Dua Konsep Kebebasan Meneguhkan Kembali Kebebasan Individu : Kritik Isaiah Berlin terhadap universalisme pencemaran

BAB IV PENCERAHAN MINUS UNIVERSALISME Kendati begitu terpengaruh oleh tiga pengkritik Pencerahan yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, Isaiah Berlin mengaku tidak total menjadi pengikutnya. Berlin mengambil jarak dengan tidak menjadi pluralis relativis sebagaimana ketiga gurunya tersebut. Dua konsep kebebasan yang dirumuskan oleh Berlin menjadi satu tanda bagaimana Berlin begitu berhati-hati menempatkan posisi. Berlin tidak pernah benar-benar meninggalkan Pencerahan kendati ia menegaskan tentang nilai yang berserak atau value pluralism. Akhirnya, Berlin, setidaknya menurut kebanyakan komentatornya, berdiri pada posisi liberalis pluralis. Artinya, Berlin tidak serta merta membuang keseluruhan universalisme. Berlin masih mengandaikan universalisme, hanya saja universalisme yang diandaikan itu bersifat pluralis. Mari kita bahas beberapa konsepsi yang sekaligus sebagai penegas posisi Berlin dalam perdebatan ini.

A. Dua Konsep Kebebasan

Berlin menulis satu esai khusus mengenai dua konsep kebebasan yang ia andaikan. Dua konsep kebebasan ini dipakai untuk menunjukkan bahwa kendati Berlin menolak Universalisme Pencerahan dan ide kebebasan yang menjadi konsekuensinya, setidaknya tidak semua konsepsi itu ditinggalkan. Di awal tulisan ini telah dijelaskan bahwa Berlin sesungguhnya memberikan apresiasi yang begitu besar kepada tradisi Pencerahan yang telah mendobrak dogmatisme, feodalisme, teologisme, dan kekakuan berpikir abad pertengahan. Berlin kagum terhadap prestasi Pencerahan yang benar-benar telah membuka pintu bagi kemajuan dunia. Eksistensi manusia yang telah terkubur, berhasil dibangkitkan oleh para pejuang Pencerahan dan menciptakan sebuah peradaban dunia yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Kendati demikian, Berlin kemudian kecewa terhadap tradisi Pencerahan itu yang terlalu mengagungkan rasionalitas. Rasionalitas menjadi sangat berbahaya ketika ia diabsolutkan. Sebab ternyata dalam kenyataannya, rasionalitas menjadi semacam belenggu yang demikian kejam. Rasionalitas menjadi semacam legitimasi bagi segelintir diktator untuk mengklaim diri paling rasional, lalu memiliki hak untuk melakukan proses rasionalisasi bagi yang lain, bahkan dengan cara-cara kekerasan. Sebetulnya, sebagaimana yang diakui oleh Berlin sendiri, semua pemikir bersepakat tentang kebebasan manusia. Manusia harus dibebaskan dari bentuk-bentuk kekangan yang membelenggu. Tapi di sisi yang lain manusia juga diharapkan patuh kepada aturan yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Para pemikir kemudian berselisih pada persoalan tentang seberapa besar kebebasan harus diberikan dan seberapa besar pula kepatuhan yang diterapkan. Sampai batas mana manusia dikatakan bebas? Lalu bagaimana pula bentuk kebebasan tersebut? Apa landasan kebebasan? Tradisi pemikiran Barat hampir sepakat bahwa ukuran kebebasan terletak pada rasionalitas. Hal ini kemudian digugat ketika kebebasan berdasar rasionalitas itu telah menjadi legitimasi totalitarianisme dan kediktatoran. Di titik ini, Berlin menyatakan bahwa identitas rasional yang diletakkan kepada prinsip kebebasan menyimpan masalah, karena ia cenderung menuju kepada totalitarianisme. Untuk mendukung sikap oposisinya terhadap model kebebasan rasional, Berlin membedakan dua bentuk kebebasan: kebebasan positif positive liberty dan kebebasan negatif negative liberty. Kebebasan positif adalah bentuk jawaban terhadap pertanyaan “Apa, atau siapa, yang merupakan sumber kontrol atau campur tangan yang dapat menentukan seseorang untuk melakukan atau menghendaki satu hal, hal ini dan bukan hal itu?” Kebebasan negatif merupakan jawaban atas pertanyaan, “Dalam wilayah apa suatu subjek—seorang manusia atau sekelompok manusia—harus dibiarkan bertindak dan berkehendak sebagaimana yang ia sendiri ingin dan mampu lakukan, tanpa campur tangan dari yang lain?” 66 Kebebasan negatif biasa juga disebut sebagai freedom from kebebasan dari. Yang dimaksud dengan “kebebasan dari” adalah terciptanya satu kondisi di mana tak ada orang atau sekelompok orang yang ikut campur atau mengintervensi apa yang saya lakukan. Saya dinyatakan bebas dalam pengertian kebebasan negatif adalah ketika saya tidak dihalang-halangi oleh orang lain. Berlin menyebut batas minimum kebebasan yang tidak bisa diintervensi. Berlin menyatakan: “If I am prevented by others from doing what I could otherwise do, I am to that degree unfree; and if this area is contracted by other men beyond a 66 Lihat Isaiah Berlin, Four Esssays on Liberty, terj. A. Zaim Rofiqi, Empat Esai Kebebasan, Jakarta: LP3ES dan Freedom Institute, 2004, h. 231. certain minimum, I can be described as being coerced, or, it may be, enslave.” 67 Jika saya dihalang-halangi oleh orang lain untuk melakukan apa yang ingin saya lakukan, maka pada tingkat tertentu saya bisa disebut sebagai orang yang tidak bebas; dan jika wilayah ini semakin dipersempit oleh orang lain melebihi satu batas minimum, maka saya bisa dianggap sebagai orang yang dikekang, atau, mungkin, diperbudak. Sementara kebebasan positif adalah bentuk kebebasan yang mengarah ke luar, tentang bagaimana manusia bisa menentukan apa yang ingin ia lakukan. Pengertian positif dalam kebebasan berasal dari keinginan yang ada dalam diri individu untuk menjadi tuan bagi dirinya sendiri self mastery. 68 Kebebasan positif adalah suatu kondisi di mana individu merasa bebas untuk menentukan sendiri apa yang terbaik untuk ia putuskan dan lakukan bagi dirinya sendiri. Keputusan-keputusan itu tidak bergantung kepada orang lain atau sekelompok orang lain. Individu menjadi subjek atas dirinya sendiri, bukan menjadi objek. Individu kemudian memiliki otoritas penuh untuk bertindak sesuai dengan rasionalitas, akal sehat, dan tujuan-tujuan hidupnya sendiri. Dua gagasan kebebasan di atas, yakni gagasan kebebasan berdasarkan prinsip tuan atas dirinya sendiri positif dan tiadanya kekangan dari pihak luar negatif, secara sepintas tampak bisa berjalan beriringan bahkan saling mengandaikan. Akan tetapi, menurut Berlin, pada kenyataannya, kedua gagasan itu menempuh jalur yang berbeda bahkan berkontradiksi dan saling berbenturan. 67 Lihat Isaiah Berlin, Two Concepts of Liberty, dalam Michael J. Sandel ed., Liberalism and Its Critics, New York: New York University Press, 1984, h. 16. 68 Berlin, Empat Esai Kebebasan, h. 244. Berlin mencontohkan momen kemerdekaan sebagai bentuk yang bisa menipu konsep kebebasan. Ketika kemerdekaan diproklamirkan, diandaikan bahwa individu memperoleh momentumnya untuk menjadi tuan bagi diri sendiri. Tetapi, kata Berlin, bukankah manusia kemudian jatuh lagi ke dalam perbudakan politik, nasionalisme, spritualisme, dan keberakalan tertentu? 69 Ketika kita menjadi tuan bagi diri sendiri, maka sebetulnya kita kemudian bisa diperbudak oleh nafsu-nafsu atau hasrat-hasrat pribadi dan bahkan oleh rasionalitas individual kita. Jika rasionalitas menjadi ukuran, maka bukankah jika mengatakan bahwa pilihan hidup tertentu lebih rasional daripada pilihan hidup yang lain adalah sebuah represi bahkan eksklusi terhadap apa yang disebut tidak rasional atau kurang rasional tersebut? Lalu individu akan mencoba melakukan rasionalisasi terhadap pilihan perbuatannya berdasar kepada kategori-kategori yang ia buat sendiri. Kenaifan mungkin bisa dihindari dengan mengatakan bahwa pilihan “rasional” diperlukan demi kebaikan individu. Sebelum melangkah jauh, ada baiknya disinggung sedikit objek kritikan Berlin atas konsep kebebasan positif ini. Sebetulnya kriteria kebebasan positif yang, bagi Berlin, berbahaya ini dilekatkan kepada semua arus pemikiran rasional yang mendiminasi jagad pemikiran Barat. Salah satu yang paling dominan adalah mereka yang disebut sebagai pemikir utilitarian. Utilitarianisme, dalam berbagai variannya, telah mendominasi pemikiran liberal Barat. Utilitarianisme sendiri bisa ditelusuri sampai pada akar Pencerahan Eropa. 69 Berlin, Empat Esai Kebebasan, h. 245. Dengan ditemukannya individu atau manusia sebagai subjek oleh para penggagas Pencerahan, terutama Descartes, manusia kemudian menjadi tuan bagi dirinya sendiri. Keputusan-keputusan manusia kemudian tidak lagi harus berdasarkan mitos-mitos atau berasal dari hasrat di luar dirinya, melainkan berdasar sepenuhnya kepada kebutuhan individual itu sendiri. Kebebasan yang dicanangkan oleh Pencerahan kemudian disimpulkan dalam bentuk terpenuhinya hasrat individual manusia. Hal ini disistematisasi oleh para pemikir utilitarian awal seperti James Mill dan Jeremy Bentham. Hal itu terjadi mungkin karena euforia terbebasnya manusia dari belenggu agama yang begitu lama mengekang dan membatasi kebebasan manusia secara ekstrim. Secara umum, kaum utilitarian memaknai kebebasan dengan terpenuhinya hasrat kemanusiaan individu. Will Kymlicka membagi utilitarianisme dalam empat varian sesuai dengan sejarah perkembangannya. Pada tahap pertama, utilitarianisme diartikan sebagai walfare hedonism hedonisme kesejahteraan. Ini adalah bentuk utilitarianisme paling awal yang memandang bahwa pemenuhan kebahagiaan manusia terletak pada terpenuhinya hasrat kesenangan manusia yang bersifat ragawi. 70 Akan tetapi, model utilitarianisme ini sangat tidak tepat sasaran, sebab boleh jadi apa yang terasa nikmat belum tentu baik bagi individu. Oleh karena itu, muncul jenis utilitarianisme kedua, non- hedonistic mental-state utility utilitas bagi keadaan mental yang tidak beriorientasi hedonis. Pada perkembangan ini, aspek hedonistik dihilangkan dan diganti dengan 70 Lihat Will Kymlicka, Contemporary Political Philosophy: An Introduction, Oxford: Clarendon Press, 1990, h. 12. kesenangan yang menjamin kebahagiaan. Utilitarianisme dipahami sebagai terpenuhinya semua pengalaman individu yang bernilai, darimanapun hal itu berasal. 71 Utilitarianisme model kedua juga menyimpan persoalan, karena pengalaman yang bernilai ternyata tidak satu, dan tidak mungkin semua pengalaman bernilai itu terpenuhi dalam satu waktu. Individu harus memilih. Utilitarianisme model ketiga adalah terpenuhinya pilihan-pilihan individu. Utilitarianisme tahap ini disebut sebagai preference satisfaction pemenuhan pilihan. Utilitarianisme tahap ini mengandaikan adanya unsur keterlibatan rasionalitas dalam memenuhi utilitas. 72 Pada tahap terakhir, utilitarianisme diartikan sebagai terpenuhinya pilihan-pilihan rasional individu yang berdasar kepada pengetahuan dan informasi yang utuh mengenai pilihan-pilihan tersebut. Utilitarianisme ini disebut informed preference pilihan yang berbasis informasi. 73 Perkembangan ini juga menandai bagaimana utilitarianisme bergerak dari pendefinisian manusia yang awal diidentikkan dengan binatang menjadi manusia yang seutuhnya. Aspek rasionalitas menjadi begitu penting dalam utilitarianisme. Utilitarianisme sebagai pemenuhan hasrat pada Jeremy Bentham telah mensejajarkan manusia dengan binatang. Sementara aspek happiness dalam pengertian rasionalitas yang dikembangkan John Stuart Mill telah memanusiakan manusia dan membedakannya secara jenius dari binatang. 71 Kymlicka, Contemporary Political Philosophy, h. 13. 72 Kymlicka, Contemporary Political Philosophy, h. 15. 73 Kymlicka, Contemporary Political Philosophy, h. 16. Akan tetapi, persis proyek pemanusiaan manusia dengan rasionalitas inilah yang mengusik ketenangan Berlin. Proyek pemanusiaan manusia, bagi Berlin, menyimpan bibit petaka yang demikian besar. John Stuart Mill sendiri, oleh Berlin, dimasukkan ke dalam kategori pemikir liberalisme positif. Utilitarianisme secara umum, kendatipun awalnya sebagai proyek pembebasan manusia, telah menetapkan satu tujuan tertentu dalam proyek pembebasannya, yaitu kebahagiaan atau utility. Demikianlah kenapa J. S. Mill disebut sebagai pemikir liberal negatif di permulaannya, akan tetapi masuk ke kubangan liberal positif di akhir proyeknya. Sebetulnya, fondasi awal yang dibangun oleh orang semacam Bentham dan J. S. Mill adalah tegaknya individualisme. Keduanya mengutuk dengan sangat setiap bentuk kekangan terhadap kebebasan individu. Yang paling berharga dari para pemikir utilitarian ini adalah penolakannya terhadap klaim moral religius dalam kebebasan individu. Mereka menyatakan bahwa setiap manusia merupakan hakim terbaik bagi kebahagiaannya sendiri. 74 Tak mungkin mungkir, bahwa utilitarianisme menjadi semacam proyek teleologis yang mengejar satu pengandaian masa depan. 75 Rasionalitas atau informed preference bukan malah semakin membebaskan manusia dan menunjukkan jalan terbaik bagi pemenuhan kebutuhan manusia, malah akan menjadi legitimasi bagi totalitarianisme. Apalagi, utilitarianisme terkenal dengan semboyan “The greatest happiness of the greatest number” kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak 74 Berlin, Empat Esai, h. 309. 75 Lihat Richard Bellamy, Rethingking Liberalism, London New York: Pinter, 2000, h. 32. mungkin orang. 76 Aspek mayoritarianisme adalah ancaman lain yang mungkin muncul dari utilitarianisme, dan tradisi liberalisme positif secara umum. Paradoks kebebasan ini terus ada dalam masyarakat modern yang memproklamirkan kebebasan positif. Segelintir orang kemudian merasa berhak melakukan “rasionalisasi” terhadap mereka yang tidak dianggap tidak atau kurang rasional. Proyek modernisasi dan demokratisasi yang dipaksakan oleh Amerika Serikat dan sekutunya kepada Dunia Ketiga adalah bentuk penerapan model kebebasan positif. Berlin mengusulkan dipakainya model kebebasan negatif untuk menghindari paradoks kebebasan yang ditimbulkan kebebasan positif. Kebebasan negatif tidak berpretensi untuk mengejar satu nilai tertentu dari proyek kebebasannya. Jika pada pengertian positif kebebasan diletakkan sebagai instrumen untuk mengejar tujuan dalam kategori tertentu, maka pengertian negatif dari kebebasan adalah menjadikan kebebasan sebagai instrumen sekaligus tujuan. Utilitarianisme dengan sangat baik menerapkan konsep kebebasan positif di dalam dirinya. Mill sendiri, menurut Berlin, seringkali tampak membela kebebasan dengan alasan bahwa tanpanya kebenaran tidak dapat ditemukan. Dengan demikian, bagi Mill, kebebasan bernilai sebagai sarana dan bukan sebagai tujuan. 77 Kebebasan tidak hanya penting sejauh ia berguna untuk tujuan tertentu, akan tetapi kebebasan penting pada dirinya sendiri. Dapat dikatakan bahwa model kebebasan positif atau positive liberty adalah bentuk monisme baru. 76 Kymlicka, Contemporary Political Philophy, h. 12. 77 Berlin, Empat Esai, h. 312.

B. Value Pluralism