Perbedaan karakter suami istri sebagai alasan perceraian (studi kasus perkara nomor: 0206/Pdt.g/PA.Jakarta Utara)

(1)

i

Oleh:

ABDUL AZIZ 104044101382

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

P R O G R A M S T U D I H U K U M K E L U A R G A

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1432 H/2010 M


(2)

ii

Skripsi

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

Abdul Aziz

NIM : 104044101382

Pembimbing :

Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MH NIP : 19500306 197603 1 001

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

P R O G R A M S T U D I H U K U M K E L U A R G A

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1432 H/2010 M


(3)

iii

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 13 Februari 2011 M 10 Rabiul Awal 1432 H


(4)

iv

telah diujikan dalam munaqosah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pada hari Rabu Tanggal 24 Agustus 2011, skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Strata Satu (S1) pada Jurusan Peradilan Agama.

Jakarta, 28 Juli 2011 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM Nip: 19550505 198203 1 012

PANITIA UJIAN

1. Ketua Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MH Nip. 19500306 197603 1 001 2. Sekretaris Rosdiana, MA

Nip. 19690610 200312 2 001 3. Pembimbing Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MH

Nip. 19500306 197603 1 001 4. Penguji 1 Drs. Djawahier Hejjaezy, SH. MH

Nip. 19551015 197903 1 002 5. Penguji 2 Dr. H. Supriyadi Ahmad, M.A


(5)

v

telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada Penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Sebagai suri teladan yang sempurna bagi kita semua.

Selama masa perkuliahan hingga tahap akhir penyusunan skripsi ini, banyak pihak yang telah memberikan bantuan dan motivasi kepada Penulis. Sebagai tanda syukur atas terselesaikannya Penulisan skripsi yang berjudul “PERBEDAAN SIFAT DAN PRILAKU SUAMI-ISTERI SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN (STUDI PERKARA NOMOR : 0206/Pdt.G/2008/PA.JU”. Maka Penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak:

1. Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM., Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif hidayatullah.

2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., Ketua Jurusan Akhwal Syakhshiyyah sekaligus Dosen pembimbing yang selalu memberikan bimbingan serta dukungan dan motivasi kepada Penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Merupakan suatu kehormatan dan kebanggaan tersendiri bagi Penulis bisa


(6)

vi

sebuah ibadah tersendiri yang diberkahi Allah SWT.

4. Perpustakaan Utama serta Perpustakaan Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Yang telah memberikan bantuan berupa bahan-bahan yang menjadi referensi dalam Penulisan skripsi.

5. Secara khusus Penulis juga mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada kedua orangtua Penulis tercinta, Ayahanda H. Ahmad Zaini dan ibunda Hj. Siti Badi’ah yang senantiasa membimbing dan memotivasi Penulis dengan tulus, serta selalu mendoakan Penulis agar selalu sukses dalam segala hal.

6. Adik-adik tercinta Muhammad Shofwan & Azmiyati yang selalu memberikan spirit agar masa-masa ini cepat berlalu.

7. Untuk semua orang tuaku; KH. Muhammad Syarif Hidayat Munjih (Pondok Pinang), Abah Endang (Cijeruk), Kyai Rasyid (Marunda Lama), terima kasih atas doa-doamu yang selalu menyertai anakmu ini.

8. PSIK INDONESIA: Fahru Rozi, Goeswin, Zaenal Abidin, Hiton Bazawi, Ahmad Sapei, Tirta Rismahadi Wijaya.

9. BANTEN PRESS; Miming Ismail, Sigit Sungkono, Lyus Oktari, Irvan Habibi Sukardi Hasan, Rahmat Muslim.


(7)

vii

12.Sahabat dan teman seperjuangan di Jurusan Peradilan Agama; Asep Jubaedillah, Rahchman Fitrianto, Lusan Bun tink (Perbankan Syari’ah)

Semoga segala kebaikan dan sumbangsihnya dicatat oleh Allah SWT. Kesempurnaan haya milik Allah SWT mudah-mudahan semua yang telah Penulis lakukan mendapat Ridha Allah SWT, dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat. Amin.

Jakarta, 19 Mei 2011


(8)

v

LEMBAR PERNYATAAN………... iii

LEMBAR PENGESAHAN………. iv

KATA PENGANTAR……….………. v

DAFTAR ISI……….………. viii

BAB I PENDAHULUAN ………. 1

A. Latar Belakang Masalah ... ….. 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……….. 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……… 7

D. Review Studi Terdahulu ………. 8

E. Metodologi Penelitian………..……… 9

F. Sistematika Penulisan……….... 12

BAB II PERKAWINAN DAN PERCERAIAN………….………...14

A. Tujuan Perkawinan………....14

B. Dasar Hukum Perceraian……….. 19

C. Perbedaan Cerai Talak dan Gugat Cerai………..…. 22

D. Alasan danTata Cara Perceraian………..….… 25


(9)

vi

C. Visi Misi dan Rencana Strategis……… 60

D.Tugas Pokok dan Fungsi Pengadilan………. 60

BAB IV ANALISIS BEDA KARAKTER SUAMI-ISTERI SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN………..………. 64

A. Posita/Duduknya Perkara………. 64

B. Petitum/Tuntutan………... 65

C. Alat Bukti……….. 66

D. Pertimbangan Hukum………... 67

E. Putusan……….. 70

F. Analisis Penulis………. 70

BAB V PENUTUP………. 82

A. Kesimpulan………... 82

B. Saran-Saran……… 84


(10)

2. Laporan Tahunan Pengadilan Agama Jakarta Utara 2010…………... 95

4. Surat Permohonan Data dan Wawancara……….. 115

5 .Laporan Hasil Wawancara……….. 116


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan mendapat tempat yang tinggi dan sangat terhormat dalam Agama Samawi (Islam khususnya) dan termaktub dalam tata aturan yang telah ditetapkan Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam. Perkawinan juga menjadi sarana bagi umat untuk membentuk sebuah keluarga, berketurunan dan melanjutkan hidup sesuai tata norma yang berlaku baik norma agama, hukum dan adat.

Perkawinan (nikah atau zawaj) berasal dari bahasa arab yang secara etimologi (bahasa) berarti “berkumpul dan menindih” atau dengan ungkapan lain bermakna “aqad dan setubuh.”1 Menurut istilah syar’i perkawinan merupakan suatu akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim dan akad ini menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya.2 Sedangkan menurut Ulama Fiqh pernikahan adalah akad yang diatur oleh agama untuk memberikan kepada pria hak memiliki penggunaan terhadap farj (kemaluan) perempuan dan seluruh tubuhnya untuk kenikmatan sebagai tujuan primer.3

1 Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan: Analisa Perbandingan antar Madzhab, (Jakarta:

PT. Prima Heza Lestari, 2006), Cet ke-2, h.1

2

M. Abdul Mujib, Mabruri Thalhah, Syafi’ah AM, Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994), Cet ke-2. h.249

3

Bakri A. Rahman dan A. Sukardja, Hukum Perkawinan menurut Islam, Undang-undang Perkawinan dan Hukum Perdata B/W, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1981), h. 12


(12)

Sebagaimana kita ketahui Al-Qur’an menyebut perkawinan sebagai tali yang kokoh (Mitsaqan ghalidza) untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.4 Karena perkawinan merupakan ikatan lahir bathin antara suami dan istri yang banyak menimbulkan aspek hukum yang mengikat setelah pelaksanaannya. Aspek-aspek itu antaranya adalah dengan adanya perkawinan maka suami dan istri menjadi halal dalam melakukan hubungan biologis, hidup satu atap, saling memenuhi hak dan kewajiban, hadirnya anak, timbulnya konsep waris, harta bersama dan lain sebagainya. Maka dari itu perkawinan juga mengandung aspek ibadah kepada Allah SWT bagi yang melaksanakannya.

Sedangkan tujuan diadakannya pernikahan tak lain adalah menciptakan kondisi keluarga yang bahagia, tenteram, aman serta nyaman antar kedua belah pihak baik suami maupun istri. Tentunya ini sesuai dengan tujuan perkawinan/pernikahan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 3 bahwa Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.5

Rumah tangga bahagia merupakan idaman setiap keluarga. Tujuan perkawinan/pernikahan yang dilandasi oleh cita-cita luhur ikatan suci dibalut kasih sayang pasangan suami isteri dalam lingkar agama sebagai suatu ibadah kepada Allah SWT. Setiap individu yang ingin melangsungkan pernikahan sejatinya harus menyiapkan kebutuhan-kebutuhan yang kelak akan dihadapinya—baik kebutuhan moril maupun materil.

4

Pusat Studi Wanita, Relasi Suami Isteri dalam Islam, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2004), h.1

5


(13)

Berumah tangga sejatinya menciptakan kehidupan yang harmonis dan dipenuhi dengan perasaan kasih sayang antara kedua belah pihak baik suami maupun isteri, saling menghormati perbedaan masing-masing dan lain sebagainya.

Pernikahan juga tak selamanya berjalan sesuai dengan tujuan yang diharapkan—tercipta kebahagiaan, rasa tentram dan damai. Adakalanya rumah tangga diguncang konflik suami isteri baik yang datang dari dalam maupun luar keluarga yang disebabkan oleh banyak faktor.

Ada kalanya konflik-konflik dalam sebuah rumah tangga dapat diselesaikan dengan baik oleh kedua belah pihak dan rumah tangga tersebut kembali dalam kebahagiaannya sedia kala. Namun, ada kalanya konflik-konflik dalam rumah tangga tak dapat di atasi oleh kedua belah pihak baik suami maupun isteri. Bahkan konflik tersebut berlarut-larut dan menjadi perselisihan yang tak dapat dibendung lagi yang berujung pada runtuhnya sendi-sendi rumah tangga—Perceraian.

Dalam hukum Islam perceraian adalah perbuatan halal yang mempunyai prinsip dilarang oleh Allah SWT.6 Artinya perceraian merupakan hal yang boleh untuk dilakukan namun dibenci Allah SWT. Karena perceraian merupakan solusi terakhir dalam menyelesaikan masalah yang terjadi antara suami isteri dengan adanya pemutusan hubungan perkawinan.

6

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2006), Cet.ke-1, h.73


(14)

Hal ini dijelaskan oleh Rasulullah dalam haditsnya bahwa suatu perbuatan halal yang dibenci oleh Allah SWT adalah Talak/Perceraian (Hadits Riwayat Abu Dawud, Ibn Majah, dan Hakim).7

Walaupun perceraian diperbolehkan oleh agama, namun pada prinsipnya perceraian yang diatur oleh Perundang-undangan Indonesia (misalnya dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berusaha semaksimal mungkin adanya perceraian dapat dikendalikan dan menekan angka perceraian kepada titik yang paling rendah).8 Artinya lembaga Peradilan Agama yang menangani kasus-kasus perceraian berusaha mendamaikan pasangan suami isteri bila ada salah satu atau kedua pasangan tersebut melakukan permohonan/gugat cerai.

Undang-undang Perkawinan tidak melarang perceraian, hanya dipersulit pelaksanaannya, artinya tetap dimungkinkan terjadinya perceraian jika seandainya memang benar-benar tidak dapat dihindarkan, itu pun harus dilaksanakan secara baik dihadapan sidang pengadilan.9

Sedangkan mengenai pelaksanaannya, untuk melakukan permohonan perceraian pemohon harus memiliki alasan-alasan yang memang sudah diatur dalam

7

Sayyid Imam Muhammad bin Ismail al-Kahalani dan Ash-Shon’ani, Subulus Salam, (Surabaya, Al-Hidayah), Juz 3, h.168

8 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), Cet.ke-1,

h. 8

9


(15)

Perundang-undangan, bahwasanya untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri.10

Dalam hal ini alasan-alasan seputar perceraian dijelaskan baik dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Jis. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Perkawinan Pasal 19, Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 116 menjelaskan untuk melakukan perceraian harus ada alasan-alasan diperbolehkannya seorang suami atau isteri mengajukan permohonan cerai ataupun gugatan cerai bila memang salah satu dari pasangan tersebut menghendaki adanya pemutusan perkawinan melalui perceraian.

Berkaitan dengan semua itu, alasan-alasan perceraian dalam Perundang-undangan Indonesia baik dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan Pasal 19 serta Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang KHI Pasal 116 menjadi pedoman Hakim Pengadilan Agama dalam mempertimbangkan kasus-kasus perceraian yang terjadi di Indonesia. Namun, khusus di Pengadilan Agama Jakarta Utara mendapati putusan Majelis Hakim yang salah satu alasan perceraiannya mencantumkan redaksi Perbedaan Karakter suami-isteri sebagai alasan perceraian yang sama sekali tidak termuat dalam Perundang-undangan yang dijadikan patokan Hakim dalam memutuskan perkara perceraian.

10


(16)

Maka dari itu merasa sangat perlu dan tertantang untuk memperhatikan lebih dalam dengan meneliti alasan tersebut dengan memberi judul pada penelitian kali ini “Perbedaan Karakter Suami-Isteri sebagai Alasan Perceraian (Studi Perkara Nomor: 0206/Pdt.G/2008/PA.JU)”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Menyadari luasnya permasalahan pada hukum perkawinan, maka Penulis memfokuskan persoalan kehidupan rumah tangga dengan pembatasan masalah pada Perbedaan Karakter Suami-Isteri sebagai Alasan Perceraian (Studi Perkara Nomor: 0206/Pdt.G/2008/PA.JU). Adapun perbedaan karakter yang dimaksud dalam hal ini adalah perilaku isteri yang melarang suami untuk bekerja pada malam hari, sedangkan pekerjaan suami tidak terbatas pada siang hari.

2. Perumusan Masalah

Untuk uraian skripsi ini mencoba merumuskan permasalahan sebagai berikut; Menurut Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, serta Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam alasan perceraian karena perbedaan karakter suami-istri tidak tercatat di dalamnya. Namun kenyataannya, putusan di Pengadilan Agama Jakarta Utara mengabulkan perbedaan karakter suami-istri terhadap sebagai Alasan Perceraian.


(17)

Rumusan tersebut di atas, Penulis merincinya dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut;

1. Bagaimana tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif tentang perbedaan karakter suami-istri terhadap suami dapat dijadikan alasan perceraian?

2. Sejauh mana perbedaan karakter dapat mempengaruhi keutuhan sebuah keluarga? 3. Apakah dasar hukum yang melatarbelakangi putusan Majelis Hakim mengenai

perbedaan karakter suami-istri dapat dijadikan alasan perceraian?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian skripsi ini adalah untuk mendeskripsikan permasalahan sebagaia berikut :

1. Untuk mengetahui pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif tentang Perbedaan Karakter istri terhadap suami dalam sebuah rumah tangga menjadi satu alasan perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Utara.

2. Untuk mengetahui apa yang melatarbelakangi perbedaan Karakter suami-istri terhadap suami.

3. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hukum yang digunakan Majelis Hakim dalam memutuskan perkara tersebut.

Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain:

a. Secara Akademis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan keilmuan khususnya dalam hukum perkawinan Islam di Indonesia.


(18)

b. Selain itu, Penelitian ini dipharapkan dapat memperkaya penelitian sebelumnya disamping sebagai kontribusi tertulis pada Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

c. Selanjutnya, Peneliatian ini juga diharapkan dapat menambah wawasan masyarakat Islam Indonesia, khususnya masyarakat Jakarta Utara mengenai pemahaman keilmuan dalam Hukum Islam dan Hukum Positif tentang Perceraian.

4. Review Studi Terdahulu

Dalam Review Studi Terdahulu kali ini, mendapati skripsi karya Ahmad Sauqi (106044101386)11 yang berjudul “Perselisihan Terus Menerus antara Suami Isteri akibat Campur Tangan Orang Tua sebagai Alasan Perceraian (Kajian terhadap Putusan Pengadilan Agama Jaktim No: 1164/Pdt.G/2008/PA.JT).

Sejauh pengamatan, skripsi yang ditulis oleh Ahmad Sauqi pada inti permasalahannya adalah bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum positif mengenai turut campur orang tua dalam rumah tangga anak, faktor apa saja yang mempengaruhi keikut-sertaan orang tua dalam rumah tangga anak serta bagaimana Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur menyelesaikan perkara tersebut. Fokus utama dalam skripsi yang ditulis oleh Sauqi adalah adanya campur tangan orang tua dalam keluarga anak sebagai alasan perceraian.

11

Ahmad Sauqi, Perselisihan Terus Menerus antara Suami Isteri akibat Campur Tangan Orang Tua sebagai Alasan Perceraian: Kajian terhadap Putusan Pengadilan Agama Jaktim No: 1164/Pdt.G/2008/PA.JT, Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.


(19)

Sedangkan pembahasan yang lakukan adalah seputar perbedaan karakter suami-isteri terhadap suaminya sebagai alasan perceraian. Persamaannya adalah adanya dampak pertengkaran yang terus menerus dalam bahtera rumah tangga suami-isteri yang dapat dijadikan alasan perceraian. Namun, perbedaan yang mendasar antara lain:

a. Penelitian dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Agama Jakarta Utara. b. Fokus alasan perceraian yaitu mengenai perbedaan karakter suami-isteri

sebagai alasan perceraian.

c. Pandangan Hukum Islam (fikih) serta Hukum Positif mengenai perbedaan karakter suami isteri.

d. Seberapa jauh perbedaan karakter ini mempengaruhi keutuhan rumah tangga. e. Sejauh mana karakter isteri ini dapat dijadikan alasan pada prakteknya di

Pengadilan Agama Jakarta Utara.

E. Metodologi Penelitian

Dalam penyusunan proposal skripsi ini, menggunakan metode penelitian sebagai berikut:

1. Jenis dan Pendekatan

Dari sisi data yang digunakan, penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan Conten Analysis. Yaitu, menguraikan dengan cara mendeskripsikan isi dari putusan yurisprudensi dengan nomor perkara: (0206/pdt.G/2008/PA.JU) yang penulis dapatkan dari Pengadilan Agama Jakarta


(20)

Utara, kemudian menganalisis putusan Pengadilan tersebut agar mendapatkan data yang objektif dan sistematis sesuai dengan tujuan penulisan ini.

2. Kriteria Data

Dalam pengumpulan data, digunakan kriteria sebagai berikut:

a) Kriteria Data Primer: Data primer sebagai bahan tulisan ini adalah putusan Pengadilan Agama Jakarta Utara dengan Nomor Perkara: 0206/Pdt.G/2008/PA.JU.

b) Kriteria Data Sekunder: Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan jalan mengadakan studi kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang sedang diajukan. Dokumen yang dimaksud adalah berupa Al-Quran, Hadits, buku-buku karangan ilmiah, Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Jo. undang No.3 Tahun 2003 tentang Perubahan Undang-undang Peradilan Agama, Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan, Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), Hukum Acara Peradilan Agama dan dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan judul penelitian serta arsip Peradilan Agama Jakarta Utara yang berkaitan dengan Perbedaan Karakter Suami-Isteri sebagai Alasan Perceraian.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam melakukan penelitian ini peneliti menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara sebagaimana berikut:


(21)

a. Survey untuk mendapatkan data tentang perbedaan karakter sebagai alasan perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Utara.

b. Interview/Wawancara adalah metode pengumpulan data dengan atau melalui wawancara, dimana dua orang atau lebih secara fisik langsung berhadap-hadapan yang satu dapat melihat muka yang lain dan masing-masing menggunakan saluran komunikasi secara wajar dan lancar.12

Dalam hal ini melakukan wawancara kepada pihak-pihak terkait, sebagai bukti memperoleh kebenaran terhadap fakta-fakta yang berkaitan dengan perkara yang teliti. Kiranya dari hasil wawancara tersebut bisa mendapatkan sumber-sumber data yang berkaitan dengan judul yang sedang diajukan.

c. Studi Dokumenter: Menganalisis dan menafsirkan putusan Pengadilan Agama Jakarta Utara khususnya perkara Nomor: 0206/Pdt.G/2008/PA.JU dalam rangka memahami proses berlangsungnya perkara, pihak-pihak yang terkait sampai putusnya perkara dan juga pertimbangan yang digunakan oleh Majelis Hakim itu sendiri dalam memutuskan perkara berkaitan dengan Perbedaan Karakter Suami-isteri sebagai alasan perceraian.

d. Studi Pustaka: Mengambil sumber-sumber ilmiah dari berbagai sumber buku, kitab-kitab klassik, kamus, perundang-undangan dan lain sebagainya.

12 Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Metode


(22)

4. Teknik Analisis Data

Dalam melakukan analisis data menggunakan cara pengumpulan sumber-sumber data yang sudah ada di Pengadilan Agama Jakarta Utara. Adapun tahanpan-tahapan yang dilakukan pertama adalah dengan cara mengambil data yang sudah ada sampelnya berupa putusan dan hasil dari isi putusan tersebut diolah datanya dengan menggunakan metode tertentu lalu ditarik kesimpulannya. Setelah itu, hasil laporan yang sudah didapat bisa diinterpretasikan dalam bentuk laporan hasil penelitian yang berguna untuk (khususnya) dan publik umumnya.

5. Teknik Penulisan Data

Sementara untuk teknik penulisan skripsi ini menggunakan buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Tahun 2007”13 dengan pengecualian terjemahan Al-Qur’an dan Hadits satu spasi walaupun kurang dari lima baris dan dalam daftar pustaka Al-Qur’an ditulis awal.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pemahaman mengenai penulisan terhadap penelitian ini secara menyeluruh, perlu disajikan sistematika penulisan agar dapat memberikan gambaran umum. Adapun penulisan skripsi ini dibuat dalam empat bab, dengan sistematika sebagai berikut:

Bab Pertama membahas tentang Pendahuluan, di dalam bab ini dibahas latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat

13 Djawahir Hejazziey, ed., Buku Pedoman Penulisan Skripsi, (Jakarta: Fakultas Syari’ah dan Hukum


(23)

penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan teknik penulisan serta sistematika penulisan.

Bab Kedua membahas tentang Perkawinan dan Perceraian, dalam bab ini menjabarkan tentanng tujuan perkawinan, dasar hukum perceraian, perbedaan cerai talak dan cerai gugat, alasan dan tata cara perceraian, perbedaan karakter suami-isteri menurut hukum Islam.

Bab Ketiga membahas Profil Pengadilan Agama Jakarta Utara, dalam bab ini dibahas seputar sejarah singkat pembentukan Pengadilan, struktur organisasi, visi dan misi Pengadilan serta tugas pokok dan fungsi Pengadilan.

Bab Keempat tentang Analisis Beda Karakter Isteri sebagai Alasan Perceraian yang meliputi posita (duduk perkara), petitum (tuntutan perkara), alat bukti, pertimbangan hukum serta analisis terhadap putusan tersebut.

Bab kelima Penutup, bab ini berisikan kesimpulan serta saran


(24)

BAB II

PERKAWINAN DAN PERCERAIAN

A. Tujuan Perkawinan

Islam dengan Al-Qur’annya menggambarkan perkawinan sebagai tali perkawinan yang kokoh (mitsaqon ghalidza) untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.1 Yang mana Rasulullah sendiri menegaskan dalam haditsnya kepada umatnya untuk menikah bila sudah mampu dalam hal sandang, pangan dan papan karena perkawinan dapat menjaga mata serta kemaluan dari hal-hal yang yang dialarang oleh agama.

Sebagaimana Rasulullah Muhammad Saw menjelaskan dalam haditsnya:

ﹶﻝﺎﹶﻗ ﻪﻨﻋ ُﷲﺍ ﻰِﺿﺭ ٍﺩﻮﻌﺴﻣ ِﻦﺑﺍ ِﻦﻋ

:

ﻢﱠﻠﺳﻭ ِﻪﻴﹶﻠﻋ ُﷲﺍ ﻰﱠﹼﻠﺻ ِﷲﺍ ﹸﻝﻮﺳﺭ ﹶﻝﺎﹶﻗ

:

ﺮﺸﻌﻣﺎﻳ

ﹾﻠِﻟ ﻦﺼﺣﹶﺃﻭ ِﺮﺼﺒﹾﻠِﻟ ﺾﹶﻏﹶﺃ ﻪﻧِﺎﹶﻓ ،ﺝﻭﺰﺘﻴﹾﻟﺎﹶﻓ ِﺓَﺀﺎﺒﻟﹾﺍ ﻢﹸﻜﻨِﻣ ﻉﺎﹶﻄﺘﺳﺍ ِﻦﻣ ِﺏﺎﺒﺸﻟﺍ

ﻢﹶﻟ ﻦﻣﻭ ِﺝﺮﹶﻔ

ٌﺀﺎﺟِﻭ ﻪﹶﻟ ﻪﻧِﺎﹶﻓ ِﻡﻮﺼﻟﺎِﺑ ِﻪﻴﹶﻠﻌﹶﻓ ﻊِﻄﺘﺴﻳ

)

ﻪﻴﻠﻋ ﻖﻔﺘﻣ

(

٢

Artinya:Hai sekalian pemuda, siapa diantara kamu telah sanggup untuk menikah, maka menikahlah, karena menikah itu menundukkan mata dan lebih memelihara farj (kemaluan). Dan barang siapa belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa. Karena puasa itu baginya adalah penawar/ penekan nafsu syahwat.”

1

Sri Mulyati, ed, Relasi Suami Isteri dalam Islam, (Jakarta: PSW UIN JAKARTA,2004), h.1

2

Abu Daud al-Sijistani, Sunan Abi Daud: Ili-Imam al-Hafiz Abi Daud, (Amman: Dar al-‘Alam, 2003), h. 314


(25)

Perkawinan selain bertujuan untuk mentaati Allah dan mengikuti anjuran Rasul juga memiliki beberapa tujuan mulia yaitu untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan yaitu berhubungannya antara laki-laki dan wanita dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan rasa cinta kasih sayang untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan syara’.3

Ada beberapa tujuan dari disyaratkannya perkawinan atas umat Islam yang menurut pengamatan penulis tak kalah pentingnya dari pada tujuan-tujuan yang telah penulis paparkan sebelumnya. Diantaranya adalah:

1. Untuk mendapatkan anak keturunan yang sah bagi melanjutkan generasi yang akan datang.4 Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surat An-nisa Ayat 1:

ﺍﻮﹸﻘﺘﻟﺍ ﻦﻳِﺬﱠﻟﺍ ﺎﻬﻳﺂﻳ

ﺎﻤﻬﻨِﻣ ﱠﺚﺑﻭ ﺎﻬﺟﻭﺯ ﺎﻬﻨِﻣ ﻖﹶﻠﺧﻭ ٍﺓﺪِﺣﺍﻭ ٍﺲﹾﻔﻧ ﻦِﻣ ﻢﹸﻜﹶﻘﹶﻠﺧ ﻱِﺬﱠﻟﺍ ﻢﹸﻜﺑﺭ

ًﺀﺂﺴِﻧﻭ ﺍﺮﻴِﺜﹶﻛ ﺎﹰﻟﺎﺟِﺭ

ۚ

...

Artinya : “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan”.

2. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban, juga bersunguh-sunguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal.5

3

Moh. Idris Romulya, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-undang No. I Tahun 1974 dan KHI, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), Cet ke 1, h. 27

4 Amir syarifuddin,

Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,(Jakarta: Putra Grafika, 2006), Cet 1. h. 46


(26)

Tujuan lain dari perkawinan menurut Basiq Djalil dalam bukunya Tebaran Pemikiran KeIslaman di Tanah Gayo adalah untuk bersenang-senang.6 Sebagaimana diterangkan Al-Qur’an dalam Surat Al-A’raf ayat 189:

ﺎﻬﻴﹶﻟِﺍ ﻦﹸﻜﺴﻴِﻟ ﺎﻬﺟﻭﺯ ﺎﻬﻨِﻣ ﹶﻞﻌﺟﻭ ٍﺓﺪِﺣﺍﻭ ٍﺲﹾﻔﻧ ﻦِﻣ ﻢﹸﻜﹶﻘﹶﻠﺧ ﻱِﺬﱠﻟﺍﻮﻫ

ۚ

Artinya: “Dialah yang menciptakan kamu dari jiwa yang satu (adam) dan daripadanya Dia menciptakan pasangannya, agar dia merasa senang kepadanya.”

Menurutnya, dari ayat ini kita juga tampaknya tidak dilarang bersenang-senang tentunya tidak sampai meninggalkan hal-hal yang penting karenanya, karena memang diakui bahwa rasa senang itu salah satu unsur untuk mendukung sehat ruhani dan jasmani.7

Sedangkan Sulaiman Al-Mufaraj dalam bukunya Bekal Pernikahan, menjelaskan beberapa poin tentang tujuan perkawinan diantaranya, yaitu:

1) Sebagai ibadah dan mendekatdiri kepada Allah SWT. Nikah juga dalam rangka taat kepada Allah SWT dan Rosul-Nya.

2) Untuk iffah (menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang; ihsan membentang diri dan mubadho’ah bisa melakukan hubungan intim).

3) Memperbanyak umat Muhammad SAW. 4) Menyempurnakan agama.

5

Zakiyah Darajat, Ilmu Fiqih, (Jakarta: Depag RI, 1989), Jilid 3, h. 64 6

Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran KeIslaman di Tanah Gayo, (Jakarta: QALBUN SALIM, 2007), Edisi Pertama, h.87

7


(27)

5) Menikah termasuk sunnahnya para utusan Allah.

6) Melahirkan anak yang dapat memintakan pertolongan Allah untuk ayah dan ibu mareka saat masuk surga.

7) Menjaga masyarakat dari keburukan, runtuhnya moral, perzinahan, dan lain sebagainya

8) Legalitas untuk melakukan hubungan intim, menciptakan tanggung jawab bagi suami dalam memimpin rumah tangga, memberikan nafkah dan membantu istri dirumah.

9) Mempertemukan tali keluarga yang berbeda sehingga memperkokoh lingkaran keluarga.

10) Saling mengenal dan menyayangi.

11) Menjadikan ketenangan kecintaan dalam jiwa suami dan istri.

12) Sebagai pilar untuk membangun rumah tangga Islam yang sesuai dengan ajaran-Nya terkadang bagi orang yang tidak menghiraukan kalimat Allah SWT. Maka tujuan nikahnya akan menyimpang.

13) Suatu tanda kebesaran Allah SWT, kita melihat orang yang sudah menikah, awalnya mereka tidak saling mengenal satu sama lainnya, tetapi, dengan melangsungkan tali pernikahan hubungan keduanya bisa saling mengenal dan sekaligus mengasihi.

14) Memperbanyak banyak keturunan umat Islam dan menyemarakkan bumi melalui proses pernikahan.


(28)

15) Untuk mengikuti panggilan iffah dan menjaga pandangan kepada hal-hal yang diharamkan.8

Sedangkan Tujuan perkawinan menurut hukum positif yang ada di Indonesia seperti seperti dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah terwujudnya kebahagiaan rumah tangga yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa Tujuan tersebut dapat tercapai dengan adanya rasa hormat menghormati, toleransi, saling pengertian dan keserasian.9

Untuk mewujudkan kebahagiaan ruamh tangga yang kekal Joko Prakoso dalam bukunya mengomentari tujuan Undang-undang Perkawinan diatas bahwa antara suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mecapai kesejahteraan spiritual dan material.10

Selanjutnya sebagaimana dijelaskan dalam pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan bahwa landasan filosofis perkawinan nasional ialah pancasila dengan mengaitkan perkawinan berdasarkan sila pertama, yaitu berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Landasan filosofis itu dipertegas dan diperluas dalam Pasal 2 KHI yang berisi:

a. Perkawinan semata-mata mentaati perintah Allah

8 Sulaiman Al-Mufarraj,

Bekal Pernikahan: Hukum, Tradisi, Hikmah, Kisah, Syair, Wasiat, Kata Mutiara, (Jakarta: Qisthi Press, 2003), h. 5

9

Basiq Djalil, Perkawinan Lintas Agama: Dalam Perspektif Fiqih dan Kompilasi Hukum Islam,

(Jakarta: QALBUN SALIM, 2005), Cet.ke-1, h.165

10


(29)

b. Melaksakan perkawinan adalah ibadah

c. Ikatan perkawinan bersifat mitsaqon gholidzan11

B. Dasar Hukum Perceraian

Perceraian merupakan jalan akhir dari segala upaya yang dilakukan oleh suami-isteri maupun Pengadilan dalam mengambil solusi dari masalah yang dihadapi suami-isteri dalam sebuah keluarga.

Di Indonesia Perceraian sering juga disebut sebagai talak, walaupun pada hakekatnya tidak semua perceraian dapat disebut talak. Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika dalam buku Azas-azas Perkawinan Indonesia12 menjelaskan bahwa talak adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh suami untuk menolak atau menghentikan berlangsungnya suatu perkawinan.

Menurut Hisako Nakamura dalam bukunya Perceraian Orang Jawa, talak adalah satu bentuk perceraian yang dinyatakan oleh suami secara lisan atau tulisan, dengan bunyi: “Aku talak engkau” atau “Aku ceraikan engkau”, juga bisa digunakan kata-kata lain yang sama artinya, dimana maksud suami menceraikan isterinya itu jelas.13

11

Bisri, Cik Hasan. Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan agama di Indonesia, h.51

12

Djoko Prakoso & I Ketut Murtika, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987), Cet ke-1, H. 178

13 Hisako Nakamura, Perceraian Orang Jawa, Studi tentang Pemutusan Perkawinan di Kalangan


(30)

Sedangkan dalam Islam Perceraian sendiri berasal dari bahasa arab (

ﻖﻠﻃ

ﻚﻠﻄﻳ

-ﺎﻘﻠﻃ

) yang berarti pemutusan14. Dalam istilah perkawinan Islam talak menurut bahasa artinya perpisahan dan melepaskan. Sedangkan menurut syara’ adalah melepaskan ikatan suami-isteri yang sah oleh pihak suami-isteri dengan lafal tertentu atau yang sama kedudukannya seketika itu atau masa mendatang.15

Mengenai talak/perceraian, Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh al-Sunnah, memberikan definisi sebagai berikut:

ﺣ

ﱡﻞ

ﺮﻟﺍ

ِﺑﺍ

ﹶﻄ

ُ ﺔ

ﻟﺍﺰ

ﻧِﺍﻭ ِﺔﻴِﺟ

ﹾﺍ ُﺀﺎﻬ

ﹸﺔﻴِﺟﻭﺰﻟﺍ ﹸﺔﹶﻘﹶﻠﻌﻟ

١٦

Artinya: “Lepasnya ikatan perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri.”

Kamus Istilah Fiqh juga menjelaskan makna talak yang berarti melepaskan ikatan perkawinan (nikah) dari pihak suami dengan kata-kata (sighat) tertentu. Misalnya si suami mengatakan kepada isterinya: “engkau telah ku talak.”17

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat kita simpulkan bahwa pada intinya perceraian (talak) ialah pemutusan hubungan suami-isteri dengan

14 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), Cet.25,

h.861

15

Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqih Muslimah, (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), Cet.3, h.279

16

Sayyid Sabbiq, Fiqh as-Sunnah, Juz. 2, Kairo: Al-Fathu I’lami Al-Araby, 1990, h.206

17


(31)

menggunakan lafadz-lafadz tertentu yang dapat mengakibatkan putusnya hubungan perkawinan antara suami-isteri.

Sebagaimana kita ketahui bahwa pernikahan memiliki kekuatan yang mengikat antar pihak suami maupun isteri, namun dengan adanya perceraian, kekuatan yang tadinya mengikat dan sangat kokoh (mitsaqon ghalidzan) akan runtuh bahkan tidak jarang antara suami-isteri atau keluarga masing-masing saling bermusuhan karena perceraian tersebut.

Dalam Islam sendiri, perceraian antara suami dengan isteri memang bukan lagi menjadi hal baru. Bahkan, praktek perceraian sudah ada jauh sebelum umat Nabi Muhammad Saw.

Menurut hukum Yahudi kuno18, seorang suami dapat menceraikan isterinya karena sebab apa pun yang dilakukannya dan tak disebagai suaminya, serta tak ada ketentuan untuk menengahi dan membatasi kekuasaan suaminya.

Di Romawi, suami mempunyai hak untuk begitu saja membunuh isterinya dengan membuat perbuatan-perbuatan seperti meracuni, minum-minuman keras, dan menukar anak haram.19 Sedangkan orang arab, hak suami untuk menceraikan isteri tidak ada batasnya. Mereka tidak mengenal aturan perikemanusiaan atau keadilan dalam memperlakukan isteri-isterinya.20

18

A. Rahman I Doi, Syariah The Islamic Law;Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan,penerjemah Zaimudin dan Rusydi Sulaiman (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,1996), Cet. 1, h.312

19

Ibid., h.314

20


(32)

Jadi, secara historis hukum perceraian telah dikenal dan dipraktikkan umat manusia sepanjang masa dengan cara yang sangat tidak adil dan bersifat semena-mena. Islam datang meluruskan hukum perceraian itu, dan melaksanakannya secara adil dan benar antara suami dan isteri yang bertikai itu.21

Sebagaimana Al-Qur’an di bawah ini menganjurkan bagi tiap-tiap suami yang hendak menjatuhkan talak pada isterinya untuk memetakan kondisi-kondisi psikis isteri pada saat akan dijatuhkan talak oleh suami. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat at-Thalaq ayat 1:

ﺎﻳ

ﺪِﻌﻟﹾﺍ ﺍﻮﺼﺣﹶﺃﻭ ﻦِﻬِﺗﺪِﻌِﻟ ﻦﻫﻮﹸﻘﱢﻠﹶﻄﹶﻓ ِﺀﺎﺴﻨﻟﺍ ﻢﺘﹾﻘﱠﻠﹶﻃ ﺍﹶﺫِﺍ ﻲِﺒﻨﻟﺍﺎﻬﻳﹶﺍ

ِﺓ

)

ﻕﻼﻄﻟﺍ

/

٦٥

:

١

(

Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu menceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar dan hitunglah waktu iddah itu).”(Q.S. Ath-Thalaq/65: 1)

Rasulullah Saw bersabda dalam haditsnya:

ﹶﻝﺎﹶﻗ ﺎﻤﻬﻨﻋُ ﷲﺍ ﻲِﺿﺭ ﺮﻤﻋ ِﻦﺑﺍ ِﻦﻋ

:

ﻢﱠﻠﺳﻭ ِﻪﻴﹶﻠﻋُ ﷲﺍ ﻰﱠﻠﺻ ِﷲﺍ ﹸﻝﻮﺳﺭ ﹶﻝﺎﹶﻗ

:

ِﻝﺎﹶﻠﹶﳊﹾﺍ ﺾﻐﺑﹶﺃ

ﻕﺎﱠﻠﱠﻄﻟﺍ ِﷲﺍ ﻰﹶﻟﺍِ

).

ﻪﻟﺎﺳﺭﺍ ﰎﺎﺣ ﻮﺑﺍ ﺢﻌﺟﺭﻭ ﻢﻛﺎﳊﺍ ﻪﺤﺤﺻﻭ ﻪﺟﺎﻣ ﻦﺑﺍﻭ ﺩﻭﺍﺩ ﻮﺑﺍ ﻩﺍﻭﺭ

(

٢٢

Artinya: “Dari Ibnu Umar, Rasulullah saw bersabda, perbuatan halal yang sangat dibenci oleh Allah SWT ialah talak.” (HR. Abu Dawud dan Hakim dan disahkan olehnya).

C. Perbedaan Cerai Talak dengan Gugat Cerai

Secara garis besar, cerai talak dengan cerai gugat merupakan dua kata yang berbeda, namun keduanya juga memiliki persamaan. Penulis sebelumnya

21

Ibid., h. 315

22


(33)

memaparkan pengertian perceraian secara umum dengan pengertian yang juga umum, namun di bawah ini akan penulis paparkan perbedaan kedua cerai secara mendalam.

Perceraian merupakan jalan akhir dari sebuah permasalahan yang terjadi dalam keluarga setelah juru damai tak mampu lagi mendamaikan kedua belah pasangan yang bertikai. Bila pernikahan tersebut terus dilangsungkan maka akan saling timpangnya hak dan kewajiban masing-masing pasangan karena satu sama lain sudah tidak lagi sejalan dalam mengemudikan kendali rumah tangga.

Dalam lingkungan Pengadilan Indonesia dikenal dua sifat atau corak mengajukan permintaan pemeriksaan perkara kepada Pengadilan. Yang pertama disebut “permohonan” dan lainnya disebut “gugatan”.23 Yang dalam bahasa sehari-hari kita mengenalnya dengan istilah cerai talak dan gugat cerai.

Menurut Rachmadi Usman misalnya dalam bukunya Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia menyebutkan pengertian cerai talak yang berarti putusnya ikatan tali perkawinan sebab dinyatakan talak oleh seorang suami terhadap isterinya yang perkawinannya dilangsungkan menurut hukum Islam.24

Jadi, cerai talak merupakan cerai yang dilakukan oleh suami dengan alasan-alasan yang dibenarkan oleh agama maupun Undang-undang. Dalam hal ini suami sebagai pemohon harus mengucapkan ikrar talaknya di muka sidang.

23 Elfrida R Gultom, Hukum Perdata, (Jakarta: Literata, 2010), h.16 24

Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Cet.1, h.400


(34)

Sedangkan cerai gugat adalah putusnya ikatan perkawinan yang disebabkan adanya gugatan perceraian seorang isteri yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam atau isteri yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu.25

Menurut Subekti, dalam kamus hukumnya menyatakan gugatan berasal dari kata gugat dengan akhiran “an”, yaitu penarikan ke muka hakim Pengadilan untuk dimintakan perhukuman (perkara perdata).26

Subekti merumuskan bahwa perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntunan salah satu pihak dalam perkawinan ketika para pihak masih hidup dengan alasan yang dapat dibenarkan dan ditetapkan dengan suatu putusan Pengadilan.27

Dalam literatur fiqh, cerai gugat disebut sebagai khulu’ yaitu suatu perceraian yang diminta oleh seorang isteri dengan adanya tebusan dari pihak isteri, tentunya disertai dengan alasan-alasan yang rasional. Khulu’ tersebut bisa terjadi ketika sang isteri dalam keadaan suci atau tidak haid, karena khulu’ itu sendiri terjadi akibat permintaan isteri. Namun dalam hal ini suami tidak boleh dipaksa menerima permintaan talak tebus (khulu’).28

25

Ibid.,hal.401

26

Subekti, Kamus Hukum, (Jakarta: Paradya Paramita, 1982), h.49

27

Ibid., h.15

28


(35)

Jadi cerai gugat adalah salah satu cara bagi suami-isteri yang menginginkan perpisahan dalam rumah tangganya disebabkan suatu alasan yang mengharuskan mereka untuk berpisah, dengan permintaan atas keinginan isteri sendiri. Dalam definisi disebutkan cerai gugat adalah cerai yang didasarkan dengan adanya gugatan yang diajukan oleh isteri, agar perkawinan dengan suaminya menjadi putus.29

D. Alasan dan Tata Cara Perceraian a. Alasan Perceraian

Salah satu Azas yang terdapat dalam Undang-undang Perkawinan adalah mempersukar terjadinya perceraian.30 Seperti dalam Pasal 39 ayat 2 Undang-undang No.1 Tahun 1974 menentukan bahwa antara suami-isteri itu tak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri. Jadi walaupun pada dasarnya perceraian itu tidak dilarang, namun undang-undang menentukan seseorang tidak dengan mudah memutuskan ikatan perkawinan tanpa adanya alasan dalam penjelasan Pasal 39 ayat (2) ditentukan bahwa alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah:

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;

29

Departemen Agama RI, Tanya Jawab Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), Cet.1, h. 274

30


(36)

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;

6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.31

Penjelasan Pasal di atas diatur persis dalam Pasal 19 Undang-undang No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan menentukan perceraian dapat terjadi karena alasan sebagaimana diuraikan di atas, sedangkan Kompilasi Hukum Islam memuat tambahan alasan, yakni alasan suami melanggar ta’lik talak

dan alasan peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak-rukunan dalam rumah tangga (Pasal 116).32

b. Tata Cara Perceraian

Agar tercipta ketertiban dalam pelaksanaan penyelesaian perkara-perkara hukum keluarga, maka Negara membuat instrumen-instrumen penegakkan keadilan dalam lingkup hukum keluarga. Penyelenggara dalam hal ini adalah Pengadilan Agama setempat.

31

Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010), Cet.I, h.340

32


(37)

Tata cara perceraian sudah diatur dan ditentukan dalam Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Jo. Undang-undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UUPA) dan Inpres Presiden RI No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 115 menjelaskan tata cara perceraian.

Adapun tata cara perceraian tersebut, sebagaimana termaktub dalam UUPA Pasal 66 yaitu;

1)Seorang suami beragama Islam yang menceraikan isterinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak

2)Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.

3)Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negeri, permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon. 4)Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka

permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.


(38)

5)Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan harta bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak atau sesudah ikrar talak diucapkan.33

Setelah permohonan cerai talak diajukan ke Pengadilan Agama, Pengadilan Agama melakukan pemeriksaan mengenai alasan-alasan yang menjadi dasar diajukannya permohonan tersebut. Hal itu diatur dalam Pasal 68 Undang-undang Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989 dan Pasal 131 Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Berikut ini adalah bunyi Pasal 68 Undang-undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yaitu;

(1) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh majelis hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat permohonan cerai talak didaftarkan di kepaniteraan.

(2) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup.34

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam mengenai tata cara perceraian termuat dalam Pasal 131 ayat:

(1) Pengadilan Agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud Pasal 129 dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon

33

Lihat Amir Syarifudin, Harun al-Rashid, Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Pemerintah tentang Badan-badan Peradilan di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Ghalia, 1989), Cet.1, h. 742-743

34


(39)

dan isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak.

(2) Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menasihati kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun dalam rumah tangga, Pengadilan Agama menjatuhkan keputusan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talak.

(3) Setelah keputusan mempunyai kekuatan hukum tetap, suami mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama, dihadiri oleh isteri atau kuasanya. (4) Bila suami tidak mengikrarkan ikrar talak dalam tempo 6 (enam) bulan terhitung

sejak putusan Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatan hukum tetap, maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan tetap utuh.

(5) Setelah sidang penyaksian ikrar talak, Pengadilan Agama membuat penetapan tentang terjadinya talak, Pengadilan Agama membuat penetapan tentang terjadinya talak rangkap empat yang merupakan bukti perceraian bagi bekas suami dan isteri. Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada Pegawai Pencatatan Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan, Helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada suami isteri, dan helai keempat disimpan di Pengadilan Agama.35

35

Lihat Cik Hasan Bisri, ed. Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet.II, h.179-180


(40)

E. Perbedaan Karakter Suami-Isteri dalam Keluarga Menurut Hukum Islam 1. Pengertian Perbedaan Sifat dan Perilaku menurut fikih

Islam adalah agama perdamaian.36 Maka dari itu segala bentuk perselisihan yang diakibatkan dari perbedaan antara sesama harus diminimalisir sedikit pun kalau perlu ditiadakan sama sekali. Islam dan masyarakat muslim terkait erat dengan tiga hukum bawaan Rasulullah Muhammad SAW baik hukum-hukum yang tertera dalam Nash-nash Al-Qur’an maupun al-Hadits.

Hubungan-hubungan tersebut menjadi sebuah tatanan hukum yang menurut Fathurrahman Djamil antara lain mengatur tatanan hidup manusia secara Vertikal (hubungan manusia dengan Tuhannya) dan secara Horizontal (antara sesama manusia).37 Selanjutnya menurutnya bahwa kebanyakan ahli fiqih telah menetapkan kaidah bahwa hukum asal segala sesuatu dalam bidang material dan hubungan antara sesama manusia (mu’amalat) adalah boleh, kecuali apabila ada dalil yang menunjukkan sesuatu itu diterlarang.38

Tatanan hidup manusia terkait dengan Hubungan manusia pada Tuhan mengenai masalah-masalah Ukhrawi kebanyakan mengandung prinsip-prinsip yang khusus dan baku. Sedangkan dalam masalah-masalah keduniaan, dapat dikatakan bahwa Islam hanya mengajarkan prinsip-prinsip umum. Islam tidak mengetengahkan

36

Tarmizi Taher, Menuju Ummatan Wasathan—Kerukunan Beragama di Indonesia. (Jakarta: PPIM-IAIN,1998), Cet.2, h.133

37

Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam,(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet.1, h. 40

38

Ibid., h.40


(41)

pola yang final tentang bagaimana masalah-masalah duniawi seharusnya diatur.39 Hadirnya fikih di tengah-tengah masyarakat Islam membuktikan bahwa masalah-masalah keduniawian yang ada semakin kompleks dan membutuhkan interpretasi-interpretasi yang segar terhadap nash-nash Al-Qur’an maupun Hadits.

Fikih secara sederhana memilki pengertian sebagai pengetahuan mengenai hukum-hukum Syari’at yang dihasilkan dari penalaran teks-teks keagamaan Al-Qur’an maupun al-Hadits yang berkaitan dengan aturan tingkah laku manusia.40

Kata Syari’ah secara harfiah berarti “Jalan menuju tempat air,” atau dalam kata lain “sumber kehidupan”. Namun, kasarnya syariah adalah keseluruhan perintah Allah SWT kepada orang mukmin. Karena kata syariah mencakup Norma-norma akidah, hukum dan akhlak.41 Syariah juga menjadi sumber hukum dan petunjuk moral, pijakan untuk hukum maupun etika.42

Sedangkan Fazlur Rahman mendefinisikan Syariat sebagai jalan yang ditetapkan oleh Tuhan dimana manusia harus mengarahkan hidupnya untuk merealisir kehendak Tuhan. Ia merupakan konsep praktis yang berhubungan dengan tingkah laku pribadi an sich. Tetapi di sini menyangkut seluruh tingkah laku—

39

Tarmidzi, Menuju Ummatan Wasathan—Kerukunan Beragama di Indonesia h,109 40

Faqihuddin Abdul Qadir, ed, Fiqih Anti Trafiking: Jawaban atas Berbagai Kasus Kejahatan Perdagangan Manusia dalam Perspektif Hukum Islam (Jakarta:Fahmina-Institute, 2006), Cet.I, h.4

41

Cik Hasan Bisri, ed, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, h. 117

42

John L. Esposito, Islam Warna-warni: Ragam Ekspresi menuju “Jalan Lurus”(Shirat al-Mustaqim), Penerjemah Arif Maftuhin, (Jakarta: Paramadina, 2004), Cet.ke-1, h.94


(42)

spiritual, mental dan fisik.43 Artinya Agama mengatur segala sesuatu termasuk di dalamnya karakter yang berhubungan dengan sifat serta tingkah laku manusia baik berupa ajaran terhadap keimanan, kepribadian maupun fisik seseorang.

Karakter merupakan merupakan tabiat, watak; sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lainnya.44 Perbedaan Karakter yang berkaitan dengan sifat dan prilaku suami-isteri memang tidak memiliki pengertian khusus di dalam hukum Islam dalam hal ini fikih, hanya saja memang Islam banyak membicarakan permasalahan yang berkaitan dengan akhlak yang pada akhirnya membuahi sifat dan perilaku umat sendiri baik terhadap Tuhannya, sesamanya maupun lingkungannya.

Sedangkan pada hakikatnya akhlak ialah suatu kondisi atau sifat yang telah meresap dalam jiwa dan menjadi kepribadian hingga dari situ timbullah berbagai macam perbuatan dengan cara spontan dan mudah tanpa dibuat-buat dan tanpa memerlukan pemikiran.45

Secara umum sifat memiliki pengertian rupa dan keadaan yang tampak pada suatu benda, tanda lahir.46 Menurut Raymond B. Catttell seorang psikolog mendefinisikan sifat sebagai suatu “struktur mental”, suatu penyimpulan yang

43

Fazlur Rahman, Islam Penerjemah Ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka, 2003), cet.V, h.141

44

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, edisi ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h.512

45

Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994), cet.2, h.3 46

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke III, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), Cet.4, h.1062


(43)

didasarkan pada tingkah laku yang dapat diobservasi untuk menjelaskan keteraturan atau regulitas dan ketetapan atau konsistensi dalam tingkah laku ini.47

Sedangkan perilaku/tingkah adalah ulah (perbuatan) yang aneh-aneh atau yang tidak sewajarnya, lagak, canda.48 Perilaku pada umumnya berorientasi pada tujuan (goal-oriented). Dengan kata lain, perilaku kita pada umumnya dimotivasi oleh keinginan untuk mencapai tujuan tertentu.49

Sedangkan perbedaan sendiri memiliki arti beda, selisih.50 Perbedaan merupakan keadaan, sifat dan karakter yang diciptakan Tuhan dengan tujuan agar manusia saling mengenal, berinteraksi, saling memahami dan memberi manfaat satu sama lain.51

Jadi dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa karakter erat kaitannya dengan sifat dan perilaku seseorang, dengan kata lain bahwa perilaku seseorang menunjukkan sifat orang tersebut. Sedangkan perbedaan karakter kaitannya dengan isteri terhadap suaminya di sini adalah perbedaan atau perselisihan mengenai pandangan terhadap Sifat dan perilaku pasangan dalam rumah tangga sehari-hari.

47

A. Supratiknya ,ed, Psikologi Kepribadian III Teori Sifat dan Behavioristik, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), h.149

48

Ibid., h.1197 49

J.Winardi, Motivasi dan Pemotivasian dalam Manajemen, (Jakarta: Rajwali Pers, 2008), h.32

50

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke III, h.90

51

Http://Niahidayati.Net/Memahami-Dan-Menyikapi-Perbedaan-Dengan Pengertian.Html,


(44)

2. Faktor penyebab serta Pengaruh Perbedaan Karakter Suami-Isteri

Berbicara keluarga tak lepas dari hubungan suami-isteri. Sedangkan berbicara hubungan suami-isteri sudah dapat dipastikan membicarakan peran masing-masing pasangan (suami-isteri) dalam rumah tangga/keluarga. Karena keluarga juga merupakan kelompok sosial yang pertama dalam kehidupan manusia, tempat ia belajar menyatakan diri sebagai manusia sosial dalam interaksi sosial dengan kelompoknya.52

Perbedaan karakter baik sifat dan perilaku suami-isteri merupakan hal yang wajar terjadi, karena pada dasarnya sudah merupakan fitrah manusia diciptakan berbeda-beda satu sama lain, karena bukan hal yang mustahil bagi Allah SWT untuk menjadikan manusia sama keseluruhan—baik sifat, perilaku ataupun bentuk-bentuk fisik penciptaan manusia. Namun, Sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya:

ﹰﺓﺪِﺣﹶﺍﻭ ﹰﺔﻣﹸﺃ ﺱﺎﻨﻟﺍ ﹶﻞﻌﺠﹶﻟ ﻚﺑﺭ َﺀﺂﺷﻮﹶﻟﻭ

ۖ

ﻚﺑﺭ ﻢِﺣﺭ ﻦﻣ ﺎﱠﻟِﺇ ﻦﻴِﻔِﻠﺘﺨﻣ ﹶﻥﻮﹸﻟﺍﺰﻳ ﺎﹶﻟﻭ

ۚ

ﻢﻬﹶﻘﹶﻠﺧ ﻚِﻟﺍﹶﺬِﻟﻭ

ۗ

ﻤِﻠﹶﻛ ﺖﻤﺗﻭ

ِﺱﺎﻨﻟﺍﻭ ِﺔﻨِﳉﹾﺍ ﻦِﻣ ﻢﻨﻬﺟ ﱠﻥﹶﺄﹶﻠﻣﹶﺄﹶﻟ ﻚﺑﺭ ﹸﺔ

)

ﻮﻫ

ﺩ/

١١

:

١١٨

-١١٩

(

Artinya: “Dan seandainya tuhanmu menghendaki, maka pastilah Dia jadikan manusia umat yang tunggal. Namun mereka akan tetap berselisih, kecuali tuhanmu merahmatinya. Lantaran itulah Dia ciptakan mereka itu, dan telah sempurnalah kalimat (keputusan) Tuhanmu:”Pastilah Aku penuhi Jahannam dengan isi dari jin dan manusia.”(Q.S. Hud/11: 118-119) Dalam surat lain juga disebutkan:

52

Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, (Purwokerto: PSG STAIN, 2006), Cet.1, h.41


(45)

ﻭِﻣ

ﻦ

ﻳﺁ

ِﺗﺎِﻪ

ﺧ

ﹾﻠﻖ

ﺴﻟﺍ

ﻤ

ﻮ

ِﺕﺍ

ﻭ

ﹾﺍَﻷ

ﺭ

ِﺽ

ﻭ

ﺧﺍ

ِﺘﹶﻠ

ِﻑﺎ

ﹶﺃ ﹾﻟ

ِﺴ

ﻨِﺘ

ﹸﻜ

ﻢ

ﹶﺃﻭ

ﹾﻟﻮ

ِﻧﺍ

ﹸﻜ

ﻢ

ۗ

ِﺇ

ﱠﻥ

ِﻓ

ﹶﺫ ﻲ

ِﻟﺍ

ﻚ

ﹶﻟ

ﻳﺂ

ٍﺕﺎ

ﱢﻟﹾﻠ

ﻌﺎ

ﻴِﻤﹶﻟ

ﻦ

)

ﻡﻭﺮﻟﺍ

/

٣٠

:

٢٢

(

Artinya: “dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah menciptakan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang yang mengetahui.”(Q.S. Ar-Rum/30: 22)

Memang jelas sekali adanya Perbedaan-perbedaan yang terdapat pada manusia seperti perbedaan baik perbedaan warna kulit, bahasa dan budaya. Perbedaan antara laki-laki dan wanita, perbedaan bangsa dan suku bangsa. Hanya saja perbedaan itu harus disadari juga sebagai tanda-tanda kebesaran Allah.53

Sebagaimana suami-isteri misalnya, dalam keluarga tentunya terjadi begitu banyak perbedaan baik sifat maupun perilaku keduanya dan tak jarang perbedaan-perbedaan tersebut menjadi pondasi konflik hubungan keluarga mereka. Antara suami-isteri tidak lagi saling mengerti dan memahami, keras kepala, acuh sampai pada akhirnya menjadi sebuah konflik-konflik yang berkepanjangan.

Padahal sebagaimana yang disebutkan Al-Qur’an bahwa salah satu tujuan perkawinan adalah untuk menjadikan suami-isteri atau yang terlibat di dalamnya dipenuhi ketenangan lahir maupun batin. Sebagaimana firman Allah dalam surat Ar-Rum ayat 21:

ﻳﹶﺍ ﻦِﻣﻭ

ﹼﻥِﺍ ﹰﺔﻤﺣﺭﻭ ﹰﺓﺩﻮﻣ ﻢﹸﻜﻨﻴﺑ ﹶﻞﻌﺟﻭ ﺎﻬﻴﹶﻟِﺍ ﺍﻮﻨﹸﻜﺴﺘِﻟ ﺎﺟﺍﻭﺯﹶﺃ ﻢﹸﻜِﺴﹸﻔﻧﹶﺃ ﻦِﻣ ﻢﹸﻜﹶﻟ ﻖﹶﻠﺧ ﹾﻥﹶﺃ ِﻪِﺗﺎ

ﺮﱠﻜﹶﻔﺘﻳ ٍﻡﻮﹶﻘِﻟ ٍﺔﻳﺂﹶﻟ ﻚِﻟﹶﺫ ﻲِﻓَ

ﹶﻥﻭ

)

ﻡﻭﺮﻟﺍ

/

٣٠

:

٢١

(

53

A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, ( Jakarta: Kencana, 2007), Cet.1, h.211


(46)

Artinya:“Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderungdan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan diantaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah SWT) bagi kaum yang berpikir.” (Q.S. Ar-Rum/30: 21)

Menurut Qaradhawi, ayat di atas menunjukkan tiga pondasi bagi berdirinya sebuah keluarga yaitu ketenangan, cinta, dan kasih sayang. Yang dimaksud dengan ketenangan adalah ketenangan jiwa dari gejolak dan keinginan terhadap lawan jenis dan untuk memenuhi keinginan yang dibolehkan di bawah lindungan keridhaan Allah SWT.54

Ayat di atas juga menjadi prasyarat untuk membangun keluarga yang harmonis dan diliputi kasih sayang menuju keluarga yang berkeadilan dan bermartabat. Sebagaimana dikutip dalam buku kekerasan berbasis gender terdapat 3 (tiga) kata kunci yang a long life strugle dalam kehidupan berkeluarga:55

a. Mawaddah (To love each other), saling mencintai/ menyayangi antara satu dengan lainnya. Mawaddah bukanlah sekedar cinta terhadap lawan jenis dengan keinginan selalu ingin berdekatan dengan cinta penuh gelora dan menjadikannya terlena dan layu sebelum berkembang, karena melampaui batas kewajaran yang ditentukan agama.

54

Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa Nata’ amalu Ma’a al-Qur’ani al-Azhim: Berinteraksi dengan Al-Qur’an. Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), Cet. Ke-2, h.144

55


(47)

Mawaddah dapat diartikan sebagai “cinta plus”, yaitu cinta yang tampak dampaknya pada perlakuan, satu kata dan perbuatan.56

b. Rahmah (Relieve from suffering through symphaty, to show human understanding from the one other, love and respect one other). Saling simpati, menghormati dan menghargai antara yang satu dengan yang lainnya. Sikap rahmah itu termanifestasikan dalam bentuk perasaan saling simpati, menghormati dan saling mengagumi antara kedua belah pihak sehingga akan muncul kesadaran saling memiliki dan keinginan untuk melakukan yang terbaik bagi pasangannya sebagaiman dirinya ingin diperlakukan.

c. Sakinah (To be or become tranquil; peaceful; god-inspired, peace and mind), kedamaian dan ketentraman. Sakinah merupakan kesadaran perlunya kedamaian, ketentraman. Keharmonisan, kejujuran dan keterbukaan yang diinspirasikan dan berlandaskan pada spiritualitas ketuhanan. Ujung-ujungnya spiritualitas ketuhanan yang Maha Lembut, yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang perlu dijadikan sumber ilham dan inspirasi yang agung untuk menempuh hidup baru yang dicita-citakan.

Keadaan sakinah, mawaddah dan rahmah tidak akan tercapai dalam sebuah rumah tangga bila penghuninya tidak saling memahami dan menghormati perbedaan yang ada pada masing-masing pasangan. Karena semua manusia, betapa pun

56

Depag RI, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat dan Berpolitik (Tafsir Al-Qur’an Tematik), (Jakarta: Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an, 2009), Cet.1, h.429


(48)

hebatnya pasti ada kekurangannya, begitu pula sebaliknya. Dalam kehidupan rumah tangga suami-isteri tentu tidak luput dari kelemahan, sehingga suami-isteri harus saling melengkapi dan menyayangi.57

Sifat dan perilaku secara umum erat kaitannya dengan kepribadian seseorang, yang merupakan bawaan sejak lahir atau anugerah yang diberikan Tuhan pada manusia begitu juga pada suami ataupun isteri. Sedangkan kepribadian sendiri dalam Psikologi Perkembangan diartikan sebagai karakteristik atau cara bertingkah laku yang menentukan penyesuaian dirinya (manusia) yang khas terhadap lingkungannya.58

Dalam Psikologi Perkembangan, Kepribadian seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor, adapun yang mempengaruhi kepribadiannya antara lain:

1. Potensi bawaan

Seorang bayi telah diwarnai unsur-unsur yang diturunkan oleh kedua orang tuanya dan tentu diwarnai pula oleh perkembangan dalam kandungan ibunya.

2. Pengalaman dalam budaya/lingkungan

Proses perkembangan mencakup suatu proses belajar untuk bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat tanpa kita sadari lagi, pengaruh nilai-nilai dan masyarakat dalam kehidupan kita telah kita terima dan menjadi bagian dari diri kita.

57

Ibid., h.429

58

Hendriati Agustiani, Psikologi Perkembangan—Pendekan Ekologi Kaitannya dengan Konsep Diri dan Penyesuaian Diri pada Remaja, (Bandung, PT Refika Aditama, 2006), Cet.1, h128


(49)

Pengaruh lain dari budaya adalah mengenai peran seseorang dalam kelompok masyarakat. Misalnya seseorang yang dilahirkan berjenis kelamin laki-laki akan menerima beban untuk berperan sebagai lak-laki menurut masyarakatnya dan sejenisnya.

3. Pengalaman yang unik

Selain potensi bawaan dan tuntutan peran oleh masyarakat yang juga turut membentuk kepribadian seseorang dan yang membedakannya dari orang lain adalah pengalaman dirinya yang khas. Orang, selain berbeda dalam bentuk badan, potensi bawaan juga berbeda dalam perasaan reaksi emosi dan daya tahannya.59

Kaitan ketiga hal tersebut dalam hubungan suami-isteri adalah ketika pasangan berada dalam lingkup keluarga dan menyatukan dua kepala yang berbeda baik potensi bawaannya yang sudah ada sejak lahir, budaya maupun pengalamannya masing-masing maka akan dijumpai banyak perbedaan baik yang krusial maupun biasa dan tak jarang membuat perbedaan yang ada semakin meruncing bila tidak diantisipasi dan dapat menimbulkan perselisihan serta pertengkaran.

Sedangkan faktor lain yang juga sering menjadi perselisihan antara suami-isteri dalam sebuah rumah tangga menurut Mufidah dalam Psikologi Keluarga Islam60

bahwa seringkali antara suami-isteri enggan memecahkan masalah dengan pikirannya yang jernih dilandasi oleh beberapa faktor, antara lain:

59

Ibid.,129-130

60

Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, (Malang: UIN Malang Press,2008), h.189-194


(50)

a. Faktor emosi

Dalam menghadapi masalah, suami-isteri diharapkan mampu mengendalikan emosi karena emosi dan mudah marah merupakan bagian dari perbuatan setan. Jika suami-isteri masih dalam emosi dan masing-masing mempertahankan egonya maka tidak akan menyelesaikan masalah. Rasulullah SAW menegaskan dalam hadisnya:

ﺹ ِﷲﺍ ﹶﻝﻮﺳﺭ ﱠﻥﹶﺃ ﹶﺓﺮﻳﺮﻫ ﻲِﺑﹶﺃ ﻦﻋ

.

ﹶﻝﺎﹶﻗ ﻡ

:

ﻪﺴﹾﻔﻧ ﺪﻳِﺪﺸﻟﺍ ﺎﻤﻧِﺇ ِﺔﻋﺍﺮﺼﻟﺎِﺑ ﺪﻳِﺪﺸﻟﺍ ﺲﻴﹶﻟ

ِﺐﻀﻐﻟﹾﺍ ﺪﻨِﻋ

)

ﻱﺭﺎﺨﺒﻟﺍ ﻩﺍﻭﺭ

(

٦١

Artinya:“Dari abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda “orang-orang yang kuat bukannya “orang-orang yang kuat secara fisik, akan tetapi orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan emosinya ketika ia sedang marah”. (HR. Bukhari)

b. Faktor kurang pengertian/pemahaman

Seringkali keterbatasan pemahaman dan pengertian suami-isteri terhadap masalah yang dihadapi menyebabkan kesalahan pemhaman sehingga masalahnya menjadi semakin rumit. Dalam kondisi seperti ini, sebaiknya suami isiteri saling mengkomunikasikan apa yang dipahami oleh masing-masing tentang masalah yang sedang dihadapi, menjelaskan duduk persoalannya agar masing-masing menemukan satu pemahaman untuk mencari jalan keluar yang terbaik.

Sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya berikut ini dalam QS. Ali-Imran ayat 159:

61


(51)

...

ِ ﺮﻣَﻷﹾﺍ ﻲِﻓ ﻢﻫﺭِﻭ ﺎﺷﻭ

ۖ

ِ ﷲﺍ ﻰﹶﻠﻋ ﹾﻞﱠﻛﻮﺘﹶﻓ ﺖﻣﺰﻋ ﺍﹶﺫِﺈﹶﻓ

ۚ

ﻴِﻠﱢﻛﻮﺘﻤﹾﻟﺍ ﺐِﺤﻳ َﷲﺍ ﱠﻥِﺇ

ﻦ

)

ﻥﺍﺮﻤﻋ ﻝﺍ

/

٣

:

١٥٩

(

Artinya:“...Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu, kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah SWT sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”(QS. Ali-Imran/3: 159)

c. Faktor Gender Stereotype (Pelabelan Negatif)

Perbedaan cara pandang seringkali mengarah pada perasaan su’udzhan/buruk sangka, saling menuduh dan melempar tanggung jawab. Gender stereotype

memberikan lebih negative atas dasar perbedaan jenis kelamin merupakan salah satu penyebab buruk sangka pada pasangannya. Untuk menghilangkan gender stereotype suami-isteri merupakan langkah positif agar dapat menumbuhkan rasa saling menghargai, saling percaya dan memandang positif pasangannya.62

Sebagaimana Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya:

ﻢﹸﻜﱠﻟ ﺮﻴﺧ ﻮﻫﻭ ﺎﹰﺌﻴﺷ ﺍﻮﻫﺮﹾﻜﺗ ﹾﻥﹶﺃ ﻰﺴﻋﻭ

ۚ

ﻢﹸﻜﱠﻟ ﺮﺷ ﻮﻫﻭ ﺎﹰﺌﻴﺷ ﺍﻮﺒِﺤﺗ ﹾﻥﹶﺃ ﻰﺴﻋﻭ

ۗ

ﺎﹶﻟ ﻢﺘﻧﹶﺃﻭ ﻢﹶﻠﻌﻳ ُﷲﺍﻭ

ﹶﻥﻮﻤﹶﻠﻌﺗ

)

ﺓﺮﻘﺒﻟﺍ

/

٢

:

٢٦١

(

Artinya: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu Allah SWT maha mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

(QS. Al-Baqarah: 216)

62


(52)

d. Faktor dominasi pihak yang kuat

Suami dalam pandangan masyarakat sebagai kepala keluarga adalah positif ketika menjalankan fungsi melindungi, mangayomi dan memberdayakan. Tetapi posisi sebagai pemimpin tidak selamanya diiringi dengan fungsi-fungsi yang semestinya, sehingga memicu lahirnya hubungan suami-isteri yang timpang. Pihak yang merasa kuat, kuasa dengan dalih meluruskan isteri, biasanya suami yang sering muncul sebagai pihak yang dominan. Demikian pula pihak yang merasa lemah, kendatipun mempunyai ide yang cemerlang tidak akan mengambil peran dan memberikan kontribusinya terhadap penyesuaian masalah.63

Allah menjelaskan dalam firmannya:

...

ِﺬﱠﻟﺍ ﹸﻞﹾﺜِﻣﱠ ﻦﹶﳍﻭ

ِﻑﻭﺮﻌﻤﹾﻟﺎِﺑ ﻦِﻬﻴﹶﻠﻋ ﻱ

ۚ

)

ﺓﺮﻘﺒﻟﺍ

/

٢

:

٢٢٨

(

Artinya: “… dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah/2: 228)

e. Faktor Kafaah (kesetaraan)

Kafaah menurut hukum Islam adalah keseimbangan dan keserasian antara calon isteri dan suami sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan.64

Adanya perbedaan dalam memilih pasangan suami atau istri yang tidak sekufu’ (setara) baik dalam hal harta, status, keturunan, maupun agama juga seringkali juga menjadi faktor penyebab ketidak-harmonisan dalam rumah tangga.

63

Ibid., 194 64

Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hal.56


(53)

Ketidakharmonisan ini ketika tidak bisa dipulihkan dalam bangunan rumah tangga terkadang suami atau istri memutuskan untuk melakukan perceraian.65

Perselisihan dan percekcokan sering terjadi Akibat dari semakin runcingnya perbedaan-perbendan sifat dan perilaku suami-isteri yang tidak disikapi dengan saling menghargai serta menghormati satu sama lain. Perbedaan yang ada pun mestinya menjadi motivasi satu sama lain untuk saling mengangkat persamaan yang ada kepermukaan dan menenggelamkan sisi-sisi perbedaan karakter baik sifat maupun perilaku masing-masing yang hanya akan merugikan keutuhan sebuah rumah tangga.

Maka dari itu Rasulullah menjelaskan dalam haditsnya kiat-kiat memilih pasangan agar umatnya tidak menyesal dikemudian hari. Sebagaimana sabda Rasulullah saw dalam hadisnya:

ﺭ ﹶﺓﺮﻳﺮﻫ ﻲِﺑﹶﺃ ﻦﻋ

.

.

ﺹ ﻲِﺒﻨﻟﺍ ِﻦﻋ

.

.

ﹶﻝﺎﹶﻗ

:

ٍﻊﺑﺭﹶﺄِﻟ ﹸﺓﹶﺃﺮﻤﹾﻟﺍ ﺢﹶﻜﻨﺗ

:

ﺎﻬِﺒﺴﺤِﻟﻭ ﹶﺎِﳍﹶﺎِﳌ

ﺎﻬِﻨﻳِﺪِﻟﻭ ﺎﻬِﻟﺎﻤﺠِﻟﻭ

.

ﻙﺍﺪﻳ ﺖﺑِﺮﺗ ِﻦﻳﺪﻟﺍ ِﺕﺍﹶﺬِﺑ ﺮَﹶﻔﹾﻇﹶﺎﻓ

.

)

ﻢﻠﺴﳌﺍ ﻩﺍﻭﺭ

(

٦٦

Artinya: “Dari Abu Hurairah, Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Wanita itu dinikahi karena empat perkara; Harta, keturunan, rupa dan agama. Pilihlah wanita yang beragama. Mudah-mudahan kamu beruntung.” (HR. Muslim)

Jika keempat alasan tersebut semuanya ada pada seorang laki-laki, tentulah merupakan calon suami yang ideal. Seorang calon suami yang kaya raya, dari keturunan yang baik-baik atau keturunan bangsawan misalnya, wajahnya tampan dan

65 A.Zuhdi Muhdlor,

Memahami Hukum Perkawinan: Nikah, Talak, Cerai, dan Rujuk, Cet.ke-2, (Bandung: al-Bayan, 1995), h. 43

66

Muslim, Sahih Muslim (ttp, al-Qanāah, tt), I: 623, “ Kitab an-Nikah,” “Bāb Istihbāb an-

Nikāhi zāti ad-Dini.”


(54)

taat beribadah. Atau sebaliknya, seorang gadis yang kaya, keturunan orang baik-baik atau ningrat, cantik rupawan dan taat mengamalkan ajaran agama. Tentulah merupakan calon istri yang amat ideal. Akan tetapi, dari hadis tersebut juga kita bisa mengambil pelajaran dalam rangka memilih pasangan yang tepat, yaitu kita boleh memilih calon pasangan karena alasan apapun, tetapi tidak boleh lepas dari alasan agama.67

Biasanya konflik perbedaan yang terjadi dalam sebuah rumah tangga ada yang bisa terselesaikan dan antara suami-isteri rukun kembali. Namun, ada juga konflik-konflik yang terjadi dalam rumah tangga berlarut-larut bahkan menyentuh hal-hal yang prinsipil. Perbedaan sifat dan perilaku keduanya pun semakin terlihat jelas dan timpang. Suami-isteri saling acuh, karena sama-sama merasa paling benar dan tak ada yang mau mengalah sampai salah satu dari keduanya Nusyuz (durhaka) dan terjadi Syiqaq.

Nusyuz sendiri memiliki pengertian durhaka. yaitu jika suami-isteri meninggalkan kewajiban-keawjibannya.68 Nusyuz suami dapat terjadi ketika meninggalkan hak dan kewajibannya baik materi maupun non materi. Seperti materi yang bersifat nafkah lahir, sedangkan yang non materi diantaranya muasyarah bil ma’ruf atau menggauli isterinya dengan cara yang baik.

67

A. Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 1999), Cet IX, hlm. 18.

68

M. Abdul Mujib, Mabruri Tholhah, Syafi’ah A.M, Kamus Istilah Fikih, h.251


(1)

isteri memiliki sifat egois karena tidak ada satupun yang berusaha mencairkan keadaan dalam sebuah keluarga ketika masalah sedang mendera mereka.

3. Sedangkan yang melatarbelakangi pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Utara adalah pasal 39 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan beserta penjelasannya dan pasal 19 huruf F Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Juncto pasal 116 huruf F Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi bahwa “alasan perceraian antara suami isteri yaitu terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus.” Sedangkan penyebab pertengkaran tersebut karena perbedaan karakter suami isteri.

B. SARAN-SARAN

1. Perlunya sosialisasi oleh pihak-pihak terkait kepada masyarakat baik melalui media cetak atau elektronik berupa ceramah-ceramah keagamaan, Khatib jum’at, seminar-seminar dan lain sebagainya dengan menekankan bahwa pada dasarnya tujuan perkawinan bukanlah hanya untuk sekedar pemenuhan nafsu biologis dan tujuan sesaat semata namun juga bernilai ibadah kepada Allah SWT.

2. Menekankan kepada masyarakat pengetahuan tentang perceraian. Bahwa perceraian adalah hal yang dibenci Allah SWT dan sebagai solusi terakhir apabila


(2)

tidak ada lagi jalan untuk menyelesaikan perkara yang terjadi dalam sebuah rumah tangga.

3. Perlunya penekanan pembelajaran tentang akhlak sedini mungkin, baik sejak duduk bangku Sekolah Dasar (SD), SLTP maupun jenjang SMA. Agar sedini mungkin muslim Indonesia memahami adanya perbedaan dan persamaan diantara manusia (khususnya suami-isteri) baik yang berupa sifat maupun prilaku.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya, Departemen Agama RI

Abbas, Ahmad Sudirman. Pengantar Pernikahan: Analisa Perbandingan antar

Madzhab, Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, 2006.

Abdurrahman, Asjmuni, Qaidah-qaidah Fiqih, Jakarta: Bulan Bintang, 1976

Agustiani, Hendriati. Psikologi Perkembangan: Pendekatan Ekologi Kaitannya

dengan Konsep Diri dan Penyesuaian Diri pada Remaja. Bandung: PT Refika

Aditama, 2006.

Al-Bukhari, Sahih Bukhari Juz V, Darul Ihya Turosul al-A’roby, t.t

Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2006

Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam

di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002.

Al-Jamal, Ibrahim Muhammad. Fiqih Muslimah, Jakarta: Pustaka Amani,1999. Al-Mufarraj, Sulaiman. Bekal Pernikahan: Hukum, Tradisi, Hikmah, Kisah, Syair,

Wasiat, Kata Mutiara, (Jakarta: Qisthi Press, 2003)

Al-Kahalani, Sayyid Muhammad Ibn Ismail dan San’ani. Subulus Salam, Surabaya, Al-Hidayah, Juz 3.

Al-Sijistani Abu Daud. Sunan Abi Daud: Ili-Imam al-Hafiz Abi Daud, Amman: Dar al-‘Alam, 2003.

Al-Syatibi, Abu Ishaq Ibrahim, al-Muwafatqat fi Ushul al-Syari’ah, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th, Buku 1, Juz ke-2.

Al-Qaradhawi, DR. Yusuf. Kaifa Nata’ amalu Ma’a al-Qur’ani al-Azhim

Berinteraksi dengan Al-Qur’an, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani,

Jakarta: Gema Insani Press, 2000.


(4)

Assuyuti, Imam Jalaluddin Abdurrahman bin Abi baker. al-Jaami’us Shagir, Darul Qolam, 1996.

Basyir , A. Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press, 1999.

Bisri, Cik Hasan. Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan agama di Indonesia,

Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

____________ Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003. Al-Sijistani, Abu Daud. Sunan Abi Daud: Ili-Imam al-Hafiz Abi Daud, Amman: Dar

al-‘Alam, 2003

Darajat, Zakiyah. IlmuFiqih, Jakarta: Depag RI, 1989

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke III, Jakarta: Balai Pustaka, 2007.

Doi, A. Rahman I. Syariah The Islamic Law; Karakteristik Hukum Islam dan

Perkawinan, penerjemah, Zaimudin dan Rusydi Sulaiman. Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada,1996.

Djalil, Basiq, Tebaran Pemikiran Keislaman di Tanah Gayo, Jakarta: Qalbun Salim, 2007.

__________, Perkawinan Lintas Agama: Dalam Perspektif dan Kompilasi Hukum

Islam, Jakarta: QALBUN SALIM, 2005.

Djamil , H. Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam,Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Dr. Wahbah. Al-Fiqhu al-Isamiy wa Adillatuhu, Beirut: Darul Fikr.

Esposito, L. John. Islam Warna-warni: Ragam Ekspresi menuju “Jalan

Lurus”(al-Shirat al-Mustaqim), Penerjemah Arif Maftuhin, Jakarta: Paramadina, 2004.

Kauma, Fuad. Membimbing Istri Mendampingi Suami,Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003.

Gozaly, Rahman, Abdul, H. Drs. Fiqih Munakahat, Jakarta: PT. Kencana, 2003. Gultom, Elfrida R. Hukum Perdata, Jakarta: Literata, 2010.


(5)

Hejazziey. Djawahir. Buku Pedoman Penulisan Skripsi, Jakarta: Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta (UIN) Syarif Hidayatullah, 2007 Mahfud, Moh. Spiritualitas Al-Qur’an dalam Membangun Kearifa Umat,Yogyakarta:

UII Press, 1997.

Muhdlor, A.Zuhdi. Memahami Hukum Perkawinan: Nikah, Talak, Cerai, danRujuk, Bandung: al-Bayan, 1995.

Mujib, M.Abdul. Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994.

Mulyati, Sri. ed. Relasi Suami Isteri dalam Islam, .Jakarta: PSW UIN Syarif Hidayatullah, 2004.

Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif, 2002.

Nakamura, Hisako. Perceraian Orang Jawa, Studi tentang Pemutusan Perkawinan di

kalangan Orang Islam Jawa. Penerjemah. H. Zaini Ahmad Noeh,

Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991.

Prakoso, Djoko. Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Bina Aksara,1987.

Rahman, Bakri A. Hukum Perkawinan menurut Islam, Undang-undang Perkawinan

dan Hukum Perdata B/W, Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1981.

Rahman , Fazlur. Islam penerjemah Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, 2003. A. Rasyid, Roihan. Hukum Acara peradilan Agama, Jakarta: Rajawali Pers, 1991

Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003. Said, Fuad. Perceraian Menurut Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1994. Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Juz. 2, Kairo: Al-Fathu I’lami Al-Araby, 1990. Shomad, Abd. Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia,

Jakarta: Kencana, 2010.


(6)

________________. Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Pemerintah

tentang Badan-badan Peradilan di Indonesia, Jakarta: Pustaka Ghalia, 1989.

Subekti. Kamus Hukum, Jakarta: Paradya Paramita, 1982.

Supratiknya ,ed. Psikologi Kepribadian III Teori Sifat dan Behavioristik, Yogyakarta: Kanisius, 1993.

Taher, Tarmizi. Menuju Ummatan Wasathan: Kerukunan Beragama di Indonesia,

Jakarta: PPIM,1998.

Usman, Rachmadi. Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,

Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

Winardi, J. Motivasi dan Pemotivasian dalam Manajemen, Jakarta: Rajwali Pers, 2008.

Zuhdi, Masjfuk. Studi Islam Jilid 3: Muamalah, Jakarta: RajaGrafindo, 1993.

Perundang-undangan dan Internet:

1. Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

2. Undang-undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Undang-Undang No.3 Tahun 2003 tentang perubahan UUPA

3. Wawancara Pribadi dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Utara, Sarbiati. Jakarta, 4 April 2011, jam 13.30 WIB

4. http://www.pa-jakartautara.go.id/wilayah-hukum.html, diakses pada kamis, 17 maret 2011 pukul 20.53 wib

5. Http://Niahidayati.Net/Memahami-Dan-Menyikapi-Perbedaan-Dengan Pengertian.Html, diakses pada Jum’at 25 April 2011, pukul 16.57 WIB