Lesbian sebagai alasan perceraian bagi suami;kasus di pengadilan Agama Jakarta Timur

(1)

LESBIAN SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN BAGI SUAMI

(“Kasus di Pengadilan AgamaJakarta Timur”)

Skripsi

Oleh:

MOHAMMAD ANIQ KAMALUDDIN

NIM: 105044101375

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(2)

(3)

i

KATA PENGANTAR

i

LESBIAN SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN BAGI

SUAMI


(4)

ii

munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 31 Maret 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.sy) pada program studi Ahwal al-Syakhsiyyah.

Jakarta, 31 Maret 2011 Mengesahkan

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM

NIP: 1955 0505 1982 0310 12 PANITIA UJIAN

Ketua

: Drs.H.A.Basiq Djalil, SH, MA

NIP : 195003061976031001 (………)

Sekretaris

: Rosdiana, MA

NIP : 196906102003122001

(………) Pembimbing I : H. Damanhuri Mushtofa, S.H.

NIP : 195003061976031001

(………) Pembimbing II

: H. Jasir, SH. MH

NIP : 194407091966041001

(………) Penguji I

: Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP: 1955 0505 1982 0310 12

(………) Penguji II

: Dr. Djawahir Hejazziey S.H. M.A. NIP : 195510151979031002


(5)

iii









Assallamu’allikum. Wr. wb

Segala puji bagi Allah SWT, Maha Pencipta dan Maha Penguasa alam semesta yang telah melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya kepada penulis terutama dalam rangka penyelesaian skripsi ini. Shalawat serta salam kita sanjungkan kepada pemimpin revolusioner umat islam tiada lain yakni junjungan kita Nabi Muhammad SAW dan keluarga, serta para sahabat yang telah banyak berkorban dan menyebarkan dakwah Islam.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak sedikit hambatan dan kesulitan yang penulis hadapi, namun pada akhirnya selalu ada jalan kemudahan, tentunya tidak terlepas dari beberapa individu yang sepanjang penulisan skripsi ini banyak membantu dan memberikan bimbingan dan masukan yang berharga kepada penulis hingga terselesaiakannya skripsi ini.

Dengan demikian dalam kesempatan yang berharga ini penulis mengugkapkan rasa hormat serta ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Bapak:

1. Prof. Dr. H. Komaruddin Hidayat, MA. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas Syariah dan


(6)

iv

menyelesaiakan skripsi ini, dan Kamarusdiana, S.Ag, MH. Sekretaris Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah.

4. Para Narasumber dan Staff Lembaga Pengadilan Agama Tangerang. Yang telah memberikan penulis izin dan membantu meluangkan waktunya untuk melaksanakan observasi dan wawancara selama penulis mengadakan penelitian khususnya Dra. Ai Jamilah, M.H. Yang telah memberikan informasi kepada penulis.

5. Seluruh Staff Pengajar (dosen) Prodi Ahwal Al Syakhshiyah Fakultas Syariah dan Hukum yang telah banyak menyumbang ilmu dan memberikan motivasi sepanjang penulis berada di sini. Selain itu, para Pimpinan dan Staff Perpustakaan baik Perpustakaan Utama maupun Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi perpustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.

6. Teristimewa buat Ayahanda Wagino dan Ibunda Suwarni tercinta. Yang telah merawat dan mengasuh serta mendidik dengan penuh kasih sayang dan memberikan pengorbanan yang tak terhitung nilainya baik dari segi moril maupun materil. Serta Kakanda Suwandi S.Pd, Adinda Nur Fita Iriani dan Kiki Septiani. Terimakasih atas segala doanya, kesabaran, jerih payah, serta nasihat yang


(7)

v

senantiasa memberikan semangat tanpa jemu hingga ananda dapat menyelesaiakan studi. Tiada kata yang pantas selain ucapan doa, sungguh jasamu tiada tara dan tak akan pernah terbalaskan.

7. Teman-teman senasib dan seperjuangan konsentrasi Peradilan Agama angkatan 2006. Terkhusus buat Yani, Nela, Pipih, Rika, Milah, Teh Ai, Zumi, Milky, Wawad, Cahya, Silvy, Lukman, Idam, Qisty, Lutfi, dan lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, trimakasih atas bantuannya dalam penulisan skripsi ini, dan kebersamaan yang tercipta selama penulis belajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu memberi warna dan memeriahkan hari-hari waktu kuliah, semoga persahabatan kita tak kan pernah memuadar walau waktu dan jarak memisahkan.

8. Rekan-rekan di organisasi kampus dan primodial seperti SaunG, IRMAFA, Himpunan Mahasiswa Pelalawan (HIPMAWAN) Jakarta, Serumpun Mahasiswa Riau (SEMARI) Banten, serta rekan-rekan lainnya yang tidak bias penulis sebutkan satu persatu. Yang selalu berbagi ilmu dan pengalamannya dengan penulis. Trimaksih atas motivasi dan dukungannya.

9. Terkhusus buat sahabat-sahabatku Angakatan X DH Mica, Titin, Tila, Lilis, Mina, Duta, Eli, Arin, K Ijum, Halsa, Feny, Zain, Nando. Terimakasih atas motivasi dan kebersamaan yang telah terjalin selama ini, semoga persahabatan kita tak kan pernah memudar hingga rambut memutih.


(8)

vi

Hikmah) Jakarta yang tak dapat disebut satu persatu. Terimakasih atas perhatian, dorongan dan do’anya. Canda tawa dan kebersamaan kita selama ini kan selalu kukenang.

Kepada semua pihak yang telah banyak memotivasi dan memberi inspirasi kepada penulis untuk mencapai suatu cita-cita, dan yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung, moril maupun materil. Hanya ucapan terima kasih yang penulis haturkan semoga segala bantuan tersebut diterima sebagai amal baik disisi Allah SWT. Dan memperoleh pahala yang berlimpat ganda (amin).

Penulis meyadari bahwa skripsi ini banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun perlu kiranya diberikan demi perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini. Maka akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya, dan pembaca pada umumnya.

-Amin Ya Rabbal A’lamin

-Jakarta, Agustus 2010


(9)

vii

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN……… i

PENGESAHAN PANITIA UJIAN………. ii

KATA PENGANTAR………. iii

DAFTAR ISI……… vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………. 1

B. Pembatasan dan Peruumusan Masalah……… 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………... 9

D. Review Studi Terdahulu………. 10

E. Metode Penelitian………... 13

F. Sistematika Penulisan………. 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG PERCERAIAN DALAM PERKAWINAN A. Pengertian Perceraian dan Dasar Hukumnya………. 17

B. Alasan - AlasanPerceraian……… 25

C. Perbedaan Cerai Talak dengan Cerai Gugat………. 27


(10)

viii

C. Lesbi Menurut Ulama Fiqh……… 44

D. Lesbi MenurutHukum Positif……… 45

BAB IV ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR NOMOR PERKARA 207/Pdt.G/2009/PA.JT A. Duduk Perkara……… 48

B. Pertimbangan Hukum………. 51

C. Amar putusan……….. 59

D. Analisis Putusan………. 60

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan……… 72

B. Saran-saran……… 74

DaftarPustaka……… 76


(11)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia hidup di dunia diciptakan berpasang-pasangan, ada laki-laki dan ada perempuan. Secara kodrat mereka saling membutuhkan antara satu sama lainya juga cenderung menginginkan hidup bersama.

Didalam Al-Qur’an telah dijelaskan kepada kita bahwa Allah telah menciptakan bagi manusia pasangan hidupnya masing-masing, dari jenisnya sendiri, supaya merasa aman karenanya, dan supaya timbul rasa kasih sayang diantara mereka. Dan hubungan antara perempuan dan laki-laki akan sah manakala telah diikat dengan ikatan yang dinamakan pernikahan atau perkawinan sesuai dengan cara-cara yang telah diatur dalamsyari’atIslam.

Perkawinan dalam bahasa arab disebut dengan kata al-nikah yang bermakna al-wathi’ dan al-dammu wa al-tadakhul. Terkadang juga disebut dengan al-dammu wa al-jam;u, atau al-wath’u wa al-aqdu yang bermakna bersetubuh, berkumpul, dan akad. Beranjak dari makna etimologis inilah para ulama fiqh mendefinisikan perkawinan dalam konteks biologis.

Menurut Wahbah Zuhaily perkawinan ialah akad yang membolehkan terjadinyaal-istimta (persetubuhan) antara seorang lelaki dengan seorang wanita,


(12)

atau melakukan wathi’ dan berkumpul selama wanita tersebut bukan wanita yang diharamkan dinikahi baik sebab keturunan atau persusuan.1

Menurut hukum Islam pernikahan merupakan suatu ikatan yang paling suci dan kokoh antara suami dan isteri. Oleh karena itu Islam menetapkan ikatan tersebut untuk selamanya. Langgengnya pernikahan merupakan suatu tujuan yang sangat diinginkan oleh Islam.2Begitu juga Islam mengatur masalah perkawinan dengan tujuan agar membentuk keluarga yang bahagia dunia dan akhirat dibawah cinta kasih dan ridho Allah.

Perkawinan merupakan suatu cara untuk menyalurkan kebutuhan biologis antara laki-laki dan wanita dan menghubungkannya sebagai suami isteri. Hal tersebut merupakan suatu ikatan yang paling kuat dalam hubungan pergaulan manusia. Sebagaimana yang disebutkan dalam UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal satu. “Yang dimaksud dengan perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sabagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa3”

Sabagai nagara yang berdasarkan Pancasila dimana sila pertama adalah Ketuhanan Yang Yaha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali

1

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan,Hukum Perdata Islam di Indonesia; Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No.1/1974 dan KHI. (Jakarta: Pranada Media, 2004). Cet, 2.h,38

2

Djam’an Nur, fiqh Munakahat. (Jakarta: Dira Utama Semarang, 1993). Cet. 1. h. 130

3


(13)

3

dengan persoalan agama dan kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mengenai urusur lahiriyah (jasmaniyah) tetapi juga menyangkut urusan batiniyah (rohaniyah) yang mempunyai peranan yang sangat penting.

Tujuan dari perkawinan menurut UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan ialah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal abadi. Untuk itu suami isteri harus saling pengertian, saling bantu membantu dan saling lengkap-melengkapi antara satu sama lain, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya untuk membantu dan mencapai kesejahtraan baik spiritual maupun material. Karena tujuan dari perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia dan kekal. Maka UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan menganut prinsip mempersulit terjadinya perceraian.4

Jika akad nikah telah sah dan berlaku, maka ia akan menimbulkan akibat hukum dan dengan demikian akan menimbulkan pula hak serta kewajiban selaku suami isrti.5 Hak-hak dan kewajiban suami isteri itu memegang peranan penting dalam suatu rumah tangga. Apabila masing-masing pihak tidak dapat saling menjaga dan memeliharanya maka tinggal tunggu saja saat-saat kehancurannya. Hak dan kewajiban itu dapat juga diaplikasikan sebagai berikut: hak dan kewajiban suami isteri, hak dan kewajiban suami terhadap isterinya, hak dan kewajiban isteri terhadap suaminya.

4

M Idris Ramulyo,Beberapa Masalah Tentang hukum acara Perdata Pengadilan Agama, (Jakarta : Ind-Hill co, 1991), Cet Ke -2, h,179

5


(14)

Setiap keluarga merindukan kebahagian dan ketentraman hidup, karena dalam keluargalah terjadi hubungan yang paling dekat, paling sering bahkan dapat dikatakan terus-menerus. Namun pada kenyataannya perkara yang menyangkut hak dan kewajiban ini, sungguh banyak menimbulkan masalah di tengah-tengah rumah tangga, antara lain disebabkan :

a. Suami tidak sanggup memberi nafkah lahir terhadap isterinya, seperti memberi uang belanja sehari-hari, pakaian dan sebagainya. Pada waktu itu ada isteri yang tidak pengertian dan tidak tabah menghadapinya serta tidak mau memikirkan kekurangan ekonomi yang telah muncul dihadapan keluarganya, akhirnya menimbulkan pertengkaran.

b. Isrti mempunyai suatu penyakit yang tidak sanggup bergaul dengan suami secara normal, atau isteri tidak mampu mengendalikan daya seksnya, timbullah krisis rumahtangga karena menyalurkan seksnya dengan orang lain tanpa proses perkawinan, dan hal tersebut tentu dirlarang keras dalam ajaran agama Islam yang disebut perbuatan zina. Peristiwa-pristiwa ini menimbulkan pengaduan-pengaduan suami kepada Pengadilan Agama untuk menyelesaikan perkaranya.6 Selain masalah yang disebutkan penulis diatas, ternyata ada bbeberapa masalah dari para suami yang sampai ke Pengadilan Agama karena ketidak sediaan sang isrti untuk melayani sang suami.

6

Firdaweri,Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan Karena Ketidakmampuan Isteri Menunaikan Kewajibannya. (Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1989), cet ke 1, h.1-2


(15)

5

Dengan demikian, maka hal ini menjadi bukti bahwa masih banyak para isteri yang tidak menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri yakni melayani suaminya dalam berhubungan biologis.

Apabila hal ini terus-menerus terjadi, maka akan menjadi persoalan yang sangat penting karena dapat menimbulkan permasalahan yang mengakibatkan putusnya pernikahan. Tidak menutup kemungkinan akan terjadi perselingkuhan yang dilakukan oleh salah satu pasangannya, sehingga kehidupan keluarga tidak berjalan harmonis.

Putusnya sebuah pernikahan lazim disebut dengan sebutan cerai, atau yang disebut dalam bahasa arab dengan sebutan at-Tholaq atau talak. Dalam mengemukakan arti talak secara terminologi tampaknya ulama mengemukakan essensinya sama yaitu melepaskan.7 Dalam hal ini adalah melepaskan ikatan tali perkawinan.8

Akan tetapi terkadang timbulnya permasalahan para isteri tidak mau memberikan nafkah batin kepada suaminya juga mempunyai alasan yang berbeda-beda. Salah satu alasannya yaitu dikarenakan adanya faktor kelainan seks pada isteri. Kelainan seks tersebut salah satunya yaitu si-isteri lebih menyukai sesama jenis (lesbian) dari pada lawan jenisnya, atau yang kita kenal dengan istilah lesbi. Lesbi adalah hubungan badan antara sesama jenis, antara wanita dengan wanita lainnya.

7

Amir Syarifuddin,Garis-garis Besar Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2003), cet.1, h.125

8


(16)

Dengan adanya kelainan seks tersebut, isteri akan enggan atau tidak mau memberi nafkah bathin kepada suaminya yang disebabkan isterinya lebih menyukai orang lain sesama jenis, tidak tertarik dengan suaminya, akibatnya si suami akan menjadi korban karena isterinya tidak bisa atau tidak mampu menjalankan tugasnya sebagai seorang isteri, kemudian suami hidup tanpa ketenangan dan kasih sayang serta ia tidak mendapatkan keturunan sekalipun ia subur.

Apabila dihubungkan dengan Undang-undang perkawinan dan kompilasi hukum Islam, maka jelas bahwa perceraian (putusnya perkawinan) diperbolehkan jika salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/isteri.

Namun dari sumber hukum tersebut tidak ada yang menjelaskan tentang

diperbolehkannya perceraian dengan alasan kelainan seksual (lesbian/homoseksual). Walaupun hal ini bisa dimasukan pada inpres no.1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada pasal 116 poin e,“salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajinabya sebagai suami atau isteri”. Tetapi hal tersebut masih bisa diperdebatkan dan di tafsirkan lain. Karena cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya bisa bermacam-macam, sedangkan bila isteri mempunyai kelainan seksual (lesbian) ini dapat dijadikan sebagai alasan perceraian, maka akan memungkinkan banyak pasangan yang mengalami perceraian. Sedangkan perceraian itu sendiri dapat menimbulkan akibat hukum yang sangat besar.


(17)

7

Berawal dari latar belakang masalah inilah, penulis ingin sekali mengadakan penelitian yang berkenaan dengan “Kelainan Seksual Pada Isteri (Lesbi) Sebagai Alasan Perceraian (Analisis putusan No.perkara 207/Pdt.G/2009 di Pengadilan Agama Jakarta Timur), selanjutnya akan penulis tuangkan dalam bentuk skripsi yang berjudul “Kelainan Seksual Pada Isteri (Lesbian) Sebagai Alasan Perceraian (analisis putusan no.perkara 207/Pdt.g/2009 di Pengadilan Agama Jakarta Timur).

B. Pembatasan dan perumusan masalah

1. Pembatasan masalah

Alasan-alasan perceraian yang diadukan ke Pengadilan Agama sangat banyak, antara lain: faktor ekonomi, adanya pihak ke tiga, penganiayaan, pemabuk, penyakit, kelainan seksual dan lain sebagainya. Hal ini sangat mempengaruhi agar pihak yang bersangkutan dapat melakuakan perceraian. Dengan banyaknya alasan-alasan perceraian tersebut, maka penulis akan membatasi pada kasus perceraian yang disebabkan isteri mempunyai kelainan seksual (lesbi) dengan lebih menyukai sesama jenis daripada suaminya sendiri. Kasus-kasus kelainan seksual yang kami bahas adalah kasus yang terdata di Pengadilan Agama Jakarta Timur.

2. Perumusan masalah

Dalam undang-undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan dalam pasal 37 dan PP No.9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No.1 tahun 1974


(18)

tentang Perkawinan serta Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam pasal 116 tidak diatur secara jelas tentang perceraian yang disebabkan karena isteri mengalami kelainan seksual (lesbi), tapi pada faktanya putusan cerai gugat karena alasan isteri mengalami kelainan seksual (lesbi) terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Timur. Hal ini yang ingin penulis telusuri lebih dalam adalah tentang bagaimana hakim mengambil pertimbangan keputusan dalam putusan cerai gugat karena isteri mengalami kelainan seksual (lesbi) itu. Mengacu pada rumusan masalah tersebut, maka penulius rinci dalam pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana hukum Islam dan hukum positif mengatur tentang lesbian sebagai alasan perceraian bagi suami ?

2. Bagaimana pertimbangan majelis hakim dalam memutuskan perkara lesbian sebagai alasan perceraian bagi suami di Pengadilan Agama Jakarta Timur?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian skripsi ini adalah untuk mendeskripsikan beberapa permasalahan sebagi berikut :

1. Untuk memenuhi salah satu sarat mendapatkan gelar serjana S1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Memahami bagaimana hukum Islam dan hukum positif mengatur tentang kelainan seksual pada isteri (lesbi) sebagai alasan perceraian.


(19)

9

3. Memahami alasan hakim dalam memutuskan perkara tersebut.

2. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

a. Untuk penulis: memberikan wawasan kepada penulis, dalam rangka meningkatkan disiplin ilmu, yang akan dikembangkan menjadi profesi penulis sebagai mahasiswa, sesuai dengan bidang studi yang merupakan mata kuliah pokok dan sebagai ilmu yang dimiliki penulis yang akan diperdalam lebih lanjut melalui studi-studi lain yang serupa dengan disiplin ilmu tersebut.

b. Untuk kalangan akademis : seperti mahasiswa dan para pengamat akademis dengan adanya sekripsi ini yang menyajikan wacana pemikiran, dan juga biasa dijadikan informasi untuk dibahas lebih lanjut dan bahan untuk didiskusikan. c. Untuk ilmu pengetahuan : memberikan sumbangan khususnya bidang Ilmu Fiqh

Munakahat sehingga mngetahui tantang pandangan Hukum Islam mengenai kelainan seksual pada isteri (lesbi) sebagai sebab pengajuan perceraian di Pengadilan Agama.

D. Review Studi Terdahulu

Untuk menemukan pembahasan dalam penulisan skripsi ini penulis menelaah literatur yang sudah membahas tentang judul yang akan penulis kemukakan dalam penulisan skripsi ini :


(20)

1. Agustina, perceraian akibat suami impoten (studi terhadap persepsi karyawati Fakultas Syariah dan Hukum) skripsi ini menjelaskan mengenai perceraian akibat impoten yang didalamnya mencakup tentang tinjauan perceraian dalam Islam yang mencakup pengertian perceraian, bentuk dan akibat perceraian, dan dalam skripsi ini menjelaskan tentang tinjauan impotensi terhadap keutuhan rumah tangga dan pandangan hukum Islam tentang isteri impoten terhadap keutuhan rumah tangga.

Perbedaan yang menonjol antara skripsi yang ditulis Agustina diatas dengan skripsi yang kami tulis adalah : bila dalam skripsi Agustina perceraian terjadi karena sang suami tidak bisa menjalankan kedudukanya sebagai seorang suami disebabkan menderita impotensi, sedangkan pada skripsi yang kami tulis perceraian itu terjadi disebabkan isteri tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai seorang isteri karena lebih menyukai sesama jenisnya daripada suaminya sendiri. Kemudian pada skripsi Agustina perceraian itu terjadi dipengadilan dengan cerai gugat, sedangkan pada skripsi yang kami tulis perceraian itu terjadi dipengadilan dengan cerai talak. 2. Ahmad Madroji, cerai gugat menurut hukum Islam dan hukum positif (studi kasus cerai talak karena cacat badan di Pengadilan Agama Jakarta Timur) skripsi ini menjelaskan mengenai ketetapan hukum tentang cerai talak karena cacat badan menurut hukum Islam dan hukum positif. Dalam kesimpulan skripsi ini, seorang suami mempunyai hak mentalak isterinya


(21)

11

dengan pertimbangan agar isteri tercegah dari perbuatan terlarang karena isteri tidak bisa menjalankan kewajibannya.

Perbedaan menonjol antara skripsi Ahmad Madroji dengan skripsi yang kami tulis adalah : dalam skripsi Ahmad Madroji perceraiannya itu akibat salah satu pihak itu memiliki cacat fisik yang menjadikan tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai rumahtangga, sedangkan skripsi yang kami tulis perceraian itu terjadi karena salah satu pihak bukan karena memiliki penyakit fisik tetapi memiliki kelainan seksual yaitu suka sesama jenis (lesbian).

3. Gufron Tamim, tinjauan hukum Islam dan hukum positif terhadap impotensi sebagai alasan perceraian skripsi ini menjelaskan mengenai perceraian yang

diakibatkan karena impotensi yang didalamnya mencakup mengenai pengertian perceraian, perceraian menurut hukum Islam dan hukum positif, pengertian umum mengenai impotensi dalam hubungan rumah tangga. Yang terakhir tinjauan hukum Islam dan hukum positif tentang impotensi sebagai alasan perceraian. Dalam penulisannya skripsi ini menggunakan studi pustaka.

Perbedaan skripsi Gufron Tamim diatas dengan skripsi yang kami bahas adalah skripsi Gufron Tamim menitik beratkan pada impotensi sebagai alasan perceraian, sedangkan sekripsi kami titik beratnya adalah lesbian sebagai alasan perceraian. Cerai talak yang dilayangkan suami


(22)

kepada sang isteri karena sang-isteri mengalami penyimpangan prilaku seksual, yaitu lesbi

4. Imam Hanafi, Homo seksual sebagai alasan perceraian, skripsi ini membahas dan meneliti khusus tentang perceraian akibat kelainan seksual pada suami (homo seksual) skripsi Imam Hanafi ini juga membahas tentang cerai gugat yang dilayangkan oleh seorang isteri ke Pengadilan Agama Depok dan membahas pula tentang pandangan hukum Islam dan hukum positif terhadap homoseks.

Perbedaan mendasar antara pembahasan skripsi Imam Hanafi dengan skripsi yang kami tulis adalah : pada skripsi Imam Hanafi perceraian diajukan oleh sang isteri dan terjadi di Pengadilan Agama Depok, sedangkan skripsi yang kami tulis perceraian itu terjadi di Pengadilan Agama jakarta Timur yang diajukan oleh pihak suami karena sang isteri memiliki kelainan seksual yaitu Lesbian.

E. Metode Penelitian

Dalam penyelesaian skripsi ini, metode penulisan skripsi yang penulis gunakan adalah sebagai berikut :

1. Pendekatan dan Jenis

Penulis memakai pendekatan hukum doktrinal atau hukum normatif, yaitu dalam penelitian ini pada umumnya menganalisis fakta-fakta atau kejadian yang


(23)

13

relevan dengan norma-norma hukum.9 Terkait dengan jenis penelitian dalam penelitian ini, maka penulis menggunakan penelitian kualitatif dengan pendekatan kualitatif deskriptif. Penelitian kualitatif digunakan apabila data-data yang di butuhkan berupa selembaran-selembaran informasi yang tidak perlu di kuantifikasi.

Jika ditinjau dari rancangan penelitian, maka penelitian ini di golongkan ke dalam penelitian deskriptif, sebagaimana yang yang telah diungkapkan oleh Soerjono Seokanto: Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejalanya. Adapun tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk menggambarkan suatu objek secara sistematis.10

Untuk memperoleh data yang dibutuhkan menyusun skripsi ini, penulis menggunakan beberapa metode, antara lain:

a. Penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji buku-buku, literature-literatur dan yang lainnya yang ada relevansinya dengan judul ini.

b. Penelitian lapangan (field research) untuk memperoleh informasi yang akurat dengan melakukan pencarian data-data dari tempat penelitian melalui interview kepada pihak yang berkepentingan seperti hakim. Sedangkan tempat penelitian adalah Pengadilan Agama Jakarta Timur.

9

M. Syamsudin,operasionalisasi penelitian hukum, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007) h.143

10


(24)

2. Sumber Data Penelitian

Dalam pengumpulan data digunakan sumber data bahan dokumen yaitu: a. Sumber data primer: Sumber data primer disini penulis merujuk pada

beberapa putusan Pengadilan Agama, yaitu Pengadilan Agama Jakarta Timur yang berkaitan dengan isu hukum yang penulis hadapi,11dan juga wawancara dengan hakim yang bersangkutan yang berkaitan dengan kelainan seksual pada suami (lesbi) sebagai alasan perceraian.

b. Sumber Data Sekunder: Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan jalan mengadakan studi kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang di ajukan. Dokumen yang dimaksud adalah al-Qur’an, Hadist’ Buku-buku Karangan Ilmiah, Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Inpres No.1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), peraturan pemerintah Nomer 9 Tahun 1975 Hukum Acara Peradilan Agama dan dokumen-dokumen lain serta data arsip di Jakarta Timur yakni yang berkaitan dengan judul yang penulis teliti.

3. Tehnik pengumpulan data

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tehnik pengumpulan data dengan cara sebagai berikut:

a. Menganalisa dan menafsirkan putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur yang berkaitan dengan kelainan seksual pada isteri (lesbi) sebagai alasan perceraian.

11


(25)

15

b. Interview atau wawancara, adalah suatu percakapan dengan mempunyai tujuan.12 Interview yang sering disebut juga wawancara atau kuestioner lisan, adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara.13 Dalam hal ini penulis mengadakan dialog langsung dengan hakim di Pengadilan Agama Jakarta Timur.

4. Tehnik Analisa Data

Analisis data adalah proses pengecekan dan pengaturan secara sistimatis transkip wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain yang dikumpulkan untuk meningkatkan pemahaman terhadap bahan-bahan tersebut agar dapat dipresentasikan temuannya kepada orang lain. Adapun tahap yang dilakukan pertama kalinya adalah dengan cara mengambil data yang sudah ada, contohnya berupa putusan dan hasil dari hasil putusan itu dianalisis, diolah datanya dengan metode tertentu dan ditarik kesimpulanya. Dan hasil laporan yang sudah didapat bisa diinterprestasikan dalam bentuk laporan hasil penelitian yang berguna untuk khalayak yang membutuhkan data penelitian tersebut.

5. Tehnik Penulisan Data

Sesuai dengan buku PPS / Pedoman Penulisan Sekripsi/ yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum tahun 2007. Dengan pengecualian : penulisan terjemah

12

Imron Arifin, Penelitian Kualitatif dalam Bidang-Bidang Ilmu Sosial dan Keagamaan, (Malang; Kalimasahada Press,1994), cet. ke-1, hal. 63

13


(26)

al-Qur’an dan Hadist ditulis satu spasi, dalam daftar pustaka al-Qur’an di tulis di awal.

F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan sekripsi ini terdiri dari lima bab yang meliputi :

BAB PERTAMA PENDAHULUAN; Membahas tentang masalah yang melatar

belakangi skripsi ini yang meliputi ; Latar belakang masalah, Pembatasan dan Rumusan masalah, Tujuan dan Manfaat penelitian, Revew Studi terdahulu, Metode penelitian serta Sistematika penelitian.

BAB KEDUA PENGERTIAN DAN PROSEDUR PERCERAIAN; Membahas

tentang pengertian perceraian dan dasar hukumnya, alasan perceraian, Perbedaan cerai talak dan cerai gugat, Prosedur perceraian.

BAB KETIGA PANDANGAN ISLAM TERHADAP LESBI ; Membahas tentang

pengertian lesbi dan landasan hukumnya, dasar larangan lesbi dalam al-Qur’an dan al-Hadis, lesbimenurut Ulama Fiqh dan Hukum Positif.

BAB KEEMPAT ANALISIS PUTUSAN PERKARA NOMOR

207/Pdt.G/2009/PA.JT

Duduk perkara, Pertimbangan hukum, Amar putusan, Analisa penulis

BAB KELIMA PENUTUP;yang berisikan tentang kesimpulan dan saran-saran.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN


(27)

17 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA TENTANG PERCERAIAN DALAM PERKAWINAN A. Pengertian Perceraian dan Dasar Hukumnya

Pengertian Perceraian

Dalam bahasa arab perceraian disebut talaq yang artinya terputusnya tali perkawinaan yang sah akibat ucapan cerai suami terhadap istrinya. Maksudnya perceraian karena talak adalah seorang suami yang menceraikan isterinya dengan menggunakan kata-kata cerai atau talaq atau kalimat lain yang mengandung arti dan maksud menceraikan isterinya, apakah talak yang diucapkan itu talak satu, dua atau tiga.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) cerai / talaq adalah pisah atau putus hubungan sbg suami istri selagi kedua-duanya masih hidup. Kata cerai berasal dari bahasa arab yaitu Talaq yang dalam bahasa Indonesia disebut Talak. Secara harfiyah talaq berarti lepas atau bebas. Menurut Bahasa Arab talak adalah melepaskan ikatan, dan yang dimaksud disini adalah melepaskan ikatan perkawinan.1

Dalam mengemukakan arti talak secara terminology (secara istilah) para ulama mengemukakannya dengan essensi yang sama walaupun dengan redaksi yang berbeda-beda.2Sedangkan menurut Inpres No.1 tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam (

KHI ) pasal 117 “Talak adalahikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang

1

Sulaiman Rasjid,Fiqh Islam, (Jakarta: Attahiriyya, 1976), cet.6, h.376

2


(28)

menjadi salah satu penyebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131.”3

Langgengnya kehidupan dalam ikatan perkawinan merupakan suatu tujuan yang sangat diutamakan dalam Islam. Akad nikah diadakan agar rumah tangga menjadi tempat berlindung, menikmati curahan kasih sayang dan memelihara anak-anaknya sehingga mereka tumbuh dengan baik. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa ikatan antara suami isteri adalah ikatan paling suci dan paling kokoh, sehingga tidak ada suatu dalil yang lebih jelas menunjukan tentang kesuciannya yang begitu agung selain Allah sendiri yang menamakan ikatan perjanjian antara suami isteri itu dengan kalimatmitsaqan ghaliza“perjanjian yang kokoh”.4

Sebagaimana disebutkan oleh Allah SWT, dalam fimannya:

 







)

ء ﺎ ﺴ ﻨ ﻟ ا

: 21 (

Artinya:

“Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat” .

(QS: An-Nisa :21).

Dari ayat diatas penulis menilai bahwa begitu kuat dan kokohnya hubungan antara suami isteri, maka tidak sepatutnya apabila hubungan tersebut dirusak dan disepelekan. Setiap usaha untuk menyepelekan hubungan pernikahan sangat di benci

3

Lihat Kompilasi Hukum Islam Pasal 117

4

A. Rahman, I, Doi.Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada) Cet. I, h. 303


(29)

19

oleh Islam. Hal tersebut sama saja merusak kebaikan dan menghilangkan kemaslahatan.

Oleh karena itu, apabila terjadi perselisihan antara suami isteri, sebaiknya diselesaikan sedini mungkin agar tidak terjadi suatu masalah yang sangat besar, yang memungkinkan terjadinya perceraian. Karena bagaimanapun baik suami maupun isteri pasti tidak menginginkan hal itu terjadi.

Adanya khitbah (perkenalan antara pihak laki-laki dan pihak perempuan sebelum perkawinan) pada umumnya hanya merupakan penilaian jasmani semata, sehingga tidak aneh jika cacat yang dimiliki oleh suami atau isteri baru di ketahui setelah pernikahan. Hal ini karena hampir tidak ada orang yang secara jujur menyebutkan tentang kekurangan dirinya terhadap calon pasangannya, Justru yang lebih banyak terjadi di masyarakat, apabila sudah timbul rasa cinta yang terlihat hanyalah yang baiknya saja. Sehingga bila talak dibolehkan oleh Islam, maka akan membahayakan kedua belah pihak, namun lebih berbahaya lagi apabila talak di bebaskan begitu saja.5

Sebenarnya putusnya perkawinan merupakan hal yang wajar saja, karena makna dasar sebuah akad nikah adalah ikatan. Ia dapat lepas dengan lafaz tertentu yang kemudian disebut dengan talak, yang mana makna dasar dari talak adalah melepaskan ikatan atau melepaskan perjanjian. Misalnya saja seorang suami berkata kepada isterinya “engkau telah ku talak”, dengan ucapan ini ikatan pernikahan

5

M. Ali Hasan,Pedoman Hidup Rumah Tangga Dalam Islam. (Jakarta: Prenada Media, 2003), hal. 45


(30)

menjadi lepas.6Ulama fiqh berpendapat bahwa talak adalah melepaskan ikatan (hall al-aqid) atau biasa juga disebut pelepasan ikatan dengan menggunakan kata-kata yang telah ditentukan.7

Sayyid sabiq mendefinisikan talak dengan sebuah upaya untuk melepaskan ikatan perkawinan dengan selanjutnya mengakhiri hubungan perkawinan itu sendiri.8 Definisi yang agak panjang dapat dilihat dalam kitab Kifayat Al-Akhyar yang menjelaskan talak adalah lafaz jahiliyah yang setelah Islam datang menetapkan lafaz itu sebagai kata untuk melepaskan nikah. Dalil-dalil tentang talak itu berdasarkan

Al-Qur’an, Al-Hadis, Al-Ijma dan Ahli Sunnah.9

Dari penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Islam datang dengan konsep pokok sebagai berikut:10

a. Talak tetap ada di tangan suami sebab suami mempunyai sikap rasional, sedang isteri bersifat emosional.

b. Talak dijatuhkan oleh suami atau pihak lain atas nama suami, seperti Pengadilan Agama.

c. Isteri berhak mengajukan talak kepada suami dengan alasan-alasan tertentu lewatqadi(Pengadilan Agama).

6

Muhammad Rifa’I, Fiqh Islam, (Semarang: PT. Thoha Karya Putra, 1978), h.48

7

Abdurrahman Al-jaziri,kitab al-fiqh ‘ala mazahib al-Arba’ah, juz IV, (Kairo: Dar al-fikr, t.t), h.278

8

Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, juz II, (Beirut: Dar el-fikr, 1983), h. 206

9

Taqiyuddin, Kifayat al-Akhyar, juz II, (Bandung: Al-Ma’arif, t. th), h.84

10


(31)

21

d. Talak bisa kembali lagi antara kedua suami isteri sesuai dengan ketentuan agama.

e. Bagi mantan isteri ada masa iddah dan memiliki hak menerima mut’at dan nafkah dari mantan suami.

Putusnya perkawinan disebabkan tiga hal yaitu11: kematian, perceraian, dan

keputusan Pengadilan. Putusnya perkawinan selain cerai mati terjadi karena cerai talak dan cerai gugat. Menurut Inpres No.1 tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 114: “Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi sebab talak atau sebab gugatan perceraian”Ada tiga hal yang perlu diketahui dalam hal yang berhubungan dengan putusnya perkawinan itu, yakni:

a. Terjadinya perceraian hanya mungkin kalau suami dan isteri tidak rukun lagi dalam berumah tangga.

b. Perceraian hanya dapat di lakukan di depan sidang Pengadilan dan terhitung

sejak perceraian dinyatakan di depan sidang Pengadilan Agama.12

c. Putusnya perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai.

Kompilasi Hukum Islam mensyaratkan bahwa ikrar suami untuk bercerai (talak) harus disampaikan di hadapan sidang Pengadilan Agama.13 UU No.50//2009

tentang Peradilan Agama juga menjelaskan hal yang sama seperti yang terdapat pada

11

Pasal 113 :Perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas putusan Pengadilan. (KHI) dan pasal 38 UU No. 1/ 1974.

12

Pasal 123 KHI dan pembahasan dalam pasal 39 UU No. 1/1974 tentang perkawinan.

13

Pasal 115 KHI: “Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan Agama


(32)

pasal 66 ayat (1) yang berbunyi: ”seseorang suami yang beragama Islam yang akan

menceraikan isterinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk

mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak”.

Walaupun Kompilasi Hukum Islam mensyaratkan bahwa ikrar suami untuk bercerai (talak) harus disampaikan di hadapan sidang Pengadilan Agama, UU No.50//2009 tentang Peradilan Agama juga menjelaskan hal yang sama, tetapi yang terjadi di masyarakat masih banyak yang melakukan perceraian tanpa sepengetahuan Pengadilan Agama. Hal ini terjadi karna masyarakat bawah (grass root) menganggap bahawa pengadilan sangat bertele-tele dan mahal sehingga mereka melakukan perceraian sendiri dengan surat perjanjian bawah tangan bermaterai disaksikan dua orang saksi kemudian bercerai atas dasar suka sama suka karna percekcokan yang tidak bisa di damaikan lagi. Kebanyakan masyarakat kita menganggap hal ini sah menurut agama.

Di dalam fikih klasik, suami diberi hak yang luas untuk menjatuhkan talak, sehingga kapan dan di manapun ia mengucapkannya, talak itu jatuh seketika. Keadaan seperti ini dipandang dari sudut pemeliharaan kepentingan keluarga, kepastian hukum dan ketertiban masyarakat tidak mewujudkan maslahat bahkan banyak merugikan terutama bagi kaum wanita (isteri). Oleh karena itu demi terwujudnya kemaslahatan, maka perceraian harus diproses melalui pengadilan. Jadi di sini menurut penulis memang harus ada perubahan hukum, yaitu dari kebolehan suami menjatuhkan talak kapan dan di manapun menjadi keharusan menjatuhkannya


(33)

23

di depan sidang pengadilan. Perubahan hukum semacam ini adalah sah sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:

"

ن ﺎ ﻣ ز ﻷ

ا ﺮﯿﻐﺘﺑ مﺎﻜﺣﻷا ﺮﯿﻐﺗ ﺮﻜﻨﯾ ﻻ

"

14

Artinya:Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman. Selain kaidah diatas, ibnu al Qoyim menyatakan:

ﻟا ﺮﯿﻐﺗ

ا و ى ﻮ ﺘ

ﺪﺋاﻮﻌﻟاو تﺎﯿﻨﻟاو لاﻮﺣﻷاو ﺔﻨﻣزﻷا ﺮﯿﻐﺗ ﺐﺸﺤﺑ ﺎﮭﻓﻼﺘ

15

Artinya:Perubahan fatwa dan perbedaannya terjadi menurut perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan adat istiadat.

Dari penjelasan diatas jelas sekali bahwa didalam perundang-undangan yang berlaku, telah diatur bagi siapa saja yang ingin mengajukan talak dapat mengajukan permohonannya ke Pengadilan Agama baik lisan maupun tulisan, dan tentunya disertai dengan alasan-alasan yang dibenarkan oleh undang-undang.

2. Dasar Hukum Perceraian:

Cerai / talak seperti yang telah penulis cantumkan diatas dasar hukumnya ialah firman Allah dalam Al-Qur’ansurat Al-Baqoroh ayat 228 dan 229, yaitu:

14

Samsul maarif , Kaidah-Kaidah Fiqih I’lam al-Muwaqqi’in, Juz III (Jakarta: PUSTAKA RAMADHAN), 2005 , h. 3

15


(34)

                                  )

ة ﺮ ﻘ ﺒ ﻟ ا

:

٢ ٢ ٨ (

Artinya:

“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. (Q.S: Al-Baqarah : 228).





















 )

ة ﺮ ﻘ ﺒ ﻟ ا

:

٢ ٢ ٩

( Artinya:

“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. (Q.S: Al-Baqarah : 229).


(35)

25

Agama Islam membolehkan suami isteri bercerai, namun harus dengan alasan-alasan tertentu, kendati perceraian itu sesuatu yang dibolehkan, namun sangat dibenci Allah SWT.16Sebagai dasar hukum dari hadis :

ﱠﻠ

ﱠﻠ

.

(

Artinya :

“Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW. Bersabda, perbuatan halal yang dibenci Allah Azza Wazalla adalah talak”. (H.R. Abu Daud dan Hakim, dan disahkan olehnya)

Siapapun orangnya yang akan merusak hubungan suami isteri, dia tidak mempunyai tempat terhormat dalam Islam. Demikian dijelaskan dalam sebuah hadis B. Alasan-Alasan Perceraian

Yang dimaksud dengan alasan perceraian disini adalah suatu kondisi dimana suami atau isteri mempergunakannya sebagai alasan untuk mengakhiri atau memutuskan tali perkawinan mereka.

Di Indonesia masalah perceraian telah diatur dalam undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan. Sebagai warga Negara Indonesia sudah kita harus mentaati dan menjalankan peraturan yang ada. Undangiundang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 39 ayat 1 menerangkan bahwa “ perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha

dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.

16

Muhammad Daud Ali,Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), cet.ke-2, h.102


(36)

Dalam hal terjadinya perceraian haruslah memenuhi beberapa alasan-alasan perceraian, sehingga perceraian tersebut dapat terlaksana, hal ini sesuai dengan pasal 39 ayat 2 undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi:” untuk

melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami dan isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri”. Didalam muatan Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan menerangkan bahwa alasan-alasan perceraian yang dinyatakan pada pasal 19 sebagai berikut:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain luar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.

f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.


(37)

27

Sedangkan didalam Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 116 memberikan tambahan dua point untuk menyempurnaan alasan-alasan perceraian yang disebutkan dalam UU No.1 tahun 1974 yaitu, perceraian dapat terjadi karena:

a. Salah satu pihak berbuat zina atu menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.

f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

g. Suami melanggar taklik-talak.

h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.


(38)

C. Perbedaan Cerai Talak Dengan Cerai Gugat.

Cerai talak adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan yang dilakukan atas kehendak suami sendiri. Sebagaimna terdapat dalam undang-undang Peradilan Agama No.7 tahun 1989 pada pasal 66 ayat (1) seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan isterinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna melaksanakan ikrar talak.17

MenurutInpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 117

menyebutkan “cerai talak yaitu ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu penyebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal (129),(130) dan (131)”. Cerai talak ini hanya dapat dilakukan oleh suami, karena suamilah yang berhak untuk mentalak isrinya.

Bagi suami yang mengajukan talak maka harus melangkapi persyaratan administrasi sebagai berikut:

1. kartu tanda penduduk

2. Surat keterangan untuk talak dari Kepala Desa/Lurah 3. Kutipan akta nikah (model NA)

4. Membayar uang muka biaya perkara

Surat izin talak dari atasan atau kesatuan bagi pegawai negeri sipil atau anggota TNI/Polri.18

17

Artiket diakses pada 27 april 2010 http://www.legalitas.org

18

A. Sutarmadi dan Mesraini,Administarsi Pernikahan dan Menajemen Keluarga,(Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), hal.66


(39)

29

Sedangkan cerai gugat adalah perceraian yang dilakukan atas kehendak isteri, hal ini diatur dalam undang No.3 tahun 2006 tentang perubahan atas undang-undang No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama pasal 73 ayat (1) gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya oleh Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat. Dalam Kompilasi Hukum Islam cerai gugat juga diatur pada pasal 132 ayat (1) yaitu: gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali isteri meninggalkan kediaman bersama tanpa izin suami.

Seorang suami diberikan hak untuk cerai talak, tetapi bukan berarti cerai talak hanya mutlak milik suami karena apabila suami melanggar alasan-alasan perceraian yang tercantum dalam pasal 116 Kompilasi Hukum Islam dan pasal 19 Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan. Maka isteri berhak mengajukan cerai gugat. Dengan demikian masing-masing pihak telah mempunyai jalur tertentu dalam upaya menentukan perceraian.19

Hukum Islam juga tidak mengenal istilah cerai gugat karena cerai gugat hanyalah istilah hukum yang digunakan dalam hukum acara di Indonesia. Akan

19

Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan,Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No.1/1974 sampai KHI,(Jakarta:


(40)

tetapi dalam hukum Islam mengenal khulu, yang mempunyai kesamaan dengan cerai gugat dan tetap ada perbedaannya yaitu dalam khulu adaIwadl yang harus dibayar oleh isteri, dan yang mengucapkan kalimat perceraian (talak) adalah suami setelah adanya pembayaran iwadl tersebut. Sedangkan cerai gugat tidak ada pembayaran iwadl serta yang memutuskan perceraian adalah hakim.20

Selain itu dalam cerai talak apabila suami ingin mengajukan ikrar talak, suami tidak mengajukan gugatan melainkan mengajukan permohonan kepada isteri, karena dalam Islam isteri meminta izin untuk mengucapkan ikrar talak di Pengadilan Agama. Karena talak itu ada di tangan suami. Berbeda dengan cerai gugat yaitu isteri harus meminta cerai dulu kepada suami, karena dalam Islam isteri tidak punya hak untuk menceraikan suami serta mengembalikan iwadl kepada suami, hal inilah yang menjadi perbedaan antara cerai tlk dan cerai gugat. Perkara cerai gugat, juga ada persyaratan administrasi yang harus dilengkapi dalam mengajukan gugatan cerai sebagai berikut:

a. kartu tanda penduduk

b. Surat keterangan untuk talak dari Kepala Desa/Lurah c. Kutipan akta nikah (model NA)

20

M. Yasir Arafat,Perceraian Akibat Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003), h. 16

d. Membayar uang muka biaya perkara dan Surat izin talak dari atasan atau kesatuan bagi pegawai negeri sipil atau anggota TNI/Polri.1


(41)

31

D. Prosedur Perceraian

Pemeriksaan sengketa perkawinan dan perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Perceraian terbagi dua, yaitu cerai talak dan cerai gugat. Yang dimaksud cerai talak adalah perceraian yang terjadi kerena talak suami kepada isterinya. Sedangkan yang dimaksud gugat cerai adalah permohonan perceraian yang diajukan oleh pihak isteri melalui gugatan.

Surat gugatan atau permohonan yang telah dibuat dan ditandatangani dilampiri Kartu Tanda Penduduk, kutipan Akta Nikah (model NA), surat izin talak dari atasan atau kesatuan bagi Pegawai Negeri sipil (PNS) atau Anggota TNI/POLRI, Surat keterangan Untuk Talak dari Kepala Desa/Lurah, kemudian diajukan ke Panitera Pengadilan Agama (surat gugatan diajukan pada sub kepaniteraan gugatan sedangkan permohonan pada sub kepaniteraan permohonan). Undang-undang membedakan antara perceraian atas kehendak suami dan perceraian atas kehendak isteri. Hal ini kerena karakteristik Hukum Islam dalam perceraian memang menghendaki demikian.21

Sebelum perkara terdaftar dikepaniteraan, panitera melakukan penelitian terlebih dahulu terhadap kelengkapan berkas perkara ( penelitian terhadap bentuk dari isi gugatan permohonan) sudah dilakukan sebelum perkara didaftarkan. Misalnya dalam membuat surat gugatan, kepaniteraan dibolehkan memberikan arahan pada penggugat apabila dalam gugatan yang dibuat tidak sesuai. Apabila terjadi kesalahan dalam gugatan atau

21


(42)

permohonan maka tidak boleh didaftarkan sebelum petita dan positanya jelas, seperti ada petita namun tidak didukung oleh posita berarti gugatan atau permohonan tidak jelas.22

Jika hal tersebut terjadi maka gugatan atau permohonan tersebut terlebih dahulu harus diperbaiki, panitera sebagai pihak yang mempunyai otoritas dalam meneliti berkas gugatan atau permohonan sebaliknya melakukan penelitian tersebut disertai dengan membuat resume tentang kelengkapan berkas perkara, lalu berkas perkara beserta resume tersebut diserahkan kepada Ketua Pengadilan ( dengan buku

ekspedisi lokal sebenarnya). Dengan disertai saran tidak misalnya berbunyi “

syarat-syarat cukup siap untuk disidangkan”.23

Kemudian penggugat atau pemohon kemeja I untuk menaksir besarnya biaya perkara dan menulisnya pada Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM). Besarnya biaya perkara diperkirakan harus telah mencukupi untuk menyelesaikan perkara tersebut. Hal ini sejalan dengan pasal 193 Rbg / pasal 128 ayat (1) HIR / pasal 90 ayat (1) Undang-undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Undang-undang No.50 yang meliputi:

a. Biaya kepaniteraan dan biaya materai

b. Biaya pemeriksaan, saksi ahli, juru bahasa dan biaya sumpah c. Biaya pemeriksaan setempat dan perbuatan hakim yang lain

22

Mukti Arto,Perkatek perkara Perdata pada peradilan Agama,(Jakarta: pustaka pelajar,2003),cet.ke-4,h.76

23

Raihan A Rasyid,Hukum Acara Peradialan Agama,( Jakarta: raja Grafindo persada,2001),ed.ke-2,cet.ke-8,h.129


(43)

33

d. Biaya pemanggilan, pemberitahuan dan lain-lain atas perintah pengadilan yang berkenaan dengan perkara tersebut.24

Ketentuan di atas tidak berlaku bagi yang tidak mampu dan diizinkan untuk mengajukan gugatan perkara secara prodeo (Cuma-cuma). Ketidak mampuannya dapat dibuktikan dengan melampirkan surat keterangan dari Lurah atau Kepala Desa setempat yang dilegalisir oleh Camat. Setelah itu, penggugat atau pemohon menghadap ke meja II dengan menyerahkan surat gugatan/permohonan dan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) yang telah dibayar. Setelah selesai, kemudian surat gugatan/permohonan tersebut dimasukan dalam map berkas acara, kemudian menyerahkannya pada Wakil Panitera untuk disampaikan kepada Ketua Pengadilan melalui Panitera.25

Setelah terdaftar, gugatan diberi nomer perkara kemudian diajukan kepada Ketua Pengadilan Agama, setelah Ketua Pengadilan Agama menerima gugatan maka ia menunjuk hakim yang ditugaskan untuk menangani perkara tersebut. Pada perinsipnya pemeriksaan dalam persidangan dilakukan oleh hakim maka ketua menunjuk seorang hakim sebagai ketua majlis dan dibantu dua orang hakim anggota.26

24

Pasal 90 ayat (1),Unadng-undang No.3 tahun 2006 perubahan Undang-uandang No.7 Tahun 1989 Tentang pengadilan Agama,h.74

25

M. Fauzan,Pokok-pokok Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syari’ahDi Indonesia,(Jakarta: Sinar Garfika,2004), Cet.ke-2, h.14

26

R. Soeroso,Peraktik Hukum Acara Perdata: Tata Cara dan Proses Persidangan,(Jakarta: Sinar Gtafika,2004), Cet.ke-6, h.39


(44)

Setelah itu hakim yang bersangkutan dengan surat ketetapannya dapat menetapkan hari, tanggal serta jam, kapan perkara itu akan disidangkan, ketua majlis memerintahkan memanggil kedua belah pihak supaya hadir dalam persidangan. Pasal 121 HIR,27

untuk Membantu Majlis Hakim dalam menyelesaikan perkara, maka ditunjuk seorang atau lebih panitera sidang dalam hal ini panitera, wakil panitera, panitera muda dan panitera pengganti.28

Tatacara pemanggilan dimana harus secara resmi dan patut, yaitu:

a. Dilakukan oleh jurusita atau jurusita pengganti diserahkan kepada pribadi yang dipanggil ditempat tinggalnya;

b. Apabila tidak ditemukan maka surat panggilan tersebut diserahkan kepada Kepala Desa dimana ia tinggal;

c. Apabila salah seorang telah meninggal dunia maka disampaikan kepada ahli warisnya;

d. Setelah melakukan pemanggilan maka jurusita harus menyerahkan risalah ( tanda bukti bahwa para pihak telah dipanggil ) kepada hakim yang akan memeriksa perkara yang bersangkutan;

e. Kemudian pada hari yang telah ditentukan sidang perkara dimulai.29Sedangkan proses pemeriksaan perkara didepan sidang

27

M. FAuzan,Pokok-pokok Acara Peradilan Agama,h.13

28

A. Basiq Djalil,Peradialan Agma Di Indonesia,( Jakarta: Kencana, 2006), cet.ke-1,h.214

29


(45)

35

dilakukan melalui tahap-tahap dalam hukum acara perdata sebagaimana yang telah tertera dalam UU No.2 tahun 2009 tentang Peradilan Agama30:

“Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Agama dalam lingkungan

Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini”.

Setelah hakim membuka sidang dan dinyatakan terbuka untuk umum, dilanjutkan dengan mengajukan pertanyaan tentang keadaan para pihak, ini hanya bersifat cecking identitas para pihak apakah para pihak sudah mengerti mengapa mereka dipanggil untuk menghadiri sidang. Pada upaya perdamaian, inisiatif perdamaian dapat timbul dari hakim, penggugat ataupun tergugat. Hakim harus sungguh-sungguh mendamaikan para pihak. Apabila ternyata upaya perdamaian yang dilakukan tidak berhasil, maka sidang dinyatakan tertutup untuk umum dilanjutkan ketahap pemeriksaan.diawali membaca surat gugatan.31

Selanjutnya pada tahap dari tergugat, pihak tergugat diberikan kesempatan untuk membela diri dan mengajukan segala kepentingannya terhadap penggugat melalui Hakim. Pada tahap replik penggugat kembali menegaskan isi gugatannya yang dilakukan oleh tergugat dan juga mempertahankan diri atas sanggahan

30

A. Basiq Djalil,Peradilan Agama Di Indonesia,h.202-203

31


(46)

sanggahan yang disangkal tergugat. Kemudian pada tahap duplik, tergugat dapat menjelaskan kembali jawabannya yang disangkal oleh penggugat.32

Tahap Replik Duplik dapat diulang-ulang sampai hakim dapat memandang cukup, kemudian dilanjutkan dengan pembuktian. Pada tahap pembuktian, penggugat dan tergugat mengajukan semua alat-alat bukti yang dimiliki untuk mendukung jawabannya ( sanggahan ), masing-masing pihak berhak menilai alat bukti pihak lawannya.

Kemudian tahap kesimpulan, masing-masing pihak mengajukan pendapat akhir tentang hasil pemeriksaan. Kemudian pada tahap putusan, hakim menyampaikan segala pendapatnya tentang perkara tersebut dan menyimpulakan dalam putusan dan putusan hakim adalah untuk mengakhiri sengketa.33

32

Ibid.,h.43

33


(47)

37 BAB III

PANDANGAN ISLAM TERHADAP LESBI A. Pengertian Lesbi dan Sejarahnya

Menurut Bahasa Lesbian berarti memiliki kelainan seksual yang sama. Sedangkan menurut istilah lesbi berarti ketertarikan seseorang untuk mengadakan hubungan seks dengan orang lain yang berjenis kelamin sama, dalam hal ini terkhusus perempuan dengan perempuan.1

Dalam Ensiklopedi Indonesia, lesbian adalah istilah bagi perempuan yang mengarahkan orientasi seksualnya kepada perempuan atau disebut juga perempuan yang mencintai perempuan lain baik secara fisik, seksual, emosional, atau secara sepiritual. Pada saat ini lesbian digunakan untuk menunjuk kaum gay wanita.2

Menurut Marzuki Umar Sa’abah dalambukunya yang berjudul Seks dan Kita menuturkan bahwa lesbi / homoseks adalah rasa tertarik dan mencintai sesama jenis. Untuk kaum pria dikenal sebagai kaum gay, sedangkan untuk kaum perempuan dikenal sebagai kaum lesbi.3 Dengan demikian mereka yang mempunyai kelainan seperti itu secara tidak sadar identitas diri mereka telah bertentangan dengan identitas social di suatu komunitas masyarakat.

1

Ali bin Abdul aziz Musa,Kekejian Perilaku Kaum Nabi Luth, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), h.5

2

Hasan Sadhily.et. al.Ensiklopedi Indonesia,h.3059.

3


(48)

Hubungan sesama jenis baik lesbi maupun homoseks sebetulnya bukanlah hal yang baru ada didunia ini, karena sejak zaman Nabi Luth sekitar tahun 2245 SM kasus seperti ini sudah ada. Oleh sebab itu, lesbi / homoseks dalam istilah Arab dikenal dengan istilahLiwathyang dinisbatkan kepada perbuatan kaum Nabi Luth.4

Dalam bukunya Anang Zamroni dan Ma’ruf Ansori yang berjudulBimbingan Seks Islami dijelaskan bahwa pada awalnya kaum Nabi Luth menyetubuhi wanita melalui duburnya, dan lama-kelamaan hal itu juga dilakukan terhadap kaum lelaki dan dikenal dengan istilah sodomi.5

Mereka didorong oleh hawa nafsu yang jahat untuk melakukan

perbuatan-perbuatan keji dan sangat dicela oleh tabi’at manusia dan tentu saja oleh agama. Perilaku keji tersebut adalah mengadakan hubungan kelamin dengan sesama jenis. Mereka secara terang-terangan mengadakan berbagai kemungkaran di setiap balai pertemuannya.

Kaum Luth yang sudah biasa mengerjakan hubungan kelamin sesama jenis, bergegas datang menghampiri tamu-tamu itu (para malaikat yang menyerupai pemuda tampan) untuk melaksanakan perbuatan yang keji, namun Nabi Luth berusaha untuk memalingkan kejahatan mereka dengan menawarkan puteri-puterinya dan gadis-gadis kaumnya untuk dinikahi, akan tetapi mereka tetap menolak.

4

Harun Nasution,Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992) h.581

5

Anang Zamroni dan Ma’ruf Ansori,Bimbingan Seks Islami,(Jakarta: Pustaka Anda, 1997), h.183


(49)

39

Kota kediaman Luth, dalam Perjanjian Lama disebut sebagai kota Sodom. Karena berada di utara Laut Merah, kaum ini diketahui telah di-hancurkan sebagaimana termaktub dalam Al Quran. Kajian arkeologis mengungkapkan bahwa kota tersebut berada di wilayah Laut Mati yang terbentang memanjang di antara perbatasan Israel-Yordania.6

Dalam tafsir Al-Maraghi dijelaskan bahwa sesungguhnya Luth telah mengetahui bahwa kaumnya tidak mempunyai hasrat kepada wanita-wanita untuk mereka kawini, sehingga ketika Luth berusaha menawarkan puteri-puterinya untuk mereka nikahi, tetap saja mereka menolaknya karena tidak ada hasrat sedikitpun terhadap wanita. Yang menimbulkan hasrat dan birahi mereka justru sesama jenis bukan lawan jenis.7

Dalam kitab Lubab tafsir dari kitab Ibnu Katsir dijelaskan bahwa para malaikat berkata kepada Luth setelah mereka melihat kesusahan yang dilalui oleh

Luth karena perbuatan kaumnya. Malaikat berkata kepada Luth,” Sesungguhnya kami

adalah utusan-utusan tuhanmu, kami diutus untuk membinasakna mereka dan menyelamatkan kamu dari keburukan mereka. Oleh karena itu Luth diperintahkan untuk segera meninggalkan kampungnya bersama keluarganya untuk mencapai perbatasan kampung pada malam hari. Dari salah satu keluarganya, yaitu isteri Luth

6

Abufaiz99, “Kota Pompai yang dijungkirbalikkan” artikel di akses pada 10 Desember 2010 dari

http://google.com/2010/11/ Kot- Pompai-yang-dijungkirbalikkan.html.

7


(50)

sendiri cendrung ikut kepada kaumnya, karena ia merupakan seorang perempuan kafir dan pengkhianat maka turut binasa jugalah dia.

Dengan demikian, Allah memerintahkan Luth untuk meninggalkan kampungnya itu secepatnya, karena saat penyiksaan yang dijanjikan Allah kepada kaum Nabi Luth adalah pada waktu subuh, pada saat subuh itulah mereka telah berkumpul seluruhnya dirumah masing-masing, sehingga tidak akan ada seorang pun yang lolos. Saat itulah Allah menurunkan azab kepada mereka dengan cara menjungkir balik negerinya sehingga negeri itu hancur-lebur, lalu Allah menghujani mereka dengan hujan batu yang bercampur tanah secara bertubi-tubi.8

Pada dasarnya mereka itu tidak menikmati dan tidak pernah merasakan kenikmatan atas apa yang mereka lakukan, apalagi untuk kepuasan syahwat. Selain karena akal mereka telah rusak, dan hati mereka yang sakit, mereka juga selalu mendapat bisikan setan tentang hal-hal yang seolah-olah menyenangkan, padahal sesungguhnya hanyalah tipu daya belaka.9

Itulah gambaran kehancuran akan azab Allah yang diberikan kepada kaum Nabi Luth, dan merupakan sanksi yang setimpal dengan kedurhakaan mereka, karena mereka memutarbalikan fitrah, seharusnya pelampiasan syahwat dilakukan dengan lawan jenis bukan sesama jenis.

8

Quraisy Shihab,Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002) vol.5 h.308

9

Utsman At-Thawil,Ajaran Islam tentang Fenomena Seksual, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), h.75


(51)

41

B. Dasar Larangan Lesbi Dalam Al-Quran dan Al-Hadis

Al-Quran dan al-Hadis dengan jelas dan gamblang menjelaskan bahwa Allah melarang dan mengharamkan perbuatan dan prilaku lesbi / homoseks dengan bentuk dan kondisi apapun. Ayat-ayat yang menyebutkan keharaman itu antara lain:10

1. Surat Al-A’raf ayat 80-81 yang berbunyi:

ð

























) ﻑﺮﻋﻻﺍ : 81 -80 ( Artinya:

"Dan (kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (ingatlah) tatkala Dia berkata kepada mereka: "Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?"

Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas".

(Q.S: al-A’raf ayat 80-81)

2. Surat as-Syua’ra ayat 165-166 yang berbunyi:



















) ا ءاﺮﻌﺸﻟ : 165 -166 ( Artinya:

"Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, dan kamu tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas". (as-Syua’ra ayat 165-166)

10

Abdurrahman I. Doi,Tindak Pidana Dalam Syariat Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta 1992), Cet.1 h.40-41


(52)

3. Surat Hud ayat 79-82 yang berbunyi:

































ھ)

79

-82

(

Artinya:

Mereka menjawab: "Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa Kami tidak mempunyai keinginan terhadap puteri-puterimu; dan Sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya Kami kehendaki."

Luth berkata: "Seandainya aku ada mempunyai kekuatan (untuk menolakmu) atau kalau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat (tentu aku lakukan)."

Para utusan (malaikat) berkata: "Hai Luth, Sesungguhnya Kami adalah utusan-utusan Tuhanmu, sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggu kamu, sebab itu Pergilah dengan membawa keluarga dan Pengikut-pengikut kamu di akhir malam dan janganlah ada seorangpun di antara kamu yang tertinggal, kecuali isterimu. Sesungguhnya Dia akan ditimpa azab yang menimpa mereka karena Sesungguhnya saat jatuhnya azab kepada mereka ialah di waktu subuh; Bukankah subuh itu sudah dekat?".

Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi.


(1)

72 A. Kesimpulan

Setelah melakukan penelitian terhadap masalah kelainan seksual (lesbian) sebagai alasan perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Timur pada putusan perkara Nomor : 207/ Pdt.G/2009/PAJT maka diperoleh beberapa kesimpulan di antaranya :

1. Semua ulama Muslim sepakat bahwa hubungan kelamin sejenis merupakan suatu pelanggaran seks, dan merupakan perbuatan yang keji. Selain itu suami merasa tersakiti akibat perbuatan isteri yang mengalami kelainan seksual (lesbian), karena salah satu tujuan dari pernikahan yang salah satunya ialah untuk meneruskan keturunan itu tidak terwujud, sebab isteri hanya menyukai sesama jenis (laki-laki) bukan dengan isterinya sendiri. Oleh karena itu jika pendukung dari tujuan suatu perkawinan (al-maqasid at-tabi’ah) tidak terwujud, maka hal ini boleh di tolak.

Dalam masalah lesbian, di Indonesia sebagai Negara hukum tidak terdapat Undang-undang yang secara jelas mengatur tentang itu, namun dalam hal ini bisa dimasukan pada peraturan yang mengatur tentang perceraian dengan alasan karena kelainan seksual lesbian berakibat sang isteri tidak mampu menjalankan kewajibannya sebagai isteri. Pasal 39 point 2 Undang-undang No.1 Tahun 1974 menyebutkan” Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan hidup rukun sebagai


(2)

73

suami isteri”. Hal ini berdasarkan pada pasal 34 point 3 yaitu ” Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan”.Bila kita garis bawahi pada kata-katamelalaikan kewajiban, banyak arti yang dapat diambil dari kata-kata tersebut. Dalam hal ini kewajiban rumah tangga yang berupa kewajiban rohani yang berupa kebutuhan biologis tidak dapat terpenuhi.

2. Pada perkara cerai talak akibat isteri lesbian seperti yang penulis teliti di Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor perkara 207/ Pdt.G/2009/PAJT, Hakim mempertimbangkan lesbian ialah sebagai salah satu pemicu dari sebuah perselisihan rumah tangga, bukan hanya satu faktor pemicu saja yang menjadi ukuran Hakim dalam memutuskan perkara ini, melainkan ada faktor-faktor lain yang menyertainya. Hakim mengabulkan gugatan Pemohon karena Termohon mengalami kalainan seksual (lesbian) yang menyebabkan rumah tangga ini sering terjadi perselisihan dan pertengakaran.

3. Dalam pertimbangan hukum putusan yang penulis teliti, majelis hakim menilai bahwa kelainan seksual yang dialami isteri ialah sebagai pemicu dari perceraian. Dan Majelis Hakim pun memasukan Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 juncto Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam sebagai pertimbangan hukumnya. Hanya saja Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur selain menggunakan Undang-undang sebagai pertimbangan hukum, Mejelis Hakim pun menggunakan pendekatan konsep dan ushul fiqh sebagai pertimbangan hukumnya.


(3)

B. Saran-Saran

Berdasarkan kenyataan yang sudah penulis uraikan, maka saran yang dapat penulis sampaikan adalah sebagai berikut:

1. Demi terwujudnya kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, kepada para calon suami atau isteri yang hendak melaksanakan perkawinan harus memilih pasangan hidup dengan selektif, sehingga perkawinanya dapat terhindar dari perceraian karena sang isteri seorang Lesbi atau seorang suami seorang Gay.

2. Lembaga pengurus perkawinan Kantor Urusan Agama (KUA), hendaknya lebih memperhatikan lagi terhadap berlangsungnya suatu perkawinan, apakah perkawinan tersebut disetujui oleh calon mempelai atau hanya karena desakan orang tua semata yang mana antara calon mempelai belum saling mengenal calon pasangan hidupnya.

3. Orang tua hendaknya memahami dan menyadari ketika anaknya telah dewasa dan mampu memilih pasangan hidupnya sendiri, jangan terlalu memaksakan kehendak kepada anak, karena perkawinan itu anak yang akan menjalani. Sebaiknya bila orangtua memberi pengarahan kepada anaknya tentang pilihan calon pendamping hidupnya itu seperti apa yang telah dianjurkan oleh agama islam yaitu karna agamanya baik, karna nasabnya baik, karna kecantikanya dan karna hartanya, utamakanlah yang agamanya baik karna hal itu yang akan menjadikan langgengnya pernikahan mereka.


(4)

75

4. Hendaknya para ulama berperan aktif di kehidupan masyarakat dalam membina atau membimbing serta membekali putra-putrinya dengan pengetahuan agama agar menghindari adanya kawin paksa sehingga putra-putrinya memgenal lebih jauh dengan calaon pasanganya sehingga terhindar dari menikahi seorang Gay dan seorang Lesbian.

5. Hasil penelitian ini kiranya perlu dimasukkan kedalam kurikulum Fikih Tsanawiyah dan Aliyah sebagai pembelajaran bagi generasi muda bangsa agar mengetahui tentang praktek hukum-hukum pernikahan kontemporer yang terjadi di masyarakat yang kasusnya sampai di depan pengadilan agama.


(5)

76

Peraturan Peradilan Agama,Jakarta : Intermasa, 1991.

Abu Bakar, Muhammad,Terjemahan Subulussalam,Jakarta : Al-Ikhlas, 1995, Juz 3. Al-Mursi Husain Jauhar, Ahmad, Maqashid Syariah, Jakarta; Amzah, 2009, cet.

Pertama

Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di indonesia; Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No. 1 / 1974 sampai KHI(Jakarta : Pranada Media 2004). Cet.2

Arifin, Imron Penelitian Kualitatif dalam Bidang-Bidang Ilmu Sosial dan Keagamaan, (Malang; Kalimasahada Press,1994), cet. ke-1

Arikunto, Suharsimi,Prosedur Penelitian,(Jakarta; PT.Rinika Cipta,1996),cet. X Arsip Pengadilan Agama Kota Depok, laporan Tahunan Pengadilan Agama Kota

Depok.

Departemen Agama RI,Ilmu Fiqih,Jakarta : Departemen Agama, 1985.

Departemen Agama RI,Kompilasi Hukum Islam,Jakarta : Dirja Binbag Islam. 1992 Departemen Agama RI,UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan peraturan

pemerintah Nomer 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan perkawinan dan perceraian .

Djam’an, Nur,fiqh Munakahat. (Jakarta: Dira Utama Semarang, 1993). Cet, 1

Farihah, Ipah, Buku panduan penelitian UIN Syarif Hidayatullah, (Jakarta : UIN Jakarta Press,2006) cet.1

Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan Karena Ketidakmampuan Suami Menunaikan Kewajibannya. (Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya,1989), cet ke 1 Fuad, Ahmad Said H, perceraian menurut Hukum Islam, Jakarta : Pustaka


(6)

77

Harahap, M. Yahya, S.H., Hukum Perkawinan Nasional, Medan zahir trading comadam, Cet-ke 1, 1975.

Ibrahim, Jhonny, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang, Bayumedia Publishing. 2006)

Inpres nomer 1 tahun 1991tentang kompilasi hukum islam(KHI)

Lexi, .J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2004)

Effendi, Satria dan Zein, M. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta, Kencana, 2004)

Nuruddin, Amiur, dan Taringan, Azhari Akmal,Hukum Perdata Islam di Indonesia; Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No.1/1974 sampai KHI. (Jakarta: Pranada Media, 2004).

Ramulyo, M Idris, Beberapa Masalah Tentang hukum acara Perdata Pengadilan Agama, ( Jakarta : Ind-Hill co, 1991), Cet Ke -2

Sabiq, SayyidFiqih Sunnah, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1990) cet ke-7, jilid 7 Soekanto, Soerjono,Pengantar Penelitian Hukum(Jakarta: UI Press, 1986)

Syamsudin, M, operasionalisasi penelitian hukum, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007

Syifai, Edha, Drs, Mendambakan Keluarga yang Sakinan bahagia dan Islami, Jakarta: Depag RI, 2000.

Thalib, Muhammad, Penyebab perceraian dan Penanggulangannya, Bandung : Irsyad Baitus Salam, 1997.

Thalib, Sayuti, Drs, SH, Hukum kekeluargaan Indonesia, Jakarta : UI Perss, 1986, Cet ke-5.