Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Selama ini, perempuan yang berperan dalam politik sangat kecil, sehingga usulan yang dibuat menghadapi ketentuan dan hambatan, terutama untuk memperjuangkan kepentingan perempuan. Diskriminasi perempuan membuat sebagian perempuan trauma untuk memberikan peluang bagi dirinya untuk menempuh jalur kekuasaan di legislatif. Peran politik perempuan dalam menentukan arah kebijakan selalu terbungkam dan kalah oleh dominasi kekuasaan dan kepentingan laki-laki. Artinya, dalam sosial masyarakat, perempuan dinilai tidak mampu memimpin dan membuat kebijakan. Perempuan dianggap sebagai sosok yang lebih mengutamakan perasaan dibandingkan rasionalitas. Konstruksi yang demikian membuat masyarakat berpikir bahwa perempuan adalah mahluk lemah yang tak berdaya dalam menguasai sesuatu, termasuk dalam hal berpolitik. Hal tersebut merupakan akibat dari penyalahartian konsep gender. Gender pada dasarnya menuntut adanya kesetaraan peran antara laki-laki dan perempuan. Hal tersebut sebenarnya bukan tanpa dasar, karena secara formal perempuan mempunyai kewargaan yang sama dengan laki-laki dalam sistem demokrasi. Mengikuti perkembangan isu kesetaraan gender tersebut, keinginan perempuan untuk turut tampil dalam ranah politik semakin meningkat. Saat itu merupakan langkah para perempuan dalam menunjukkan eksistensinya dalam perpolitikan, misalnya dalam kursi parlementer. Para perempuan tersebut kemudian dapat menjadi perwakilan bagi perempuan lainnya dalam menyuarakan aspirasi di arena politik. Pada umumnya, sepanjang periode meluasnya perwakilan politik perempuan, perubahan-perubahan cenderung terjadi baik dalam struktur negara maupun dalam hubungan-hubungan gender. Dalam bentuk struktur, negara perlahan mulai melimpahkan beberapa kapasitasnya pada unit-unit daerah yang dipengaruhi oleh perempuan. Dengan demikian, muncul indikasi bahwa akan terjadi peningkatan jumlah perempuan dalam perwakilan politik, sehingga feminisasi politik 1 tidak dapat dihindarkan. Sejak tahun 2002, wacana peningkatan jumlah perempuan di panggung politik sudah mulai terdengar gaungnya. Sampai akhirnya di pemilu 2004, isu tersebut terealisasi meskipun hanya sebatas penetapan kuota 30 atas perempuan dalam parlemen. Jumlah tersebut merupakan gambaran umum dari minimnya partisipasi perempuan Indonesia dalam dunia perpolitikan. Partisipasi perempuan dalam politik Indonesia tidak cukup siginifikan dalam semua tingkatan pengambilan keputusan di pemerintahan. Artinya, partisipasi perempuan di bidang politik selama ini terkesan hanya memainkan peran sekunder setelah laki- laki pada peran primer. Sebagai peran sekunder, perempuan dalam dunia politik seakan memiliki peran yang beraneka ragam. Wilayah politik yang mampu dimainkan masih sebatas wacana dalam diskusi dan pelatihan. Akan tetapi dalam pergumulan politik, sebenarnya perempuan bisa menembus apa saja dengan kualitas yang 1 Joni Lovenduski, Politik Berparas Perempuan, Yogyakarta: Kanisius, 2008, h. 32 dimilikinya. Ia mampu menjadi pemimpin dari tingkat kepala desa sampai presiden dan wilayah publik yang signifikan. Hal yang demikian, sebagaimana direpresentasikan oleh Hj. Rina Iriani Ratnaningsih, S.Pd., M.Hum. sebagai bupati Kabupaten Karanganyar. Sebagai seorang perempuan, Rina mampu menunjukkan eksistensinya dalam politik dengan menjadi orang nomor satu di Karanganyar. Sebuah pencapaian yang lebih dari sekedar peran sekunder yang selama ini dibayangkan oleh banyak masyarakat. Suatu pembuktian bahwa di masa ini, perempuan mempunyai peluang untuk memperlihatkan keunggulannya dalam hal tampil di publik dan turut berpolitik. Keseriusan Rina membangun Karanganyar adalah pembuktian bahwa perempuan cukup profesional dan mampu meredam emosinya kala ia tengah berada dalam ruang politik. Harus diakui peranan perempuan dalam dunia politik, sedikit banyak tentu masih dipengaruhi oleh keperempuanan yang melekat dalam dirinya. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa sisi keperempuanan seorang pemimpin perempuan terkadang dapat menjadi sebuah keunggulan, tentunya jika kondisi itu disikapi dengan baik. Hal tersebut sebagaimana yang ditunjukkan kepemimpinan Rina. Sebagai pemimpin perempuan, Rina mampu mentransformasikan keperempuanannya menjadi program-program yang kemudian dapat mensejahterakan warga Karanganyar. Keperempuanan itu sangat terasa terutama dalam penggunaan nama program, seperti RATNA, LARASITA, dan DESISERA. Berkenaan dengan hal-hal di atas maka penulis mencoba untuk mengkaji partisipasi politik yang telah dilakukan oleh Hj. Rina Iriani Ratnaningsih, S.Pd., M.Hum., selaku Bupati Kabupaten Karanganyar sebagai objek kajian dalam penulisan skripsi ini dengan judul “Partisipasi Politik Perempuan: Studi Kasus Bupati Perempuan dalam Pemerintahan Kabupaten Karanganyar. ”

B. Batasan dan Rumusan Masalah