Perkawinan menurut Undang Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dalam Hukum Perdata Barat tidak ditemukan defenisi dari perkawinan, istilah perkawinan huwelijk digunakan dalam dua arti yaitu:
1. Sebagai suatu perbuatan, yaitu perbuatan melangsungkan perkawinan
pasal 104 Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Dengan demikian perkawinan adalah suatu perbuatan hukum yang dilakukan pada suatu
saat tertentu. 2.
Sebagai suatu keadaan hukum yaitu keadaan bahwa seorang pria dan seorang wanita terikat oleh suatu hubungan perkawinan.
21
Perkawinan UU no. 1 tahun 1974, adalah: Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
22
Bunyi pasal 1 Undang-undang Perkawinan ini dengan jelas menyebutkan tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga bahagia dan kekal yang
didasarkan pada ajaran agama. Tujuan yang diungkap pasal ini masih bersifat umum yang perinciannya dikandung pasal-pasal lain berikut penjelasan
21
Titik Triwulan Tutik dan Trianto, Poligami Perspektif Perikatan Nikah, Jakarta:Prestasi Pustaka Publisher, 2007 , h. 32
22
Dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, pasal 1.
Undang-undang tersebut dan peraturan pelaksanaannya. Dalam penjelasan ini disebutkan bahwa membentuk keluarga yang bahagia itu erat hubungannya
dengan keturunan, yang juga merupakan tujuan perkawinan, di mana pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.
Tujuan nikah pada umumnya bergantung pada masing-masing individu yang akan melakukannya, karena lebih bersifat subyektif. Namun demikian,
ada juga tujuan umum yang memang diinginkan oleh semua orang yang akan melakukan
pernikahan, yaitu
untuk memperoleh
kebahagiaan dan
kesejahteraan lahir batin menuju kebahagiaan dan kesejahteraan akhirat. Pernikahan juga berfungsi untuk mengatur hubungan antara laki-laki
dengan perempuan berdasarkan pada asas saling menolong dalam wilayah kasih sayang dan cinta serta penghormatan.Wanita muslimah berkewajiban
untuk mengerjakan tugas dalam berumah tangganya seperti mengatur rumah, mendidik anak dan menciptakan suasana menyenangkan, supaya suami dapat
mengerjakan kewajibannya dengan baik untuk kepentingan duniawi maupun ukhrawi.
23
Dengan akad nikah suami mempunyai hak untuk memilih milik itu hanya bersifat milk al-intifada hak milik untuk menggunakan bukan milk al-
muqarabah hak milik yang bisa dipindah tangankan seperti kepemilikan
23
Syaikh Kamil Muhammad „Uwaidah, Fiqih Wanita, Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, 1998, h . 378-379.
benda dan bukan pula milk al-manfa’ah kepemilikan manfaat yang bisa dipindahkan.
24
B. Dasar dan Hukum Perkawinan
Perkawinan yang dinyatakan sebagai ketetapan Ilahi baca:Sunnatullah merupakan kebutuhan bagi setiap naluri manusia dan dianggap sebagai ikatan
yang sangat kokoh. Allah swt dan Rasul-Nya saw telah menjelaskan isyarat perintah melalui kalam-Nya dan sabda Rasul-Nya, di antaranya yaitu:
Perkawinan yang dinyatakan sebagai ketetapan Ilahi baca:Sunnatullah merupakan kebutuhan bagi setiap naluri manusia dan dianggap sebagai ikatan
yang sangat kokoh. Allah swt dan Rasul-Nya saw telah menjelaskan isyarat perintah melalui kalam-Nya dan sabda Rasul-Nya, di antaranya yaitu:
25
Surat An-Nisa ayat: 3
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yang yatim bilamana kamu mengawininya, Maka
kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi : dua, tiga atau
24
Abdul Basit Mutawally, Muhadarah fi al-Fiqh al-Muqaran, Mesir, t.t, h. 120.
25
Imam Taqiyuddin Abi Bakar Muhammad bin abdul Mumin. t.t Kifayatul Akhyar fi Halli Ghayaatul Ikhtishar Syarah
Matana Abi Syuja‟ . Beirut: Dar al Minhaj, h. 669.
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,
26
Maka kawinilah seorang saja
27
, atau budak-budak yang kamu miliki.
Firman allah yang lainnya: Surat An-Nur ayat: 32
Artinya:
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu
28
, dan orang-orang yang layak berkawin dari hamba-hamba sahayamu
yang lelaki dan hamba- hamba sahayamu yang perempuan.”
Sabda Rasulullah Saw:
Artinya: Wahai generasi muda, barang siapa diantara kalian telah mampu
serta berkeinginan untuk menikah, maka hendaklah ia menikah. Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat menundukkan
pandangan mata dan memelihara kemaluan. Muttafaqun „Alaih.
Hukum perkawinan
Hukum Perkawinan ada 5:
26
Berlaku adil adalah perlakuan yang adil di dalam melayani istri seperti terhadap pakaian, tempat tinggal, giliran an lain sebagainya yang bersifat lahiriyyah.
27
Islam membolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum turun ayat tentang poligami ini, sudah ada dan pernah dijalankan oleh para Nabi sebelum Rasulullah SAW. Ayat ini
membatasi poligami sampai empat orang wanita saja.
28
Maksudnya, hendaklah laki-laki yang belum menikah atau wanita-wanita yang tidak bersuami dibantu, agar menreka dapat segera menikah.
29
Imam Muhyiddin Annawawi, Shahih Muslim, Beirut: Darul Marifah, 2007, h. 176.
1. Wajib, bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk
kawin dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina seandainya tidak kawin maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut
adalah wajib. 2.
Sunnat, bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melangsungkan perkawinan, tetapi kalau tidak kawin tidak
dikhawatirkan akan berbuat zina, maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah sunnat.
3. Haram, bagi orang yang mem[unyai keinginan dan tidak mempunyai
kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban- kewajiban daalm rumah tangga sehingga apabila melangsungkan
perkawinan bagi orang tersebut adalah haram. 4.
Makruh, bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan perkawinan juga cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri
sehingga tidak memungkinkan dirinya tergelincir berbuat zina sekiranya tidak kawin.
5. Mubah, bagi orang yang mempunyain kemampuan untuk melakukan
perkawinan bila seseorangkawin dengan
30
C. Rukun dan Syarat Perkawinan
Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas:
30
Abd. Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 18-21.