Metodologi Muhammad Syahrur dalam Menganalisa Ayat Poligami

al-kitab, al- Qur‟an, al-Furqan, al-Dzikr, Umm al-kitab, al-Lauh al- Mahfudz, al-Iman al-Mubin, al-Hadits, dan ahsan al-Hadits. 3. Pada awal 1987 M, ia mulai intensif menyusun pemikirannya dalam topik-topik tertentu dan ia baru menyelesaikan bab pertama dari al-Kitab wa al- Qur‟an bersama Ja‟far Dak al-Bab. Buku ini sempurna pada tahun 1990. 76 Dasar-dasar metode yang digunakan oleh Syahrur merupakan kesimpulan dari metode linguistik Abd „ Ali al-Farisi, yang juga merupakan perpaduan antara teori Ibn Jinni dan al-Imam al-Jurjani, yang dikenal dengan manhaj al-tarikh al- „ilmi metode historis ilmiah. Prinsip metodologi Syahrur disimpulkan sebagai berikut: 1. Ada keterkaitan antara ucapan, pemikiran dan fungsi bahasa sebagai alat untuk menyampaikan gagasan. 2. Pemikiran manusia tidak tumbuh secara langsung dan sempurna, tetapi melalui perkembangan dari pengetahuan yang bersifat inderawi dan kemudian menjadi pengetahuan yang bersifat abstrak. 3. Mengingkari adanya taraduf sinonim, sebab masing-masing kata mempunyai makna sesuai dengan konteks ketika kata tersebut disampaikan. 76 Syahrur, al-kitab wal al- Qur‟an,h. 47. 4. Memahami dengan tartil. Artinya, untuk memaknai sebuah ayat atau teks, seseorang perlu melihat keterkaitan dan hubungannya dengan kata atau ayat lain. 77 Salah satu ide Syahrur yang gagasannnya cukup inovatif dan revolusioner adalah tawaran pemikirannya tentang ”teori batas” Nazariyyah al-hudud, limit yang membatasi keberlakukannya pada ayat-ayat muhkamat ayat-ayat hukum. Teori batas hududlimit dalam penetapan hukum Syahrur memandang adanya dua sifat pokok yang terdapat dalam al-Kitab yang mutlak harus dimengerti untuk memahami keistimewaan agama Islam, yakni Hanifiyah dan Istiqamah. Hanifiyah berarti kelengkungan, kecenderungan, dan pembelokan. Kata hanif juga digunakan al- Qur‟an untuk menggambarkan sifat alam, langit dan bumi yang lengkung fleksibel dan terus berubah QS. Al- An‟am6: 79. 78 Jadi, agama hanif, menurut Syahrur, adalah agama yang selaras dengan alam ini. Kelenturan dan perubahan tersebut dapat disaksikan dalam realitas 77 Anjar Nugroho, Teori Batas Muhammad Syahrur, diakses pada 02 Juni 2011 Dikutip dari http: opinikampus.wordpress.com20080115teori-batas-muhammad-syahrur-dalam soal-poligami 78 Menurut Syahrur, kata hanifan dalam ayat ini berposisi sebagai keterangan dari fatara yang berarti fitrah, yaitu hukum alam. Maka itu, hanifiyah dalam pandangan Syahrur adalah sifat dasar alam semesta beserta isinya. Syahrur, al-Kitab, h. 449 masyarakat yang senantiasa bergerak dalam wilayah tradisi sosial, seperti tuntutan perubahan dalam adat tertentu. Sementara istiqamah artinya sifat kelurusan atau mengikuti garis yang lurus, keberadaan garis lurus tak dapat dipisahkan dari hanifiyah. Istiqamah berposisi sebagai pengontrol dan mengendalikan perubahan dalam hanifiyah. 79 Islam cenderung selalu mengikuti kebutuhan masyarakat dengan menyesuakan tradisi masyarakat untuk mengontrol perubahan itu butuh istiqamah untuk mempertahankan aturan-aturan hukum Dengan dua sifat ini, hukum Islam akan selalu menemukan relevansinya di setiap ruang dan waktu, yang memberikan ruang yang luas bagi ijtihad hukum selama tetap berada di antara batas-batas yang lebih ditetapkan. Demikian menurut Syahrur. Setelah mengkaji ayat-ayat hukum dalam al- Qur‟an, ia menampilkan enam batas-batas hukum hudud yang berbeda satu sama lain. 80 1. ىن أا حلا ةل ح , yaitu ketentuan hukum yang memiliki batas bawah. Dalam kondisi apapun, tidak seorangpun diperbolehkan melanggar 79 Syahrur, al-kitab wa al- Qur‟an, h. 449-450. 80 Batas-batas hukum tersebut terletak pada Umm al-Kitab, tidak al- Qur‟an. Penjelasan panjang tentang batas hukum ini dapat dilihat dalam karyanya al-kitab wa al- Qur‟an: Qira‟ah Mu‟ashirah, h. 453-467. batasan ini meski didasarkan pada ijtihad. 81 Batas ini terdapat dalam surat al- Nisa‟4 ayat 23 tentang perempuan yang haram di nikahi. 2. ىلعأا حلا ةل ح , yaitu ketentuan hukum yang memiliki batas atas. Batasan ini terdapat pada ayat yang menjelaskan tentang hukum potong tangan bagi pencuri al- Ma‟idah2:38 dan hukuman mati bagi pembunuh QS. Al- Isra‟17:33. 3. عم ىلعأا حلا ةل ح و ىن أا حلا ةل ح , yaitu ketentuan hukum yang memiliki batas atas dan bawah ketika keduanya terjadi hubungan. dua batas yang berbeda di atas dan di bawah yang berarti tidak boleh menambah batas tertinggi dan tidak boleh mengurangi dari batas rendah. Batasan-batasan hukum ini mencakup masalah pembagian waris dalam surat an- Nisa‟4:11. Poligami an-Nisa‟4:3. 4. ة حاو ةطقن ىلع عم ىلعأا حلاو ىن أا حلا ةل ح batas bawah dan atas bersamaan dalam satu titik atau posisi lurus mustaqim. Posisi batas ini hanya berlaku pada kasus zina, yaitu batas hukum maksimal yang sekaligus berposisi sebagai batas minimal berupa seratus kali cambukan sebagaimana dalam firman Allah surah al-Nur24: 2. Menurut Syahrur, Allah menerapkan batasan maksimal dan minimal sekaligus, yaitu 81 Syahrur, al-kitab wa al- Qur‟an, h. 454. melakukan tindakan yang menjurus kepada hubungan kelamin, tetapi belum melakukannya, maka ia belum terjerumus pada zina. 82 5. ميقتس ل ر قم ط ىلعأا حلاو ىن أا حلا ةل ح , ketentuan yang memiliki batas bawah dan atas tetapi kedua batas tersebut tidak boleh disentuh, dengan menyntuhnya berarti telah terjatuh pada larangan Tuhan. Seorang laki- laki dan perempuan tidak boleh saling menyentuh batas bawah hingga hubungan yang hampir zina, jadi jika antara laki-laki dan perempuan melakuan perbuatan yang mendekati zina tetapi belum berzina maka keduanya belum terjatuh pada batas hudud Allah al-Isra17:32. 6. ل س ىن أا حلو جوم ىلعأا حلاو ىن أا حلا ةل ح posisi batas maksimal “positif” tidak boleh dilewati dan batas minimal “negatif” yang boleh dilewati. Batas ini berlaku pada hubungan peralihan kekayaan antar manusia. Dua batas ini terdiri dari batas maksimal yang tidak boleh dilanggar, yaitu riba‟, dan batas minimal yang terwujud dalam berbagai bentuk sedekah. Pada ataran aplikasi, batas maksimal positif berupa riba, batas netral berupa pinjaman tanpa bunga dan batas minimal negatif berupa zakat dan sedekah. 83 Melalui Teori al-Hudud, Syahrur mengelompokkan bahwa masalah poligami masuk pada teori hudud tahap ketiga, yaitu adanya batas bawah al- 82 Syahrur, al-kitab wa al- Qur‟an, h. 618. 83 Syahrur, al-kitab wa al- Qur‟an, h. 618. hadd al-adna dan batas atas al-hadd al- a‟la. Batas minimal dari sebuah pernikahan adalah seorang istri, dan batas maksimal empat orang istri. Dengan syarat istri kedua dan seterusnya harus janda yang memiliki anak yatim yang belum dewasa.

B. Analisis Terhadap Kerangka Berfikir Muhammad Syahrur Tentang

Poligami dalam Kajian Usul Fiqih Syahrur memahami bahwa ayat 3 dari surat an- Nisa‟ menceritakan tentang berbilang istri. Disana disyaratkan istri kedua harus janda yang memiliki anak yatim. Sedang pendapat sebagian ulama, bahwa “yatama an- Nisa” berartin”yatim perempuan‟ atau “perempuan-perempuan yatim”. 84 Syahrur kemudian berpendapat bahwa sesungguhnya Allah Swt tidak hanya sekedar memperbolehkan poligami, akan tetapi sangat menganjurkannya, namun dengan dua syarat yang harus terpenuhi: Pertama, bahwa istri kedua dan ketiga serta keempat adalah para janda yang memiliki anak yatim. Kedua, harus terdapat rasa khawatir tidak dapat berbuat adil terhadap anak yatim. Sehingga perintah poligami menjadi gugur ketika tidak adanya dua syarat di atas. Syahrur mengambil dua syarat tersebut berdasarkan “struktur kaidah bahasa” dalam firman Allah “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim, maka kawinilah perempuan- 84 Muhammad Syahrur, Iman dan Islam; Aturan-Aturan pokok, terjemahan dari al-Islam wa al- Iman; Manzumah al-Qiyam, Jendela: Yogyakarta, 2002, h. 88 perempuan yang kamu senangi dua, tiga atau empat.” Syahrur juga melihat bahwa betapa Allah memuliakan seorang janda dengan menggunakan kata- kata yang halus “مكل ط م” perempuan-perempuan yang kamu senangi. 85 Syahrur tidak sependapat jika dikatakan bahwa konsep adil dalam ayat ini dimaksudkan dalam hal hubungan suami istri senggama. Syahrur berpendapat bahwa konteks ayat ini berbicara tentang poligami dalam kaitannya dengan pemahaman sosial kemasyarakatan, bukan konsep biologis, dan berkisar pada masalah anak-anak yatim dan berbuat baik kepadanya serta berlaku adil. Syahrur juga tidak sepakat jika alasan ketiadaan keturunan mandul dan alasan besarnya syahwat biologis seorang lelaki mengijinkan untuk poligami, karena pada kenyataannya, antara laki-laki dan perempuan adalah sama. Begitu juga dengan alasan sakit dan lemahnya seorang istri karena sakit atau lemah secara fisik, bukan menjadi alasan bolehnya poligami. Dari uraian tersebut di atas, Syahrur berangkat dari analisis teks kebahasaan, berada dalam bingkai epistemologi bayani, yaitu sebuah episteme yang titik tolaknya berangkat dari teks nas. Dalam menerapkan metodologi tafsirnya, Syahrur selalu berangkat dari analisa teks terlebih dahulu. Ia mengurai dari aspek semantik, filsafat bahasanya, termasuk analisis sistematis-paradigmatis dan historisnya. 85 Syahrur, al-kitab wa al- Qur‟an, h. 599.