Tembut-Tembut Seberaya Tembut-Tembut (Arti Simbolik dan Tarian Tembut-Tembut) Studi Kasus di Desa Seberaya Kecamatan Tigapanah Kabupaten Karo

37

Bab III Tembut-Tembut Seberaya

III.1 Sejarah tembut-Tembut Tembut-Tembut yang terdapat di Desa Seberaya dibuat Oleh Pirei Sembiring Depari, diperkirakan sekitar tahun 1910-an. Pirei Sembiring Depari semasa hidupnya adalah seorang tukang ukir dan tukang pahat yang tersohor. Kepandaiannya yang utama adalah menempa atau membentuk pisau, parang dan belati. Masyarakat Karo pada masa itu mangakui pisau dan belati hasil buatan Pirei Sembiring Depari memiliki kualitas yang sangat baik. Pirei Sembiring Depari hidup dari pekerjaannya sebagai penempa pisau dan belati serta juga pengukir batu. Popularitas Pirei Sembiring Depari sampai juga pada pemerintahan Belanda yang pada masa itu mengusai Tanah Karo sebagai penjajah. Hal ini membuat pihak Belanda memesan belati buatan Pirei Sembiring Depari, dan pesanan-pesanan tersebut membuat kehidupan Pirei Sembiring Depari makin membaik dari segi ekonomi. Pirei Sembiring Depari memiliki satu sifat yang kurang baik yaitu gemar bermain judi. Dalam kegiatannya bermain judi, Pirei sering mengalami kekalahan. Pada suatu hari, sehabis dia kalah bermain judi dia pulang melewati areal perladangan, dimana di areal perladangan tersebut banyak dipajang Gundala- Gundala yang digunakan petani untuk menakut-nakuti hewan pengganggu tumbuhan mereka seperti burung dan moyet. Melihat gundala-gundala tersebut, muncul keinginan Pirei Sembiring Depari untuk memahat gundala-gundala yang sama. 38 Meskipun telah memiliki niat untuk membuat gundala-gundala yang dilihatnya dalam perjalanan menuju pulang, namun Pirei Sembirng Depari belum dapat menemukan apa bahan atau kayu apa yang akan dipahat untuk membuat gundala-gundala tersebut. Hal ini membuat Pirei dalam melakukan perjalanan kemanapun dia pergi melakukan pengamatan terhadap pohon-pohon yang dijumpainya, memilih kayu apa yang cocok untuk rencananya membuat gundala- gundala. Dalam sebuah perjalannya menuju suatu tempat, Pirei Sembiring Depari melihat pohon gecih. Pohon kayu tersebut berbentuk lurus, bersih dan tak bercacat serta mudah dipahat. Hal ini membuat Pirei menjatuhkan pilihat pada kayu gecih untuk dijadikan kayu pembuat gundala-gundala. Pada suatu hari Pirei Sembiring Depari berniat menebang pohon tersebut, namun ketika hendak menebang pohon ini tiba-tiba petir datang menyambar dan hujan pun turun dengan lebatnya, hal ini membuat usaha Pirei untuk mebang pohon tersebut gagal. Berkali-kali Pirei Sembiring Depari mencoba menebang kembali pohon tersebut, namun selalu gagal dengan adanya sambaran petir dan turunnya hujan. Keadaan seperti ini tidak membuat Pirei menyerah untuk mendapatkan pohon tersebut, akhirnya Pirei meminta petunjuk dari para orang tua bagaimana cara agar penebangannya berhasil. Dari arahan para orang tua yang ditanya oleh Pirei Sembiring Depari, maka Pirei haruslah memberikan sesajen pada kekuatan gaib yang menunggui hutan. Sesajen tersebut dalam bentuk makanan seperti seekor ayam yang sudah dimasak, pisang, nasi dan buah-buahan ditambah beberapa lembar daun sirih yang dilengkapi dengan kapur sirih dan gambir. Sesajen tersebut sebagai tanda minta 39 permisi untuk menebang salah satu pohon yang ada di dalam hutan tersebut. Setelah melakukan ritual pemberian sesajen pada kekuatan gaib pemilik hutan, akhirnya Pirei dapat melakukan penebangan terhadap kayu gecih ini. Pada saat penebangan kayu ini, petir memang tidak datang lagi menyambar, namun hujan masih tetap turun, namun ini tidak begitu mengganggu penebangan yang dilakukan Pirei. Dari kayu gecih tersebut Pirei Sembiring Depari membentuk dan mengukir seperangkat gundala-gundala. Gundala-gundala tersebut terdiri dari empat topeng dan satu kepala burung. Mengacu pada gundala-gundala, maka Pirei Sembiring Depari dalam membuat patung atau topeng tersebut berusaha semirip mungkin dengan imajinasinya. Namun, topeng yang dihasilkan oleh Pirei Sembiring Depari, menurut orang-orang pada saat itu lebih seram dan menakutkan dari gundala-gundala biasanya. Hal ini membuat gundala-gundala buatan Pirei Sembiring Depari disebut Tembut-Tembut. Pada awalnya, Pirei Sembiring Depari meminta beberapa anak muda yang termasuk dalam kekerabatan anak beru-nya untuk memainkannya di halaman rumahnya. Sebagaimana tradisi yang terdapat pada masyarakat Karo, seseorang yang lazim untuk disuruh dalam melakukan suatu pekerjaan adalah kerabat yang masuk dalam kelompok anak beru kelompok pengambil anak dara, sedangkan dari pihak kalimbubu pemberi anak dara pantang untuk disuruh-suruh. Permainan tembut-tembut dari Pirei Sembiring menarik perhatian banyak warga desa, sehingga setiap keluarga Pirei memainkan tembut-tembut ini selalu saja banyak warga yang menonton. Selain karena pada masa itu hiburan masih sangat minim, hal ini juga dikarenakan permainan ini dianggap unik dan menghibur. 40 Namun setiap tembut-tembut tersebut dimainkan maka selalu saja turun hujan, sehingga masyarakat dan Pirei sendiri pun marasakan keganjilan. Sampai pada suatu saat Pirei Sembiring Depari mendapatkan suatu “bisikan” gaib dalam tidurnya. Bisikan tersebut mengatakan kalau dia harus menjaga dan merawat tembut-tembut tersebut sampai pada anak cucunya nanti. Pirei juga diwajibkan untuk memandikan dan memberi sesajen pada waktu-waktu tertentu pada tembut- tembut tersebut, tembut-tembut ini juga hanya dapat dimainkan oleh anak beru dari pihak Pirei Sembiring Depari. Berdasarkan hal tersebut diataslah sehingga sampai saat ini tembut-tembut yang dibuat oleh Pirei Sembiring Depari tetap dijaga dan dipelihara oleh keturunnya. Dari Pirei Sembiring Depari sampai sekarang, sudah empat generasi yang menjadi ahli warisnya. Untuk lebih jelasnya lagi dapat dilihat dari urutannya sebagai berikut : 1. Pirei Sembiring Depari = Pembuat tembut-tembut pertama 2. Ngasal Sembiring Depari 3. Firman Sembiring Depari 4. Dwikora Sembiring Depari = Ahli waris tembut-tembut sekarang 41 III.2 Karakter Tembut-Tembut Mengacu pada gundala-gundala, maka Pirei Sembiring Depari juga membentuk lima topeng yang mewakili lima karakter dan tokoh. Lima karakter dan tokoh tembut-tembut tersebut adalah Panglima, Kikir Labang, Manuk Si Gurda Gurdi, Anak Perana dan Singuda-nguda. Foto I Topeng Tembut-Tembut yang terdiri dari Panglima, Kikir Labang, Anak Perana, Singuda-nguda dan Manuk Si Gurda Gurdi 42 Untuk mewakili kelima tokoh atau karakter tembut-tembut tersebut, maka Pirei Sembiring Depari mambuat penafsiran dan interpretasi sendiri. Tembut- tembut yang dibuatnya untuk tokoh Panglima, topengnya berwarna hitam, dengan karakter wajah seperti orang tua dan juga memunculkan kesan keperkasaan, kebijaksanaan, keberanian, kekuatan ilmu dan kesepuhan. Untuk mendukung kesan-kesan tersebut dalam topeng ini, maka topeng ini diberi alis, kumis dan jenggot yang panjang dan berwarna putih. Sebagai bahan untuk alis, kumis dan jenggot terbuat dari kulit kambing yang disesuaikan kemudian dilengketkan pada topeng tersebut. Foto II Karakter Panglima pada Topeng Tembut-Tembut 43 Topeng Kikir Labang diinterpretasikan berwarna kuning, berkarakter wanita tua dengan gigi hitam yang dikikir rata. Hal ini mengacu pada kebiasaan pada masyarakat Karo pada jaman dahulu untuk membuat penampilan lebih baik, adalah dengan mengkikir giginya sendiri. Namun kebiasaan mengkikir gigi ini hanya dilakukan oleh wanita yang sudah berada diatas usia 60 tahun. Untuk membedakan Kikir Labang dengan Singuda-nguda, yaitu dimana Kikir Labang adalah wanita tua dan singuda-nguda adalah gadis muda, maka warna kuning pada topeng Kikir Labang dibuat lebih pucat sementara warna kuning pada topeng singuda-nguda dibuat lebih cerah. Selain itu, topeng Kikir labang ini juga diberi warna merah pada bibirnya, mengacu pada salah satu kebiasaan wanita di dalam masyarakat Karo yaitu memakan sirih. Dalam konteks gundala-gundala, Kikir Labang ini juga disebut Kemberahen atau permaisuri, sementara dalam konteks tembut-tembut lebih dikenal dengan Kikir Labang. Gigi dari Kikir Labang dibuat berwarna hitam sesuai dengan kebiasaan ibu-ibu yang dikikir dan makan sirih, giginya menjadi berwarna hitam. Kedua telinganya juga memakai anting yang berbentuk seperti jantung pisang atau kudung-kudung dalam bahasa Karo. 44 Foto III Karakter Kikir Labang pada Topeng Tembut-Tembut 45 Untuk topeng anak perana, Pirei Sembiring Depari menginterpretasikannya dengan topeng berwarna kuning denga karakter laki-laki yang masih muda. Bentuk wajah topeng lebih menonjol dari semua tokoh lain. Foto IV Karakter Anak Perana pada Topeng Tembut-Tembut 46 Untuk topeng singuda-nguda juga diinterpretasikan topeng warna kuning dengan karakter anak gadis yang cantik, diperjelas dengan memakai anting-anting berbentuk kudung-kudung. Kedua topeng tersebut, yaitu anak perana dan singuda-nguda mamakai warna kuning yang cerah, melambangkan anak muda. Kemudian ketiga topeng itu, Kikir Labang, Singuda-nguda dan anak perana bagian atasnya diberi cat warna hitam sebagai lambang dari rambut, namun topeng panglima diatas diberi cat warna putih sebagai lambang dari rambut orang yag telah tua ubanan. Foto V Karakter Singuda-nguda pada Topeng Tembut-Tembut 47 Sedangkan Manuk Si Gurda Gurdi karena merupakan binatang buas dan mampu memangsa manusia, maka diinterpretasikan memiliki paruh yang panjang. Karena paruhnya yang panjang tersebut maka di Desa Seberaya tokoh ini dikenal dengan nama Tubinggang, karena paruhnya panjang menyerupai burung enggang. Dalam hal gerak, Tubinggang ini cenderung melakukan gerakan-gerakan yang melambangkan kebuasan dengan mengejar, melompat, berjongkok dan seolah- olah akan menerkam. Foto VI Karakter Manuk si Gurda-Gurdi pada Topeng Tembut-Tembut 48 Dalam masyarakat Karo, ada beberapa warna yang selalu ada pada setiap peralatan adat masyarakat Karo, misalnya kain adat, baju adat dan sebagainya. Warna-warna tersebut adalah mbiring hitam, megara merah, megersing kuning dan mbentar putih. Adapun arti dari masing-masing warna tersebut adalah : 1. mbiring hitam melambangkan kesabaran dan ketekunan megenggeng. 2. megara merah melambangkan teguh dalam mempertahankan kejujuran. 3. megersing kuning melambangkan penyejuk atau pengobat hati. 4. mbentar putih melambangkan kesucian. III.3 Cerita lakon Tembut-Tembut Tidak ditemukannya catatan yang tertulis mengenai kisah cerita tembut- tembut membuat ada beberapa versi kisah yang dikenal dalam masyarakat Karo. Hal ini merupakan satu kebiasaan dari tradisi lisan, yang kadang diadaptasi sesuai dengan kemahiran dan keinginan orang atau oknum yang menceritakannya. Dalam berbagai konteks pertunjukan tembut-tembut, biasanya melakonkan kisah sebagai berikut : Menurut kisah pada jaman dahulu, di suatu tempat di Tanah Karo, ada sebuah keluarga yang memiliki seorang anak gadis yang sangat cantik. Di tempat itu juga ada seorang pemuda yang menyukai gadis tersebut, namun karena pemuda tersebut memiliki sifat yang buruk dan tidak memiliki budi pekerti, sehingga maksud hatinya tidak dihiraukan oleh sang gadis. Untuk memenuhi keingiannnya untuk mendapatkan gadis tersebut, pemuda yang memiliki sifat jelek tersebut melakukan segala cara, antara lain dengan berguru ilmu hitam. 49 Akhirnya dia memperoleh kesaktian dari hasil bergurunya, namun hal itu juga yang membuatnya berubah menjadi seekor Burung Enggang. Dengan kesaktiannya yang dapat berubah wujud menjadi manusia atau burung, maka pemuda tersebut dapat dengan mudah mengintai gadis pujaannya kapan dia inginkan. Pamuda tersebut merubah wujudnya menjadi burung ketika akan mendekati gadis itu, karena jika melihat wajahnya gadis tersebut takut dan selalu menghindar. Pada suatu hari pemuda yang telah berubah menjadi burung enggang tersebut tidak dapat lagi menahan keinginannya untuk memiliki si gadis, sehingga dia berniat untuk menerkam dan melarikan gadis pujaan. Namun rencana jahat pemuda tersebut diketahui oleh orang tua sang gadis. Dikarenakan orang tua gadis tidak sanggup melawan kasaktian si pemuda, maka orang tua si gadis meminta pertolongan kepada anak beru jabunya yang memiliki kekuatan atau kesaktian. Pertarungan terjadi antara anak beru dengan burung jelmaan tersebut. Setelah pertarungan sengit yang terjadi, akhirnya anak beru dapat mengalahkan burung jelmaan pemuda tersebut. Setelah mengalami kekalahan, burung tersebut kembali lagi berubah menjadi manusia dan kehilangan kesaktiannya, sejak saat itu pemuda tersebut berjanji tidak akan mengganggu anak gadis keluarga itu lagi. Selanjutnya dalam pertunjukan tembut-tembut, diyakini bahwa singuda- nguda adalah seorang putri raja. Hubungan dari kelima tokoh tersebut adalah bahwa Panglima adalah anak beru, sedangkan Kikir Labang adalah salah seorang pengasuh dayang-dayang putri raja, yang juga memiliki kekuatan mistik. Manuk Si Gurda Gurdi atau Tubinggang adalah jelmaan dari seorang pemuda yang suka terhadap singuda-nguda, namun karena sifat dan kelakuannya yang buruk, 50 singuda-nguda tidak menyukainya. Sedangkan anak perana adalah seorang raja yang memiliki putri yang cantik. Versi sekarang cerita tentang tembut-tembut, menurut Dwikora Sembiring Depari, bahwa Panglima adalah ayah, sedang Kikir Labang adalah seorang ibu. Panglima dan Kikir Labang adalah sepasang suami istri yang memiliki sepasang anak laki-laki dan perempuan, yaitu singuda-nguda dan anak perana. Namun cerita ini dimunculkan ketika yang menjadi penjaga tembut-tembut adalah ayahnya, atas masukan dari pemerintah Kabupaten Karo. Adapun tujuannya memodifikasi cerita ini adalah dalam rangkan menggalakkan program KB Keluarga Berencana sekitar tahun 1970-an, dimana dua anak saja cukup. Karena untuk kebutuhan kampanye KB tersebut, sering juga pemerintah memakai tembut- tembut untuk pertunjukan. Hal ini membuat banyak masyarakat yang tahu cerita atau kisah dari tembut-tembut itu sendiri. III.4 Bentuk Tembut-Tembut dan Pembuatannya Mengenai detail pembuatan tembut-tembut yang dilakukan oleh Pirei Sembiring Depari, tidak ada satu orang pun yang mengetahuinya lagi. Tembut- tembut adalah topeng pada masyarakat Karo yang terdapat di Desa Seberaya dan memiliki ciri khas tertentu, yang tidak ditemui di daerah lain. Tembut-tembut merupakan topeng yang menirukan wajah manusia. Bentuk tembut-tembut adalah bulat lonjong oval, dengan ukuran lebih besar dari kepala manusia. Meskipun bentuk dan permukaan tembut-tembut melampaui garis wajah manusia, atau dapat dikatakan kurang realistis bila dibanding dengan wajah manusia pada umumnya, 51 namun perwujudan ekspresinya sama dengan struktur wajah manusia, hal ini terlihat dari struktur anatominya mata, hidung, mulut, telinga dan sebagainya Didalam topeng tembut-tembut dibuat ruang untuk tempat kepala dan wajah. Didalam rongga topeng dibuat lubang pada bagian mata dan hidung agar pemain dapat melihat dan bernafas. Cara memakai tembut-tembut adalah dengan memasukkan topeng ke kepala, sehingga menutupi seluruh muka, kepala, tengguk hingga dagu pemakainya. Bahan baku untuk pembuatan topeng tembut-tembut adalah dari kayu gecih, jenis kayunya ringan, tidak keras sehingga mudah membentuknya. Pemilihan bahan tersebut sangat berkaitan dengan kebutuhan pembuat dan pemakainya. Kayu gecih mudah dipahat dan diukir sehingga mudah dibentuk oleh pembuatnya. Sedangkan sifatnya yang ringan dapat memudahkan pemain dalam memakai topeng dalam lakon tembut-tembut. Jika bahan bakunya berat, akan sangat mengganggu ruang gerak dari si pemainnya. Pembuatan tembut-tembut yang terdapat di Desa Seberaya masih menggunakan peralatan tradisional, seperti gaji gergaji, sekin Parang, dan pahat. Namun hasilnya cukup baik dan permukaannya halus. Akan tetapipada bagian dalamnya, karena pada masa itu belum ada alat bor yang modern seperti saat ini, permukaan dalamnya kurang rata. Untuk menghindari rasa sakit yang ditimbulkan pada wajah di pemakai, biasanya bagian dalamnya dilapisi kain. Tangan tembut-tembut ini juga terbuat dari kayu, yang dibentuk sedemikian rupa sehingga mirip dengan bentuk tangan manusia yang terbuka dan jari-jarinya lurus terkembang. Tangan-tangan kayu ini juga diberi warna sama 52 dengan topeng tembut-tembut. Bagian pangkal disisakan panjang yang kemudian dijadikan pegangan bagi orang yang memainkannya. Paruh Manuk Si Gurda-Gurdi atau Tubinggang juga terbuat dari kayu gecih, yang diukir sedemikian rupa sehingga menyerupai leher, kepala dan paruh burung. Bagian kepala diberi warna hitam, paruh diberi warna putih dan jambul diberi warna kuning. III.5 Memainkan Tembut-Tembut Seorang pemain tembut-tembut pada dasarnya harus juga menguasai gerak tari Karo, hal ini karena penampilan tembut-tembut tersebut diiringi musik tradisional Karo. Dalam hal menari, masyarakat Karo memiliki suatu aturan dimana pada saat gong berbunyi maka jinjitan penari adalah naik ke atas, hal ini juga harus dilakukan oleh seorang pemain tembut-tembut. Demikian juga mengenai pola gerak tangan, sekalipun memainkan tembut-tembut dengan mempergunakan tangan palsu yang sifatnya kaku, tetapi urutan dan rangkaiannya harus meniru seperti gaya orang yang menari. Namun mengenai aturan gerak tersebut di atas, ada kalanya tidak sepenuhnya dilaksanakan, terutama pada saat berjalan dalam upacara Ndilo Wari Udan. Hal ini disesuaikan dengan kondisi si pemusik yang juga tidak bermain sepenuhnya seperti ketika bermain sambil duduk di atas pentas. Dalam acara pertunjukan tembut-tembut untuk suatu kebutuhan pertunjukan pun, pada saat adegan perang antara Panglima dan singuda-nguda melawan Tubinggang atau Manuk Si Gurda-Gurdi, ketentuan gerak menari tersebut juga diabaikan. 53 Pada saat penyajiannya, pemain tembut-tembut ini memakai jubah panjang sampai menutupi mata kaki. Sebelum memakai jubah tersebut, pemain juga biasanya membuat buntelan kain yang diikatkan di perut mereka, hal ini membuat pemain ini memperlihatkan perut yang buncit. Jubah yang dipakai memiliki lengan baju yang panjang sehingga menutupi telapak tangan. Karena tangan sudah tertutup, maka pemain dilengkapi dengan tangan palsu yang terbuat dari kayu yang besarnya setara dengan kira-kira dua kali ukuran tangan sebenarnya. Karena penyajian tembut-tembut sangat mengutamakan permainan topeng yang dikenakan para pemainnya, sumber gerak didominasi oleh kepala dan muka. Sedangkan gerakan kedua tangan yang dikoordinasikan dengan gerakan kaki yang lebih banyak bersifat memperindah dan memperkaya penampilan. Sehingga pada bagian tertentu penampilan tembut-tembut memungkinkan terjadinya gerakan- gerakan tangan yang minimal, sejauh pemain yang bersangkutan memberikan gerakan cukup pada bagian mukanya. III.6 Musik penggiring Tembut-Tembut Pertunjukan tembut-tembut diiringi oleh musik tradisional dalam bentuk ensembel yang disebut Gendang Lima Sendalanen gendang lima sejalan, antara lain terdiri dari : Sarune = Serunai, sebagai pembawa melodi lagu; Gendang Singindungi = Gendang Ibu, sebagai pembawa variasi ritmis; Gendang Singanaki = Gendang anak, sebagai pembawa ritmis tetap; Gung = Gong, sebagai penentu siklus terbesar; Penganak = Gong Kecil, sebagai pembawa siklus terkecil. Urutan lagu yang dimainkan untuk mengiringi tembut-tembut terdiri dari Gendang Tangtugut atau Siarak-araki, Gendang Limbe, Gendang Mbertik 54 Rurusen serta Gendang Peselukken. Masing-masing gendang ini memiliki tempo bervariasi, mulai dari lambat, sedang, cepat dan sangat cepat. Untuk mengiringi tembut-tembut dalam upacara Ndilo Wari Udan, Gendang Siarak-araki atau Tangtugut lambat dimainkan mengiringi tembut- tembut pada saat mulai berjalan. Pada saat ini semua barisan yang masuk dalam prosesi upacara mengatur jalan sambil menyesuaikan barisan. Setelah setengah perjalanan kemudian dimainkan Gendang Limbe atau Mari-Mari yang memiliki tempo sedang. Setelah barisan prosesi sampai di tepi lau Kemit pada saat ersimbu mulai atau sampai ke batas desa dimana upacara dilakukan, kemudian dimainkan Gendang Mbertik Rurusen yang temponya cepat. Lagu terakhir adalah Gendang Peselukken yang temponya sangat cepat. Pada saat ini, ketika acara ersimbu dimulai, para pemain tembut-tembut sudah dalam keadaan kesurupan, namun padas saat setelah acara ersimbu selesai, penari tembut-tembut tidak lagi dalam kondisi kesurupan. Memainkan Gendang ini pada saat berjalan adalah dengan mengikatkannya di pinggang pemain dengan kain sarung. Namun ada juga kalanya gendang dipegang dengan satu tangan dan satu tangan lagi memainkannya. Sedangkan Gong dipikul dua orang kemudian satu orang lagi memainkannya sambil berjalan disamping, namun Gong dapat juga dibawa oleh satu orang yang sekaligus juga sebagai pemainnya. Karena posisi pemain musik gendang lima sendalanen untuk mengiring tembut-tembut sambil berjalan bukanlah hal yang biasa, maka sierjabaten atau pemain musiknya hanyalah orang- orang dengan kemampuan bermain musik yang tinggi. 55 III.7 Sesajen Untuk Tembut-Tembut Menurut Kora Sembiring Depari sebagai ahli waris dari Tembut-Tembut Seberaya, ada perlakuan-perlakuan khusus terhadap tembut-tembut, yang dilaksanakan secara periodik ataupun sehubungan dengan penggunaannya. Perlakuan tersebut ada tiga hal yaitu : pertama ketika hendak dimainkan, kedua setelah dimainkan dan ketiga dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu. Sebelum tembut-tembut dimainkan dalam upacara Ndilo Wari Udan ataupun pertunjukan lainnya, semua tembut-tembut dikeluarkan dari kotaknya kemudian dibariskan di halaman depan rumah. Setelah dibersihkan sejenak maka tembut-tembut tersebut dimandikan dengan air yang telah dicampur dengan abu dapur yang telah disaring sebelumnya, 3 buah rimo mukur beserta bunganya, 7 jenis bunga bunga sapa dan umbi utama dari kunyit indung kuning gersing. Kesemua ini adalah campuran untuk memandikan tembut-tembut. Adapun urutan memandikan tembut-tembut adalah yang pertama sekali topeng panglima, kemudian Kikir labang, disusul anak perana, Manuk Si Gurda- Gurdi dan yang terakhir adalah singuda-nguda. Urutan memandikan ini diyakini berdasarkan urutan pembuatan topeng oleh Pirei Sembiring Depari pada masa lalu. Air yang diberi ramuan yang digunakan untuk memandikan tembut-tembut sebelum dimainkan ini disebut Lau Peniresen. Setelah tembut-tembut selesai dimainkan dalam upacara Ndilo Wari Udan atau acara lain, dilakukan juga acara memandikannya. Sebelum dimandikan, masing-masing topeng tembut-tembut tersebut diperhatikan dan dibersihkan dengan kain lap. Setelah diyakini tidak ada lagi kotoran yang melekat, maka dimandikan dengan air yang telah diberi ramuan Lau penguras. Adapun urutan 56 memandikan tembut-tembut adalah sama seperti ketika dimandikan saat akan dimainkan. Pertama yang dimandikan adalah Panglima, kemudian Kikir Labang, disusul anak perana, tubinggang atau anak manuk si gurda gurdi dan yang terakhir adalah singuda-nguda. Lau penguras ini adalah air yang dimasukkan ramuan yang terdiri dari : bulung simalem-malem, bulung besi-besi, sangkel sipilit, siang-siang, bulung rimo mukur, kapal-kapal, slantam, bunga sapa dan rimo mukur. Keseluruhan ramuan tersebut disatukan, dicampur kemudian dimasukkan ke dalam air yang akan digunakan untuk memandikan tembut-tembut. Setelah tembut-tembut selesai dimandikan, dibiarkan sejenak hingga benar-benar kering. Bila sudah kering, masing-masing dibungkus dangan kain putih dagangen lalu disusun kembali ke tempat penyimpanan. Tempat penyimpanan tembut-tembut adalah sebuah kotak dari kayu yang di dalamnya terdapat sekat-sekat tempat meletakkan tembut-tembut. Selain sesajen dalam bentuk memandikan, ada juga sesajen dalam bentuk makanan yang diberikan kepada tembut-tembut. Sesajen dalam bentuk makanan ini diberikan sekali dalam setahun, dan mengenai waktu pelaksanaannya tidak dapat dipastikan. Biasanya jika sudah tiba saatnya pemberian sesajen dalam bentuk makanan pada tembut-tembut, Kora Sembiring Depari sebagai ahli wari tembut-tembut bermimpi dan dimana dalam mimpinya dia bertemu dengan orang tua yang memnyuruhnya untuk menyiapkan dan memberikan sesajen pada tembut-tembut tersebut. Namun adakalanya bukan Kora Sembiring Depari yang bermimpi, melainkan anggota keluarganya yang lain. 57 Adapun sesajen yang diberikan kepada tembut-tembut adalah terdiri dari : bawang putih tunggal, lada hitam merica, dawa cur, rimo bunga jeruk asam, rimo mukur jeruk Purut, cimpa buka siang makanan khas orang karo yang terbuat dari tepung beras, galuh si emas sada ncikat pisang emas satu sisir, belo cawir daun sirih dan buah mayang pinang. Semua tembut-tembut dikeluarkan dari kotak penyimpanan, kemudian dibariskan diatas tikar kecil yang terbuat dari pandan amak mbentar. Urutannya mulai dari kanan adalah topeng Panglima, Kikir Labang, Anak Perana, Tubinggang dan yang terakhir adalah singuda-nguda. Kemudian seluruh sesajen tersebut diletakkan di hadapan tembut-tembut dan dibiarkan sesaat. Pelaksanaan pemberian sesajen ini dilaksanakan di rumah Kora Sembiring Depari, yang dilakukan sebelum tengah hari sebelum pukul 12 siang. Setelah sesajen dibiarkan beberapa saat dihadapan tembut-tembut, kemudian anggota keluarga yang ingin memakannya dapat juga ikut memakannya. Semua bahan-bahan untuk sesajen tembut-tembut, bila dibutuhkan pemakaian pisau dalam menggunakannya, misalnya membelah jeruk purut, harus menggunakan pisau yang merupakan warisan dari Pirei Sembiring Depari. Pisau tersebut ada dua jenis, jenis pedang dan belati. Kedua pisau tersebut juga disimpan bersama dengan tembut-tembut setelah dibalut dengan tikar putih atau dalam bahasa Karo disebut amak mbentar. 58

Bab IV Fungsi Tembut-Tembut Dalam Kehidupan Masyarakat Karo