4. Pengaruh Iklan Televisi Terhadap Masyarakat
Iklan dan hubungan masyarakat, ciri-ciri utama, jumlahnya sangat besar dan secara jelas didorong oleh kepentingan pengirim, bukannya kepentingan
penerima. Meskipun iklan selalu direncanakan dengan sengaja, namun sasarannya bisa beraneka ragam. Kebanyakan iklan termasuk dalam klasifikasi model
‘pertunjuk-perhatian’ display-attention dan orientasi khalayaknya biasanya memiliki tingkat keterlibatan yang rendah.
70
Iklan adalah suatu unsur penting dalam budaya karena ia merefleksikan dan berusaha mengubah gaya hidup kita. Iklan bukan hanya menawarkan barang,
namun juga seksualitas, keindahan, kemudahan, kemodernan, kebahagian, kesuksesan, status, dan kemewahan, yang semuanya ini pada dasarnya sekedar
harapan, mimpi, atau khayalan.
Karena kaum pria masih diasosiasikan sebagai produsen, pembawa penghasilan, dan lebih sering berada di luar rumah, sementara kaum wanita
diasosiasikan sebagai pembelanja, konsumen, dan lebih sering tinggal dalam rumah, iklan-iklan yang ditayangkan lewat televisi swasta terutama ditunjukan
kepada kaum wanita.
Kita tidak mungkin menghilangkan pengaruh negatif iklan itu sama sekali. Apa yang dapat kita lakukan adalah memikirkan kembali prioritas-prioritas kita.
Kita harus secara sadar dan rasional mempertimbangkan, apakah kita betul-betul membutuhkan barang atau jasa yang diiklankan itu atau sekedar
70
Burhan Bungin, Imaji Media Massa, Yogyakarta: PT. Jendela, 2001, Cet ke-1, h. 264
menginginkannya. Sering kita ingin memperoleh suatu barang atau jasa bukan karena kita membutuhkannya, tetapi sekadar simbol status agar kita kelihatan
lebih keren di mata orang lain. Yang lebih hakiki lagi, apakah kita sebagai wanita bertujuan untuk menarik lawan jenis kita, atau adakah kecantikan yang lebih
berharga daripada itu, yang justru lebih penting dan harus kita pelihara.
71
Faktor kemajuan teknologi komunikasi dan informasi memang sangat berpengaruh terhadap perkembangan ponogarfi di seluruh dunia. Kemajuan
teknologi komunikasi dan informasi berwujud TV global, radio global, penyebaran VCD, laser disk dan kemudian jaringan internet sejabat yang sudah
memiliki sifat media massa cyberspace. Fenomena komunikasi sejagat itu dikenal pula dengan sebutan desa sejagat global village.
Sementara itu perkembangan komunikasi suatu bangsa sangat dipengarhi oleh kemajuan teknologi komunikasi dan informasi tersebut. Hal itu tampak pada
perilaku komunikasi sosial suatu bangsa, misalnya Indonesia. Dahulu pergaulan bebas antara perempuan dan laki-laki adalah tabu. Kemudian muncul pergerakan
politik emansipasi wanita woman’s lib. Lantas, pergaulan bebas tidak lagi dianggap tabu. Hingga tahun 1960-an sensor film masih agak ketat. Film-film
Indonesia masih mengharamkan cium-ciuman dan cara berpakaian yang “serba minim”.
Seiring dengan awal kehadiran gelombang ketiga dalam abad komunikasi umat manusia menurut Alfin Toffler dan Haedy Toffler, kebebasan perfilman dan
kebebasan media cetak terutama majalah-majalah hiburan mulai meningkat cukup
71
Deddy Mulyana – Idi Subandy Ibrahim, Bercinta dengan Televisi, h. 162-163
pesat. Kebebasan itu jelas berkorelasi dengan globalisasi komunikasi dan informasi Indonesia sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari negara-
negara lain yang sudah lama menghalalkan pornografi.
Sejak kira-kira tahun 1980-an hingga penghujung Gelombang Ketiga saat ini pornografi pun mulai berkembang cukup pesat di Indonesia terutama lewat
jaringan internet, laser disk dan VCD. Dalam bulan Juni 1999 tiba-tiba fenomena komunikasi haram itu seakan-akan melakukan unjuk keberanian lewat bebearapa
majalah hiburan dengan dalih “seni fotografi” sebagai alat penyamaran. Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang diikuti penyebaran pornografi ke
seluruh dunia ternyata tak mudah dielakkan oleh bangsa Indonesia.
Sementara itu pula, persaingan yang kian sengit di bidang media massa, berakibat munculnya penerbitan media cetak yang memuliakan sensasi untuk
bertahan hidup. Salah satu “sensasi” yang paling mampu memukau perhatian khalayak adalah pornografi.
Secara etimonologis asal kata ‘porno’ adalah porne Yunani Kuno, artinya wanita penghibur harlot. Sedang kata ‘grafi’ asal katanya garafos
Latin, artinya gambar. Dengan demikian pornografi berarti gambar perempuan penghibur yang sedang “berpose menghibur”. Menurut beberapa yurisprudensi
arti ponografi adalah semua gambar, tulisan, benda, gerak gerik tubuh manusia yang membangkitkan birahi orang-orang dewasa yang normal. Jika ditafsirkan
menurut bahasa komunikasi, ponografi berari semua jenis komunikasi penyampaian pesan antar manusia yang membangkitkan nafsu birahi orang
dewasa yang normal. Sedangkan menurut bunyi pasal 533 KUH-Pidana adalah
tulisan, benda atau gambar yang “mampu membangkitkan nafsu birahi pemuda”. Pembuat undang-undang hukum Pidana Hindia Belanda itu agaknya
mengesampingkan orang dewasa yang normal. Mesti UU Media Massa atau UU Pers baru memuat penjelasan rinci tentang difinisi pornografi agar tidak terjadi
kamuflase ponografi dengan memakai sebutan “seni fotografi”.
Masyarakat yang masih memuliakan nilai-nilai budaya tradisional dan nilai-nilai agama kini memperoleh tantangan baru akibat merebaknya pornografi.
Meningkatnya kepedulian terhadap pemberantasan ponografi adalah pilihan terbaik untuk penyelematan generasi muda dari kerusakan moral yang jusru
sedang dirusak oleh peredaran obat-obat terlarang. Bagaimana caranya mengaktifkan lembaga-lembaga pengawas media di samping lembaga-lembaga
agama, organisasi-organisasi mahasiswa dan lain-lain. Dalam UU media massa kelak perlu dibuat penjelasan rinci tentang arti pornografi meskipun sudah ada
yurispridensi mengenai pornografi. Hal itu perlu agar pemahaman masyarakat tentang arti pornografi tidak disesatkan oleh arti “seni fotografi”. Agar seni
fotografi tidak dijadikan alat kamuflase pornografi.
Di samping itu ada juga pendapat, bahwa soal kualitas moral itu soal “relatif” atau “khilafiah”. Meskipun agama sudah menentukan batas aurat wanita
tapi masih saja ada pendapat yang menganggap moral itu soal relatif. Mana yang disebut bermoral, mana yang tidak, tergantung dari sudut mana orang menilainya.
Jadi masyarakat bisa disesatkan oleh “khilafiah” mengenai kualitas moral. sumber: Harian Pedoman Rakyat.
72
Dahulu pemakaian seksual yang eksplisit tidak pernah terpikirkan, namun sekarang ini merupakan bagian dari pemandangan di periklanan. Apakah dan
dalam kondisi bagaimana periklanan menjadi efektif, tetap merupakan isu yang belum diteliti. Kesulitannya adalah, pada kenyataannya daya tarik seksual dalam
periklanan ada dua bentuk: nuditas tubuh yang telanjang dan omongan yang tidak senonoh. Tidaklah pasti bentuk mana yang lebih efektif.
Sesungguhnya, daya tarik seksual mempunyai beberapa peran yang potensial. Pertama, materi seksual dalam periklanan bertindak sebagai daya tarik
untuk pengambilan perhatian yang juga mempertahankan perhatian etrsebut untuk waktu yang lebih lama, seringkali dengan mempertunjukkan model yang menarik
dalam pose yang merangsang, Ini disebut “peran kekuatan untuk menghentikan” dari seks. Agak diragukan bahwa iklan di majalah untuk iklan celana jeans
merupakan iklan yang banyak menarik perhatian.
Peran potensial kedua adalah untuk “meningkatan ingatan” terhadap pesan. Riset menunjukkan bahwa iklan yang berisi daya tarik seksual atau
simbolisme akan meningkatkan ingatan hanya apabila hal itu cocok dengan kategori produk sesuai dengan pelaksanaan kreatif iklan. Daya tarik seksual
mengahsilkan ingatan yang lebih baik bila pelaksanaan periklanan mempunyai hubungan yang tepat yang produk yang diiklankan.
72
Abdul. Muis, Komunikasi Islami, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001, Cet ke-1, h. 207-211
Peran ketiga yang dijalankan oleh isi seksual dalam periklanan adalah untuk membangkitkan tanggapan emosional seperti perasaan arousal
merangsang atau bahkan nafsu. Reaksi-reaksi ini dapat meningkatkan pengaruh persuasif iklan, dengan kebalikannya, bisa menimbulkan perasaan negatif seperti
rasa jijik, rasa malu, atau perasaan tidak senang. Apakah isu seksual menimbulkan reaksi positif dan negatif tergantung pada ketepatan atau relevansi isi seksualitas
pada materi yang diiklankan. Iklan yang berisi daya tarik seksual akan efektif bila hal ini relavan dengan pesan penjualan dalam iklan. Tetapi, bila digunakan dengan
benar, dapat menimbulkan perhatian, meningkatkan ingatan, dan menciptakan asosiasi yang menyenangkan dengan produk yang diiklankan.
73
Agar sebuah iklan komersial memiliki kemampuan mengkostruksi gender atau kelas sosial di masyarakat, maka lebih dulu produk itu dikonstruksi sebagai
barang yang mampu memberi konstribusi pembentukan kelas eksklusif di masyarakat. Karena itulah produk komersial tertentu harus dikonstruksi sebagai
bagian dari kelas atas atau kelas eksklusif. Penggunaan media televisi dalam konteks ini dilatar belakangi oleh maksud semacam itu. Selain karena televisi
memiliki kemampuan optimal untuk secara luas dan akurat mengkonstruksi image masyarakat, televisi juga menjadi bagian dari masyarakat, televisi juga menjadi
bagian dari masyarakat ekslusif, modern urbanis, dan kosmopolitan.
Televisi telah muncul sebagai fenomena perubahan sosial, yang banyak didominasi oleh ide-ide materi Marx. Ide-ide itu dituangkan ke dalam instrumen-
73
Terence a. Shimp, Perikalanan Promosi Dana Aspek Tambahan Komunikasi Pemasaran Terpadu, Cet ke-5, h. 480-483
instrumen kapitalis sehingga akhirnya perilaku masyarakat menjadi bagian dari masyarakat kapitalis yang konsumtif serta dari sistem produksi itu sendiri.
74
Sebagai media informasi, iklan menempatkan diri sebagai bagian penting dalam mata rantai kegiatan ekonomi kapitalis. Karenanya iklan selalu dilihat
sebagian bagian dari media kapitalis, dalam arti iklan adalah bagian tak terpisahkan dari rangkaian kegiatan perusahaan yang tidak lain adalah milik
kapitalis. Demikian pula kehadiran iklan semata-mata untuk menyampaikan pesan kapitalis.
Ketika televisi menjadi institusi kapitalis yang menjual jasa informasi, maka iklan televisi komersial adalah bagian produk dalam kategori komersial.
Iklan televisi adalah sumber pendapatan utama bagi sebuah perusahaan pertelevisian. Televisi menggantungkan hidupnya untuk mengait sebanyak-
banyaknya sumber dari periklanan atau cara yang dapat diiklankan. Sebaliknya, dunia periklanan melihat televisi adalah media yang paling ideal untuk
penyampaian ide-ide iklan karena televisi adalah media yang memiliki kemampuan maksimal. Televisi adalah media audio-visual yang murah dan
dimiliki secara umum atau mudah dijangkau oleh mayoritas masyarakat dari berbagai golongan. Dengan kata lain, televisi adalah media massa yang merakyat
dengan kemampuan publikasi yang maksinal sehingga televisi juga disebut sebagai saluran budaya massa.
74
Burhan Bungin, Imaji Media Massa, Yogyakarta: PT. Jendela, 2001, Cet ke-1, h. 25
Melihat dua sisi kebutuhan ini, maka periklanan dan pertelevisian adalah dua bidang yang sulit dipisahkan. Kedua bidang ini memiliki hubungan simbiosis
yang saling menguntungkan.
75
Di antara media informasi yang ada, televisi tampaknya adalah pihak yang paling banyak memproleh sorotan dan protes. Banyak alasan, mengapa televisi
menjadi bulan-bulanan agenda publik, khususnya yang menyangkut isi siaran. Sebab, pada bangsa-bangsa yang tengah berkembang, televisi dan radio
merupakan sumber informasi dan hiburan yang utama.
Isu tentang dampak siaran televisi swasta terus saja menggelinding. Agaknya, agenda ini sudah merupakan bagian dari kesadaran kolektif masyarakat,
pemerintah, termasuk kalangan media sendiri. Ini bisa dipahami, mengingat hingga sekarang UU tentang penyiaran masih saja belum tuntas. Padahal,
kehadirannya sudah semakin mendesak, mengingat gelombang protes masyarakat terhadap tayangan film-film televisi asing, juga akan mempengaruhi makin
tingginya tingkat kompetisi di bidang hiburan, pemberitaan, dan iklan.
Budaya televisi di Indonesia memang masih relatif baru. Berbagai ketegangan yang akan muncul ke depan tampaknya masih belum hendak berhenti.
Namun, kita optimis semua pihak tengah menuju proses pematangnya. Pemerintah, pihak penyelenggara siaran, dan pemirsa akan ditantang untuk
terwujudnya proyek besar demokratisasi dalam industri televisi ini, terutama bagi perwujudan sebuah televisi yang khas Indonesia
76
75
Burhan Bungin, Imaji Media Massa, Yogyakarta: PT. Jendela, 2001, Cet ke-1, h. 79
76
Deddy Mulyana – Idi Subandy Ibrahim, Bercinta dengan Televisi, h. 42-45
Ada beberapa sisi negatif yang ditimbulkan oleh tayangan iklan yang berlebihan, yaitu:
1 Konteks aqidah. Seperti kita ketahui bahwa pakar periklanan Indonesia
adalah murid kesayangan pakar periklanan Barat atau Eropa sehingga tidak heran banyak poin-poin etika periklanan tidak memotret kehidupan
dan budaya Indonesia akan dampak negatifnya. Karena itulah banyak kita temukan tanyangan iklan yang secara tidak langsung menjadi media
pendangkalan aqidah dan Islam anak-anak kita. Karena hampir semua iklan mutu produk makanan dan benda mati lainnya diilustrasikan dengan
keindahan tubuh telanjang wanita cantik dan istilah-istilah yang berbau pornografi.
2 Konteks akhlak. Secara langsung banyak tanyangan iklan yang
madlorotnya sisi negatifnya lebih besar ketimbang maslahatnya. Contoh paling gampang adalah iklan rokok yang bombastis di setiap sudut
kehidupan anak muda, resikonya banyak anak di bawah umur sudah menjadi perokok berat. Dan masih banyak iklan produk yang sasarannya
anak muda dan telah berhasil membentuk karakter dan prilaku tunas muda Indonesia modern yang tidak memiliki jati diri dan sepi dari nilai-nilai
ahlakulkarimah. Dan hal ini sudah banyak kita temukan bukti seorang anak bisa menjadi pembunuh atau pencuri hanya karena melihat
tanyangan iklanfilm yang membangkitkan amarah dan mendorong anak untuk berbuat nekat. Karena iklan sekarang bukan hanya di TV dan tepi
jalan saja, tapi telah masuk ke sekolah dan kamar rumah. Sungguh bahaya
3 Konteks sosial. Secara langsung banyak iklan yang sebenarnya dapat
membuat tatanan sosial menjadi bias dan rusak, seperti orang menjadi malas memperbaiki hidupannya dengan bekerja karena terbuai iklan.
Karena hampir semua sisi kehidupannya merasa sudah terselesaikan dengan konsep iklan yang begitu mudah dan ramah bukan? Mulai dari
persoalan yang ringan sampai yang berat sekalipun dapat diselesaikan setelah kita melihat iklan dalam waktu sekejap. Sehingga banyak orang
meganggap ringan dan mudah semua persoalan hidupnya, malas berusaha dan bekerja.
4 Konteks religuitas. Agama-pun bisa menjadi mangsa iklan. Berapa
banyak orang meninggalkan kewajibannya sebagai Muslim hanya karena tertarik melihat iklan yang menurutnya sangat menguntungkan dan
menjanjikan perbaikan hidup dan Negara? Bahkan lebih tragisnya banyak orang meninggalkan Sholat hanya karena mencari iklan lowongan kerja
yang belum tentu dapat atau cocok dan karena menanti atau menonton tayangan sepak bola dengan iklannya yang luar biasa?
77
Berbagai permasalahan muncul dalam citraan tentang media televisi. Televisi, misalnya, agak diabaikan peran strategisnya dalam membimbing dan
memimpin berkembangnya kualitas sumber daya manusia. Citra yang lebih menonjol adalah adanya pengeksploitasian, tercemin pada posisi masyarakat yang
lebih sebagai objek, dengan menafikan peran sertanya sebagai subjek. Perspektif ataupun dimensi atis tidak pernah menjadi unsur yang dipertimbangkan dalam
berbagai lini bisnisnya.
77
http:hidayatullah.com
Berbagai bentuk materi siaran, apalagi yang berjenis hiburan seperti sinetron, kuis, infortainment, atau reality show sering lepas dari norma-norma
kepatutan sebuah karya kreatif, yang semestinya juga harus bertanggung jawab pada tumbuhnya eksplorasi masyarakat.
Munculnya berbagai kritik dan keluhan sebagai masyarakat mengenai kualitas tayangan program televisi Indonesia menunjukkan hal itu dengan jelas.
Misal, banyak sinetron yang bukan saja rendah kualitas teknis dan penyampiannya, tetapi juga rendah dalam kualitas tematiknya, setting sosial, serta
miskin dalam pedalaman materi. Apalagi, rendahnya kreativitas pihak produsen itu bergabung dengan rendahnya sensabilitas pihak pengelolah televisi. Kedua hal
tersebut menjadi factor yang paling berpengaruh terhadap rendahnya kreativitas pekerja kreatif.
78
Membebaskan masyarakat dari tekanan total pasar karena karakter pasar global bisa sangat kasar dan tentu tidak berkeperimanusiaan. Kekerasan bukan
hanya bisa terjadi pada tayangan program cara televisi, melainkan juga dari materi-materi tayangan televisi yang penuh dengan cermin tipu daya memberikan
berbagai realitas simbolik yang mempesona.
Media televisi, dibandingkan media lainnya, mempunyai kekuatan luar biasa dalam melakukan produksi dan reproduksi citra. Seluruh isi media sebagai
realitas telah dikonstruksi. Media televisi pada dasarnya menyusun realitas hingga membentuk sebuah cerita baru. Dan keluarlah kemudian jargon, siapa yang
menguasai media maka menguasai dunia.
78
Sunardian Wirodono, Matikan TV-Mu, Cet ke-1, h. ix
Proses konstruksi citra ini berlangsung melalui suatu interaksi sosial yang dialektis. Ada tiga jenis realitas yang dimunculkan media, yakni realitas subjektif
subjective reality, realitas simbolik symbolic reality, dan realiatas objektif objective reality. Namun, realitas simbolik yang hampir menguasai model citra
adalah hal yang paling dominant dan memiliki kekuatan media yang terbesar. Iklan–iklan yang ditayangkan di media memanfaatkan kekuatan ini.
Jika perilaku industri periklanan juga tidak mendapatkan pengawasan yang memadai maka ia akan punya potensi menjalin persekongkolan diam-diam dengan
media. Iklan yang dibuat kemudian bukan hanya untuk membujuk, melainkan memang menyesatkan masyarakat. Awalnya konsumen hanyalah objek penderita
bagi sebuah iklan. Selanjutnya, ia akan berperan aktif menentukan keberpihakannya pada dogma iklan tertentu. Sejak itulah, inisiatif kritis semata-
mata akan tergantung pada pemberi intruksi. Daya kritis konsumen pada akhirnya akan hilang karena akumulasi teror teks, warna, dan foto, yang semuanya di
konstruksikan untuk memberikan efek instruktif. Kerjasama media televisi dan media periklanan mempunyai peran yang sangat besar bagi tumbuhnya
masyarakat.
79
Di sisi lain ketika penemuan teknologi informasi berkembang dalam skala massal, maka teknologi itu telah berubah bentuk masyarakat, dari masyarakat
dunia lokal menjadi masyarakat global. Sebuah dunia yang sangat transparan terhadap perkembangan informasi, transportasi serta teknologi yang begitu cepat
dan begitu besar mempengaruhi peradaban umat manusia, sehingga dunia dijuluki
79
Sunardian Wirodono, Matikan TV-Mu, Cet ke-1, h. 104-106
sebagai the big village, yaitu sebuah desa yang besar, dimana masyarakat saling kenal dan saling menyapa satu dengan yang lainnya.
Masyarakat global itu juga dimaksud sebagai sebuah kehidupan yang memungkinkan komunitas manusia menghasilkan budaya-budaya bersama,
menghasilkan produk-produk industri bersama, menciptakan pasar bersama, memelihara keamanan bersama, menciptakan mata uang bersama, melakukan
pertahanan militer bersama dan bahkan menciptakan peperangan dalam skala global di semua lini.
80
Syarat pertama sebuah iklan adalah ngapusi alias menipu, begitu petuah Emha Ainun Nadjib, Kini ribuan iklan prodk barang dan jasa begitu hegemonis, di
alam sadar masyarakat konsumen. Begitu dominannya iklan di semua lini hingga nyaris tidak tersisa ribuan ruang bagi konsumen untuk melihat secara cerdas
terhadap iklna tersebut, dari sisi persuasi, apalagi subtansi. Data milik AC Nielsen Media Research menyebutkan, pada 2007, tiga jenis iklan yang royal mengerojok
konsumen adalah iklan produk seluler lebih dari Rp. 2 triliun, iklan sepeda motor Rp. 1,9 triliun, dan iklan rokok Rp. 1,6 triliun.
Selain iklan sepeda motor dan iklan rokok yang sarat dengan masalah, kini yang sedang menjadai sorotan publik adalah iklan tarif telepon seluler. Pasalnya,
manakalah tingkat kegandrungan masyarakat terhadap dunia komunikasi seluler begitu tinggi, operator seluler jusru menyerimpung konsumen dengan iklan dan
promosi yang tidak mencerdaskan membodohi, bahkan ngapusi. Bagaimana tidak membodohi plus ngapulasi jika semua operator seluler meklaim tarifnya
paling murah atau paling hemat.
80
Burhan Bungin, PORNOMEDIA, Cet ke-1, h. xiii
Anehnya, pemerintah belumtidak melakukan langkah konkreat untuk menertibkan fenomena “perang” iklan tarif seluler ini. Pemerintah via Direktur
Jenderal Pos dan Telekomunikasi hanya berceloteh bahwa pihaknya akan membuat kode etik iklan tariff seluler. Kelihatannya sebuah celotah manias
solutif: membuat kode etik Padahal, jika miste Dirjen Postel ini paham terhadap regulasi yang ada, kode etik yang diusulkan sudah basi alias tidak berlaku lagi.
Mengapa? Pertama, Dewan Periklanan Indonesia relah membuat buku panduan yang
bertajuk Etika Pariwara Indonesia Tata Krama dan tata cara Periklanan Inonesia, yang amat komprehensif. Buku panduan ini merupakan “kitab suci” bagi sektor
periklanan, termasuk iklan seluler. Dari sisi bahasa, Tata Krama Periklanan ini menandaskan bahwa iklan tidak boleh menggunakan kata-kata superlatif, seperti
“paling”, “nomor satu”, “top” atau kata-kata berawalan “ter”, dan atau yang bermakna sama, tanpa secara khas menjelaskan keunggulan tersebut yang ahrus
dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari otoritas terkait atau sumber yang otentik.
Kedua, relevan dengan masalah kode etik tersebut, secara tegas UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen UUPK tegas menyebutkan bahwa
pelaku usaha periklanan dilarang menggunakan kata-kata yang berlebihan Pasal 9 Ayat 1. UUPK juga menggariskan bahwa pelaku usaha dilarang menawarkan,
mempromosikan, atau mengiklankan sautu barang dengan hara atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud
melaksanakan sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan Pasal 11. Sanksi terhadap pelanggaran tersebut bukan hanya
perdata, tapi juga pidana, meliputi pidana denda Rp. 500 Juta hingga Rp. 2 Miliar, dan atau pidana penjara dua sampai lima tahun.
81
Salah satu sumber acuan nilai dalam iklan televisi adalah masyarakatnya. Sebagaimana diketahui, setiap masyarakat memiliki nilai acuan yang mengatur
perilaku warganya. Bagi masyarakat Indonesia, terutama masyarakat kelas menengah di perkotaan, nilai acuan yang lebih dominan mempengaruhi
masyarakat, bersumber dari perubahan-perubahan sosial yang terjadi di masyarakat sedang berkembang, khususnya kelas menengah identik dengan
gagasan modern. Gagasan Kemodernan itu identik dengan kebaratan, artinya selama perubahan itu datangnya dari Barat, maka perubahan itu diterima karena
dianggap modern.
Ketika sebuah iklan ditayangkan, maka harapan terbesar dari penciptaan iklan atau produsen pemilik produk yang diiklankan itu, agar pemirsa atau
konsumen memperoleh acuan dari nilai dan citra produk yang ada dalam iklan itu. Iklan televisi sebagai produk masyarakat dieksternalisasikan oleh pemirsa ke
dalam dunia sosiokultural. Eksternalisasi itu terjadi secara dini karena adanya kedekatan antara televisi dan pemirsanya. Dapat dipastikan, setiap orang dari
kelas menengah menikmati televisi setiap saat, karena umumnya dalam rumah keluarga modern, justru individu semakin menggantungkan dirinya terhadap
televisi sebagai sumber informasi, hiburan dan sebagainya.
Dengan demikian iklan televisi begitu penting dalam kehidupan sosiokultural pemirsa, karena tanpa disadari pemirsa berupaya menyesuaikan
81
Tulus Abadi, Anggota Penggurus Harian Yayasan lembaga Konsumen Indonesia, Koran Tempo, Kamis, 17 April 2008, Edisi No. 2454 Tahun VIII, h. A10
dirinya dengan apa yang dilihatnya pada iklan televisi, sehingga iklan televisi berfungsi sebagai acuan-acuan nilai pemirsa televisi.
82
C. Perempuan 1. Perempuan di Media Massa