Sanksi-sanksi terhadap tindak pidana prostitusi

68 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah penulis menguraikan masalah fenomena prostitusi di cileungsi kajian sosiologi hukum serta tindak pidana dan sanksi-sanksi baik dari KUHP, Undang- Undang Pornografi, dan Perda Kota Bogor. Maka penulis dapat mengemukakan kesimpulan sebagai berikut: 1. Fenomena prostitusi di wilayah Limus Nunggal adalah termasuk salah satu tempat lokalisasi terbesar dibandingkan wilayah Parung, Puncak serta wilayah- wilayah lain di Kota Bogor, prostitusi di wilayah Limus Nunggal berkembang sangat cepat dikarenakan kurang represifnya Pemerintah Kota Bogor dalam menangani masalah prostitusi di wilayah Limus Nunggal, serta kurangnya tata nilai kesusilaan dan pemahaman agama yang ada di masyarakat yang menganggap prostitusi adalah hal yang biasa saja dalam masyarakat Limus Nunggal. Sehingga masih banyak masyarakat sekitar dan masyarakat dari luar wilayah Limus Nunggal yang menjadikan tempat prostitusi Limus Nunggal ini untuk mengais rejaki dari tempat haram tersebut. Jumlah unit bangunan pun terbilang sangat luar biasa lebih dari 250 unit bangunan berdiri dengan kokohnya walaupun banyak upaya-upaya Pemerintah Kota Bogor melakukan penertiban, baik secara razia yustisi sampai penghancuran unit 69 bangunan, namun tetap saja lokalisasi tersebut masih melakukan aktifitasnya dengan leluasa. Prostitusi di wilayah Limus Nunggal didukung dari letak wilayah yang berbatasan antara Kota Bekasi dan Kota Bogor tepatnya di jalan raya narogong dari batas pangkalan sepuluh sampai pangkalan dua belas. Peranan Pemerintah Kota Bogor, masyarakat dan para ulama tidak membuat efek jera kepada para pengelola usaha haram tersebut mengingat masih banyaknya permainan politik transaksional yang di lakukan pihak pengelola lokalisasi dengan para instansi-instansi nakal yang mencari kesempatan dari adanya lokalisasi tersebut dengan jalan pemanfaatan jabatan yang dimiliki oleh para oknum instansi-instansi di Kota Bogor, sejumlah Peraturan Daerah telah di keluarkan oleh Pemerintah Kota Bogor namun peraturan tersebut hanya menjadi sebuah peraturan yang tidak digubris oleh para pengelola lokalisasi prostitusi di Limus Nunggal, termsasuk salah satu prostitusi yang menyimpan banyak oknum-oknum kepolisian dan instansi-instansi yang menjadikan tempat haram tersebut untuk dijadikan sebuah peluang usaha yang menjanjikan karena mengingat perputaran uang dalam lokalisasi di Llimus Nunggal mencapai puluhan juta rupiah setiap malamnya. Ketentuan pidana yang diatur di dalam pasal 296, 297 dan 506 KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu dapat diketahui apabila mereka menyediakan sarana tempat persetubuhan 296 KUHP , mereka yang mencarikan pelanggaran bagi pelacur 506 KUHP, dan mereka yang menjual perempuan dan laki-laki di bawah umur untuk di jadikan pelacur 297 KUHP. 70 Pelacuran merupakan masalah yang tidak hanya melibatkan pelacurnya saja, tetapi lebih dari itu yaitu merupakan suatu kegiatan yang melibatkan banyak orang seperti germo, para calo, serta konsumen-konsumen yang sebagian besar pelakunya merupakan laki-laki yang sering luput dari perhatian aparat penegak hukum. Di Indonesia pemerintah tidak secara tegas melarang adanya praktek-praktek pelacuran. Ketidak tegasan sikap pemerintah ini dapat dilihat pada Pasal296, yang bunyinya adalah sebagai berikut: “Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah”. Dan pasal 506 yang berbunyi: “Barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pelacur, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun” Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP yang dilarang dalam KUHP adalah mengeksploitir seksualitas orang lainbaik sebagai “pencaharian ataupun kebiasaan” pasal 296 KUHP atau „menarik keuntungan’ dari pelayanan seks komersial seorang perempuan dengan praktek germo pasal 506 KUHP. Pasal-pasal tersebut dalam KUHP hanya melarang mereka yang membantu dan menyediakan pelayanan seks secara illegal, artinya larangan hanya diberikan untuk mucikari atau germo, sedangkan pelacurnya sendiri sama sekali tidak ada pasal