C. Liberalisme Pluralis Meneguhkan Kembali Kebebasan Individu : Kritik Isaiah Berlin terhadap universalisme pencemaran

inheren dan berkesinambungan, bahkan tidak bisa dibandingkan. 91 Menurut Bellamy, perbedaan nilai serta konfliknya adalah bentuk pengetahuan bagi kita: mereka adalah sesuatu yang objektif.

D. C. Liberalisme Pluralis

Upaya Berlin untuk menjernihkan posisinya dengan mengemukakan gagasan value pluralism dan penolakannya terhadap universalisme atau monisme ternyata tidak tanpa masalah. Persoalan posisi ini bahkan menjadi sangat rumit. Pelbagai komentator berdebat serius tentang bagaimana memposisikan Berlin dalam ranah perdebatan kaum pluralis dan kaum liberalis. Persoalan ini rumit karena ketika Berlin ingin ditempatkan sebagai kaum liberal, maka ia akan masuk ke dalam labirin universalisme yang dikritik sendiri oleh Berlin. Kita telah membahas bagaimana Berlin menemukan tendensi monis dalam upaya memberikan otonomi bagi individu atau liberalisme. Tetapi memasukkan Berlin ke dalam kubu pluralis akan rentan terseret arus relativisme. Ketiadaan nilai universal yang diandaikan kaum pluralis adalah ungkapan yang bisa menjebak ke dalam kesimpulan relativisme. Hal ini diperparah oleh ungkapan Berlin yang selalu menolak disebut sebagai universalis atau monis tapi juga menolak disebut relativis. Ada ketegangan yang sangat kuat, kendati juga sangat tipis, di antara kedua konsep ini. 91 Lihat Richard Bellamy, Liberalism and Pluralism: Toward a Politics of Compromise, London and New York: Routledge, 1999, h. 3. Dalam pelbagai kesempatan, terutama ketika membahas pluralisme atau value pluralism, Berlin selalu menegaskan bahwa ia bukanlah seorang relativis. Berlin mengatakan, “I am not a relativist; I do not say ‘I like my coffee with milk and you like it without; I am in favour of kindness and you prefer concentration camps’—each of us with his own values, which cannot be overcome or integrated” saya bukanlah seoarang relativis; saya tidak mengatakan bahwa saya suka kopi dengan susu saya dan kamu menyukai kopi tanpa susu; saya senang dengan kesenangan dan kamu memilih kamp konsentrasi’—setiap kita memiliki nilai masing-masing yang tidak bisa diatasi atau diintegrasikan. 92 Tampaknya Berlin sadar betul bahwa gagasan pluralismenya bisa menjerumuskan ia ke dalam relativisme, dan ini adalah makanan empuk bagi para kritikusnya. Gagasan pluralisme yang dikembangkan oleh Berlin bukanlah relativisme. Bagi Berlin, nilai-nilai itu objektif, yakni bahwa mereka memiliki karakter dan menjadi bagian dari kehidupan manusia, dan ini adalah sesuatu yang terberi secara objektif. Fakta bahwa laki-laki adalah laki-laki dan perempuan adalah perempuan, bukan anjing, kucing, meja, sepatu atau yang lainnya adalah sebuah fakta objektif; dan bagian dari fakta objektif ini adalah bahwa ada nilai tertentu yang bisa dicapai oleh manusia. 93 Jika saya adalah laki-laki atau perempuan yang memiliki imajinasi yang memadai, maka saya bisa masuk ke dalam sistem nilai yang sebetulnya bukan milik saya. Hal ini mungkin, menurut Berlin, karena ada 92 Berlin, The Power, h. 11. 93 Berlin, The Power, h. 12. komunikasi dan dengan itulah toleransi menjadi mungkin. Dengan demikian, pluralisme ala Berlin jelas bukanlah relativisme. Kendati Berlin berusaha menjelaskan bahwa konsep pluralismenya atau penolakannya terhadap monisme dan universalisme bukan relativisme, tetapi Berlin ternyata tidak cukup mampu memberikan keyakinan yang utuh kepada para komentatornya. John Gray mencoba melacak konsistensi Berlin mengenai liberalisme dan value pluralism yang diandaikannya. Menurut Gray, jika Berlin konsisten dengan value pluralism, di mana semua nilai memiliki unsur incommensurability atau tidak bisa diperbandingkan, maka sebetulnya liberalisme, juga dalan pengertian liberalisme negatif, hanyalah merupakan produk budaya tertentu. Dengan demikian, liberalisme tidak bisa dibandingkan dengan equality kesamarataan, misalnya. Jika konsisten dengan value pluralism, seharusnya Berlin tidak cenderung mengafirmasi nilai tertentu, yakni liberalisme dan pluralisme, sementara nilai yang lain dieksklusi. 94 Keyakinan seperti ini memiliki implikasi yang cukup jauh sampai kepada level kebijakan negara. Jika value pluralism membenarkan pendapat bahwa nilai kejahatan dan kebaikan adalah sesuatu yang tidak bisa diperbandingkan, maka negara seharusnya tidak bisa mengambil satu justifikasi rasional untuk melakukan klasifikasi nilai yang ada di masyarakat. Akibatnya, negara juga seharusnya bisa memberikan peluang bagi munculnya nilai-nilai otoritarian atau mengeluarkan kebijakan- kebijakan yang tidak membebaskan. 94 Gray, Isaiah Berlin, h. 144. John Gray mengakui kebenaran konsep value pluralism yang dikembangkan oleh Berlin, tetapi konsep itu memiliki sebuah ‘enormous subversive force’ kekuatan subversif yang amat besar. 95 Dalam hal ini, bagi Gray, pluralisme tidak hanya gagal mendukung liberalisme, bahkan secara positif ia merusak banyak bentuk pemikiran politik liberal. Kontradiksi pluralisme dan liberalisme terletak pada pokok klaim pluralisme yang mengatakan bahwa nilai itu tak dapat diperbandingkan incommensurability yang berimplikasi secara langsung kepada culture incommensurability. Oleh karenanya, pluralisme meniadakan formula universal bagi tingkatan kebaikan seperti kebebasan dan equality. Akhirnya, semua budaya memiliki kearifan lokal sesuai dengan takarannya masing-masing, dan mereka hanya mungkin dievaluasi melalui standar-standar yang ditetapkan oleh masing-masing budaya itu. Budaya liberal, dengan demikian, dipahami berasal dari budaya tertentu, yang belum tentu baik bagi budaya yang lain. Bagi Gray, Berlin memang berangkat dari liberalisme, tapi ia jatuh ke dalam pluralisme, yang dipahami sebagai relativisme, sesuatu yang berulangkali ditegaskan oleh Berlin tidak dianut. Pembacaan Gray terhadap Berlin tentu bukan satu-satunya bacaan. Ada banyak komentator lain yang mencoba menjelaskan penegasan Berlin mengenai penolakan ia disebut sebagai relativis. Di samping penolakannya disebut sebagai relativis, ada beberapa fakta yang tidak boleh diabaikan. Di satu sisi Berlin memperkenalkan konsep value pluralism sebagai bentuk perlawanan terhadap monisme. Berlin juga membuat dikotomi dua bentuk kebebasan, yakni kebebasan 95 Gray, Isaiah Berlin, h. 1. positif dan kebebasan negatif, di sisi lain. Dua fakta ini tentu tidak hadir begitu saja tanpa ada rasionalisasi yang jelas. Menurut George Crowder, kritikan Gray terhadap model liberalisme Berlin menyimpan kesalahan yang cukup mendalam. Gray tampak tidak bisa secara jernih membedakan antara value pluralism dan cultural relativism relativisme kultural. Cultural relativism adalah pandangan bahwa tidak ada prinsip atau nilai-nilai moral yang dapat diterapkan secara universal, yang ada hanya keputusan-keputusan moral tertentu yang berasal dari kode moral budaya tertentu. Interaksi antar budaya tidak dimungkinkan, sebab standar budaya luar dianggap sebagai asing dan tidak kapabel untuk budaya sendiri. Cultural relativism mengandaikan bahwa budaya-budaya memiliki otoritas moralnya masing-masing. Dengan begitu, liberalisme, dalam pandangan ini, tidak lebih dari suara politis dari budaya tertentu, yang tidak memiliki makna apa-apa bagi budaya lain. Bagi Crowder, pendapat Gray ini menyesatkan sebab Berlin sendiri menegaskan bahwa pluralisme dan relativisme adalah dua gagasan yang sungguh berbeda. 96 Sementara Gray mengatakan bahwa gagasan pluralisme Berlin memiliki implikasi relativisme. 97 Crowder berusaha mempertahankan keyakinannya bahwa liberalisme dan value pluralism atau pluralisme yang dianut oleh Berlin tidak harus dipertentangkan. Gagasan pluralisme Berlin, bagi Crowder, bukanlah gagasan final, gagasan ini justru berimplikasi atau mengandaikan liberalisme. Crowder menyatakan bahwa argumen 96 Lihat George Crowder, Pluralism, Relativism and Liberalism in Isaiah Berlin. 97 Gray, Isaiah Berlin, h. 63 – 65. Berlin mengenai ‘dua konsep kebebasan’ sebetulnya memiliki dua fondasi utama dari pertautan antara pluralisme dan liberalisme. Pertama, ada argumen yang sangat eksplisit dalam pluralisme, yaitu bahwa kita diberi alasan bagi pilihan nilai, yang oleh karenanya kebebasan memilih menjadi niscaya, sesuatu yang sangat ditekankan oleh kaum liberal. Kedua, penegasan Berlin mengenai konflik antar nilai dan incommensurability membutuhkan pendekatan politik yang anti-utopianisme. 98 Bagi kaum pluralis, skema-skema politik yang bertujuan pada realisasi harmonis dari semua kebaikan manusia harus dicurigai dan memang mengandung utopianisme. Yang dengan demikian, anti-utopianisme mencermintan penolakan terhadap rival tradisional liberalisme, yaitu Marxisme dan anarkhisme. Bagi Berlin, menurut Crowder, jika nilai-nilai itu plural dan tidak bisa diperbandingkan, maka kita harus membuat pilihan serius di antara nilai-nilai yang berkonflik itu, lalu dengan demikian kita musti menempatkan sebuah nilai spesial yang kita pilih secara bebas. 99 Pada titik ini, pengorbanan menjadi satu hal yang niscaya. Bagi Crowder, Berlin bukanlah relativis karena ia menekankan klaim moral legitimate yang dibingkai oleh serangkaian kebaikan universal. Variasi tujuan manusia tidak bisa tidak dibatasi, karena bagaimanapun kodrat manusia itu selalu berbeda dan memiliki tujuan-tujuan hidup yang beragam. 100 Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Berlin adalah seorang liberal pluralis. Pertentangan pluralisme dan liberalism menjadi tidak relevan dalam pemikiran 98 Crowder, Liberalism and Value Pluralism, h. 78 99 Crowder, Liberalism and Value Pluralism, h. 79 100 Crowder, Liberalism and Value Pluralism, h. 80 Berlin. Pilihan liberalisme negatif dan value pluralism bukan tanpa alasan. Berlin seolah-olah ingin mengatakan bahwa pilihan liberalisme dan pluralisme secara tajam menyimpan masalah yang besar. Oleh karena itu, Berlin berdiri pada posisi yang tragis. Berlin masuk ke dalam dunia remang yang di sana terdapat irisan yang sangat tipis antara liberalisme dan pluralisme. Ketika mengkritik liberalisme, Berlin bisa tampak seperti seorang pluralis tulen. Tetapi ketika menolak pluralisme, Berlin berlagak liberal. Akhirnya, Berlin bisa disebut sebagai seorang liberal pluralis. Berlin adalah penganut liberalisme pluralis. Pluralisme nilai yang ia andaikan bersifat universal. Akan tetapi nilai universal yang ia andaikan juga harus bersifat pluralis. Gagasan Kebebasan dalam Islam Gagasan kebebasan model Isaiah Berlin mungkin adalah gagasan yang sangat unik, karena ia menolak universalisme Pencerahan dengan memakai logika dasar Pencerahan itu sendiri, yakni kebebasan individu. Fakta bahwa Berlin bergelut dengan dilema antara liberalisme yang cenderung universalis dan pluralisme yang kerap dinilai relativis menyimpan semangat untuk menolak segala bentuk pengkultusan atau absolutisme terhadap satu nilai. Sebab, setiap nilai memiliki cacat dan potensi yang sangat berbahaya jika nilai-nilai itu tidak diantisipasi. Universalisme dalam liberalisme bisa membawa kepada otoritarianisme, sementara relativisme dalam pluralisme cenderung melegitimasi anarkisme. Baik otoritarianisme maupun anarkisme adalah dua hal yang begitu mengganggu kehidupan modern. Berlin seolah-olah ingin mengatakan bahwa mari kita menjalani hidup dengan sebuah kewaspadaan. Kita harus mampu mengantisipasi kecenderungan otoritarianisme dan anarkisme yang mungkin muncul dari pilihan sistem kehidupan yang kita pakai, apapun itu. Dalam konteks pemikiran Islam, gagasan ini memperoleh legitimasi ketika kita membaca bagaimana gagasan liberalisme itu mulai tumbuh dalam pemikiran Islam. Menurut M. Dawam Rahardjo, gagasan liberalisme Islam telah dimulai oleh dua ulama besar Islam, Muhammad Abduh dan Jamal al-Din al-Afghani. 101 Dari kedua tokoh ini, menurut Dawam, terutama Abduh, lahir rentetan pemikir Islam yang mengawal gagasan liberalisme. Di antara murid Abduh yang paling terkenal adalah Ali Abd al-Raziq. Raziq, misalnya, telah mempertanyakan tentang apakah kekhalifahan itu perlu? Raziq juga menggugat bahwa apakah memang ada konsep atau sistem pemerintahan yang islami? Bagi Raziq, beberapa bentuk kekuasaan politik memang diperlukan, tetapi tidak mesti dalam bentuk khusus. Bahkan, umat pun tidak harus dipersatukan secara politik. Raziq meyakini bahwa Islam tidak menetapkan bentuk rezim atau pemerintahan tertentu bagi kaum Muslim menurut persyaratan yang dibuat oleh sistem itu sendiri: Islam justru memberi kebebasan sepenuhnya untuk membentuk negara sesuai dengan kondisi intelektual, sosial dan ekonomi dengan pertimbangan tuntutan sosial dan perkembangan zaman. 102 101 Dawam Rahardjo mengemukakan hal itu dalam ceramah diskusi Jejak-jejak Liberalisme di Indonesia, Jakarta, 16 November 2006 hasil ceramah belum dipublikasikan. 102 Lihat Leonard Binder, Islamic Liberalism, terj. Imam Muttaqin, Islam Liberal: Kritik terhadap Ideologi-ideologi Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, h. 193 – 195. Menurut Dawam, Gagasan liberalisme dari murid-murid Abduh itulah yang nantinya menginspirasi para pemikir Islam liberal di Indonesia. Para pemikir liberal awal Indonesia itu adalah Haji Agus Salim, Soekarno, Muhammad Hatta, Syafruddin Prawiranegara dan yang lainnya. Dawam menegaskan bahwa sebetulnya gagasan Islam liberal bahkan liberalisme itu sendiri sebetulnya dipelopori oleh Soekarno, meskipun secara verbal Soekarno menolak istilah liberalisme. Di antara gagasan liberal Soekarno adalah wacana pengembangan kesetaraan gender dan penolakannya terhadap gagasan negara Islam. Jejak liberalisme Islam juga bisa ditemukan dalam pemikiran Haji Agus Salim ketika ia menolak pemisahan tempat duduk antara perempuan dan laki-laki dalam acara-acara pertemuan umum. 103 Tentu saja, puncak gagasan liberalisme Islam di Indonesia ada di tangan Nurcholish Madjid. Gagasan pemikiran Islam liberal Cak Nur panggilan akrab Nurcholis Madjid dideklarasikan ketika ia menulis artikel berjudul, “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Ummat”, yang disampaikan pada pertemuan silaturrahmi para aktivis Persami, HMI, GPI, dan PII yang diselenggarakan oleh PII Cabang Jakarta di Jakarta, 3 Januari 1970. 104 Dalam artikel tersebut, Cak Nur memberikan perhatian yang sangat serius terhadap masalah kemajuan dan integrasi umat Islam yang mulai dilemahkan oleh keterpecahbelahan karena paham-paham dan kepartaian politik. Melalui ide sekularisasi dan Islam Yes, 103 Dawam Rahardjo, Jejak-jejak LIberalisme. 104 Lihat Budhy Munawar-Rachman ed., Ensiclopedi Nurcholish Madjid: Pemikiran di Kanvas Peradaban, Jakarta: Paramadina, CSL dan Mizan, 2006, h. Lx – lxi. Partai Islam No? 105 Cak Nur hendak mengajak ummat Islam untuk memecahkan kebuntuan pemikiran dan kreativitas ummat Islam yang terpasung oleh pelbagai bentuk kejumudan. Karena itulah Cak Nur mengumandangkan pentingnya kebebasan berpikir, the idea of progress ide tentang kemajuan, sikap terbuka, serta kelompok pembaruan yang liberal, yang bisa menumbuhkan apa yang menurut istilah Cak Nur psikological striking force daya tonjok psikologis yang akan menumbuhkan pemikiran-pemikiran segar. 106 Setelah Cak Nur, gagasan liberalisme Islam itu terus berkembang bahkan semakin mencapai titik radikal. Muncul tokoh seperti Abdurrahman Wahid, M. Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, Ulil Abshar-Abdallah dan yang lainnya. Radikalisasi pemikiran Islam liberal itu tampak pada penegasan mereka tentang liberalisme, sekularisme dan pluralisme. Abdurrahman Wahid, misalnya, tidak lagi ragu untuk mengakui keberadaan kelompok-kelompok lain. Gus Dur panggilan akrab Abdurrahman Wahid tanpa sungkan dan bahkan sangat rajin melakukan advokasi terhadap kelompok-kelompok minoritas yang tertindas, sesuatu yang cukup sulit ditemukan dalam kehidupan Cak Nur. Jika Cak Nur berusaha menghindari sekularisme dalam gagasannya, lalu ia menawarkan konsep sekularisasi yang dinilai lebih halus, maka tokoh seperti M. Dawam Rahardjo malah menegaskan konsep 105 Islam Yes, Partai Islam No? Menjadi salah satu sub bab dalam artikel Cak Nur tersebut. Lihat Rachman. H. Lxi, lihat juga Charles Kurzman ed., Liberal Islam: A Soucebook, terj. Bahrul Ulum dan Heri Junaidi, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global, Jakarta: Paramadina, 2003, h. 485. 106 Rachman, Ensiklopedi. sekularisme. 107 Bagi Dawam, bukan sekularisme yang harus ditolak, melainkan kita harus mencari konsep atau model sekularisme yang bisa diterapkan di Indonesia. Secara umum, gagasan kebebasan yang diusung oleh Isaiah Berlin memperoleh legitimasi dalam kancah pemikiran liberal Islam. Para pemikir liberal Islam begitu kuat menentang segala bentuk dogmatisme tradisional, tetapi juga tidak terjebak dalam perangkap absolutisme pemikiran Barat. Posisi seperti inilah yang diharapkan muncul oleh Berlin. Berlin jelas menolak dogmatisme atau otoritarianisme tradisional, tetapi juga begitu takut dan melawan kemungkinan munculnya absolutisme modernitas. Dilema harus selalu ada sebab dengan begitu kritisisme akan selalu hadir. Sementara jika satu konsep telah ditetapkan absolut, maka pada saat itu pula kemungkinan sikap kritis menjadi tertutup. Berlin tidak hendak menjadi kaum utopis yang membayangkan kehidupan harmoni tanpa celah. Dilema pemikiran Berlin justru sebagai penegas bahwa kehidupan ini memang dipenuhi dengan duri dan konflik. Meskipun demikian, kita tetap bisa menata kehidupan itu, agar dampak luka dan konfliknya tidak terlalu besar. Mari mengatur kehidupan ini secara alamiah, tanpa harus membayangkan sesuatu yang tampak indah namun utopis. 107 Dawam Rahardjo menegaskan pendiriannya itu dalam pelbagai forum, sayang hasil publikasinya belum maksimal. BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan