inilah yang melanjutkan proses berikutnya. Setelah komunikan mengolah dan menerimanya, maka terjadilah kesediaan untuk mengubah sikap.
49
Teori S-O-R adalah salah satu aliran yang mewarnai teori-teori yang terdapat dalam komunikasi massa. Aliran ini beranggapan bahwa media massa
memiliki efek langsung yang dapat mempengaruhi individu sebagai audience penonton atau pendengar
50
Prinsip stimulus respon pada dasarnya merupakan suatu prinsip belajar yang sederhana, di mana efek merupakan reaksi terhadap stimulti tertentu.
Dengan demikian seseorang dapat mengharapkan atau memperkirakan suatu kaitan erat antara pesan-pesan media dan reaksi audience. Elemen-elemen utama
dari teori ini adalah pesan stimulus, seorang penerimareceiver organisme, dan efek respon
51
B. Televisi, Iklan dan Masyarakat
1. Hubungan Televisi Dengan Masyarakat
Sejarah televisi belum terlalu lama di dunia. Demonstrasi pertama siaran televisi dilakukan di Amerika Serikat dan Inggris 70 tahun lalu. Dengan berbagai
percobaan, siaran komersial televisi berkembang setelah Perang Dunia II. Di negara kita, televisi diperkenalkan tahun 1962. masuknya televisi ke Indonesia
tepatnya ke Jakarta pada waktu itu berhubungan erat dengan peristiwa olah raga Asia ke-4 The 4th Asian Games di mana Indonesia mendapat giliran menjadi
tuan rumah. Peresmian televisi bersama dengan dibukanya peristiwa olahraga itu
49
Onong Uchana Effendi, Ilmu, Teori, dan Fisafat Komunikasi, Bandung: PT. Citra Adytia Bakti, 2003, Cet ke-3, h. 254-256
50
S. Djuarsa Sendjaja, Teori Komunikasi, Cet ke-9, h. 520
51
Ibiid., h. 514
oleh Presiden Soekarno tanggal 24 Agustus 1962. Tujuan utama pengadaan televisi ialah untuk kegiatan kejuaraan dan pertandingan selama pesta olah raga
berlangsung.
52
Usulan untuk memperkenalkan televisi muncul jauh di tahun 1953, dari sebuah bagian di Departemen Penerangan, didorong oleh perusahaan-perusahan
AS, Inggris, Jerman, Jepang, yang berlomba-lomba menjual hardwarenya. Menjelang Asian Games ke-4 di Jakarta pada 1962, Soekarno dan Kabinet
akhirnya yakin akan perlunya televisi, dengan alasan reputasi internasional Indonesia tergantung pada Pekan Olahraga yang disiarkan, terutama ke Jepang
yang telah memiliki televisi sejak awal 1950-an. Pemerintah Indonesia memutuskan untuk memasukkan proyek media
massa televisi ke dalam proyek pembangunan Asia Games IV di bawah koordinasi urusan proyek Asean Games IV. Tanggal 25 Juli 1961, Menteri
Penerangan mengeluarkan SK Menpen No. 20SKM1961 tentang pembentukan Panitia Persiapan Televisi P2T. Satu tahun sebelum SK Menpen tersebut,
sebenarnya telah ada ketetapan MPRS No.IIMPRS1960, yang dalam Bab I lampiran A dinyatakan pentingnya pembangunan siaran televisi untuk
kepentingan pendidikan nasional Dirjen RTF, 1995:88 Pada 32 Oktober 1961, Presiden Soekarno yang sedang berada di Wina
mengirimkan teleks kepada Menpen Maladi untuk segera menyiapkan proyek televisi saat itu waktu persiapan hanya tinggal 10 bulan dengan agenda utama:
1 membangun studio di eks AKPEN di Senayan TVRI sekarang; 2
52
Wawan Kuswandi, Komunikasi Massa: Sebuah Analisis Isi Media Televisi, h. vi
membangun dua pemancar; 100 watt dan Kw dengan towewr 80 meter; dan 3 mempersiapkan software program serta tenaga.
53
Televisi adalah salah satu media komunikasi massa, yang semakin memanjakan khalayak, karena televisi memiliki sifat audiovisual. Banyak yang
mengatakan media televisi sebagai salah satu pioneer dalam penyebaran informasi dan dengan menggunakan perangkat satelit, kini menjadi media informasi yang
terus berkembang pesat.
54
Perkembangan pesat komunikasi massa dewasa ini dikarenakan bergantungnya manusia dengan keberadaan media massa.
Televisi adalah generasi baru media elektronik yang dapat menyampaikan pesan-pesan audio dan visual secara serentak. Pesan visual yang disampaikan
televisi dapat berupa gambar diam ataupun gambar hidup. Yang terakhir ini, bila disajikan secara kreatif dalam tata warna yang tepat, dan diiringi oleh pesan aural
yang sesuai, akan dapat menyuguhkan realita yang ada. Oleh karena itu, televisi berhasil memikat lebih banyak khalayak daripada media massa lainnya.
Televisi memiliki beberapa sifat yang sama dengan radio. Pertama, televisi dapat mencapai khalayak yang besar sekali, dan mereka itu, tetap dapat
mengambil manfaat, sekalipun tidak bisa membaca. Kedua, televisi dapat dipakai untuk mengajarkan banyak subjek dengan baik. Akan tetapi, pengajaran itu akan
lebih efektif bila diikuti dengan diskusi dan aktivitas lain. Ketiga, Televisi, sama seperti radio, dapat bersifat otoritatif dan bersahabat.
Seperti media massa lainnya, televisi dapat dipakai untuk memberi tahu rakyat tentang berbagai hal yang menyangkut pembangunan nasional, membantu
53
Muhamad Mufid, Komunikasi Dan Regulasi Penyiaran, Jakarta: PT. Prenada Media, 2005, Cet ke-1, h. 47-48
54
Wawan Kuswandi, Komunikasi Massa: Sebuah Analisis Isi Media Televisi, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996, h. x
rakyat berpartisipasi dalam pembuatan keputusan, dan mendidik rakyat agar memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan dalam pembangunan
sosial maupun ekonomi.
55
Seiring perkembangan zaman, televisi bukan lagi sebagai ajang pendidikan dan dakwah. Akan tetapi, lebih banyak mempertontonkan tayangan yang
mengumbar nafsu. Banyak tayangan yang tidak lagi mencerminkan jati diri bangsa dan adat ketimuran yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral. Satu misal
adegan film dengan menampilkan adegan kasar beringas atau sinetron dengan halusinasi berlebih yang membuat masyarakat kita menjadi pengkhayal ulung.
Ditambah dengan pose telanjang dan adegan panas yang bikin jantung deg-degan serta seabrek acara vulgar lainnya.
56
Sebagai primadona media, televisi memberikan imbas media yang luar biasa bagi kehidupan masyarakat. Bahkan kehadirannya yang masif, dengan
berbau kapitalistiknya yang kental, langsung tidak langsung berpengaruh pada perilaku dan pola pikir masyarakat Indonesia. Apalagi dalam deretan media
informasi, media ini memiliki daya penetrasi jauh lebih besar daripada media lain. Tanpa kemampuan untuk mengambil jarak bagi munculnya sifat kritis,
televisi memiliki kemampuan untuk membius, membohongi, dan melarikan masyarakat pemirsanya dari kenyataan-kenyataan kehidupan sekelilingnya.
Televisi memiliki kemampuan manipulatif untuk menghibur, jauh dibanding media-media lainnya. Apalagi, jika media televisi tersebut dibangun dan
55
Amri Jahi, Komunikasi Massa dan Pebangunan Perdesaan Di Negara-negara Dunia Ketiga: Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Gramedia, 1988, h. 140
56
www. faqih Zamanih.net
ditumbuhkan oleh orientasi laba secara ekonomi, tanpa regulasi yang jelas, serta tanpa lembaga kontrol yang memadai.
57
Media massa sering dituduh sebagai mesin yang memproduksi budaya popular, konsumerisme, hidup mudah dan mewah tanpa memandang realitas
kultural dan ekonomi yang masih terbelakang. Hal ini tidak saja pada porsi iklan yang menjanjikan dan menjual mimpi, tetapi juga menu yang disajikan oleh
stasiun-stasiun TV, utamanya TV swasta nasional, meskipun menarik dan agaknya cukup bagi kita menikmati acara-acara yang bagus dan lengkap, seperti
mempresentasikan berbagai problem sosial, politik, ekonomi, dan hiburan lewat kaca yang memang sangat dibutuhkan oleh masyarakat luas.
Melihat tayangan – tayangan iklan di TV, cenderung memanipulasi seks sebagai suatu daya tarik. Padahal, kita sebetulnya bisa membuat iklan–iklan TV
yang tetap menarik tanpa memanipulasi seks. Coba saja lihat dalam iklan apa pun.,unsur seksnya selalu ada. Bahkan terkadang sangat tidak relevan dengan
iklan yang disampaikan. Karena seks terlalu di obral secara murahan, beberapa pelanggaran seks nantinya akan di anggap sangat lumrah dan wajar. Jadi, akan
terjadi suatu proses untuk melumrahkan seks. Di sini kemudian ada faktor peranan para pemasang iklan. Repotnya, iklan
adalah jantungnya TV. TV itu tidak bisa hidup tanpa iklan. Karena itu, iklan secara tidak langsung mempengaruhi jenis program yng akan ditayangkan.
Mereka baru mensponsori suau program, apabila program itu mereka asumsikan menarik. Mungkin banyak yang beranggapan, program-program yang bersifat
57
Sunardian Wirodono, Matikan TV-Mu, Cet ke-1, h.viii-ix
edukatif tidak banyak menyaring iklan karena tidak akan banyak menjaring penonton.
58
Iklan adalah berita pesanan untuk mendorong, membujuk kepada khalayak ramai tentang benda dan jasa yang ditawarkan. Atau juga dapat
bermakna sebagai pemberitahuan kepada khalayak ramai mengenai barang dan jasa yang dijual dipasang di dalam media massa, seperti surat kabar dan majalah.
Iklan adalah penyampaian pesan untuk mempersuasi khalayak sasaran tertentu.
59
Pada mulanya iklan televisi merupakan subkajian studi masyarakat dan komunikasi massa, kemudian bersentuhan dengan studi media massa dan
sosiologi media serta konstruksi sosial. Di saat iklan memasuki era iklan televisi, pesan-pesan iklan menjadi semakin hidup, bergairah, dan memenuhi sasaran
secara lebih efektif bila dibandingkan dengan iklan melalui medium lainnya. Sebagaimana diketahui, iklan televisi adalah wacana publik dalam ruang
sosiologis yang telah menghidupkan diskusi-diskusi tanpa henti di kalangan anggota masyarakat. Sekilas wacana iklan televisi ini menunjukkan adanya
kekuatan media khususnya televisi dalam mengkonstruksi realitas sosial di masyarakat.
Iklan televisi adalah sebuah aktivitas di dalam dunia komunikasi, karenanya cara kerja iklan juga menggunakan prinsip komunikasi. Iklan televisi
adalah media untuk mengkomunikasikan individu masyarakat pemirsa dengan materi produk yang diiklankan. Dan untuk membangkitkan citra produk yang
diiklankan, maka digunakan simbol-simbol untuk membangunkan citra, maka digunakan simbol-simbol untuk membangun citra, makna serta kesadaran
58
Deddy Mulyana – Idi Subandy Ibrahim, Bercinta dengan Televisi, h. 228-232
59
Kasiyan, Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan dalam Iklan Yogyakarta: PT. Ombak, 2008, Cet ke-1, h.xviii
terhadap sebuah realitas sosial. Simbol-simbol yang dimaksud adalah simbol- simbol yang menjadi acuan di masyarakat atau dengan kata lain adalah simbol-
simbol yang dimodernkan oleh masyarakat. Dengan realitas sosial iklan televisi, penciptaan realitas dilakukan
bersama-sama antara pencipta iklan dan media televisi. Dengan kata lain individu tidak sendirian menciptakan realitas, namun penciptaaan itu dibantu oleh
kekuaatan media, bahkan tanpa media televisi sekalipun realitas itu tidak ada. Dengan demikian, realitas iklan televisi hanya ada dalam media televisi, baru
kemudian terjadi proses decoding dan recoding oleh pemirsa saat dan setelah ia menonton televisi. Proses ini berlangsung di dalam kognisi pemirsa dan
membentuk theater of mind di dalam pikiran mereka.
60
Iklan memang tidak berusaha meningkatkan kualitas individu atau masyarakat, karena iklan hanya menonjolkan nilai-nilai matererial. Meskipun
pengaruhnya tidak kalah dari institusi-institusi lainnya, iklan tidak punya tujuan maupun tanggung jawab sosial. Di sinilah iklan sering dikritik. Disamping itu,
iklan juga tidak selamnya peduli terhadap soal benar atau salah. Iklan hanya berurusan dengan soal bagaimana mempengaruhi nilai-nilai perilaku orang-orang
sebagai konsumen, serta mendorong mereka untuk melakukan konsumsi.
61
Televisi dan Ideologi Budaya Massa
Budaya massa ini merupakan suatu fenomena kultur yang tak terpisahkan dengan masyarakat urban perkotaan yang pada dewasa ini berkembang pesat dan
60
Burhan Bungin, Imaji Media Massa, Yogyakarta: PT. Jendela, 2001, Cet ke-1, h. 39- 42
61
Rivers, L. William – Jay W. Jensen, Media Massa dan Masyarakat Modern, Jakarta: PT. Prenada Media, 2004, Cet Ke-2, h. 339-340
penuh dengan nuansa kontroversi. Budaya ini pun mempunyai kaitan yang tak terpisahkan dengan industrisasi, urbanisasi, komunikasi massa. Sedemikian erat
hubungan antara komponen tersebut sehingga sulit budaya massa tumbuh dalam suatu masyarakat yang tidak didukung oleh komponen-komponen.
Jary dan Jary dalam Collins Distionary of Sociology 1991, memberi batasan bahwa budaya massa massa culture adalah produk-produk budaya yang
relatif terstandarisasi dan homogen, baik berupa barang-barang maupun jasa, dan pengalaman-pengalaman kultural, yang berasosiasi kepadanya, yang dirancang
untuk merangsang kelompok terbesar dari populasi masyarakat.
62
Perkembangan komunikasi massa media TV cukup membawa pengaruh besar dalam kehidupan sistem komunikasi massa internasional, khususnya
terhadap sistem komunikasi massa media cetak dan elektronik. Tanpa kendali kultural dan spiritual, kita boleh khawatir perkembangan teknologi media
informasi akan menyebabkan umat manusia cenderung hanyut dalam interaksi yang bermuara pada konflik politik, sosial, dan ekonomi.
Media merupakan sarana informasi paling efisien dalam masyarakat modern. Ia bertindak sebagai jalur sosialisasi, penyebar semangat, dan mampu
menempatkan diri sebagai penyampaian sebuah tatanan nilai dan perilaku sebagaimana diharapkan masyarakat.
Media TV melahirkan istilah baru yang dalam pola peradaban manusia disebut sebagai mass culture kebudayaan massa. Manusia cenderung menjadi
konsumen budaya massa melalui “kotak ajaib” yang menghasilkan suara dan gambar audio dan video.
62
Kasiyan, Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan dalam Iklan, Cet ke-1 h. 168-169
Daya tarik televisi sedemikian besar, sehingga pola-pola kehidupan rutinitas manusia sebelum muncul televisi dan juga muncul televisi swasta,
akhirnya berubah total sama sekali. Jam menonton TV yang ketika TVRI hanya ditonton saat malam hari, menjadi berubah begitu TV swasta mengumbar jam
tayangan dari pagi sampai dini hari. Media televisi menjadi pantauan baru news religius bagi kehidupan
manusia.TV menjadi sebuah kebutuhan bagi manuasia sehari-hari. Ibaratnya, tidak menonton TV sama saja artinya merelakan diri untuk tertinggal informasi.
Tidaklah berlebihan bila TV kemudian menjadi sasaran untuk mencapai tujuan
63
Kehadiran TV merupakan tanda dari perubahan peradaban suatu ujung garis continum budaya ke ujung garis continum yang lain. Pada saat TV mulai
menggantikan institusi keluarga, teman, dan komunitas sebagai titik pusat peradaban, maka titik interaksi dan pembentukan nilai terpusat pada TV. Peran
orang tua bergeser pada saat remote control berada di tangan seorang penonton yang kemudian mengendalikan serangkaian nilai dengan cara menghadirkan
“suatu” yang dipilih dalam proses konsumsi waktu luang.
64
Cultural Studies, terutama Cultural studies feminis, menurut kritikus berkebangsaan Belanda len Ang, mesti memutuskan hubungan dengan ideologi
budaya massa. Dia melihat kesenangan sebagai konsep kunci dalam politik budaya feminis yang ditransformasikan. Cultural studies feminis harus berjuang
keras melawan ‘paternalisme ideology budaya massa yang di situ kaum perempuan dilihat sebagai korban pasif dari pesan-pesan opera sabun yang
memberdayakan kesenangan-kesenangan mereka sama sekali dikesampingkan’.
63
Priyo Soemandoyo, Wacana gender Dan Layar Televisi, Cet ke -1, h. 18-19
64
Prof. Dr. Irwan Abdullah, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Yogyakarta: PT. Pustaka Belajar, 2006, Cet ke-1, h.54
Kesenangan seharusnya tidak dikutuk sebagai kendala bagi tujuan feminis membebaskan kaum perempuan. Pertanyaan yang diajukan Ang adalah: bisakah
kesenangan, melalui identifikasi dengan perempuan cengeng atau perempuan yang secara emosional masokitis dalam opera sabun, punya makna bagi
perempuan yang sikap politiknya relatif independent?’ Jawabannya adalah ya: fantasi dan fiksi, dengan penjelasan demikian:
“Fiksi dan fantasi adalah sumber kesenangan sebab ia menempatkan ‘realitas’ dalam selingan, sebab ia membangun solusi-solusi imajiner bagi
kontradiksi-kontradiksi nyata yang dalam kesederhanaannya yang fiksionalitasnya yang sederhana keluarlah kompleksitas hubungan sosial
yang membosankan berkenaan dengan dominasi dan subordinasi”.
65
Tentu saja bukan berarti bahwa representasi perempuan tidak perlu dipersoalkan lagi. Representasi perempuan masih bisa dikutuk karena bersikap
reaksioner dalam politik budaya tanpa henti. Namun, untuk merasakan kesenangan dari representasi itu sama sekali merupakan persoalan yang berbeda:
perlu kiranya menegaskan secara langsung bahwa kita juga terikat untuk mengambil posisi dan solusi ini dalam relasi kita dengan orang-orang serta teman-
teman yang kita cintai, pekerjaan kita, cita-cita politik kita, dan seterusnya. Selanjutnya, fiksi dan fantasi berfungsi karena membuat kehidupan saat ini
menyenangkan, atau setidaknya enak dijalani, namun ini sama sekali tidak meniadakan kesadaran atau aktivitas politik yang radikal. Fiksi dan fantasi tidak
selamanya membawa konsekunsi bahwa feminis pasti tidak gigih dalam upaya
65
John Storey, Pengantar Komprehensif Teori dan metode Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop, Yogyakarta: PT. Jalasutra, 1997, Cet ke-1, h.29-31
menghasilkan fantasi-fantasi baru dan memperjuangkan kedudukan mereka, melainkan bararti bahwa sejauh menyangkut konsumsi budaya, tidak ada standar
baku untuk mengukur progresivitas sebuah fantasi. Yang sifatnya personal boleh jadi bersifat politik, namun yang personal dan yang politik tidak senantiasa jalan
bergandengan. Kebudayaan popular banyak berkaitan dengan masalah keseharian yang
dapat dinikmati oleh semua orang atau kalangan orang tertentu seperti pementasan mega bintang, kendaraan pribadi, fashion, model rumah, perawatan tubuh dan
semacamnya. Sebuah budaya yang akan memasuki dunia hiburan, maka budaya itu
umumnya menempatkan unsur popular sebagai unsur utamanya.
66
Dan budaya itu akan memperoleh kekuatan manakala media massa digunakan sebagai jalan pintas
penyebaran pengaruh di masyarakat. Di masyarakat, dapat disaksikan bahwa teknologi media, telekomunikasi
dan informasi yang lebih popular dengan nama teknologi telematika, sebagai teknologi pencipta hiper-realitas hyper-reality, telah menjadi terutama televisi,
komputer, dan internet mengambil alih beberapa fungsi sosial manusia masyarakat.
Setiap saat kita semua menyaksikan, perkembangan teknologi telemetika mampu menciptakan relaitas baru di masyarakat, dimana realitas itu tidak sekedar
sebuah ruang yang merefleksikan kehidupan masyarakat nyata dan peta analog atau simulasi-simulasi dari suatu masyarakat tertentu yang hidup dalam media dan
66
Burhan Bungin, PORNOMEDIA, Jakarta: PT. Kencana, 2003, Cet ke-1, h. 119
alam pikiran manusia, akan tetapi sebuah ruang dimana manusia bisa hidup di dalamnya.
67
Di sisi lain ketika penemuan teknologi informasi berkembang dalam skala massal, maka teknologi itu telah merubah bentuk masyarakat, dari masyarakat
dunia lokal menjadi masyarakat global. Sebuah dunia yang sangat transparan terhadap perkembangan informasi, transportasi serta teknologi yang begitu cepat
dan begitu besar mempengaruhi peradaban umat manusia, sehingga dunia dijuluki oleh Marshall McLuhan sebagai global village, yaitu sebuah desa yang besar,
dimana masyarakat saling kenal dan saling menyapa satu dengan yang lainnya. Masyarakat global itu juga dimaksud sebagai sebuah kehidupan yang
memungkinkan komunitas manusia menghasilkan budaya-budaya bersama, menghasilkan produk-produk industri bersama, menciptakan pasar bersama,
memelihara keamanan bersama, menciptakan mata uang bersama, melakukan pertahanan militer bersama dan bahkan menciptakan peperangan dalam skala
global di semua lini. Teknologi secara fungsional telah menguasai masyarakat, bahkan pada
fungsi yang substansial, seperti mengatur beberapa sistem norma di masyarakat, umpamanya: Sistem lalu lintas di jalan raya, sistem komunikasi, seni pertunjukan
dan sebagainya. Di dalam dunia media informasi, sistem teknologi juga telah menguasai jalan pikiran masyarakat, seperti yang diistilahkan dengan teater of
mind. Bahwa siaran-siaran media informasi secara tidak sengaja telah meninggalkan kesan siaran di dalam pikiran pemirsanya. Adapun suatu saat media
67
Ibiid., h. 3
informasi itu dimatikan, kesan itu akan selalu hidup dalam pikiran pemirsa dan membentuk panggung-panggung realitas di dalam pikiran mereka.
Perkembangan teknologi berdampak pada teknologi informasi yang membuat media massa menjadi sebuah aspek sangat penting dalam kehidupan
masyarakat modern, tidak saja mendorong perkembangan sebuah lingkungan yang strategis dan memasuki wilayah global. Begitu pula yang dialami oleh
pornomedia yang telah dapat diakses dari berbagi sisi kehidupan masyarakat. Dari sini kemudian pertarungan dimulai antara masyarakat yang pro pornomedia dan
masyarakat yang menolak pornomedia. Namun di sisi jalan sana kapitalis tertawa, karena karya-karya mereka mendapat perhatian begitu besar dari masyarakat dan
ini adalah industri uang yang tanpa batas.
68
Keberadaan iklan dalam konteks sistem komunikasi, dengan demikian dapat dipahami berfungsi sebagai media yang menjembatani interaksi antara
produsen dan konsumen. Melalui iklan, kelompok-kelompok pemasar komoditas meng-interprestasikan dan menyosialisasikan komoditas, dan memproyaksikan
dalam lingkup pasar global. Dengan demikian, iklan dalam media massa telah mengajari masyarakat
konsumen secara bersama-sama dan universal, untuk terus bergerak melewati batas kebutuhan yang real dalam kehidupannya dan menuju dunia unreal yang
terus bergerak semakin jauh, mendekati cakrawala.
69
68
Burhan Bungin, PORNOMEDIA, Jakarta: PT. Kencana, 2003, Cet ke-1, h. xiii-xv
69
Kasiyan, “Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan dalam Iklan”, Cet ke-1, h.196- 197
4. Pengaruh Iklan Televisi Terhadap Masyarakat