Syarat-syarat calon pengantin perempuan:

1. Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat. 2. Kawin merupakan jalan terbaik untuk menciptakan anak-anak menjadi mulia. 3. Naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh salin melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak dan akan tummbuh pula perasaan- perasaan ramah. 4. Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak akan menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan seseorang. 5. Dengan perkawinan, diantaranya dapat membuahkan tali kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga. 6. Adanya pebagian tugas, dimana yang satu mengurusi dan mengatur rumah tangga, sedangkan yang lain bekerja diluar sesuai dengan batas-batas tanggung jawab antara suami istri dalam menangani tugasnya. 41

D. Tujuan perkawinan

Tujuan perkawinan menurut agama Islam adalah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menjalankan hak dan kewajiban anggota keluarga. Sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan bathin disebabkan 41 Sayyid Sabiq, Fiqh Munakahat , jilid 6, h. 10-12. terpenuhinya keperluan hidup lahir dan bathinnya, sehingga timbullah kebahagiaan, yakni kasih saying antar anggota keluarga. 42 Tujuan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah. 43 Melihat dari tujuan di atas, dan memperhatikan uraian Imam Al-Ghazali dalam Ihyanya tentang faedah melangsungkan perkawinan, maka tujuan perkawinan dapat dikembangkan menjadi lima bagian: 1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan. 2. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya. 3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan. 4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal. 5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tenteram atas dasar cinta dan kasih saying. 44

E. Larangan-larangan Perkawinan

1. Nikah Mutah

42 Abdul Rahman Ghozali, Fihk Munakahat, h. 22. 43 Kompilasi Hukum Islam Bandung: Citra Umbara, 2007, 228 44 Abdul Rahman Ghozali, Fikh Munakahat, h. 24. Yaitu suatu pernikahan yang dilaksanakan untuk jangka waktu tertentu, jika waktu yang ditentukan sudah habis maka siwanita atau istri dinyatakan terlepas dari ikatan pernikahannya dan dia berhak menerima mutah dari suaminya. 45 Menurut Asrorun Niam Sholeh nikah mutah ialah nikah yg diniatkan untuk bersenang-senang, yang diniatkan dan hanya untuk jangka waktu tertentu saja, misalnya jangka waktu seminggu, sebulan, setahun, dan seterusnya. Nikah mutah pada mulanya dibolehkan oleh Rasulullah Saw, yaitu pada saat sedang meninggalkan istrinya dimedan perang. Dengan pertimbangan jangan sampai para sahabat jatuh pada perubuatan mesum zina, maka pada waktu itu Rasulullah membolehkan nikah mutah karena di anggap darurat sementara saja. 46 Para sahabat mutlak mengharamkan nikah jenis ini dan perbedaan ada pada diri sahabat ibnu Abbas yang membolehkan pernikahan ini dengan alasan dalam kondisi darurat. Akan tetapi Ibnu Abbas kemudian mencabut fatwanya karena telah digampangkan oleh orang-orang yang mengikuti fatwanya. 47 Sebagaimana sabda Nabi: 45 Muhammad Zuhaili, Almu‟tamad fi fiqhi as syafi‟I ahwalus syakhsiyah jilid 4 cet ke-2 ,Damasqus: Darul Qalam, 2010, h. 56. 46 Asrorun Niam Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, Jakarta: Elsas, 2008, h. 34. 47 Muhammad Zuhaili, Almu‟tamad fi fiqhi as syafi‟I ahwalus syakhsiyah , h. 56.