BAB I
PENDAHULUAN
C. A. Latar Belakang
Rasanya sulit diterima nalar, bahwa serangan Israel ke Palestina dan Libanon 2006, juga serangan Amerika Serikat ke Irak dan Afganistan 2002,
adalah misi pembebasan. Tapi juga adalah fakta bahwa berkali-kali Presiden Amerika Serikat, George W. Bush, dan Perdana Menteri Israel, Ehud Olmert,
menyebut serangannya sebagai misi pembebasan.
Pasca-serangan teroris 11 September 2001 yang meruntuhkan menara kembar World Trade Center WTC, Amerika Serikat gencar melancarkan serangan
militer terhadap Afganistan dan Iraq, merencanakan menyerang Iran, dan mendukung agresi militer Israel terhadap Palestina dan Libanon. Dengan dalih perluasan
liberalisme, Amerika Serikat merasa berhak melakukan pemaksaan kehendak kepada Afganistan, Irak, dan dunia secara umum. Sebetulnya apa yang dimaksud dengan
liberalisme? Sampai batas mana ia benar-benar membebaskan? Lalu kenapa justru kerapkali mengungkung dan memaksa? Lalu seberapa valid klaim pembebasan yang
dilakukan oleh AS dan Israel, ketika harus dihadapkan dengan kenyataan bahwa dampak perang yang mereka kobarkan demikian memilukan?
Pertengahan tahun 2005, Majelis Ulama Indonesia MUI mengeluarkan fatwa yang mengundang kontroversi, yakni tentang haramnya paham liberalisme
kebebasan. Lagi-lagi muncul pertanyaan besar, apa sebetulnya yang salah dalam paham liberalisme, paham yang juga dipercaya mendasari kehendak bebas bangsa
Indonesia dari penjajahan?
Salah satu pemikir yang terkenal liberal, Friedrich A. Hayek, mulai mencoba mendefinisikan liberalisme dengan ungkapan Abraham Lincoln yang diplomatis:
“The world has never had a good definition of the word liberty, and the American people just now are much in need one. We all declare for liberty:
but in using the same word, we do not mean the same thing…Here are two, not only different but incompatible things, called by the same name,
liberty.”
1
Dunia tidak pernah memiliki satu definisi yang baik mengenai kata kebebasan liberty, dan masyarakat Amerika sekarang ini menginginkan
persatuan. Kita semua mendeklarasikan kebebasan: dengan menggunakan kata yang sama, tapi kita tidak bermaksud sama…Di sini ada dua, bukan
hanya sesuatu yang berbeda bahkan tidak kompatibel, yang disebut dengan nama yang sama, kebebasan.
1
Abraham Lincoln, The Writings of Abraham Lincoln, ed. A. B. Lapsley, dikutip oleh Friedrich A. Hayek, The Constitution of Liberty, Chicago: The University of Chicago Press, 1960, h. 1.
Persoalan definisi yang mengganggu Hayek di atas menemukan penegasannya pada beragam peristiwa dunia yang dilatarbelakangi oleh konsep
liberalisme. Ide kebebasan individu dalam liberalisme ternyata telah menjadi momok menakutkan bagi kebebasan itu sendiri. Perang Dunia I dan II adalah buah dari
liberalisme. Pembantaian kaum Yahudi pada masa Perang Dunia II adalah puncak pembelengguan kebebasan individu oleh liberalisme. Munculnya rezim diktator
komunis di Uni Sovyet dan Cina juga adalah buah liberalisme. Mewabahnya kemiskinan di Dunia Ketiga yang diyakini banyak orang sebagai akibat invasi
dominasi ekonomi kapitalis adalah dampak nyata liberalisme. Munculnya rezim ultranasionalis dan politik aliran juga adalah buah perjuangan liberalisme.
Merebaknya terorisme pun tidak bisa dilepaskan dari liberalisme. Tentu saja liberalisme juga banyak mendatangkan manfaat bagi ummat
manusia, misalnya progresifitas, kemajuan peradaban, perdamaian, demokrasi, runtuhnya totalitarianisme, dan sebagainya. Tapi paradoks liberalisme yang terjadi
di dunia nyata tidak bisa diabaikan begitu saja. Apa yang salah dalam liberalisme yang dianut oleh banyak orang itu? Kenapa banyak contoh justru menunjukkan
bahwa liberalisme membunuh kebebasannya sendiri? Isaiah Berlin adalah salah satu pemikir besar Abad 20 yang berusaha
mencari akar persoalan dalam liberalisme, sembari mengemukakan bagaimana
mengkonseptualisasikan dan mengoperasikan paham yang bisa bunuh diri ini. Kendati ada persoalan, bukan berarti liberalisme kebebasan tidak bisa
didefinisikan atau harus dibiarkan liar dan menjadi instrumen politik-ekonomi siapa saja yang berkepentingan. Isaiah Berlin adalah salah satu tokoh yang berusaha
memperkenalkan konsep liberalisme secara genuin. Kegelisahan Berlin berawal dari kenyataan sejarah, begaimana liberalisme
melahirkan fasisme, komunisme, politik identitas, dan Nazisme. Suatu ketika, Berlin menulis sejarah pemikiran Karl Marx, Karl Marx: His Life and Environment.
2
Sebetulnya, Marx bagi Berlin tidak begitu menarik, karena dari awal ia menentang ide totalitariannya. Berlin terpukau ketika menemukan bahwa ide totalitarian Marx
ternyata berangkat dari tradisi pemikiran liberal Pencerahan, terutama dari filsafat Pencerahan Perancis pada abad ke-18. Para pendahulu Marx itu adalah orang-
orang yang membuka mata dunia dengan pembebasan dari kegelapan, yakni perlawanan terhadap dogmatisme, tradisionalisme, agama, takhayul, kebodohan,
dan ketertindasan.
3
Dobrakan para filsuf Pencerahan diakui oleh Berlin sebagai prestasi yang sungguh luar biasa, tetapi menimbulkan pertanyaan besar ketika ide
Pencerahan bermuara pada totalitarianisme. Pertanyaan besar tentang muara totaliter Pencerahan inilah yang ingin
dipecahkan oleh Isaiah Berlin. Bukan berarti Berlin keluar dan menolak sepenuhnya
2
Lihat Isaiah Berlin, Karl Marx: His Life and Environment, New York: A Galaxi Book, 1963
3
Lihat Isaiah Berlin, The Powers of Ideas, London: Pimlico, 2001, h. 4.
ide Pencerahan, melainkan dia menjadi pengikut yang tidak penurut.
4
Berlin menyimpulkan bahwa inti kisruh Pencerahan adalah klaim universalisme yang
diembannya. Pencerahan, betapapun memperjuangkan pengejawantahan diri individu melalui rasionalisme, tetapi ia mengklaim absolutisme dan universalisme
rasio atau kemampuan manusia. Menyandarkan segala kebenaran kepada rasionalitas secara langsung telah melakukan klaim kebenaran absolut, sesuatu yang
sebetulnya ditolak oleh Pencerahan itu sendiri, melalui perlawanannya terhadap klaim kebenaran absolut metafisika, agama, tradisionalisme, dan sebagainya.
Dengan demikian, Rasionalisme Pencerahan adalah bentuk baru dari Monisme. Monisme adalah istilah untuk menyebut jenis universalisme yang
dikembangkan para pemikir sejak Yunani sampai sekarang. Monisme ditandai oleh beberapa ciri pemikiran. Pertama, kaum monis meyakini bahwa semua pertanyaan
yang benar pastilah memiliki satu jawaban yang benar, dan hanya satu, semua jawaban yang lain pasti salah. Jika jawaban ini tidak kita ketahui, pasti ada orang
lain yang mengetahui, generasi selanjutnya mungkin mengetahui, para nabi yang mungkin mengetahui, atau setidaknya Tuhanlah yang mengetahui. Kedua, kebenaran
jawaban tersebut pasti bisa diketahui dengan menggunakan metode yang bisa direalisasikan dan diajarkan kepada semua ummat manusia. Ketiga, kebenaran
4
Ahmad Sahal menggambarkan kondisi ini dengan ungkapan: Berlin memang secara tajam melucuti universalisme Pencerahan, tapi dia tetaplah seoarang liberal. Dia, betapapun, tetaplah anak kandung
yang sah dari Pencerahan, meski bukan anak yang penurut.” Lihat Ahmad Sahal, Isaiah Berlin dan Liberalisme Tanpa Universalisme, dalam Isaiah Berlin, Four Essays on Liberty, terj. A. Zaim Rofiqi,
Empat Esai Kebebasan, Jakarta: Freedom Institute dan LP3ES, 2004, h. X.
diandaikan saling kompatibel dengan kebenaran yang lain.
5
Kebenaran diandaikan tunggal dan pasti bisa diketahui melalui berbagai macam cara yang menuju arah
yang sama: Plato percaya bahwa matematikalah jalan menuju kebenaran, Aristoteles meyakini Biologi sebagai jalannya, kaum Yahudi, Kristen, dan Islam meyakini bahwa
jalan kebenaran itu ada dalam Kitab Suci, Rousseau percaya bahwa kebenaran itu terungkap oleh jiwa manusia yang bersih, anak yang masih suci, atau mungkin petani
biasa, dan lain-lain.
6
Semua pertanyaan tentang moral, sosial, politik, pasti ada jawaban yang benar tentangnya dan entah di mana.
7
Universalisme Pencerahan memang adalah momok yang sangat menakutkan bagi ide pembebasan itu sendiri. Universalisme Pencerahan membuat manusia
seolah-olah menjadi mesin yang bisa diarahkan oleh satu konsep tertentu yang rigid yang terpola. Berlin menolak itu semua, sebab dunia, terutama manusia, bukanlah
benda mati yang bisa diukur dengan menggunakan pola perhitungan yang bersifat pasti. Masing-masing individu memiliki keunikan. Berlin memulai kritiknya terhadap
universalisme Pencerahan dengan melakukan pembagian tradisi pemikiran. Dalam buku The Hedgehog and The Fox, Berlin mengindetifikasi bahwa
dalam sejarah pemikiran, ada dunia kecenderungan utama, yakni pemikir pluralis dan monistik. Berlin mengutip satu bait syair dari fragmen-fragmen penyair Yunani,
Archilochus, yang menyatakan: “The fox knows many things, but the hedgehog
5
Ahmad Sahal, h. xiii. Lihat juga Berlin, The Power, h. 5.
6
Berlin, The Power, h. 6.
7
Berlin, The Power, h. 8.
knows one big thing” rubah mengetahui banyak hal, sedangkan landak mengetahui satu hal besar.
8
Syair ini ingin menunjukkan bahwa segala kecerdikan rubah, yang mengetahui banyak strategi penyerangan, bisa dikalahkan oleh satu sistem
pertahanan landak. Dalam tradisi pemikiran, oleh Berlin, syair itu diartikan bahwa landak dan rubah adalah tipologi pemikiran: di satu sisi, ada orang yang
menghubungkan segala sesuatu kepada satu pandangan utama yang tunggal, satu sistem yang kurang lebih bisa dicari koherensinya; di sisi lain, ada jenis pemikir
yang mengandaikan banyaknya tujuan, yang kerapkali tidak berhubungan bahkan berkontradiksi.
9
Landak adalah tipologi yang pertama dan rubah adalah yang kedua. Berlin menulis:
“…Dante belongs to the first category, Shakespeare to the second; Plato, Lucretius, Pascal, Hegel, Dostoevsky, Nietzshe, Ibsen, Proust are, in varying
degrees, hedgehogs; Herodotus, Aristotle, Montaigne, Erasmus, Moliere, Goethe, Pushkin, Balzac, Joyce are foxes.”
10
“…Dante termasuk kategori pertama, Shakespeare masuk kategori kedua; Plato, Lucretius, Pascal, Hegel, Dostoevsky, Nietzshe, Ibsen, Proust, dalam
8
Dikutip oleh Isaiah Berlin, The Hedgehog and The Fox: An Essay on Tolstoy’s View of History, New York: Simon and Schuster, 1953, h. 1.
9
Berlin, The Hedgehog, h. 1.
10
Berlin, The Hedgehog, h. 2.
tingkat yang berbeda, adalah landak; Herodotus, Aristoteles, Montaigne, Erasmus, Moliere, Goethe, Pushkin, Balzac, Joyce adalah rubah.
Berlin juga menyimpulkan bahwa tradisi pemikir Pencerahan cenderung jatuh pada kategori pertama, landak atau monisme. Berlin kemudian mencurahkan
perhatian untuk mengembangkan jenis pemikir kedua, rubah. Berlin terutama terpengaruh oleh tiga tokoh pengkritik Pencerahan: Giambattista Vico, Johann
Goerg Hamann, dan Johann Gottfried Herder. Berlin menemukan amunisi untuk menyerang Pencerahan langsung ke titik
pusatnya, ketika Vico melakukan kritik terhadap salah satu Bapak Pencerahan, Rene Descartes. Vico mengkritik Descartes dan para pengikutnya yang menempatkan
peran vital matematika sebagai ilmu pengetahuan sains. Bagi Vico, matematika adalah penemuan manusia, yang tentu saja tidak bisa keluar dari kemanusiaan.
Matematika, sebagai ciptaan manusia, tidak bisa objektif. Bukan matematika yang mengetahui manusia, melainkan manusialah yang mengetahui matematika. Manusia,
oleh karenanya, hanya bisa diketahui segala detailnya oleh penciptanya, yaitu Tuhan. Manusia hanya mungkin dipelajari dengan mengapresiasi segala motivasi,
tujuan, harapan, ketakutan, kekhawatiran, cinta, dan sebagainya yang ada pada
manusia.
11
Vico dengan tegas mempertahankan keunikan manusia yang tidak bisa direduksi ke dalam pola-pola tertentu.
Dari teolog dan filsuf Königsberg, J.G. Hamann, Berlin menemukan kritikan yang paling baik bagi tradisi rasionalisme Pencerahan. Hamann menegaskan bahwa
semua kebenaran itu partikular, tidak pernah bersifat umum. Rasio, bagi Hamann, tidak cukup memiliki kemampuan untuk menunjukkan eksistensi segala sesuatu, dia
hanyalah alat untuk mengklasifikasi dan membawa data kepada satu pola tertentu, yang sebetulnya tidak pernah bisa benar-benar absah sesuai dengan
realitas.
12
Realitas selalu memiliki kejutan-kejutan yang tak terduga. Rasionalisme Pencerahan, bagi Hamann dan diamini oleh Berlin, mencoba membatasi sesuatu
yang sebetulnya tak pernah jelas batasnya, bahkan mungkin tanpa batas. Dari Hamann, Berlin menyimpulkan, bahwa “what is real is individual” apa yang riil itu
bersifat individual.
13
Artinya, segala sesuatu memiliki keunikan yang selalu berbeda dengan yang lain.
J. G. Herder juga memberi inspirasi bagi Berlin untuk menyerang universalisme Pencerahan. Herder memperkenalkan konsep keragaman budaya,
dunia manusia, dan pengalamannya dalam sejarah. Herder percaya bahwa untuk memahami setiap sesuatu, harusnya terlebih dahulu memahami individualitas dan
pembangunannya. Untuk itu, diperlukan kapasitas Einfühlung feeling into atau
11
Lihat Isaiah Berlin, The Proper Study of Mankind: An Antology of Essays, London: Pimlico, 1998, h. 246.
12
Berlin, The Proper, h. 249.
13
Berlin, The Proper, h. 250.
empati kepada pandangan, karakter individual dari satu tradisi kesenian, sastra, organisasi sosial, masyarakat, budaya, atau tahapan-tahapan sejarah.
14
Herder menolak kriteria kemajuan absolut yang dianut di Paris
15
, sebab tidak ada budaya yang benar-benar sepenuhnya bisa diterapkan kepada yang lain. Herder
mengemukakan tentang perbedaan dan keunikan masing-masing budaya, meskipun perbedaan itu bisa disatukan dan memang mungkin. Pernyataan tentang budaya
yang satu adalah reduksi. Masing-masing budaya harus hidup dengan keunikannya, kendatipun tetap ada prinsip yang sama. Kemanusiaan itu tidak satu, melainkan
banyak mankind was not one but many.
16
Bagi Herder, setiap prestasi manusia dan semua masyarakat ditentukan oleh standar-standar internalnya sendiri.
17
Dari sini Berlin masuk ke dalam pembahasan yang cukup paradoks, antara konsep pluralisme dan liberalisme. Tiga pemikir yang mempengaruhi dia berada
pada jalur pluralis. Pluralisme cenderung membiarkan segala sesuatu tumbuh, bahkan mengandaikan bahwa segala sesuatu selalu berbeda, yang sangat mungkin
saling berbenturan. Berlin juga tidak ingin jatuh ke dalam relativisme sempit. Tepatnya, Berlin adalah seorang pluralis liberal. Penulis biografi pemikiran Isaiah
Berlin terkemuka, John Gray, menyebut Berlin bergerak di antara pluralisme dan
14
Berlin, The Proper, h. 253.
15
Paris diyakini sebagai pusat pemikiran Pencerahan.
16
Berlin, The Power, h. 9.
17
Berlin, The Proper, h. 255.
liberalisme.
18
Pluralis karena ia mengandaikan keragaman kebenaran, tapi juga liberal karena ia mengandaikan kebebasan individu harus selalu terpenuhi.
Untuk menjernihkan posisi liberalismenya, Berlin menulis esai panjang, Two Consepts of Liberty.
19
Dalam esai “Two Consept of Liberty,” Berlin mengemukakan dua konsep kebebasan yang bertolak belakang. Pertama, konsep kebebasan positif
positive liberty dan kebebasan negatif negative liberty. Positive liberty diartikan sebagai kebebasan yang mengarah ke luar. Jenis kebebasan ini adalah adopsi dari
nalar Pencerahan yang menempatkan rasionalisme sebagai unsur terpentingnya. Sementara itu, negative liberty diartikan sebagai terbebasnya seseorang dari
halangan-halangan. Dalam kebebasan negatif, individu menjadi tuan bagi dirinya sendiri.
Pada akhirnya, kebebasan positif dikenai beban moral untuk melakukan ekspansi kebebasan. Kebebasan harus disebarluaskan demi tercapainya sebuah
kehidupan yang baik. Persoalannya, bagaimana mendefinisikan kebaikan itu sendiri? Bagi penganut kebebasan positif, prinsip kebebasan bertumpu kepada rasionalitas.
Masalahnya, apa yang kita sebut sebagai rasionalitas, atau keberakalan, ternyata tidak tunggal. Dari sinilah kemudian muncul keyakinan monistik, bahwa pasti ada satu
kebenaran rasio yang mengatasi kebenaran rasio yang lain yang beragam. Perbedaan dalam tingkat rasionalitas bukan karena kebenaran itu beragam, melainkan tingkat
18
Lihat John Gray, Isaiah Berlin, New Jersey: Princeton University Press, 1996, h. 143.
19
Esai itu juga menjadi ceramah Berlin di Universitas Oxford pada tahun 1958. Lihat Isaiah Berlin, Empat Esai, h. 227 – 301.
capaian rasiolah yang beragam. Dalam hal ini, tingkat yang lebih tinggi bisa memberikan penerangan terhadap yang lebih rendah. Kerapkali hanya karena
kurangnya pengetahuan, orang tidak menyadari kebutuhan dan kepentingannya. Atas dasar ini, pemaksaan atas dasar kebebasan dijustifikasi. Dengan demikian,
sebagaimana diakui oleh Berlin, totalitarianisme ternyata tidak berasal dari konsep lain, ia justru berasal dari konsepsi kebebasan itu sendiri. Atas nama pembebasan dan
kebaikan umum, Hitler membantai jutaan orang. Sementara itu, konsep kebebasan negatif tidak berpretensi untuk mencari
siapa yang menindas kebebasannya, melainkan sejauh mana ia dikontrol. Orang bisa dikatakan bebas ketika semakin banyak hal yang dia bisa kerjakan secara bebas dan
di luar kontrol orang lain. Konsep ini mirip dengan konsepsi kuno mengenai hidup zuhud, bahwa orang akan semakin bebas ketika ia mampu meredam sebanyak
mungkin keinginannya. Keinginan adalah sumber penderitaan. Oleh karenanya, kebebasan sempurna adalah ketika seseorang telah mati.
20
Berlin tentu tidak memaksudkan kehidupan seperti ini dengan konsepsi kebebasan negatifnya. Sebab
apalah artinya hidup tanpa keinginan. Model kebebasan negatif Berlin sekaligus meneguhkan bahwa dia adalah
seorang liberal dan penganut setia Pencerahan, tapi tanpa universalisme. Liberalisme negatif Berlin juga menjadi bantahan serius terhadap model liberalisme yang
dikembangkan para pendahulunya, seperti Jeremy Bentham, John Stuart Mill, dan tentu saja Imanuel Kant. Landasan rasionalitas yang menjadi tumpuan konsep
20
Berlin, The Power, h. 15.
liberalisme Kant jelas tertolak melalui penjelasan di atas, bahwa rasionalitas tidak bisa dipakai sebagai ukuran satu-satunya bagi kebenaran, ia bisa sangat menindas.
Bentham mendefinisikan kebebasan sebagai tiadanya halangan untuk terpenuhinya hasrat manusia. Dengan demikian, bagi Bentham, manusia akan semakin bebas ketika
hasratnya dikurangi. Konsepsi seperti ini ditentang oleh Mill, yang menganggap bahwa kebebasan justru adalah terpenuhinya kapasitas individu untuk memenuhi
segala hasrat yang ia inginkan.
21
Kritikan Berlin terhadap dua pemikir utilitarian itu adalah karena dicantumkannya tujuan dalam konsep liberalisme mereka. Tujuan yang dimaksud
adalah terpenuhinya hasrat bagi Bentham atau kemaslahatan bagi Mill. Liberalisme bertujuan atau positif liberty mengandaikan bahwa liberalisme penting bukan pada
dirinya sendiri, melainkan adalah instrumen bagi kepentingan yang lain, yakni utility. Melalui negative liberty, Berlin ingin menegaskan bahwa liberalisme atau kebebasan
penting pada dirinya sendiri. Di sinilah Berlin menjadi penganut liberalisme dan Pencerahan sejati dengan menganulir tendensi universalisme di dalamnya.
B. Batasan dan Rumusan Masalah