Pengertian dan Perbedaan Akta dan Minuta Kendala Dalam Pengambilan Fotokopi Minuta Akta dan Pemanggilan

BAB III KENDALA YANG DIHADAPI DALAM PENGAMBILAN

FOTOKOPI MINUTA AKTA DAN PEMANGGILAN NOTARIS

A. Pengertian dan Perbedaan Akta dan Minuta

Akta Notaris adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh Notaris menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1870 dan Pasal 165 HIR 285 RBG yang mempunyai kekuatan pembuktian mutlak dan mengikat. Akta Notaris merupakan bukti yang sempurna sehingga tidak perlu lagi dibuktikan dengan pembuktian lain selama ketidak-benarannya tidak dapat dibuktikan. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1866 dan Pasal 165 HIR, Akta Notaris merupakan alat bukti tulisan atau surat pembuktian yang utama sehingga dokumen ini merupakan alat bukti persidangan yang memiliki kedudukan yang sangat penting. Banyak yang salah pengertian dalam memahaminya, Akta Notaris yang “beredar” di masyarakat sebenarnya adalah Salinan Akta Notaris. Sementara asli Akta Notaris atau dalam ilmu Notariat disebut Minuta atau Minit, wajib tersimpan di Kantor Notaris. Asli Akta Notaris adalah bagian dari Protokol Notaris yang merupakan dokumen negara. 77 Akta Notaris yang masih dalam bentuk asli Akta Notaris atau Minuta atau Minit, tidak mungkin beredar di masyarakat. Akta Notaris berikut lekatannya, merupakan dokumen negara. 77 Jusuf Patrianto Tjahjono, “Harkat dan Martabat Notaris di dalam Permenkum No. 3 Tahun 2007”. http:notarissby.blogspot.com200803harkat-dan-martabat-notaris-di-dalam.html 27 Maret 2008, halaman 2.

B. Kendala Dalam Pengambilan Fotokopi Minuta Akta dan Pemanggilan

Notaris Di dalam melaksanakan jabatannya baik menurut peraturan jabatan lama Peraturan Jabatan NotarisStb. 1860 No. 3 maupun peraturan jabatan baru Undang- undang Nomor 30 Tahun 2004, Notaris diwajibkan untuk merahasiakan jabatan. Kewajiban untuk merahasiakan jabatan sudah dibebankan kepada Notaris sebelum ia melaksanakan jabatannya, yaitu dalam sumpah jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat 2 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris pada tanggal 06 Oktober 2004, ada terobosan dalam hal kewajiban Notaris untuk merahasiakan jabatan. Di dalam peraturan jabatan lama, tidak ada satupun ketentuan yang mengatur bahwa terhadap kewajiban merahasiakan jabatan dimungkinkan untuk dikecualikan. Kewajiban merahasiakan jabatan menurut ketentuan ini baru dapat disimpangi apabila ada peraturan khusus yang mengaturnya lex specialist, sehingga seorang Notaris dengan berpegangan pada peraturan jabatan tersebut untuk kepentingan apapun, termasuk untuk proses beracara di peradilan akan tetap mempertahankan kewajiban tersebut kecuali diperintahkan oleh Hakim. Dalam proses peradilan khususnya dalam perkara perdata yang menjadikan akta sebagai alat bukti, Notaris dengan mendasarkan pada kewajiban merahasiakan jabatan akan menolak dimintai keterangan seputar aktanya khususnya pada isi akta, kecuali oleh para pihak dalam pembuatan akta itu. Meskipun produk dari Notaris dalam proses beracara untuk menjadi salah satu alat bukti masih memerlukan penjelasan dari pembuatnya, dengan alasan rahasia jabatan sulit diperoleh penjelasan dari Notaris. Berdasarkan hal tersebut dalam proses perdata tidak jarang Notaris didudukkan pula sebagai ”turut tergugat”, meskipun ini sebagai upaya yang dipaksakan. Dikatakan sebagai upaya dipaksakan karena dalam suatu akta Notariil khususnya partij acte yang kemudian alat bukti baik untuk perkara perdata, Notaris tidak terlibat bahkan dilarang oleh Undang-undang terlibat dalam suatu perbuatan hukum sebagaimana diterangkan dalam akta Notariil yang diresmikannya. Keterlibatan Notaris hanya sebatas merumuskan perbuatan hukum mereka para pihak ke dalam aktanya dan selanjutnya meresmikan akta tersebut. Dipaksakannya mendudukkan Notaris sebagai ”turut tergugat” adalah sebagai upaya untuk memaksa Notaris berbicara seputar aktanya yang sekarang menjadi alat bukti dalam proses peradilan. Hal ini yang dikatakan sebagai suatu usaha penerobosan kewajiban merahasiakan jabatan. 78 Di dalam Undang-undang Jabatan Notaris kewajiban merahasiakan jabatan tidak menjadi acuan lagi bagi Notaris, bahkan di dalam Undang-undang tersebut untuk proses peradilan Notaris tidak hanya dapat diminta keterangan seputar akta yang dibuatnya tetapi dapat diminta fotokopi dari Minuta Aktanya seperti yang tercantum dalam Pasal 66 Undang-undang Jabatan Notaris. Berdasarkan Pasal 66 Undang-undang Jabatan Notaris, sekarang Notaris sudah bisa diminta keterangannya sebagai saksi baik oleh Kepolisian, Kejaksaan, maupun Pengadilan terkait dengan aktanya, khususnya dalam suatu perkara pidana. Ketentuan ini memberi jalan bagi aparat penegak hukum untuk menghadirkan Notaris dalam proses perkara pidana sebagai saksi atas akta yang dibuatnya. Sebaliknya, bagi Notaris ketentuan dalam Pasal 66 Undang-undang Jabatan Notaris dapat dipandang sebagai lemahnya kewajiban merahasiakan jabatan yang ada pada Notaris, meskipun untuk itu harus dengan persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah MPD. Bahkan ada sebagian Notaris yang berpendapat bahwa dengan adanya Pasal 66 Undang-undang Jabatan Notaris kewajiban merahasiakan 78 Djoko Sukisno, Op. Cit., halaman 52. jabatan Notaris sudah tidak ada lagi. Hal tersebut tidak lepas dari penafsiran Pasal 66 ayat 1 Undang-undang Jabatan Notaris. 79 Pasal tersebut di atas dapat ditafsirkan bahwa proses peradilan yang dilakukan oleh Hakim meliputi peradilan dalam lingkup perdata maupun pidana. Dengan demikian Pasal 66 Undang-undang Jabatan Notaris tidak hanya dimaksudkan untuk menggali kebenaran materil dari suatu akta, tetapi juga dimaksudkan untuk mendapatkan kejelasan dari alat bukti yang berupa akta autentik. Pelaksanaan dari Pasal 66 Undang-undang Jabatan Notaris lebih lanjut diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Sebelum adanya Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia tersebut tidak ada pedoman pelaksanaan dari Pasal 66 Undang-undang Jabatan Notaris, akibatnya jelas menimbulkan ketidakseragaman dari Majelis Pengawas Daerah MPD dalam melaksanakan pasal tersebut. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tidak hanya memungkinkan kepada Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim untuk mengambil fotokopi Minuta Akta danatau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta, atau memanggil Notaris sebagai saksi, tersangka atau terdakwa. Peraturan tersebut juga memberi kemungkinan kepada Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim untuk mengambil Minuta Akta. Ketentuan yang terakhir ini jelas tidak diatur dalam Pasal 66 Undang-undang Jabatan Notaris, karena dalam Pasal tersebut yang dapat diambil hanya fotokopi dari Minuta Akta saja. Pengambilan Minuta Akta dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.03.HT.03.10 Tahun 2007 dimungkinkan 79 Ibid., halaman 53. apabila ada penyangkalan tanda tangan dalam akta, yaitu sebagai tindak pidana pemalsuan. Ketentuan tersebut jelas bertentangan dengan Undang-undang Jabatan Notaris karena sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa Undang-undang Jabatan Notaris hanya memungkinkan untuk mengambil fotokopi dari Minuta Akta saja. Disamping itu ketentuan ini juga bertentangan dengan Pasal 1 angka 13 Undang-undang Jabatan Notaris, yaitu bahwa Protokol Notaris adalah kumpulan dokumen yang merupakan arsip negara yang harus disimpan dan dipelihara oleh negara. Berdasarkan pasal tersebut Minuta Akta adalah arsip negara yang dititipkan kepada Notaris, para pihak dalam akta pun tidak mempunyai hak atas Minuta Akta, para pihak dan hanya kepada para pihak akan diberikan salinan akta. 80 Salinan akta pada hakekatnya sama dengan Minuta Akta, yang membedakan hanya pada tanda tangan saja. Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa salinan akta adalah salinan kata demi kata dari seluruh akta yang ditandatangani oleh Notaris saja. Pada Minuta Akta yang menandatanganinya tidak hanya Notaris saja, tetapi juga penghadap dan saksi yang penandatanganannya dilakukan pada saat yang sama yaitu pada saat peresmian akta. Dengan demikian isi dari salinan akta sama dengan Minuta Aktanya. Pemalsuan tanda tangan dapat pula terjadi pada Minuta Akta. Adanya pemalsuan tanda tangan pada Minuta Akta berarti pula ada pemalsuan identitas pada penghadap pihak dalam partij acte. Pembuktian benar tidak adanya pemalsuan tanda tangan dilakukan dengan penelitian di Laboratorium Forensik POLRI. Penelitian asli tidaknya tanda tangan yang dilakukan di Laboratorium Forensik POLRI tidak bisa dilakukan dengan meneliti fotokopi Minuta Akta dari tanda tangan yang diragukan. Penelitian dilakukan dengan meneliti tanda tangan asli yang diragukan keasliannya tersebut. Hal ini kiranya yang tidak terpikirkan oleh pembuat Undang-undang Jabatan Notaris, sehingga dalam Undang-undang Jabatan Notaris tidak ada satu ketentuan pun yang mengatur tentang pengambilan Minuta Akta, yang ada hanya pengambilan fotokopi Minuta Akta. Dalam Pasal 66 ayat 1 huruf a Undang-undang Jabatan Notaris memang dimaksudkan apabila ada penyangkalan keabsahan tanda tangan dari salah satu pihak dalam akta. 81 80 Ibid., halaman 58. 81 Ibid. Ketentuan Pasal 9 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.03.HT.03.10 Tahun 2007 menentukan bahwa : Majelis Pengawas Daerah MPD memberikan persetujuan untuk pengambilan Minuta Akta danatau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat 1 apabila : a. Ada dugaan tindak pidana berkaitan dengan Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; b. Belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan tentang daluwarsa dalam peraturan perundang-undangan di bidang pidana; c. Ada penyangkalan keabsahan tanda tangan dari para pihak; d. Ada dugaan pengurangan atau penambahan dari Minuta Akta; atau e. Ada dugaan Notaris melakukan pengunduran tanggal akta. 82 Padahal dalam Kode Etik Notaris seorang Notaris adalah seorang yang memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang baik. Dan dalam menjalankan jabatannya Notaris melakukan perbuatan-perbuatan yang secara umum disebut sebagai kewajiban untuk ditaati dan dilaksanakan antara lain namun tidak terbatas pada ketentuan yang tercantum dalam : 1. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris; 2. Penjelasan Pasal 19 ayat 2 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris; 3. Isi Sumpah Jabatan Notaris; 4. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Notaris Indonesia. Atau sesuai dengan Pasal 3 angka 1 dan angka 17 Kode Etik Notaris. 83 Peraturan Menteri tersebut dapat pula dilihat dari perspektif Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 dalam Pasal 6 ayat 2, bahwa asas yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang lain harus diperhatikan, jangan sampai terjadi pertentangan, dalam hal ini asas pembuktian yang dilanggar, yaitu telah menempatkan akta Notaris sebagai bukti materil atas suatu tindak pidana, artinya, terjadinya suatu tindak pidana sebagai akibat adanya akta Notaris, hal ini sama saja, dengan kontruksi hukum, bahwa akta Notaris dibuat untuk melakukan suatu tindak pidana, bahwa seharusnya akta Notaris ditempatkan sebagai bukti formal, artinya jika suatu akta dipakai untuk melakukan suatu tindak pidana, bukan karena hasil kerjasama antara Notaris dengan para pihak, jika hal tersebut terjadi harus dibuktikan terlebih dahulu. 84 “Peraturan Menteri tersebut dapat dinilai juga sebagai suatu penafsiran terhadap ketentuan Pasal 66 Undang-undang Jabatan Notaris, Peraturan Menteri 82 Habib Adjie, “Hak+Uji+Materil”, Op. Cit., halaman 3. 83 Ibid. 84 Ibid., halaman 4. tersebut disatu sisi dapat merupakan ketentuan yang secara tidak langsung dapat melindungi Notaris melalui Majelis Pengawas Daerah MPD, tapi disisi yang lain dapat berhadapan dengan Hukum Pidana.” 85 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Peraturan Menteri tersebut sebagai tindak lanjut dari Pasal 66 Undang-undang Jabatan Notaris tidak diperintahkan oleh Undang-undang Jabatan Notaris, oleh karena itu bertentangan dengan Pasal 7 ayat 4 Undang-undang nomor 10 Tahun 2004 dan secara muatan atau materi telah melebihi muatan atau materi Undang-undang yang seharusnya materi seperti itu termuat paling tidak dalam bentuk Undang-undang. Pelaksanaan dari Pasal 66 Undang-undang Jabatan Notaris tentunya memerlukan peraturan pelaksanaan lebih lanjut dan sampai sekarang peraturan pelaksanaan tersebut baru ada untuk peradilan pidana, yaitu Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor : M.03.HT.03.10 Tahun 2007. Belum adanya peraturan pelaksanaan sebagai pedoman pelaksanaan Pasal 66 Undang-undang Jabatan Notaris khususnya untuk peradilan perdata dapat menimbulkan perbedaan pelaksanaan antara Majelis Pengawas Daerah MPD yang satu dengan Majelis Pengawas Daerah MPD yang lain. 86 Hal tersebut di atas dapat terjadi mengingat bahwa semua anggota Majelis Pengawas Daerah MPD belum tentu memiliki pemahaman yang sama tentang kenotariatan. Sebagaimana diketahui bahwa berdasarkan Pasal 67 ayat 3 Undang-undang Jabatan Notaris, Majelis Pengawas berjumlah 9 sembilan orang terdiri atas unsur : unsur pemerintah sebanyak 3 tiga orang, unsur organisasi Notaris sebanyak 3 tiga orang, dan unsur ahliakademisi sebanyak 3 tiga orang. Dari ketiga unsur tersebut, unsur organisasi Notaris lah yang memahami tentang kenotariatan. Akibatnya dapat terjadi untuk satu kasus yang sama Majelis Pengawas Daerah MPD suatu daerah tertentu memberikan ijin untuk mengambil fotokopi Minuta Akta dan berkas-berkas yang dilekatkan pada Minuta Akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat 1 Undang-undang Jabatan Notaris, sedangkan Majelis Pengawas Daerah MPD daerah yang lain tidak mengijinkannya. Atau Majelis Pengawas Daerah MPD suatu daerah tertentu mengijinkan pemanggilan Notaris untuk memberikan keterangan atas akta yang dibuatnya baik ambtelijke acte maupun partij acte, sedangkan Majelis 85 Ibid. 86 Djoko Sukisno, Op. Cit., halaman 53. Pengawas Daerah MPD daerah yang lain tidak mengijinkan pemanggilan Notaris tersebut. 87 Adanya ketiga unsur dalam Majelis Pengawas dan banyaknya jumlah Majelis Pengawas Daerah MPD yang tersebar di seluruh Indonesia serta belum adanya pedoman pelaksanaan Pasal 66 Undang-undang Jabatan Notaris, sebagaimana tersebut di atas akan menimbulkan adanya perbedaan dalam penerapan pasal tersebut. Kedudukan Majelis Pengawas Daerah MPD dalam kaitannya dengan Pasal 66 Undang-undang Jabatan Notaris tersebut sangat strategis. Di satu sisi Majelis Pengawas Daerah MPD dituntut jangan sampai menghambat proses peradilan, tetapi disisi lain Majelis Pengawas Daerah MPD juga dituntut harus memperhatikan norma-norma kenotariatan. 88 Majelis Pengawas Notaris secara umum mempunyai ruang lingkup atau berwenang menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris sesuai dengan Pasal 70 huruf a, Pasal 73 ayat 1 huruf a dan b, Pasal 77 huruf a dan b Undang-undang Jabatan Notaris. Berdasarkan substansi pasal tersebut bahwa Majelis Pengawas Notaris berwenang melakukan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode Etik. Tiap jenjang Majelis Pengawas mempunyai wewenang masing-masing dalam melakukan pengawasan dan untuk menjatuhkan sanksi. Undang-undang Jabatan Notaris tidak memberikan kewenangan kepada Majelis Pengawas Daerah untuk menjatuhkan sanksi apapun terhadap Notaris, tapi hanya Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Pusat yang berwenang untuk memberikan sanksi. Majelis Pengawas dalam menjalankan kewenangannya mengeluarkan putusan yang ditujukan kepada Notaris, baik putusan menjatuhkan sanksi administratif ataupun putusan mengusulkan untuk memberikan sanksi-sanksi tertentu dari Majelis 87 Ibid., halaman 53-54. 88 Ibid., halaman 54. Pengawas Wilayah kepada Majelis Pengawas Pusat ataupun Majelis Pengawas Pusat kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. “Dengan demikian perlu ditentukan dasar hukum putusan dari Majelis Pengawas sebagai suatu figur hukum dapat dijadikan objek sengketa Tata Usaha Negara di Pengadilan Tata Usaha Negara, yaitu : Kedudukan Majelis Pengawas Notaris sebagai Instansi yang melakukan pengawasan, pemeriksaan dan penjatuhan sanksi terhadap Notaris.” 89 Pada dasarnya yang mempunyai wewenang melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap Notaris adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang dalam pelaksanaannya Menteri membentuk Majelis Pengawas Notaris. Menteri sebagai kepala Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia mempunyai tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian urusan Pemerintah di bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dengan demikian kewenangan pengawasan terhadap Notaris ada pada Pemerintah, sehingga berkaitan dengan cara Pemerintah memperoleh wewenang pengawasan tersebut. “Ada 2 dua cara utama untuk memperoleh wewenang Pemerintah, yaitu Atribusi dan Delegasi. Mandat juga ditempatkan sebagai cara tersendiri untuk memperoleh wewenang, namun apabila dikaitkan dengan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, Mandat tidak ditempatkan secara tersendiri karena penerima Mandat tidak bisa menjadi tergugat di Pengadilan Tata Usaha Negara.” 90 89 Habib Adjie, “Mem-PTUN-kan Keputusan Majelis Pengawas Notaris MPN Daerah”, http:www.habibadjie.comcontentview2229 01 Agustus 2008, halaman 7. 90 Ibid. Atribusi merupakan pembentukan wewenang tertentu dan pemberiannya kepada organ tertentu atau juga dirumuskan pada atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang- undangan. Atribusi pembentukan atau pemberian wewenang pemerintahan didasarkan aturan hukum yang dapat dibedakan dari asalnya, yakni yang asalnya dari pemerintah di tingkat pusat bersumber dari Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR, Undang-undang Dasar UUD atau Undang-undang UU, dan yang asalnya dari Pemerintah Daerah bersumber dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD dan Peraturan Daerah Perda. Atribusi wewenang dibuat oleh aturan hukum yang bersangkutan atau atribusi ditentukan aturan hukum yang menyebutkan didalamnya. Delegasi merupakan pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara lainnya. Dalam rumusan lain bahwa delegasi sebagai penyerahan wewenang oleh Pejabat Pemerintahan atau Pejabat Tata Usaha Negara kepada pihak lain dan wewenang tersebut menjadi tanggungjawab pihak lain tersebut. Pendapat yang pertama, bahwa delegasi itu harus dari Badan atau jabatan Tata Usaha Negara kepada Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara lainnya, artinya baik delegator maupun delegans harus sama-sama Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara. Pendapat yang kedua, bahwa delegasi dapat terjadi dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara kepada pihak lain yang belum tentu Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara. Dengan ada kemungkinan bahwa Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara dapat mendelegasikan wewenangnya delegans kepada Badan atau Jabatan yang bukan Tata Usaha Negara delegataris. Suatu delegasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang. Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara yang tidak mempunyai atribusi wewenang tidak dapat mendelegasikan wewenangnya kepada pihak lainnya. 91 91 Ibid., halaman 8. Berdasarkan pengertian tersebut di atas, bahwa wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap Notaris secara atributif ada pada Menteri sendiri, yang dibuat, diciptakan dan diperintahkan dalam Undang-undang sebagaimana tersebut dalam Pasal 67 ayat 1 Undang-undang Jabatan Notaris . Kedudukan Menteri sebagai eksekutif atau Pemerintah yang menjalankan kekuasaan Pemerintah dalam kualifikasi sebagai Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara. Berdasarkan Pasal 67 ayat 2 Undang-undang Jabatan Notaris, Menteri mendelegasikan wewenang pengawasan tersebut kepada suatu badan dengan nama Majelis Pengawas. Majelis Pengawas menurut Pasal 1 ayat 1 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.02.PR.08.10 Tahun 2004, adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pengawasan dan pembinaan terhadap Notaris. “Dengan demikian Menteri selaku delegans dan Majelis Pengawas selaku delegataris. Majelis Pengawas sebagai delegataris mempunyai wewenang untuk mengawasi Notaris sepenuhnya, tanpa perlu untuk mengembalikan wewenangnya kepada delegans.” 92 Kedudukan Menteri selaku Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku membawa konsekuensi terhadap Majelis Pengawas, yaitu Majelis Pengawas berkedudukan pula sebagai Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara. “Dengan demikian secara kolegial Majelis Pengawas sebagai : a. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara; 92 Ibid. b. Melaksanakan urusan pemerintahan; c. Berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, yaitu melakukan pengawasan terhadap Notaris sesuai dengan Undang-undang Jabatan Notaris.” 93 Dalam melakukan pengawasan, pemeriksaan dan penjatuhan sanksi Majelis Pengawas harus berdasarkan kewenangan yang telah ditentukan Undang-undang Jabatan Notaris sebagai acuan untuk mengambil keputusan, hal ini perlu dipahami karena anggota Majelis Pengawas tidak semua berasal dari Notaris, sehingga tindakan atau keputusan dari Majelis Pengawas harus mencerminkan tindakan suatu Majelis Pengawas sebagai suatu Badan, bukan tindakan anggota Majelis Pengawas yang dianggap sebagai tindakan Majelis Pengawas. Dengan demikian jika Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia yang secara atribusi mempunyai kewenangan Pengawasan yang kemudian didelegasikan kepada Majelis Pengawas, maka Menteri telah memberikan kewenangan kepada Majelis Pengawas Notaris untuk melakukan suatu tindakan yang sesuai dengan wewenangnya, termasuk mengeluarkan aturan- aturan yang penting agar Majelis Pengawas Notaris bisa jalan, tapi dengan keluarnya Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia nomor : M.03.HT.03.10. Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris, Menteri masih mengintervensi dan ingin menarik kembali delegasinya yang sudah diberikan kepada Majelis Pengawas Notaris. Tindakan Menteri Hukum dengan Peraturan tersebut telah tidak sesuai dengan norma atau kaidah Hukum Administrasi dalam penyelenggaraan negara yang baik dan bertentangan dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik Pasal 53 ayat 2 huruf b Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang- undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. 94 Jika Menteri telah mendelegasikan pengawasan Notaris kepada Majelis Pengawas Notaris, maka Majelis Pengawas Notaris mempunyai kewenangan penuh untuk melaksanakan pengawasan, termasuk membuat aturan-aturan hukum yang 93 Habib Adjie, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia Kumpulan Tulisan tentang Notaris dan PPAT, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, halaman 168. 94 Ibid., halaman 169. berkaitan dengan pengawasan. Menteri tidak perlu lagi membuat aturan hukum lainnya untuk dilaksanakan oleh Majelis Pengawas Notaris. Majelis Pengawas dalam kedudukan sebagai Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara mempunyai kewenangan untuk membuat atau mengeluarkan Surat Keputusan atau Ketetapan yang berkaitan dengan hasil pengawasan, pemeriksaan atau penjatuhan sanksi yang ditujukan kepada Notaris yang bersangkutan. Hasil akhir dari pemeriksaan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas Daerah berupa Surat Keputusan atau yang merupakan suatu penetapan tertulis. Jika dikaji ternyata Surat Keputusan tersebut bersifat konkrit, individual, final dan menimbulkan akibat hukum. Konkrit artinya objek yang diputuskan bukan suatu hal yang abstrak, tapi dalam hal ini objeknya yaitu akta tertentu yang diperiksa oleh Majelis Pengawas Daerah yang dibuat oleh Notaris yang bersangkutan. Individual artinya keputusan tidak ditujukan kepada umum atau kepada semua orang, tapi kepada nama Notaris yang bersangkutan. Final artinya sudah definitif, yang tidak memerlukan persetujuan dari pihak lain, sehingga hal ini dapat menimbulkan akibat hukum tertentu bagi Notaris yang bersangkutan. Ketentuan semacam ini hanya berlaku untuk Surat Keputusan Majelis Pengawas Daerah sebagai penerapan dari Pasal 66 Undang-undang Jabatan Notaris. 95 “Dalam kedudukan seperti itu Surat Keputusan atau Ketetapan Majelis Pengawas dapat dijadikan objek gugatan oleh Notaris ke Pengadilan Tata Usaha Negara PTUN sebagai sengketa Tata Usaha Negara, jika Notaris merasa bahwa keputusan tidak tepat atau memberatkan Notaris yang bersangkutan atau tidak dilakukan yang transparan dan berimbang dalam pemeriksaan.” 96 Peluang untuk mengajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara tetap terbuka setelah semua upaya administratif, yang disediakan baik keberatan administratif maupun banding administratif telah ditempuh, meskipun dalam aturan hukum yang 95 Ibid., halaman 174. 96 Habib Adjie, “Mem-PTUN-kan Keputusan Majelis Pengawas Notaris MPN Daerah”, Op. Cit., halaman 13. bersangkutan telah menentukan bahwa putusan dari Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara tersebut telah menyatakan final atau tidak dapat ditempuh upaya hukum lain karena pada dasarnya bahwa penggunaan upaya administratif dalam sengketa Tata Usaha Negara bermula dari sikap tidak puas terhadap perbuatan Tata Usaha Negara. Aspek positif yang didapat dari upaya ini adalah penilaian perbuatan Tata Usaha Negara yang dimohonkan tidak hanya dinilai dari segi penerapan hukum, tapi juga dari segi kebijaksanaan serta memungkinkan dibuatnya keputusan lain yang menggantikan Keputusan Tata Usaha Negara terdahulu. Ketika Undang-undang Jabatan Notaris diundangkan, para Notaris berharap dapat perlindungan yang proporsional kepada para Notaris ketika dalam menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris, salah satunya adalah berdasarkan ketentuan atau mekanisme-implementasi Pasal 66 Undang-undang Jabatan Notaris yang dilakukan Majelis Pengawas Daerah, juga setidaknya ada pemeriksaan yang adil, transparan, beretika dan ilmiah ketika Majelis Pengawas Daerah memeriksa Notaris atas permohonan pihak Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan. Akan tetapi, hal tersebut sangat sulit untuk dilaksanakan, karena para anggota Majelis Pengawas terdiri unsur-unsur yang berbeda sesuai dengan Pasal 67 ayat 3 Undang-undang Jabatan Notaris, yang berangkat dari latar belakang yang berbeda, sehingga tidak mempunyai persepsi yang sama ketika memeriksa Notaris. 97 Dalam pemeriksaan Majelis Pengawas Daerah tidak bisa membedakan antara Notaris sebagai objek dan akta sebagai objek. Jika Majelis Pengawas Daerah menempatkan Notaris sebagai objek, maka Majelis Pengawas Daerah akan memeriksa tindakan atau perbuatan Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya, yang pada akhirnya akan menggiring Notaris pada kualifikasi turut serta atau membantu terjadinya suatu tindak pidana. Sudah tentu tindakan seperti ini tidak dapat dibenarkan, karena suatu hal yang sangat menyimpang bagi Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya untuk turut serta atau membantu melakukan atau menyarankan dalam akta untuk terjadinya suatu tindak pidana dengan para pihak atau penghadap. 98 97 Habib Adjie, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia Kumpulan Tulisan tentang Notaris dan PPAT, Op. Cit., halaman 170-171. 98 Ibid, halaman 171. Dalam kaitan ini tidak ada aturan hukum yang membenarkan Majelis Pengawas Daerah mengambil tindakan dan kesimpulan yang dapat mengkualifikasikan Notaris turut serta atau membantu melakukan suatu tindak pidana bersama-sama para pihak atau penghadap. Majelis Pengawas Daerah bukan instansi pemutus untuk menentukan Notaris dalam kualifikasi seperti itu. Dalam tataran aturan hukum yang benar bahwa Majelis Pengawas Daerah harus menempatkan akta Notaris sebagai objek, karena Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berkaitan untuk membuat dokumen hukum, berupa akta sebagai alat bukti tertulis yang berada dalam ruang lingkup Hukum Perdata, sehingga menempatkan akta sebagai objek harus dinilai berdasarkan aturan hukum yang berkaitan dengan pembuatan akta, dan jika terbukti ada pelanggaran, maka akan dikenai sanksi sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 84 dan Pasal 85 Undang- undang Jabatan Notaris. Jika anggota Majelis Pengawas Daerah memahami dengan benar pelaksanaan tugas jabatan Notaris sesuai Undang-undang Jabatan Notaris, maka akan mengerti untuk menempatkan fokus pemeriksaan Notaris dengan objek pada akta Notaris. Jika anggota Majelis Pengawas Daerah memahami dengan benar lembaga kenotariatan sudah pasti akan tetap menjaga jabatan Notaris sebagai jabatan kepercayaan. 99 “Oleh karena itu, para Notaris tidak perlu khawatir, jika diloloskan oleh Majelis Pengawas Daerah atau Majelis Pengawas Daerah memberikan persetujuan agar Notaris dapat diperiksa oleh institusi lain, karena sudah ada jalan keluar 99 Ibid. sebagaimana tersebut di atas. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga martabat insitusi Notaris, juga para Notaris untuk dapat melindungi dirinya sendiri.” 100 Upaya hukum yang disebutkan di atas mempunyai batasan-batasan tertentu, yaitu hanya berlaku ketika Notaris menjalankan tugas jabatannya sesuai dengan wewenang Notaris dan tidak berlaku jika tindakan Notaris tidak dalam menjalankan tugas jabatannya atau tidak sesuai dengan wewenang Notaris. Dengan demikian perlu ditegaskan bahwa upaya hukum seperti tersebut di atas dapat dilakukan sepanjang Notaris menjalankan tugas jabatannya sesuai dengan wewenang Notaris, dan tidak berlaku jika Notaris melakukan suatu tindakan tidak dalam menjalankan tugas jabatannya selaku Notaris atau di luar wewenang Notaris atau Notaris secara insyaf dan sadar bekerjasama dengan para penghadap untuk membuat suatu akta yang bertentangan dengan hukum dengan maksud dan tujuan untuk merugikan orang lain secara materil dan immaterial, dan hal seperti wajib dibuktikan oleh Majelis Pengawas Daerah MPD. Bahwa hak para Notaris untuk melakukan tindakan hukum menjadi hilang atau dihilangkan oleh Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia nomor : M.03.HT.03.10. Tahun 2007, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 dan Pasal 12, jika Majelis Pengawas Daerah tidak memberikan jawaban atas permohonan Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim dalam jangka waktu 14 empat belas hari, maka Majelis Pengawas Daerah dianggap menyetujui, hal ini berarti Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim dapat melakukan upaya paksa terhadap Notaris yang bersangkutan. 100 Ibid., halaman 176. Dalam Pasal 4 ayat 2 Undang-undang Jabatan Notaris mengenai sumpah atau janji Notaris ditegaskan……”bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya…”, dan Pasal 16 ayat 1 huruf e Undang-undang Jabatan Notaris, bahwa Notaris berkewajiban “merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah atau janji jabatan, kecuali Undang- undang menentukan lain”. Dengan adanya Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia nomor : M.03.HT.03.10. Tahun 2007, maka sumpah atau janji jabatan Notaris menjadi tidak berlaku lagi, dan Notaris sebagai Jabatan Kepercayaan telah kehilangan makna dan rohnya, padahal Notaris dapat membuka rahasia jabatan, jika ada Undang-undang yang mewajibkannya, tapi dalam hal ini Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia nomor : M.03.HT.03.10. Tahun 2007 membolehkan segalanya dan tidak perlu ada yang dirahasiakan lagi, seperti tersebut dalam pasal 2, pasal 8, dan pasal 13. Jika Notaris melanggar Pasal 16 ayat 1 huruf e Undang-undang Jabatan Notaris, Notaris yang bersangkutan akan dikenai Sanksi Administratif sebagaimana tersebut dalam Pasal 84 Undang-undang Jabatan Notaris, dan juga juga harus diingat jika ternyata Notaris sebagai saksi atau tersangka, tergugat ataupun dalam pemeriksaan oleh Majelis Pengawas Notaris membuka rahasia dan memberikan keterangan atau pernyataan yang seharusnya wajib dirahasiakan, sedangkan Undang- undang tidak memerintahkannya, maka atas pengaduan pihak yang merasa dirugikan kepada pihak yang berwajib dapat diambil tindakan atas Notaris tersebut, tindakan Notaris seperti ini dapat dikenakan Pasal 322 ayat 1 dan 2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yaitu membongkar rahasia, padahal Notaris berkewajiban untuk menyimpannya. Dalam kedudukan sebagai saksi dalam perkara perdata Notaris dapat minta dibebaskan dari kewajibannya untuk memberikan kesaksian, karena jabatannya menurut Undang-undang diwajibkan untuk merahasiakannya sesuai dengan Pasal 1909 ayat 3 BW. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia nomor : M.03.HT.03.10. Tahun 2007 menjadi dilema bagi Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya untuk senantiasa menjaga rahasia jabatan sebagai suatu kewajiban, jika dilanggar, maka kepada Notaris yang bersangkutan akan dijatuhi sanksi.

BAB IV UPAYA MENGATASI KENDALA DALAM PENGAMBILAN

Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Atas Turunnya Kekuatan Pembuktian Akta Notaris Menurut Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris

6 96 116

pemanggilan notaris dalam proses penegakan hukum oleh hakim terkait akta yan g dibuatnya pasca perubahan undang undang jabatan notaris.

1 5 42

ANALISIS YURIDIS TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS.

0 1 109

TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEBATALAN DAN PEMBATALAN AKTA NOTARIS DALAM PRESPEKTIF UNDANG - UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS.

0 0 13

pemanggilan notaris dalam proses penegakan hukum oleh hakim terkait akta yan g dibuatnya pasca perubahan undang undang jabatan notaris. - Repositori Universitas Andalas

0 0 1

BAB II KEDUDUKAN HUKUM ATAS BATASAN TURUNNYA KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA NOTARIS BERDASARKAN UUJN NO. 2 TAHUN 2014 A. Karakter Yuridis Akta Notaris - Analisis Yuridis Atas Turunnya Kekuatan Pembuktian Akta Notaris Menurut Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor

0 1 30

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Atas Turunnya Kekuatan Pembuktian Akta Notaris Menurut Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris

0 0 21

Analisis Yuridis Atas Turunnya Kekuatan Pembuktian Akta Notaris Menurut Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris

0 0 14

ANALISIS YURIDIS TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS

1 6 58

TANGGUNGJAWAB NOTARIS ATAS PEMBUATAN AKTA PARTIJ BERDASARKAN KETERANGAN PALSU MENURUT UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS SKRIPSI

0 0 12