kemudian sejarah dan pembatasan yang dilakukan oleh Islam terhadap poligami.
G. Sistematika Penulisan
Sesuai dengan analisis yang dibahas, keseluruhan karya ilmiah ini terdiri dari lima bab. Tiap-tiap bab terdiri dari sub-sub dengan rincian sebagai
berikut : BAB 1,
Merupakan pendahuluan yang menjadi pengantar umum kepada isi tulisan dalam bab ini dikemukakan, latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian dan teknik penulisan,
tinjauan review kajian terdahulu, dan sistematika penulisan. BAB II,
Berisikan tinjauan umum mengenai poligami, dalam bab ini dibagi menjadi empat sub bab yakni : sub bab pertama
menguraikan pengertian poligami , sub bab kedua mengenai lintas historis poligami, sub ketiga menguraikan faktor-faktor
pendorong poligami, dan sub bab keempat menjelaskan poligami dalam pandangan hukum Islam.
BAB III, Menjelaskan biografi dan pandangan Muhammad Syahrur
tentang poligami, dalam bab ini dibagi menjadi dua sub bab yakni : sub bab pertama menguraikan riwayat hidup
Muhammad Syahrur dan Karya-karyanya, dan sub bab kedua
menjelaskan poligami menurut Muhammad Syahrur.
BAB IV, Menguraikan pemikiran Muhammad Syahrur tentang poligami
dalam hukum Islam, dalam bab ini dibagi menjadi dua sub bab yakni : sub bab pertama menjelaskan metodologi Muhammad
syahrur, dan sub bab kedua tentang analisis terhadap kerangka berfikir Muhammad Syahrur dalam pandangan hukum Islam.
BAB V,
Bab terakhir yang diberi judul penutup dalam bab kelima ini dibuat kesimpulan dan diberikan saran-saran.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG POLIGAMI
A. Pengertian Poligami dan Landasan Hukum
Secara etimologi, poligami berasal dari bahasa Yunani, kata ini merupakan penggalan dari dua kata yaitu poli atau polus yang artinya
“banyak” dan kata gamein atau gomos yang berarti “perkawinan”. Maka ketika kedua kata ini digabungkan akan berarti suatu perkawinan yang
banyak. Kalau dipahami dari definisi ini, dapat dikatakan bahwa poligami adalah perkawinan banyak, dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak terbatas.
12
Ada istilah lain yang maknanya mendekati makna poligami yaitu poligini yunani, kata ini berasal dari poli atau pol
us yang artinya “banyak” dan gini atau gene artinya istri, jadi poligini artinya beristri banyak.
13
Dalam Ensiklopedi Nasional, poligami diartikan suatu pranata perkawinan yang
memungkinkan terwujudnya keluarga yang suaminya memiliki lebih dari seorang istri atau istirnya memiliki lebih dari seorang suami.
14
12
Anik Farida, Menimbang Dalil Poligami: Antara Teks, Konteks, dan Praktek, Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2008. Cet. K-1, h. 15.
13
Badriyah Fahyimi, dkk., Isu-Isu Gender Dalam Islam, Jakarta: PSW UIN Syarif Hidayatullah, 2002, Cet. K-1, h. 40.
14
Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1990, h. 306.
Istilah yang lebih tepat sesungguhnya ialah “poligini”, yaitu seorang suami mempunyai dua atau lebih istri dalam waktu yang sama, sedangkan
“poligami” adalah untuk menyebut perkawinan lebih dari satu, baik laki-laki dan perempuan. Poligami bisa juga berarti “poliandri” yaitu seorang wanita
mempunyai suami dua atau lebih dalam waktu yang sama.
15
Istilah poligami sering dipakai untuk mengacu kepada poligini saja karena praktek ini lebih
sering di amalkan dari pada poliandri. Selanjutnya, dalam pembahasan ini penyusun menggunakan istilah poligami untuk menyebut seorang suami yang
memiliki lebih dari seorang istri. Pengertian poligami mengalami pergeseran dan penyempitan makna,
dan kemudian sering digunakan untuk menyebut suatu pranata perkawinan antara seorang suami dengan beberapa istri. Hal demikian terjadi karena
sistem patriarki yang selama ini dijalani oleh masyarakat, yang seakan-akan telah dibakukan dan diterima oleh hampir seluruh umat manusia. Hal itu juga
karena pada masa sekarang, praktek perkawinan yang masih dan banyak diterapkan oleh masyarakat adalah perkawinan monogami dan poligami.
Sementara poliandri, sangat jarang ditemukan dalam praktek perkawinan di masyarakat. Bahkan, dalam Islam tidak dibenarkan perempuan untuk
memiliki suami lebih dari seorang dengan alasan apapun. Istilah ini pula yang
15
Nasaruddin Umar, Fikih Wanita untuk Semua, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010, Cet. K-1, h. 93.