Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak menurut hukum Positif

Pada hakekatnya seorang anak harus berbuat baik kepada kedua orang tuanya, meskipun orang tua masih dalam keadaan musyrik mereka tetap mempunyai hak untuk mendapatkan perlakuan yang baik dari anak-anaknya. Berbuat baik kepada kedua orang tua harus didahulukan daripada fardhu kifayah, amalan-amalan sunnah, berjihad di jalan Allah SWT dan berbuat baik kepada kedua orang tua tidak berarti harus meninggalkan kewajiban terhadap istri dan anak-anaknya, kewajiban memberikan nafkah kepada istri dan anak-anak tetap dipenuhi walaupun kepada kedua orang tuanya harus didahulukan. 36 Permasalahan mentaati perintah orang tua ketika diminta untuk menceraikan istri sudah berlangsung sejak lama. Oleh karena itu para Imam Aimmah sudah menjelaskan penyelesaian dari permasalahan tersebut. Pada zaman Imam Ahmad abad kedua dan zaman Syaikhul Islam abad ketujuh permasalahan ini sudah terjadi dan sudah dijelaskan bahwa tidak boleh taat kepada kedua orang tua untuk menceraikan istri karena hawa nafsu. Kecuali jika istri tidak taat pada suami, berbuat zhalim, berbuat kefasikan, tidak mengurus anaknya, berjalan dengan laki- laki lain, tidak pakai jilbab tabarujmemperlihatkan aurat, jarang shalat dan ketika suami sudah menasehati dan mengingatkan tetapi istri tetap nusyuz durhaka, maka perintah untuk menceraikan istri wajib ditaati. 37

F. Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak menurut hukum Positif

36 Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Berbakti Kepada Kedua Orang Tua, Darul Qolam – Jakarta, 2005 hal. 34 37 Ibid., hal. 29 Di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak dapat kita lihat dalam Bab X menyatakan bahwa: Pasal 45 1 Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. 2 Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus-menerus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa: 38 Pasal 19 Setiap anak berkewajiban untuk: 1 Menghormati orang tua, wali dan guru. 2 Mencintai keluarga, masyarakat dan menyayangi teman. 3 Mencintai tanah air, bangsa dan Negara. 4 Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya. 5 Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia. 38 Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Citra Umbara, Bandung, hal. 11 Berkaitan dengan kewajiban anak maka orang tua berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya. Kewajiban tersebut merupakan dasar dari kekuasaan orang tua, akan tetapi bukan sebagai akibat dari kekuasaan orang tua. Kewajiban tersebut disebabkan oleh adanya hubungan antara orang tua dengan anak yang tercipta karena keturunan. Hal ini terbukti dari ketentuan pasal 26 ayat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk : 1 Mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak. 2 Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minantnya. Apa yang dimaksud dengan pemeliharaan yaitu pemberian tempat tinggal, makanan, pakaian, perawatan jika anak tersebut sakit. Sedangkan pendidikan yang dimaksud ialah mendidik anak tersebut menjadi mahluk sosial. Bagian yang utama dari kewajiban orang tua ini adalah menyekolahkan anak-anak agar dapat hidup mandiri di kemudian hari. 39 Orang tua mempunyai hak mengoreksi dan mendisiplinkan anak-anaknya, orang tua dapat memerintah anak dan sebaliknya anak wajib mematuhi perintah 39 Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, cet-2, Kencana, Jakarta, 2004, hal. 157-163. itu. Kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah sebuah wujud aktualitas hak- hak anak yang harus dipenuhi oleh orang tua. 40 Dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 98 menyebutkan bahwa batas usia anak yang mampu berdiri sendiri dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tidak cacat fisik atau pun mental atau belum kawin. Orang tua mewakili anak mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan. Apabila kedua orang tua anak tidak mampu, Pengadilan dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban orang tuanya. Sedangkan dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan bahwa kewajiban anak yang utama terhadap orang tuanya adalah menghormati dan mentaati kehendak yang baik dari orang tuanya. Dan bila mana anak telah dewasa wajib memelihara orang tuanya dengan sebaik- baiknya menurut kemampuannya. Bahkan anak juga berkewajiban untuk memelihara keluarga dalam garis lurus keatas, bila mereka ini memerlukan bantuannya. Seorang anak yang sudah berkeluarga artinya sudah dikatakan dewasa, dan seorang yang sudah dewasa berarti harusnya sudah bisa mengurusi keluarganya sendiri tanpa adanya turut campur orang tua, karena dengan adanya turut campur 40 Deasy Caroline Moch. Dja’is, SH, Pelaksanaan Eksekusi Nafkah Anak diPengadilan Agama , Artikel Jurnal Mimbar Hukum, Jakarta, Al-Hikmah dan DITBINBAPERA Islam No. 42 Tahun X 1999, hal. 39. orang tua ke dalam keluarga anak biasanya akan terjadi ketidakharmonisan dalam keluarga dan tidak berjalannya hak dan kewajiban sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, mengenai kewajiban orang tua terhadap keluarga anak sebenarnya hanya sebatas hubungan timbal balik dan bukan mencampuri urusan keluarga anaknya, karena anak tersebut sudah dikatakan dewasa dan mempunyai keluarga sendiri.

BAB III ANALISA KASUS CERAI GUGAT TURUT CAMPUR ORANG TUA

SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR

A. Profil Pengadilan Agama Jakarta Timur

1. Sejarah Lahirnya Peradilan Agama Jakarta Timur 41 Sebagai kelanjutan dari sikap pemerintah Hindia Belanda terhadap peradilan agama, pada tahun 1828 dengan ketetapan Komisaris Jenderal tanggal 12 Maret 1828 nomor 17 khusus untuk Jakarta Betawi di tiap-tiap distrik dibentuk satu majelis distrik yang terdiri dari : a. Komandan Distrik sebagai Ketua. b. Para penghulu masjid dan Kepala Wilayah sebagai anggota. Majelis ada perbedaan semangat dan arti terhadap Pasal 13 Staatsblad 1820 Nomor 22 , maka melalui resolusi tanggal 1 Desember 1835 pemerintah di masa itu mengeluarkan penjelasan Pasal 13 Staatsblad Nomor 22 tahun 1820 sebagai berikut : “Apabila terjadi sengketa antara orang-orang Jawa satu sama lain mengenai soal-soal perkawinan, pembagian harta dan sengketa-sengketa sejenis yang harus diputus menurut hukum Islam, maka para “pendeta” memberi keputusan, 41 Diambil dari arsip Pengadilan Agama Jakarta Timur tanggal 12 Juli 2008. h.1.