masalah sosial masyarakat, maka lambat laun akan merangsang timbulnya tuntutan-tuntutan yang terorganisir untuk berpartisipasi.
9
H. Perempuan dan Partisipasi politik
Membahas tentang partisipasi politik perempuan diranah perpolitikan nasional, selama ini selalu mengalami dinamika dan konstelasi yang tidak dapat
difahami oleh kaum laki-laki yang selalu memiliki persepsi bahwa perempuan adalah makhluk yang diciptakan dengan memiliki kodrat dan naluri lemah serta
terlalu halus. Sehingga kemungkinan untuk dapat terlibat secara langsung dan aktif dilapangan memiliki peluang yang sangat tipis.
Jika menilik perjalanan sejarah dan dikaitkan dengan peran serta aktifitas seorang tokoh kenamaan asal Jepara R.A Kartini yang telah mengawali bahwa
persamaan gender dan peran perempuan yang sudah semestinya disetarakan dengan posisi kaum laki-laki dalam berbagai ruang lingkup serta dimensi
kehidupan, baik dalam hal memperoleh pendidikan, beraktivitas dalam lingkungan sosial-masyarakat, sosial, budaya bahkan dalam ranah politik.
Dengan adanya gerakan reformasi serta tuntutan rakyat akan segera diadakannya berbagai perubahan dalam tatanan sistem politik dan pemerintahan di
Indonesia, sampai pada diselenggarakannya otonomi daerah pada awal Januari 2001 yang berbarengan dengan dirumuskan dan ditetapkannya UU No. 22 Tahun
1999 Tentang Pemerintahan Daerah, setidaknya dapat diambil suatu pelajaran yang sangat berharga terutama dalam hal partisipasi publik didalam pemerintahan.
Hingga sampai pada direvisinya UU No. 22 Tahun 1999 menjadi UU No. 32
9
Ibid., h. 130-131
Tahun 2004, sehingga keberadaan masyarakat dalam berpartisipasi dalam dunia pemerintahan semakin terbuka. Begitu pula kondisi kaum perempuan yang semula
berada pada level terbawah sedikit-demi sedikit mulai terangkat keatas permukaan, hingga sampai pada obsesi untuk meraih kekuasan, baik dalam posisi
di eksekutif maupun legislatif. Kekuasaan merupakan alat yang dapat digunakan untuk mempengaruhi
pemikiran maupun tingkah laku seseorang, dengan cara menggunakan hak dan kewenangan yang dimiliki oleh pemegang kekuasaan. Pada prinsipnya, kekuasaan
merujuk pada potensi, dedikasi tinggi, serta profesionalisme baik dalam hal teoritis, praktis dan manajemen. Sedangkan wewenang merujuk pada hak. Dengan
demikian, jika pengaruh kaum perempuan dalam mengendalikan situasi sosial dalam hal kekuasaan, termasuk di dalamnya termasuk pengambilan kebijakan
yang berpihak pada gen yang sama yakni kaum perempuan, semua itu sangat ditentukan oleh seberapa besar dan kuat keterlibatan mereka pada posisi-posisi
strategis untuk merumuskan serta mengesahkan kebijakan tersebut. Singkatnya, seberapa besar potensi yang dimiliki oleh perempuan untuk mempengaruhi orang
lain bahkan gen yang nantinya disesuaikan dengan posisi sistem maupun siklus keberadaannya dalam sebuah sistem sosial, politik, agama serta budaya, dan
semuanya itu tergantung pada seberapa besar kekuasaan yang dimilikinya untuk meyakinkan bahkan memaksa pihak lain melakukan sesuatu sesuai dengan
kehendaknya.
10
10
Riane Elean, Perempuan dan Kekuasaan, artikel diakses pada tanggal 13 Agustus 2008, dari
http:www.parliament.net.ac.idpdffileperempuandankekuasaan _index.php?action=view.
Merujuk pada beberapa penelitian tentang keterwakilan perempuan yang memiliki kadar yang cukup tinggi didalam struktur pemerintahan baik dilegislatif
maupun eksekutif pada gilirannya memiliki daya tanggap positiv terhadap kebijakan yang lebih responsif terhadap pemenuhan sumber daya dan hak-hak
perempuan yang belum terpenuhi. Dengan demikian, jika daya tanggap kaum perempuan terhadap kebijakan yang kurang responsif terhadap kepentingan yang
dapat mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan, bisa jadi posisi perempuan yang lainnya akan terdapat kesulitan untuk meraih berbagai kebijakan
yang hendak memperjuangkan dan memproteksi hak-hak perempuan karena lemahnya posisi kebijakan untuk memberikan daya dorong yang dapat
memajukan kaum perempuan, seperti: perlindungan perempuan dari kekerasan, sampai pada perluasan akses terhadap ekonomi dan pendidikan.
11
Selama masih ada pemetaan posisi perempuan dalam hal dimensi kehidupan, baik dalam pembagian kerja yang diseuaikan dengan jenis kelamin, sehingga
menempatkan perempuan pada posisi kerja yang kerap mengintimidasi kaum perempuan, seprti penempatan perempuan untuk bekerja hanya berada didalam
wilayah domestik, sedangkan adanya fasilitas wilayah publik tempatnya laki-laki, sehingga kebutuhan perempuan yang masih banyak ditentukan oleh laki-laki
sebagai pihak yang mendominasi kekuasaan, merupakan dua hal yang dinilai beberapa pihak merupakan dampak dari pembagian kekuasaan yang belum
berimbang. Sebab terjadinya pembedaan posisi kerja antara kaum perempuan dan kaum laki-laki dalam pembagian ruang kerja, semua itu terjadi bisa saja
11
Samuel P. Huntington dan John M. Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang,, h. 63
disebabkan oleh sistem budaya masyarakat yang cenderung patriarkat, sehingga dengan tumbuh dan bertahannya sistem kebudayaan masyarakat ini
mengakibatkan sebagian besar perempuan masih dikungkung kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan, atau bisa juga dilema seperti ini diakibatkan oleh
sikap apriori perempuan itu sendiri untuk membangun kekuatan penyeimbang dengan cara terjun langsung ke dunia politik praktis kian melemah. Namun satu
hal yang pasti, jika kaum perempuan mampu memanajemen posisinya untuk mendapatkan porsi kekuasaan sederajat dengan porsi yang dimiliki oleh kaum
laki-laki, maka tidak akan menjadi sesuatu yang mustahil posisi dan kemudahan hidup perempuan dalam memenuhi kebutuhan, hak yang pada akhirnya mampu
menguatkan posisinya melalui pengimplementasian kewenangannya melalui terjunnya perempuan di tengah masyarakat dengan cara masuk kedalam struktur
kekuasaan. Jika perkembangan keberadaan posisi perempuan didalam kekuasaan telah
muncul kesadaran bahwa porsi kekuasaan yang diperoleh turut menentukan posisi tawar perempuan dalam suatu sistem sosial, beriringan dengan hal tersebut akan
memunculkan pertanyaan; bagaimana prosesi kaum perempuan dalam memperoleh kekuasaan tersebut. feodalisme, jabatan, birokrasi, dan kemampuan
khusus di bidang ilmu pengetahuan, secara sosiologis merupakan sumber kekuasaan. Namun, yang paling umum kekuasaan tertinggi berada pada negara.
Jika ingin mencapai posisi yang menjanjikan dalam meraih kekusaan posisi tawar perempuan harus bisa merambah sampai pada ranah tersebut, dengan tujuan untuk
mendapatkan posisi tawar yang kuat dan akhirnya dapat menghasilkan pengaruh yang signifikan dalam bermasyarakat.
Di Indonesia isu tentang keterwakilan perempuan yang sangat rendah di ruang publik; dimana komitmen partai politik yang belum sensitif gender
sehingga kurang memberikan akses memadai bagi kepentingan perempuan; dan kendala nilai-nilai budaya dan interpretasi ajaran agama yang bias gender dan bias
nilai-nilai patriarkhi, dan animo para perempuan untuk terjun dalam kancah politik rendah; merupakan inti pokok permasalahan yang dihadapi saaat ini. Akan
tetapi, animo kaum perempuan untuk terjun secara praktis dalam ranah politik masih memerlukan kajian khusus dan penelitian yang matang.
Terpenuhinya hak politik perempuan di Indonesia, di samping mengacu kepada draft instrumen internasional mengenai Hak Asasi Manusia HAM juga
harus mengacu kepada Pancasila sebagai ideologi dan konstitusai negara khususnya UUD 1945 hasil amandemen kedua, pada pasal-pasal 28 A sampai J
tentang Hak Asasi Manusia.
12
Penduduk Indonesia yang berada pada kisaran 211 juta lebih, dengan prediksi populasi kaum perempuan berkisar 50, 2 . Akan tetapi, hasil dari Pemilu 2004
yang dinilai paling demokratis selama ini, tetap saja tidak mampu mengubah potret keterwakilan perempuan dalam struktur kekuasaan dalam suatu
pemerintahan serta proses pengambilan keputusan serta perumusan kebijakan publik pada tiga lembaga formal negara: legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Khusus di legislatif, pada porsi lembaga DPR-RI, perempuan caleg yang harus
12
Mujibur Rahman Khairul Muluk, Menggugat Partisipasi Publik dalam Pemerintahan Daerah Sebuah Kajian dengan Pendekatan Berpikir Sistem,
Malang : Bayumedia publishing, 2007, h. 79
melebihi kuota 30 namun yang berhasil melenggang ke kursi parlemen hanya 11 dari jumlah populasi kaum perempuan yang ada di Indonesia, dan calon
perempuan di DPD hanya mencapai 10. Adapun jumlah keterwakilan kaum perempuan diparlemen dalam tingkatan DPRD Provinsi rata-rata hanya mencapai
8. Bahkan di tingkat DPRD KabupatenKota, hasil perolehan lebih rendah lagi yaitu hanya mencapai tingkat rata-rata 5 jatah kursi yang ada.
13
Ketiika terlahir pertanyaan, kemana arah demokrasi sebenarnya, Yang selama ini digembor-gemborkan dalam gerakan reformasi yang berlangsung pada
mei 1998 lalu? Dengan tujuan menginginkan untuk diadakannya perombakan dalam berbagai dimensi politik maupun pemerintahan, sampai diamandemennya
UUD 1945 dan dicetuskannya suatu term emansipasi wanita dan persamaan gender dalam dunia politik maupun dalam dunia kerja, yang selama ini selalau
menganggap bahwa perempuan merupakan kaum yang selalu berada pada level terbawah atas dominasi kaum laki-laki. Dalam hal ini kaum perempuan posisinya
lebih pantas hanya sebagai seorang ibu rumah tangga, pengasuh bagi anak- anaknya. Sedangkan, menyangkut posisi bidang yang berlaga dimedan yang
cukup keras seperti didunia pemerintahan, bisnis sampai pada arena politik itu merupakan hak dan kewenangan kaum laki-laki.
Terjadinya fenomena seperti ini, ternyata ada argumenyasi yang cukup kuat yang telh menempatkan posisi perempuan sebagai makhluk yang kurang begitu
menginginkan kekuasaan manakala yang dilanggengkan di masyarakat adalah gagasan kekuasaan versi laki-laki yang sarat dengan ciri-ciri keperkasaan,
13
Mujibur Rahman Khairul Muluk, h. 123-127
kejantanan, dan kekerasan. Kini, sudah saatnya mempromosikan kekuasaan Yakni, kekuasaan yang mencakup kemampuan memberdayakan, kemampuan
melihat dan menciptakan masyarakat yang lebih harmoni dan bermartabat. Dengan demikian definisi baru kekuasaan merupakan gabungan dari ciri-ciri
maskulinitas dan feminitas yang dapat dicapai oleh keduanya: antara kaum laki- laki dan kaum perempuan.
14
Dengan mengembangkan definisi kekuasaan yang berbasis pengalaman perempan, perempuan dapat menjadi politisi yang handal. Politisi yang tidak akan
menyakiti lawan politiknya, apa pun alasannya. Politisi yang tidak akan menggunakan intrik politik sebagaimana biasa digunakan laki-laki. Seorang
politisi perempuan dapat mengasah sisi keibuannya yang selalu tanggap terhadap kebutuhan orang lain untuk menyelesaikan setiap agenda politiknya.
Perjuangan perempuan Indonesia umumnya dan lokal khususnya menuju kemandirian politik masih sangat panjang, tetapi perempuan tidak boleh apatis
dan bersikap skeptis. Selanjutnya apa yang mesti dilakukan menjelang pemilu legislatif, ada beberapa solusi yang mungkin dianggap efektif untuk menjawab
persoalan ini, yaitu: Pertama, menggalang networking antarkelompok perempuan dari berbagai
elemen, tentu perjuangan menuju sukses selalu membutuhkan strategi yang handal dan solidaritas yang kuat. Kedua, kelompok perempuan harus berani mendorong
dan melakukan upaya-upaya rekonstruksi budaya, khususnya mengubah budaya patriarki menjadi budaya yang mengapresiasi kesetaraan gender dan kesederajatan
14
The Liang Gie, Sejarah Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Indonesia, Jilid I Jakarta : Gunung Agung, 1968, h. 12
perempuan dan laki-laki dalam seluruh aspek kehidupan. Ketiga, kelompok perempuan harus berani mendorong dan melakukan upaya-upaya reinterpretasi
ajaran agama sehingga terwujud penafsiran agama yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan, penafsiran agama yang ramah terhadap perempuan dan
yang pasti penafsiran agama yang rahmatan lil alamin komprehensif, ajaran yang menebar rahmat bagi seluruh makhluk. Keempat, secara internal perempuan
itu sendiri harus selalu berupaya meningkatkan kapasitas dan kualitas diri mereka melalui pendidikan dalam arti yang luas.
15
Berangkat dari realita di atas, maka seyogyanya saat ini sudah waktunya para perempuan berbenah, terus kreatif dan melakukan eksplorasi potensi kita sehingga
dapat berkompetisi secara sehat dan harmonis dalam segala aspek kehidupan termasuk politik, tentunya dengan mengedepankan nilai-nilai serta normaajaran
agama yang terajut dalam sanubari kita. Selamat berjuang para perempuan, ditunggu kiprah dan kepeduliannya dalam politik.
I. Kepemimpinan Kepala Daerah Perempuan
Sejak diselenggarakannya pemilihan pertama tahun 1955. keterwakilan kaum perempuan diparlemen hanya mencapai kisaran 3,8 , kemudian meningkat
prosentaseenya pada tahun 1960-an pada kisaran 6,3. Perjalanan sejarah yang menunjukkan tingginya angka keterwakilan kaum perempuan dalam dunia politik
yakni pada periode 1987-1992 yaitu 13 persen. Akan tetapi posisi tersebut dipertahankan hingga harus turun kembali hingga 12,5 tahun 1992-1997, 10,8
persen menjelang Soeharto jatuh, dan hanya 9 persen pada periode 1999-2004.
15
Syarif Hidayat dan Bhenyamin Hoessein, “Desentralisasi dan otonomi Daerah”, dalam Syamsudin Haris dkk., Paradigma Baru Otonomi Daerah Jakarta : Puslit Politik LIPI PGRI,
2003, h. 123-125
Rendahnya keterwakilan perempuan di dunia pemerintahan semakin terlihat pada masa pemerintahan dibawah Kabinet Indonesia Bersatu. Dimana dari 36
jabatan yang ada diparlemen, perempuan hanya menduduki empat posisi, yakni Menteri Keuangan Dr. Sri Mulyani Indrawati, Menteri Perdagangan Marie
Pangestu, Menteri Negara Pemberdayaan PerempuanMeutia Hatta, Menteri KesehatanSiti Fadillah Supari, dan Sisanya didominasi oleh kaum laki-laki.
Sedangkan di lembaga MPR, jumlah keterwakilan perempuan hanya 18 orang wakil atau sekitar mencapai kisaran 9,2 persen, dan laki-laki 177 orang.
Sedangkan di DPR ada 45 perempuan dan 455 laki-laki 9 persen, di lembaga MA hanya ada 7 perempuan dan 40 laki-laki 14,8 persen, di BPK sama sekali
tidak ada kaum perempuan yang iktu berpartisipasi lain halnya dengan keterwakilan kaum laki-laki sebanyak 7 orang, dan di Dewan Pertimbangan
Agung hanya ada 2 orang perempuan yang mewakili sedangkan laki-laki ada 43 orang 4,4 persen, di lembaga KPU juga hanya 2 perempuan dan laki-laki 9 orang
18,1 persen.
16
Beberapa daerah mulai melihat bahwa perempuan merupakan stakeholder yang perlu dipertimbangkan, walaupun semu yakni perempuan dilirik untuk
mendulang perolehan suara. Pada tahun 2000, dari 7710 Kepala desa di jawa Timur, hanya 220 orang 2,85 yang perempuan. Sementara dari 682 kepala
kelurahan hanya 10 orang 1,47 yang perempuan.
17
Sedangkan di Jawa Timur saat ini hanya sekitar 3 Bupati perempuan, padahal terdapat kurang lebih seratus
16
Tri Ratnawati, et.al., Hubungan Kewenangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam Otonomi Daerah di Indonesia,
Lapoaran Penelitian Jakarta : Proyek Pengembangan Riset Kompetitif Program Isu LIPI, 2003, h. 45-46
17
Eni Haryati, “Perempuan di dalam Pemilihan Kepala Daerah,”Kompas, 20 Januari 2004, h. 5
Kabupaten. Rendahnya representasi perempuan pada kepemimpinan local dikarenakan oleh pemahaman bahwa politik ada pada kecenderungan-
kecenderungan mengurus yakni dominasi kekuasaan oleh laki-laki selain keberanian dan kapabilitas perempuan masih rendah. Hal ini bisa dicermati dari
pilkada yang diselenggarakan di beberapa kabupaten.
18
Pilkada yang di gelar tahun 2005 menghasilkan dua hal penting bagi politik perempuan dan perspektif gender. Pertama, sebagai bagian dari masyarakat,
pemilih perenpuan akan sangat menentukan suara bagi si calon. Perempuan sebagi pemilih lebih dipertimbangkan sebagai peran pendukung untuk perolehan
suarakandidat daripada dipertimbangkan aspirasinya, misalnya, isu gender tidak menjadi perhatian utama dari para kandidat. Disisi lain perempuan sebagai
pemimpin, karena pendidikan politik perempuan masih sangat rendah, lebih di manipulasi oleh elit-elit politik untuk memenangkan atau mendapat dukungan dari
kaum perempuan. Kedua, sebagai person politik, individu otonom, perempuan sebagai calon dalam pilkada sangat rendah. Dalam UU No. 32 Tahun 2004
disebutkan bahwa pintu masuk bagi calon bupatiwalikotagubernur adalah partai politik.
19
Secara logika, sulit bagi perempuan untuk menembuas dominasi parpol yang masih sangat maskulin. Sementara logika demokrasi, tampilnya perempuan
merupakan pemenuhan bagi demokrasi itu sendiri.
20
18
M. Zaki Mubarak, et.all., Blue Print Otonomi Daerah Indonesia Jakarta : The YHB Center, 2006, h. 51-55
19
Eni Haryati, “Perempuan di dalam Pemilihan Kepala Daerah,”Kompas, 20 Januari 2004, h. 6
20
Dwi Windyastuti, “Perempuan dalam Konstelasi Politik Lokal,” h. 51-55
Dengan merujuk pada problem-problem diatas maka untuk merubah situasi yang tidak kondusif bagi kesetaraan gender dalam pilkada adalah memasukkan
perspektif gender dalam UU yang mengatur pilkada, yang sampai saat initidak mengakomodasi perempuan baik sebagai pemilih maupun sebagai kandidat. Cara
ini akan menghapus diskriminasi terhadap perempuan, dan menghapus dikotomi gender dalam politik. Strategi yang bisa ditempuh adalah menghilangkan akses
kemunculan kandidat hanya lewat parpol. Dengan strategi ini akan memunculkan kandidat yang diusung oleh organisasi non partai, misalnya oleh kelompok
kepentingan perempuan yang tentunya akan mampu memunculkan kandidat perempuan yang peduli pada kesetaraan gender. Dan kelompok perempuan,
khususnya yang ada di legislative mesti memberikan pandangan gendernya dalam revisi UU yang berkaitan dengan Pilkada.
Di tingkat daerah. Tiga puluh gubernur yang ada di Indonesia saat ini di jabat oleh kaum laki-laki, sementara dari 336 Bupati yang ada di Indonesia, hanya lima
di antara mereka atau 1,5 persen saja yang diduduki oleh perempuan.
21
Perkembangan histories menunjukkan bahwa dalam struktur politik yang di dominasi laki-laki, maka laki-laki dominan dalam merumuskan aturan main
politik, dan mereka yang menyusun standar untuk evaluasinya. Eksistensi model dominasi laki-laki ini melahirkan penolakan politik dari kaum perempuan yang
bergaya laki-laki. Salah satu penolakan tersebut datang dari uni antar parlemen. Dalam
pernyataannya melalui Deklarasi New Delhi tahun 1997 menegaskan bahwa hak
21
M. Zaki Mubarak, et.all., h. 123-124
politik perempuan harus dianggap sebagai satu kesatuan dan tidak bisa dipisahkan dari kerangka hak asasi manusia. Deklarasi tersebut dilandasi oleh asumsi bahwa :
a. Dari segi demokrasi ; jumlah perempuan sekitar 50 yang memiliki hak suara dan menentukan pilihannnya, dari polpulasi yang ada, sehingga
menjadi sebuah bangunan teoritis demokrasi yang wajar apabila wakil rakyat merefleksikan konstituennya.
b. Dari segi kesetaraan ; keterwakilan perempuan untuk perempuan tidak ada bedanya dengan tuntutan atas keterwakilan rakyat untuk rakyat.
c. Dari penggunaan sumber daya ; penggunaan kemampuan intelektual perempuan.
d. Dari segi keterwakilan ; riset empiris menunjukkan bahwa bila perempuan tidak terlibat dalam pengambilan keputusan maka
kepentingan mereka tidak dipertimbangkan secara sungguh-sungguh.
22
Secara teoritik hak untuk pemilu, menjadi kandidat pada pemilu lebih didasarkan pada hak dalam pemilu. Akan tetapi realitasnya bahwa hak untuk
dipillih bagi perempuan tetap terbatas yang pada akhirya berdampak pada tingkat representasi perempuan diranah politik. Ketidaksamaan representasi tersebut
menandakan bahwa representasi perempuan lebih sekadar sebagai fungsi pemerintahan status quo laki-laki daripada fungsi demokrasi kelompok
perempuan berupaya untuk menghapuskan ketidakseimbangan gender dengan politik afirmasi. Politik afirmasi ini juga diratifikasi di banyak Negara dalam
bentuk pemberian kuota perempuan di lembaga legislative. Indonesia telah meratifikasi tentang kesetaraan gender dalam pasal 65 ayat a UU Pemilu No.
122003 meskipun UU tersebut lebih bersifat “malu-malu” untuk menegaskannya,
sebab dalam
UU tersebut
hanya tercantum
kata “mempertimbangkan” 30 kepada perempuan. Namun representasi perempuan di
tingkat nasional tidak serta-merta di ikuti di aras lokal.
22
Dwi Windyastuti, “Perempuan dalam Konstelasi Politik Lokal,” dalam M. Zaki Mubarak, et.all., Blue Print Otonomi Daerah Indonesia Jakarta : Yayasan Harkat Bangsa, 2006,
h. 49-50
Penerapan system pemilu distrik proporsional yang diterapkan di Indonesia memungkinkan pemilihan perwakilan rakyat yang mempunyai basis masa.
Karena, rakyat langsung memilih nama wakilnya beserta tanda gambar. Kuota 30 untuk perempuan masih menyisakan perdebatan tentang keadilan yang perlu
diberikan, seperti lipstick yang menghiasi perhelatan pemilihan umum berbasis distrik proporsional. Wacana ini, berasumsikan bahwa laki-laki dan perempuan
yang menyuarakan kepentingan rakyat akan bersama-sama memperbaiki aspirasi separuh penduduk Indonesia yang 56 perempuan.
23
Sikap optimistis dalam memberdayakan diri perempuan sendiri perlu diwujudkan guna memperoleh kesadaran untuk memperoleh hak-hak politiknya.
Penyusunan daftar calon legislative yang mempersyaratkan adanya 30 kuota perempuan merupakan kemajuan yang harus diwujudkan oleh semua parpol.
Pressure penetapan caleg perempuan telah dilakukan oleh banyak pihak,
antaralain iklan di televise agar memilih partai yang mempunyai calon perempuan yang di sponsori oleh pemberdayaaan perempuan. Urutan calon perempuan
dilegislatif memang tidak semudah janji yang disampaikan. Seperti perkataan bijak menyebutkan “tidak ada manusia yang sempurna, yang ada hanyalah
rencana yang sempurna”. Perkataan ini sama dengan semangat menggebu untuk mewujudkan pemberian kesempatan yang luas dan bebas kepada perempuan
untuk bersaing dalam dunia politik. Namun, fakta dilapangan sulit sekali mewujudkan rencana tersebut. Kepentingan kaum laki-laki yang mendominasi
perebutan kekuasaan masih enggan memberikan kesempatan pada perempuan.
23
Dwi Windyastuti, Perempuan dalam Konstelasi Politik Lokal, dalam M. Zaki Mubarak, Blue Print Otonomi Daerah Indonesia
Jakarta : The YHB Center, 2006, h. 48-53
Hal tersebut tampak pada benturan social budaya dan ekonomi yang mempersepsikan perempuan tidak pantas masuk kewilayah politik.
Gagasan mengenai kuota bagi perempuan yang telah di tawarkan kepada partai politik untuk menciptakan representasi yang lebih adil, kenyataannya
sampai sekarang memang masih merupakan sebuah perjuangan yang sangat panjang. Tampaknya belum ada political will dan apalagi political action dari
politisi dan tokoh partai yang kebanyakan laki-laki untuk mengubah keadaan ini. Hingga kini, minimnya Jumlah politisi perempuan yang ada dan terbatasnya
representasi perempuan dihampir semua lembaga pengambil keputusan. Karena minimnya jumlah perempuan di dalam struktur penentu kebijakan banyak tuntutan
yang disuarakan, aspirasi serta kepentingan perempuan tidak bias di akomodir. Semua factor tersebut saling berkaitan sebagaimana layaknya sebuah hukum
ekonomi yaki antar supply persediaan dan demand permintaan.
24
Stigma dan anggapan bahwa politik itu panas, kotor, dan penuh fitnah membuat sebagian perempuan tidak berani melawan intimidasi, cercaan, dan
perkataan kasar dari orang sekitarnya. Selama ini, perempuan yang telah berperan dalam politik sangat kecil,
sehingga usulan yang dibawa menghadapi kebutuhan dan hambatan, terutama untuk memperjuangkan kepentingan perempuan.
25
Minoritas perempuan yang duduk di kekuasaan legislative tidak mampu mempengaruhi kebijakan, sehingga
jauh dari keadilan yang melindungi perempuan.
24
Ani Widyani Soetjipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana, h. 20-21
25
Najilah Naqiyah, Otonomi Perempuan Malang : Banyumedia Publishing, 2005 h. 60-63
Diskriminasi perempuan yang menyakitkan membuat sebagian perempuan trauma untuk memberikan ppeluang dirinya menempuh jalur kekuasaan di
legislative. Peran politisi perempuan dalam menentukan arah kebijakan selalu terbungkam dan kalah oleh dominasi kekuasaan dan kepentingan kaum laki-laki.
Wacana keterlibatan perempuan dalam dunia politik dengan memberikan kuota 30 masih menjadi wacana kontroversi. Selama ini hanya 12 perempuan
yang berkiprah dalam ruang senayan. Permintaan kuota 30 untuk perempuan di parlemen memang bernuansa pembatasan peran, namun, jika menilik sejarah dan
realitas peran perempuan yang hanya 12 di parlemen menunjukkan kemajuan pola berpikir dan gerakan yang progresif.
26
26
Najilah Naqiyah, Otonomi Perempuan, h. 64-67
BAB III BUPATI PEREMPUAN DALAM PEMERINTAHAN