10
Bab I Pendahuluan
I.1 Latar Belakang Masalah
Masing-masing unsur kebudayaan saling berkaitan dan mempengaruhi sehingga merupakan satu sistem yang bersifat holistik. Dengan demikian, unsur
kesenian misalnya, tidak tercipta tersendiri atau hanya untuk seni saja, melainkan merupakan unsur universal kebudayaan yang berkaitan erat dengan adat istiadat,
aktivitas sosial, teknologi dan lainnya. Oleh karenanya kesenian bukan hanya milik dari sekelompok seniman yang berada dalam satu wilayah saja, namun milik
setiap anggota kelompok, dan mengatur perilaku sosial orang-orang yang ada dalam lingkup kelompok tersebut Edy Sedyawati, Seni Pertunjukaan Indonesia,
Topeng Dalam Budaya. Jakarta, Gramedia Widia Sarana Indonesia, 1993 Kesenian adalah unsur dan ekspresi kebudayaan manusia, yang berhubungan
erat dengan unsur-unsur kebudayaan lainnya. Sampai sekarang dalam kajian saintifik, kesenian dibagi menjadi rumpun-rumpun. a seni pertunjukan
performing art atau pertunjukan budaya cultural performance yang terdiri dari : musik, tari, dan teater yang kadang kala meluas sampai kajian pada bidang olah
raga, sirkus, prosesi dan juga ritual; b seni rupa atau seni visual yang terdiri dari: seni lukis, seni patung, pahat, kerajinan dan lainnya; c seni media rekam yang
terdiri dari : radio, televisi, komput er dan lain-lain. Seni pertunjukan atau seni persembahan dalam masyarakat Karo mencakup
seni musik yang lazim disebut gendang, seni tari yang lazim disebut landek, dan seni teater yang didukung oleh genre tembut-tembut. Istilah landek dalam bahasa
Karo memiliki denotasi yang hampir sama dengan tari dalam bahasa Indonesia.
11 Menurut masyarakat Karo, masing-masing gerakan tari landek selalu
berhubungan dengan perlambangan tertentu. Masing-masing perlambangan tersebut selalu menggambarkan sifat manusia maupun hubungan seseorang
dengan orang lain di dalam kehidupan sosialnya A. G Sitepu, Mengenal Seni Kerajinan Tradisional Karo Seri B. Bali Screen, 1998
Seni pertunjukan dalam masyarakat Karo merupakan bagian integral dari kebudayannya. Seni pertunjukan ini mencerminkan ide-ide budaya yang terwujud
dalam aktivitas dan artifak. Dalam seni pertunjukan masyarakat Karo dapat dijumpai sistem-sistem yang relevan sampai saat ini. Dalam seni pertunjukan
Karo terkandung juga keunikan-keunikan yang memperjelas dan mempertajam jatidiri masyarakat Karo.
Salah satu teater tradisional di Sumatera Utara yang cukup terkenal dalam konteks pariwisata adalah tembut-tembut dari Budaya Karo. Di Simalungun
terdapat teater Toping-toping atau Huda-huda, sementara dalam kebudayaan Melayu contohnya adalah bangsawan, tonil, dan sandiwara. Pada masyarakat
Batak adalah Opera Batak. Tembut-tembut di daerah Karo yang dikenal adalah yang ada di daerah Seberaya sehingga sering disebut Tembut-tembut Seberaya.
Tema ceritanya adalah hiburan bagi raja yang ditinggal mati anaknya Tridah Bangun, Manusia Batak Karo, Jakarta, Inti Indramayu, 1992
Bilakah terciptanya tembut-tembut Seberaya tidak dapat dipastikan secara tepat. Namun menurut penjelasan para informan di Desa Seberaya, dapat
diperkirakan berdasarkan tahun serta penyajiannya di Batavia Fair yaitu tahun 1920. berdasarkan tahun di atas, para informan memperkirakan terciptanya
tembut-tembut adalah sekitar tahun 1915. Awalnya berfungsi hiburan, dalam arti
12 digunakan untuk menyenangkan hati masyarakat yang menontonnya. Namun
dalam perkembangan selanjutnya penyajiannya dilaksanakan dalam konteks ndilo wari udan upacara memanggil hujan. Kapan awalnya pemakaian tembut-tembut
dalam konteks ndilo wari udan pun tidak diketahui secara pasti Putro Brahmana, Karo Dari Zaman Ke Zaman, Medan, Ulih Saber, 1999.
Tembut-tembut Seberaya terdiri dari dua jenis karakter perwajahan, yaitu karakter manusia dan karakter hewan. Karakter manusia terdiri dari empat tokoh
peran yaitu satu bapa ayah, nande ibu, satu anak dilaki putra dan satu anak diberu putri. Karakter binatang hanya mempunyai satu tokoh peran yaitu
gurda-gurdi burung enggang. Jalannya pertunjukan tembut-tembut adalah dimulai dengan membawa
tembut-tembut serta kelengkapannya ke tempat penyajian. Di tempat penyajian masing-masing pemain memakai tembut-tembut dan pakaiannya sesuai dengan
perannya masing-masing. Selepas itu, pemimpin penyajian menyuruh pemain musik supaya memainkan gendang dengan ucapan ”palu gendang ena..” yang
artinya ”mainkan musiknya..”. Pemain musik memainkan gendang dan pemain tembut-tembut mulai menari. Posisi awal penari tembut-tembut adalah sejajar
membelakangi pemain musik. Posisi ini dipertahankan hingga pemusik memainkan dua buah lagu yaitu lagu perang empat kali dan lagu simalungen
rayat. Pada lagu ketiga, yaitu lagu kuda-kuda, posisi penari mulai berubah, pola
tariannya tidak mempunyai struktur yang baku dan dilakukan secara inprovisasi. Penari yang memainkan karakter burung enggang selalu seolah-olah ingin
13 mematuk tokoh peran anak diberu anak perempuan. Penari yang berkarakter
ayah selalu berusaha menghalangi gangguan burung enggang tersebut. Bila pemain yang berkarakter ayah gagal menghalanginya maka pemain
yang berkarakter anak laki-laki datang membantu. Demikian lakon pemain penari dapat dilihat pada waktu pertunjukan diiringi dengan lagu kuda-kuda dan lagu
tembutta yang lebih cepat dibanding lagu kuda-kuda. Dewasa ini keberadaan topeng tembut-tembut tampak kurang mendapat
perhatian dari masyarakat Karo sendiri. Hal ini terlihat dari semakin kurangnya pemakaian tembut-tembut dalam upacara-upacara atau kegiatan-kegiatan yang
bersifat ritual, dimana dulunya pada kegiatan ini topeng tembut-tembut memiliki peran yang cukup besar dalam berjalannya acara. Melihat fenomena yang terjadi
pada masyarakat Karo, dikhawatirkan generasi muda Karo akan melupakan dan tidak dapat menikmati salah tembut-tembut sebagai salah satu produk asli budaya
Karo. Pada masa lalu, keberadaan tembut-tembut ini memiliki peran yang cukup
besar pada masyarakat Karo. Selain juga sebagai alat untuk upacara ndilo wari udan, juga berfungsi sebagai hiburan untuk menyambut tamu-tamu penting yang
berkunjung ke daerah Karo. Hal ini menunjukkan betapa besar peran dari tembut- tembut dalam kahidupan masyarakat Karo. Jauh berbeda dengan kenyataan yang
ada saat ini dimana tembut-tembut hanya dianggap sebagai hiasan yang melengkapi sebuah pertunjukan budaya Karo. Misalnya pelengkap dalam
Perayaan Pesta Bunga dan Buah atau Pesta Budaya Karo lainnya dimana tembut- tembut buka dianggap objek yang penting, hanya sebagai pajangan.
14 Dari beberapa uraian tentang keberadaan tembut-tembut pada masyarakat
Karo saat ini maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai tembut-tembut, khususnya di daerah asal tembut-tembut yaitu Desa Seberaya dan
Barusjahe. Tulisan ini akan mendeskripsikan secara umum makna simbolik yang terkandung dalam tarian topeng tembut-tembut pada masyarakat Karo dan
keberadaan tembut-tembut pada masyarakat Karo yang saat ini semakin jarang ditemui dalam setiap upacara-upacara adat Karo.
I.2 Ruang lingkup Masalah dan Lokasi Penelitian