B. Perbandingan Pasal 66 Undang-undang Jabatan Notaris dengan Peraturan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.03.HT.03.10 Tahun 2007.
Menurut Pasal 66 Undang-undang Jabatan Notaris, menyatakan bahwa untuk kepentingan proses peradilan, Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim dengan
persetujuan Majelis Pengawas Daerah. Dengan diterapkannya Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.03.HT.03.10
Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris, yaitu Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13; Pasal 66 Undang-
undang Jabatan Notaris tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris menjadi kurang sesuai.
106
Untuk lebih objektifnya dapat dilihat beberapa pasal dalam Kitab Undang- undang Hukum Acara Pidana, yaitu Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41, Pasal 42 dan Pasal
43. Pasal 44 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana : Penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung jawab atasnya ada
pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapapun juga.
Berdasarkan Hukum Acara Perdata, sita jaminan mengandung arti bahwa untuk menjamin pelaksanaan suatu putusan di kemudian hari atas barang-barang milik
Tergugat baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak selama proses perkara berlangsung terlebih dahulu disita, atau dengan kata lain bahwa terhadap barang-
barang yang sudah disita tidak dapat dialihkan, diperjual-belikan atau dipindah- tangankan kepada orang lain. Ini adalah menyangkut sita conservatoir
conservatoir beslag, seperti yang diatur dalam Pasal 227 HIR 261 RBG.
107
Adapun isi dari Pasal 227 HIR 261 RBG adalah : 1
Jika ada persangkaan yang beralasan, bahwa seorang yang berhutang, selagi belum dijatuhkan keputusan atasnya atau selagi putusan yang mengalahkannya
belum dapat dijalankan, mencari akal akan menggelapkan atau membawa
106
Kongres XX Ikatan Notaris Indonesia, Op. Cit., halaman 241-242.
107
Caray, “Hukum Acara Perdata “Penyitaan””. http:makalahdanskripsi.blogspot.com
200808hukum-acara-perdata-penyitaan.html , halaman 1.
barangnya baik yang tidak tetap maupun yang tetap dengan maksud akan menjauhkan barang itu dari penagih hutang, maka atas surat permintaan orang
yang berkepentingan Ketua Pengadilan Negeri dapat memberi perintah, supaya disita barang itu untuk menjaga hak orang yang memasukkan permintaan itu, dan
kepada peminta harus diberitahukan akan menghadap persidangan, pengadilan negeri yang pertama sesudah itu untuk memajukan dan menguatkan gugatannya.
2 Orang yang berhutang harus dipanggil atas perintah Ketua akan menghadap
persidangan itu. 3
Tentang orang yang harus menjalankan penyitaan itu dan tentang aturan yang harus dituruti, serta akibat-akibat yang berhubung dengan itu maka pasal 197,
198, dan 199 berlaku juga. 4
Pada hari yang ditentukan itu, maka perkara diperiksa seperti biasa. Jika gugatan itu ditolak, maka diperintahkan, supaya dicabut penyitaan itu.
5 Pencabutan penyitaan itu di dalam segala hal dapat diminta, jika ditunjuk jaminan
atau tanggungan lain yang cukup. ”Selain itu bukan hanya barang-barang Tergugat saja yang dapat disita,
demikian juga halnya terhadap barang bergerak milik Penggugat sendiri yang ada dalam kekuasaan Tergugat dapat pula diletakkan sita jaminan. Sita ini dinamakan sita
revindicatoir revindicatoir beslag, seperti yang diatur dalam Pasal 226 HIR 260 RBG.”
108
108
Ibid.
Adapun isi dari Pasal 226 HIR 260 RBG adalah : Orang yang empunya barang yang tidak tetap, dapat meminta dengan surat atau
dengan lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang di dalam daerah hukumnya tempat tinggal orang yang memegang barang itu, supaya barang itu
disita. Barang yang hendak disita itu harus dinyatakan dengan saksama dalam permintaan
itu. Jika permintaan itu dikabulkan, maka penyitaan dijalankannya menurut surat perintah
Ketua. Tentang orang yang harus menjalankan penyitaan itu dan tentang syarat-syaratnya yang harus dituruti, maka pasal 197 berlaku juga.
Tentang penyitaan yang dijalankan itu diberitahukan dengan segera oleh Panitera pada yang memasukkan permintaan, sambil memberitahukan kepadanya,
bahwa ia harus menghadap persidangan Pengadilan Negeri yang pertama sesudah itu untuk memajukan dan menguatkan gugatannya.
Atas perintah Ketua orang yang memegang barang yang disita itu harus dipanggil untuk menghadap persidangan itu juga.
Pada hari yang ditentukan itu, maka perkara diperiksa dan diputuskan seperti biasa. Jika gugatan itu diterima, maka penyitaan itu disahkan dan diperintahkan, supaya
barang yang disita itu diserahkan kepada Penggugat, sedang jika gugatan itu ditolak, harus diperintahkan supaya dicabut penyitaan itu.
Di setiap Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama diseluruh Indonesia, terdapat seorang atau beberapa orang Jurusita atau Jurusita Pengganti, yang bertugas
melaksanakan semua perintah yang diberikan oleh Ketua Pengadilan Negeri, Ketua Pengadilan Agama, Ketua Majelis atau Hakim yang memimpin sidang dan
menyampaikan pengumuman-pengumuman dan teguran-teguran, protes-protes
dan pemberitahuan putusan pengadilan kepada para pihak yang bersangkutan, menurut cara dan berdasarkan ketentuan Undang-undang di Daerah hukum
Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama yang bersangkutan.
109
Penjagaan Sita tidak boleh diberikan kepada Penggugat mengenai penjaga barang Sita berpedoman pada Pasal 212 RBG. Dalam ketentuan
tersebut, ditegakkan prinsip, penjagaan barang sitaan tetap berada ditangan Tergugat atau tersita. Prinsip ini ditegaskan juga dalam SEMA
No. 5 Tahun 1975. Pada huruf 9 SEMA tersebut menegaskan : a.
Agar barang-barang yang disita tidak diserahkan kepada Penggugat atau pemohon sita.
b. Tindakan Hakim yang demikian akan menimbulkan alasan seolah-
olah Penggugat sudah pasti akan dimenangkan.
110
“Kepailitan adalah suatu sitaan umum yang dijatuhkan oleh pengadilan khusus, dengan permohonan khusus, atas seluruh aset Debitor badan hukum atau
orang pribadi yang mempunyai lebih dari satu hutangKreditor dimana Debitor dalam keadaan berhenti membayar hutangnya, sehingga Debitor segera membayar
hutang-hutangnya tersebut.”
111
Dalam Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Membayar Utang pada pasal 1 dijelaskan bahwa
Kepailitan merupakan sita umum atas semua kekayaan Debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan
Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini. Debitor sebagai pihak yang dinyatakan pailit akan kehilangan hak penguasaan atas harta bendanya
dan akan diserahkan penguasaannya kepada Kurator dengan pengawasan seorang Hakim pengadilan yang ditunjuk.
112
Kemudian, selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum ditetapkan, Kreditor atau Kejaksaan dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk :
a.
Meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan Debitor, atau
109
Bustamin HP, “Pemantapan Pelaksanaan Sita”. www.pta-jayapura.go.id
PENETAPAN 20PELAKSANAAN20SITA.doc , halaman 1.
110
Ibid., halaman 11.
111
“Konsekwensi Yuridis Terhadap Putusan Kepailitan Bagi Diri Dan Harta Kekayaan Si Pailit di Indonesia”.
http:alazami.wordpress.com20080927konsekwensi-yuridis-terhadap- putusasan-kepailitan-bagi-diri-dan-harta-kekayaan-si-pailit-di-indonesia
27 September 2008, halaman 3.
112
Ibid.
b. menunjuk Kurator sementara untuk :
1. Mengawasi pengelolaan usaha Debitor dan
2. Mengawasi pembayaran kepada Kreditor, pengadilan atau penggunaan
kekayaan Debitor yang dalam rangka kepailitan memerlukan persetujuan Kurator.
113
Mengenai diri si pailit menurut Pasal 22 Peraturan Kepailitan, dinyatakan bahwa : Dengan dinyatakan pailit, maka si berutang demi hukum kehilangan haknya
untuk berbuat bebas terhadap kekayaannya yang termasuk dalam kepailitan, begitu pula hak untuk mengurusnya, terhitung mulai hari dimana keputusan
kepailitan itu diputuskan. Dari gambaran pasal tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa si pailit hanya kehilangan haknya untuk berbuat bebas terhadap harta
kekayaannya. Sesudah dijatuhkan keputusan kepailitan, maka pengurusan dan si pailit masih berwenang melakukan perbuatan-perbuatan dalam bidang harta
kekayaannya, asal perbuatan itu menguntungkan budel. Sedangkan perbuatan yang tidak membawa manfaat bagi budel tidak mengikat budel.
114
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa orang Notaris yang berada di Kota Medan antara lain : NotarisPPAT Adi Pinem, SH, NotarisPPAT Tety
Andriani, SH, MKn., NotarisPPAT Yetty Rosliana Sembiring, SH, NotarisPPAT Sugati, SH, NotarisPPAT Dody Safnul, SH, tanggung jawab Notaris terhadap
Minuta Aktanya apabila rusak atau hilang sewaktu diperiksa oleh Penyidik adalah dengan cara menyurati Penyidik untuk mencari dan segera mengembalikan Minuta
akta tersebut kepada Notaris, dan surat yang dibuat oleh Notaris kepada Penyidik juga dibuat tebusan surat ke Majelis Pengawas Daerah MPD. Para Notaris juga
mengatakan bahwa yang selama ini mereka berikan kepada Penyidik adalah fotokopi Minuta Akta, bukan Minuta Akta. Karena Minuta Akta merupakan dokumen negara
yang wajib dijaga kerahasiaannya dan wajib disimpan dengan baik oleh Notaris. Apabila dilakukan analisa secara cermat dan objektif, dapat dipahami bahwa
diantara berbagai macam ketentuan yang tercantum dalam Pasal 66 Undang-
113
Ibid., halaman 4.
114
Ibid., halaman 5.
undang Jabatan Notaris dengan Peraturan Menteri tersebut maupun ketentuan- ketentuan dalam KUHAP tersebut tidak terjadi pertentangan, mengingat :
a. Judul Bab VIII Undang-undang Jabatan Notaris yang memuat 1 satu pasal,
yaitu Pasal 66 adalah tentang “Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris”;
b. Dalam Pasal 66 tersebut tidak ada larangan secara tegas tentang pengambilan
Minuta Akta; c.
Pengambilan Minuta Akta sebagaimana dimaksudkan dalam Peraturan Menteri Nomor : M.03.HT.03.10 Tahun 2007 bukan dimaksudkan untuk
diambil alih oleh Penyidik, Penuntut umum maupun Hakim, melainkan sekedar dipinjam untuk keperluan pemeriksaan pada Laboratorium Forensik;
d. Segala warga negara termasuk didalamnya yang berstatus sebagai Notaris
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya, Pasal
27 ayat 1 Undang-undang Dasar 1945;
e. Syarat-syarat yang diperlukan dalam pengambilan Minuta Akta sedemikian
berat, yang salah satu diantaranya termuat dalam pasal 43 Kitab Undang- undang Hukum Acara Pidana yang selengkapnya berbunyi : “Penyitaan surat
atau tulisan lain dari mereka yang berkewajiban menurut Undang-undang untuk merahasiakannya, sepanjang tidak menyangkut rahasia negara, hanya
dapat dilakukan atas persetujuan mereka atau atas ijin khusus Ketua pengadilan negeri setempat kecuali Undang-undang menentukan lain”.
115
Sekalipun demikian, bukan berarti Majelis Pengawas Daerah dapat seenaknya memberikan persetujuan dalam pengambilan Minuta Akta ini, mengingat dokumen
yang berupa Minuta Akta Notaris merupakan dokumen negara yang harus dilindungi, khususnya demi kepentingan dari pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk
didalamnya para ahli waris dan orang-orang yang menerima hak dari mereka. Hal yang perlu dan bahkan harus dicermati sehubungan dengan adanya
Peraturan Menteri Nomor : M.03.HT.03.10 Tahun 2007 adalah tentang batas waktu 14 empat belas hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 yang menyatakan bahwa
Majelis Pengawas Daerah wajib memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan secara tertulis dalam jangka waktu paling lama 14 empat belas hari
115
Kongres XX Ikatan Notaris Indonesia, Op. Cit., halaman 244-245.
terhitung sejak diterimanya surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dan apabila dalam jangka waktu termaksud terlampaui, maka Majelis Pengawas
Daerah dianggap menyetujui. Dengan ketentuan seperti ini, bukan mustahil Notaris yang merasa dirugikan
akan mengajukan gugatan ganti rugi atas dasar perbuatan melawan hukum yang dianggap dilakukan oleh Majelis Pengawas Daerah karena tidak memberikan
persetujuan atau menolak pemberian persetujuan dalam kurun waktu 14 empat belas hari tersebut.
Sekalipun ketentuan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 12 maupun dalam pasal-pasal lain yang pada prinsipnya sama pasal 6 dan pasal 18 Peraturan
Menteri Nomor : M.03.HT.03.10 Tahun 2007 bermaksud baik, namun sesungguhnya kurang bijak, mengingat :
a.
Tidak pada tempatnya Majelis Pengawas Daerah memikul resiko yang sedemikian berat, lebih-lebih bila diingat bahwa sampai saat ini Pemerintah
belum menyediakan anggaran atau setidak-tidaknya anggaran yang layak dalam operasional Majelis Pengawas Daerah;
b. Tidak semua anggota Majelis Pengawas mengetahui secara baik dan benar
tentang saat gugurnya hak menuntut berdasarkan ketentuan tentang daluarsa dalam peraturan perundang-undangan di bidang pidana;
c. Pasal 66 Undang-undang Jabatan Notaris tidak mengharuskan adanya syarat
tersebut; d.
Tidak mempertimbangkan keadaan suatu daerah tertentu yang tingkat permintaan pemberian persetujuan dari Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim
kepada Majelis Pengawas Daerah sedemikian tinggi;
e. Tidak mustahil hasil pemeriksaan Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim bisa
dianggap cacat.
116
Keberadaan pasal 66 ini sangat memberatkan Majelis Pengawas dalam melaksanakan tugasnya, namun patut disyukuri oleh semua pihak, mengingat
dengan adanya ketentuan ini bisa diharapkan : a.
Secara perlahan-lahan masyarakat mengetahui secara benar tentang kedudukan dan fungsi Notaris serta akta yang dibuat oleh atau dihadapannya;
b. Dapat mengurangi kecenderungan pihak-pihak tertentu yang beritikad tidak
atau kurang baik dalam usaha mendapatkan sesuatu hak atau mengingkari
116
Ibid., halaman 246.
suatu kewajiban dengan cara melaporkan kepada instansi yang berwenang dengan menggunakan dalil ketidakabsahan suatu akta Notaris;
c. Dapat mengurangi beban Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim dalam proses
peradilan, mengingat setidak-tidaknya saksi yang diperiksa berkurang; d.
Para Notaris harus lebih profesional dan objektif dalam melaksanakan tugas jabatannya, sebab secara tidak langsung adanya persetujuan Majelis Pengawas
bisa ditafsirkan atau setidak-tidaknya merupakan suatu petunjuk bahwa dalam proses, progres dan prosedur pembuatan akta Notaris yang bersangkutan telah
terjadi sesuatu yang tidak atau kurang sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
117
C. Sikap dan Pendapat Notaris di Medan Dalam Pengambilan Fotokopi Minuta