Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Jenis Kelamin pada

86 banyak memiliki faktor risiko hipertensi. Selain itu, faktor kurangnya pengetahuan masyarakat rural mengenai hipertensi juga menjadi salah satu faktor yang mendukung tingginya faktor risiko hipertensi yang dimiliki oleh masyarakat rural. Langkah penanggulangan hipertensi yang dapat dilakukan untuk meminimalisir dampak yang akan muncul akibat faktor risiko tersebut adalah dengan mengurangi perilaku yang menjadi faktor risiko hipertensi tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Pradono 2013 menyatakan bahwa melakukan modifikasi gaya hidup dengan mengurangi risiko meningkatnya berat badan dan lingkar perut, memegang peranan penting dalam mencegah terjadinya hipertensi di Kabupaten Bogor. Hal lain yang juga dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang hipertensi, dengan penyuluhan maupun penempelan poster disekitar rumah masyarakat.

6.4 Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Perilaku Merokok pada

Masyarakat Rural-Urban Merokok sebatang setiap hari akan meningkatkan tekanan darah sistolik 10-25 mmHg serta menambah detak jantung 5-20 kalimenit Sitorus, 2005. Sitepu 2012 juga menyatakan bahwa orang yang mempunyai kebiasaan merokok memiliki resiko 5,320 kali lebih besar untuk terjadinya hipertensi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kejadian hipertensi akibat perilaku merokok lebih banyak terjadi pada masyarakat urban 48,6 dibandingkan dengan masyarakat rural 11,4. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa masyarakat urban berpeluang lebih besar untuk 87 terkena hipertensi akibat perilaku merokok dibandingkan dengan masyarakat rural. Penelitian mengenai hubungan rokok dan hipertensi dilakukan oleh Anggraini, dkk 2009. Penelitian ini menyatakan bahwa ada hubungan bermakna antara kebiasaan merokok dengan kejadian hipertensi. Sebanyak 18 kejadian hipertensi ditentukan oleh besarnya kebiasaan merokok dan 82 oleh faktor lain. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa kejadian hipertensi akibat perilaku merokok pada masyarakat urban proporsinya lebih tinggi dibandingkan pada masyarakat rural. Hal ini diduga karena tuntutan hidup dan tingkat stress di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di pedesaan, sehingga masyarakat cenderung melampiaskan stress yang mereka alami kepada hal negatif seperti rokok. Penelitian yang dilakukan oleh Novi Indra Sari 2011 pada siswa SMK menyatakan bahwa semakin berat stress yang dialami siswa SMK, maka semakin kuat dorongan untuk merokok p=0,000. Hal ini juga didukung dengan karakteristik wilayah urban dimana lingkungan kota cenderung sudah terjadi pencampuradukan budaya yang dibawa pendatang sehingga lebih mengalami akulturasi, asimilasi, dan adaptasi oleh karena itu lebih bisa menerima perilaku merokok Lestari, dkk., 2012. Karakteristik masyarakat urban yang diduga berperan dalam tingginya angka perilaku merokok adalah tingkat religiusitas. Kehidupan keagamaan pada masyarakat urban telah berkurang, kadangkala tidak terlalu dipikirkan karena memang kehidupan yang cenderung kearah keduniaan 88 saja Mahfiroh, 2011. Penelitian yang dilakukan oleh Azizah 2013 pada anak jalanan menyatakan bahwa ada hubungan antara tingkat religiusitas dengan perilaku merokok anak jalanan. Tingkat religiusitas merupakan salah satu faktor internal yang bersifat protektif yang dapat mempengaruhi keputusan anak jalanan untuk melakukan tindakan berisiko seperti perilaku merokok. Tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah meningkatnya angka kejadian hipertensi akibat perilaku merokok pada masyarakat rural dan urban antara lain dengan mengadakan penyuluhan yang lebih intensif kepada masyarakat mengenai bahaya merokok, serta bahaya merokok baik jangka panjang maupun jangka pendek. Hal ini bertujuan untuk memotivasi masyarakat, baik yang berusia dewasa maupun usia remaja, untuk berhenti merokok. Penelitian yang dilakukan oleh Sirait 2002 mengatakan bahwa prevalensi perokok lebih tinggi ditemukan pada mereka yang berpindidikan rendah. Hal ini dikarenakan mereka kurang mengetahui bahaya merokok dari sudut pandang kesehatan.

6.5 Perbedaan Kejadian Hipertensi berdasarkan Frekuensi Konsumsi

Makanan Asin pada Masyarakat Rural-Urban Studi epidemiologi pada berbagai populasi menunjukkan adanya peranan garam dalam kejadian hipertensi. Masyarakat perdesaan yang mengkonsumsi garam dalam jumlah kecil 70mEqhari terbukti memiliki riwayat hipertensi yang lebih rendah, yang mengalami peningkatan tekanan darah seiring dengan meningkatnya umur dan modernisasi masyarakat. Populasi lain dari 24 komunitas memiliki kebiasaan konsumsi jumlah natrium yang berbeda, yaitu 100 mEq24 jam, berhubungan dengan 89 penurunan 10 mmHg TDS pada orang dewasa berumur 60-69 tahun. Peningkatan TDS karena penuaan umur 30 tahun berkurang 9 mmHg dan peningkatan TDD berkurang 4.5 mmHg jika rata-rata konsumsi natrium lebih rendah dari 100 mEq hari Krummel 2004. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa proporsi kejadian hipertensi akibat konsumsi makanan asin lebih tinggi pada masyarakat rural 80 dibandingkan pada masyarakat urban 35,1. Hal ini diduga dikarenakan karakteristik masyarakat rural dimana masih memegang teguh adat-istiadat, dimana masyarakat suku sunda memiliki budaya konsumsi ikan asin. Menurut hasil observasi yang dilakukan oleh seorang dokter, konsumsi ikan asin Kabupaten Bogor dalam sehari mencapai puluhan ton Nadesul, 2012. Ia juga mengatakan bahwa banyak masyarakat rural yang terkena hipertensi akibat konsumsi makanan asin. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa masyarakat rural berpeluang lebih tinggi terkena hipertensi dibandingkan mayarakat urban. Penelitian yang dilakukan oleh Astuti, dkk 2010 pada siswi SLTP di Semarang menyatakan bahwa konsumsi ikan asin pada siswi di pinggir kota lebih tinggi dibandingkan pada siswi yang tinggal di pusat kota p=0,01. Hal ini dikarenakan siswi yang sekolah di pusat kota memiliki akses pangan dan kondisi sosial ekonomi orang tua yang lebih baik dibandingkan dengan siswi yang sekolah di pinggir kota. Tingginya konsumsi makanan asin yang dilakukan oleh masyarakat rural diduga karena masyarakat rural di Kabupaten Bogor belum memiliki pengetahuan yang lebih baik mengenai dampak konsumsi makanan asin