu kuasa yang tidak dapat dicabut kembali, yang mana kuasa tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan perjanjian pokoknya dan merupakan salah satu
syarat penting yang harus diadakan bagi terjaminnya pemenuhan syarat-syarat lain yang ditetapkan dalam perjanjian tersebut, oleh karenanya kuasa tersebut harus tetap
berlaku dan tidak dapat dicabut kembali selama perjanjian pokoknya masih berlaku dan mengikat bagi para pihak yang membuatnya. Kuasa yang merupakan bagian yang
tidak dapat dipisahkan dari perjanjian pokok yang dimaksud. Sifat dari kuasa tersebut menyimpang dari kuasa-kuasa pada umumnya, yang mana kuasa tersebut dibuat atau
diberikan bukan untuk dan atas nama pemberi kuasa, namun akibat hukum yang timbul dari penggunaan kuasa tersebut adalah semata-mata demi kepentingan dari
penerima kuasa itu sendiri. Di samping jenis-jenis kuasa sebagaimana tersebut di atas, dewasa ini sering
dijumpai adanya suatu kuasa yang dikenal dengan istilah “Kuasa Mutlak”, yang pada hakekatnya istilah tersebut bukanlah merupakan suatu istilah hukum, dan oleh
karenanya untuk dapat memahami pengertian yang sebenarnya harus ditafsirkan secara etimologis. Menurut G.H.S. Lumban Tobing, secara etimologis pengertian
pemberian kuasa mutlak adalah pemberian suatu kuasa kepada seseorang disertai dengan hak dan kewenangan serta kekuasaan yang sangat luas mengenai suatu obyek
tertentu, kuasa mana oleh pemberi kuasa tidak dapat dicabut kembali dan tidak akan batal atau berakhir karena alasan-alasan apapun, termasuk alasan-alasan danatau
sebab-sebab yang mengakhiri pemberian suatu kuasa yang dimaksud dalam Pasal 1813 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan selain dari itu penerima kuasa juga
Universitas Sumatera Utara
36
dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan pertanggungan jawab selaku kuasa kepada pemberi kuasa.
20
Menurut Bregstein dan Van Dergriten, dalam kuasa mutlak harus terdapat causale handeling perbuatan atau perbuatan yang ada dasar hukumnya dan harus
berdasarkan pada titel yang sah dasar hukum yang sah, yaitu perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan hukum atau melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.
21
Dampak dari sebuah surat kuasa mutlak adalah bahwa pemberi kuasa tidak dapat mencabut kuasa yang telah diberikannya kepada penerima kuasa. Biasanya
suatu kuasa dianggap sebagai kuasa mutlak apabila di dalam kuasa tersebut dicantumkan
klausula bahwa
pemberian kuasa
tersebut diberikan
dengan mengesampingkan ketentuan Pasal 1813 KUH Perdata tentang cara berakhirnya suatu
kuasa. Dengan demikian maka pemberi kuasa menjaditidak dapat lagi menarik kembali kuasa yang telah diberikannya tanpa adanya kesepakatan dari pihak
penerima kuasa. Surat kuasa mutlak ini dilarang digunakan dalam proses pemindahan hak atas
tanahjual beli tanah. Hal ini diatur dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 yang bertujuan untuk mengatur ketertiban umum dalam bertransaksi jual
beli tanah. Dalam huruf c konsideran Instruksi tersebut menyebutkan bahwa “Maksud dari larangan tersebut, untuk menghindari penyalahgunaan hukum yang mengatur
pemberian kuasa dengan mengadakan pemindahan hak atas tanah secara terselubung
20
Media Notariat, Nomor 8-9, Tahun III, Oktober, 1988, Ikatan Notaris Indonesia. Hal. 16.
21
Djoko Supadmo, 1995, Ketentuan-ketentuan dan Komentar Mengenai Jual Beli, Tukar Menukar, Sewa Menyewa Dalam PraktekTeknik Pembuatan Akta. Bina Ilmu, Surabaya. Hal. 21.
Universitas Sumatera Utara
37
dengan menggunakan bentuk “kuasa mutlak.” Tindakan demikian adalah salah satu bentuk perbuatan hukum yang mengganggu usaha penertiban status dan penggunaan
tanah.” Peralihan hak atas tanah harus dilakukan melalui jual beli sebagaimana yang
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Jual beli kalau dilakukan melalui surat kuasa, hanya bisa dilakukan dengan
menggunakan surat kuasa khusus yang di dalamnya harus khusus pula obyeknya karena surat kuasa tersebut nantinya akan dilekatkan pada minuta akta jual belinya
berikut dengan fotocopy obyek yang disebut di dalam surat kuasa tersebut. Sehubungan dengan apa yang telah diuraikan di atas, maka dapat diambil
suatu pertanyaan : apakah suatu perjanjian sah dan mengikat demi hukum yang isinya selalu dapat dilaksanakan khususnya mengenai kuasa yang tercantum dalam
akta PerikatanPerjanjian Jual Beli, apakah efektivitas pemberian kuasa yang terdapat dalam akta PerikatanPerjanjian Jual Beli, serta apa keterkaitan antara
pemberian kuasa yang terdapat dalam akta PerikatanPerjanjian Jual Beli dengan akta Kuasa Jual, dan apakah kuasa yang diberikandibuat untuk melakukan perbuatan
hukum kepada penerima kuasa selalu demi kepentingan pemberi kuasa dan Apakah diperkenankan pembuatan akta PerikatanPerjanjian Jual Beli disertai dengan
pembuatan akta Kuasa Jual ? Hal inilah yang akan diketengahkan dalam pokok permasalahan.
Universitas Sumatera Utara
38
2. KONSEPSI